8 research outputs found

    Implementasi Kontrol Pid pada Pergerakan Laras Mortir 81mm Sesuai dengan Hasil Perhitungan Koreksi Tembakan

    Get PDF
    Pergerakan Laras Mortir 81mm ini secara umum masih menggunakan manual atau dengan tenaga personil. Dalam pengoperasian Mortir dibutuhkan kecepatan pembidikan agar tembakan mengenai sasaran secara tepat dan cepat. Oleh karena itu perancangan alat ini bertujuan untuk mempercepat pergerakan yang sesuai dengan pembidikan terhadap sasaran yang akan dituju. Perencanaan dan pembuatan alat dibangun dengan meggunakan alat perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras yang digunakan yaitu motor DC, mikrokontroler Arduino Uno, driver ULN2003, sensor Compass GY271, sensor Accelerometer. Sedangkan perangkat lunak yang digunakan yaitu Software IDE sebagai alat pengendali pada mikrokontroler Arduino. Dalam pembuatan alat yang dimaksud supaya dapat berfungsi dengan baik, maka diperlukan pemahaman yang mendalam tentang karakteristik dan cara kerja komponen-komponen yang digunakan. Hal ini perlu dikuasa sebaik-baiknya untuk menghindari kesalan penggunaan komponen yang mengakibatkan kegagalan dalam pembuatan alat.Pada perencanaan hardware akan meliputi seluruh perihal yang digunakan pada sistem. Pada perencanaan software merupakan piranti lunak meliputi flowchart dan software secara umum. Perangkat tersebut saling terintegrasi sehingga dalam kerjanya akan maksimum sesuai apa yang diharapkan. Software ini diharapkan mampu memenuhi tugas pokok TNI AD khususnya keahlian menembak agar lebih efektif, akurat dan tepat dalam melaksanakan latihan menembak di satuan TNI AD

    Penilaian Lesan Dada Tidak Bernilai Pada Ttc Menggunakan Morfologi Citra Digital

    Get PDF
    Sistem Latihan menembak merupakan salah satu hal terpenting dalam dunia militer. Pelaksanaan latihan tersebut terdapat beberapa materi yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan TNI AD.. Setiap prajurit TNI AD diwajibkan untuk memperoleh sertifikat tersebut. Salah satu materi latihan menembak dalam TNI AD yaitu Tembak Tempur Cepat. Tembak tempur cepat adalah latihan menembak dengan berjalan yang diperumpamakan bertemu dengan musuh secaa tiba-tiba. Lesan yang digunakan adalah lesan dada tidak bernilai yang bergerak secara tiba-tiba. Dimana sistem pelaksanaannya masih manual yaitu masih menggunakan tenaga manusia baik untuk menggerkan lesan maupun sistem penilaiannya. Sistem penilaian yang masih manual membuat sistem penilaian tidak obyektif. Sistem penilaian masih manual yaitu dengan melihat secara mata visual. Dengan memanfaatkan sinar matahari maka sistem penilaian dapat menggunakan kamera dengan menggunakan metode pengolahan citra digital. Pengolahan citra digital adalah suatu metode yang digunakan untuk membedakan warna. Dengan memanfaatkan sinar matahari maka pengolahan citra sangat cocok digunakan untuk membedakan warna antara lesan yang tidak berlubang dan lesan yang berlubang karena hasil tembakan sehingga nilai tembakan petembak dapat dibaca oleh pengolahan citr

    Efisiensi Daya Tahan Baterai pada Sistem Keamanan Ksatrian dengan Pir Menggunakan Kontrol Pid

    Get PDF
    Sensor PIR adalah sensor yang mendeteksi adanya pancaran sinar inframerah yang dikeluarkan oleh manusia. Sensor PIR ini bersifat pasif, jadi sensor PIR ini tidak memancarkan sinar inframerah tetapi menangkap pancaran sinar inframerah yang dikeluarkan oleh benda-benda disekelilingnya. Pada penelitian kali ini sensor PIR digunakan untuk mendeteksi adanya seseorang yang ingin menyusup masuk dalam suatu asrama ksatrian TNI AD. Daya yang dikonsumsi oleh sensor PIR diatur seefisien mungkin sehingga daya tahan baterai dapat digunakan secara maksimal. Daya yang dikonsumsi sensor PIR dikontrol menggunakan kontrol PID dengan menaikkan dan menurunkan tegangan sesuai dengan karakteristik sensor PIR yang digunakan

    Mortality from gastrointestinal congenital anomalies at 264 hospitals in 74 low-income, middle-income, and high-income countries: a multicentre, international, prospective cohort study

    Get PDF
    Summary Background Congenital anomalies are the fifth leading cause of mortality in children younger than 5 years globally. Many gastrointestinal congenital anomalies are fatal without timely access to neonatal surgical care, but few studies have been done on these conditions in low-income and middle-income countries (LMICs). We compared outcomes of the seven most common gastrointestinal congenital anomalies in low-income, middle-income, and high-income countries globally, and identified factors associated with mortality. Methods We did a multicentre, international prospective cohort study of patients younger than 16 years, presenting to hospital for the first time with oesophageal atresia, congenital diaphragmatic hernia, intestinal atresia, gastroschisis, exomphalos, anorectal malformation, and Hirschsprung’s disease. Recruitment was of consecutive patients for a minimum of 1 month between October, 2018, and April, 2019. We collected data on patient demographics, clinical status, interventions, and outcomes using the REDCap platform. Patients were followed up for 30 days after primary intervention, or 30 days after admission if they did not receive an intervention. The primary outcome was all-cause, in-hospital mortality for all conditions combined and each condition individually, stratified by country income status. We did a complete case analysis. Findings We included 3849 patients with 3975 study conditions (560 with oesophageal atresia, 448 with congenital diaphragmatic hernia, 681 with intestinal atresia, 453 with gastroschisis, 325 with exomphalos, 991 with anorectal malformation, and 517 with Hirschsprung’s disease) from 264 hospitals (89 in high-income countries, 166 in middleincome countries, and nine in low-income countries) in 74 countries. Of the 3849 patients, 2231 (58·0%) were male. Median gestational age at birth was 38 weeks (IQR 36–39) and median bodyweight at presentation was 2·8 kg (2·3–3·3). Mortality among all patients was 37 (39·8%) of 93 in low-income countries, 583 (20·4%) of 2860 in middle-income countries, and 50 (5·6%) of 896 in high-income countries (p<0·0001 between all country income groups). Gastroschisis had the greatest difference in mortality between country income strata (nine [90·0%] of ten in lowincome countries, 97 [31·9%] of 304 in middle-income countries, and two [1·4%] of 139 in high-income countries; p≤0·0001 between all country income groups). Factors significantly associated with higher mortality for all patients combined included country income status (low-income vs high-income countries, risk ratio 2·78 [95% CI 1·88–4·11], p<0·0001; middle-income vs high-income countries, 2·11 [1·59–2·79], p<0·0001), sepsis at presentation (1·20 [1·04–1·40], p=0·016), higher American Society of Anesthesiologists (ASA) score at primary intervention (ASA 4–5 vs ASA 1–2, 1·82 [1·40–2·35], p<0·0001; ASA 3 vs ASA 1–2, 1·58, [1·30–1·92], p<0·0001]), surgical safety checklist not used (1·39 [1·02–1·90], p=0·035), and ventilation or parenteral nutrition unavailable when needed (ventilation 1·96, [1·41–2·71], p=0·0001; parenteral nutrition 1·35, [1·05–1·74], p=0·018). Administration of parenteral nutrition (0·61, [0·47–0·79], p=0·0002) and use of a peripherally inserted central catheter (0·65 [0·50–0·86], p=0·0024) or percutaneous central line (0·69 [0·48–1·00], p=0·049) were associated with lower mortality. Interpretation Unacceptable differences in mortality exist for gastrointestinal congenital anomalies between lowincome, middle-income, and high-income countries. Improving access to quality neonatal surgical care in LMICs will be vital to achieve Sustainable Development Goal 3.2 of ending preventable deaths in neonates and children younger than 5 years by 2030

    Pediculosis capitis among school-age students worldwide as an emerging public health concern: a systematic review and meta-analysis of past five decades

    No full text

    The past and future of sustainable concrete: A critical review and new strategies on cement-based materials

    No full text
    corecore