28 research outputs found

    Point-of-Care Ultrasound in the Emergency Department

    Get PDF
    Point-of-care ultrasound (POCUS) is a useful diagnostic tool and has become an integral part of the care provided in the Emergency Department. It has evolved over the past two decades to include diagnostic and therapeutic skills. POCUS helps emergency physicians improve their diagnostic accuracy and provide better overall patient care. This chapter will summarize 13 core POCUS applications that are considered within the diagnostic armamentarium of all emergency physicians

    Tinjauan Fiqih Muamalah terhadap penetapan Ujroh pembiayaan gadai emas di Bank Syariah Mandiri KCP Buah Batu

    Get PDF
    Pelaksanaan akad pembiayaan rahn pada produk Gadai Emas merupakan salah satu pembiayaan yang dilakukan Bank Syariah Mandiri. Menurut para ulama syarat ujroh harus berupa harta tetap dan diketahui, nyata, jelas dan pasti manfaatnya. Dan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 yang terbit pada tanggal 26 Juni 2002 menyatakan bahwa: Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. Sedangkan dalam pelaksanaannya terdapat dua ketentuan dalam penetapan biaya titip (ujroh) yang dibebankan oleh bank kepada nasabah. Yang pertama biaya titip (ujroh) berdasarkan berat dan karatase emas yang dijaminkan, kedua penetapan biaya titip (ujroh) berdasarkan besar jumlah pinjaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Mekanisme penetapan biaya titip jaminan yang terjadi dalam produk gadai di Bank Syariah Mandiri; 2) Kesesuian praktik penetapan biaya titip (ujroh) dalam pembiayaan produk gadai emas di Bank Syariah Mandiri KCP Buah Batu terhadap fiqih muamalah. Penelitian ini didasarkan pada konsep rahn, konsep ijarah dan kon sep ujroh pada produk pembiayaan Gadai Emas yang menggunakan akad qardh, rahn dan ijarah di Bank Syariah Mandiri KCP Buah Batu yang ditinjau dari pendapat para ulama dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia tentang rahn. Metode penelitian yang digunakan merupakan metode penelitian deskriptif analisis yaitu metode penelitian yang menjelaskan pelaksanaan penetapan biaya titip (ujroh) dalam akad rahn di Bank Syariah Mandiri KCP Buah Batu. Sumber data primer yaitu pimpinan dan karyawan Bank Syariah Mandiri KCP Buah Batu berupa hasil wawancara. Data sekunder berupa standar operasional prosedur (SOP), buku, jurnal dan website yang relevan pada penelitian ini. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi dokumentasi, wawancara dan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: 1) Terdapat dua ketentuan dalam mekanisme penetapan biaya titip (ujroh) yang berlaku di Bank Syariah Mandiri. Yaitu biaya titip (ujroh) berdasarkan besar karatase emas yang dijaminkan oleh nasabah atau ketentuan biaya titip (ujroh) berdasarkan besar pinjaman yang diambil oleh nasabah. 2) Pelaksanaan penetapan perhitungan biaya titip (ujroh) yang diterapkan Bank Syariah Mandiri belum sesuai dengan syarat yang disepakati oleh para ulama yaitu ujroh harus berupa harta tetap dan diketahui, nyata, jelas dan pasti, serta terbatas pada hal-hal yang mutlak diperlukan untuk terjadinya transaksi ijarah. Dan menurut fatwa DSN Nomor 25/DSN-MUI/III/2002, besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan oleh jumlah besar pinjaman

    PERAN ORANG TUA DALAM MENINGKATKAN PERKEMBANGAN BAHASA ANAK DOWN SYNDROME

    Get PDF
    Anak Down Syndrome memiliki ritme dan karakteristik perkembangan yang khas. Oleh karena itu, stimulasi perkembangan yang diberikan kepada mereka pun berbeda. Orang tua pun memiliki peranan yang berbeda dalam memastikan anak mereka tumbuh dan berkembang dengan optimal. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh karakteristik dan stimulasi perkembangan bahasa anak Down Syndrome, dan peran orang tua anak Down Syndrome dalam memfasilitasi perkembangan anak mereka. Penelitian ini merupakan sebuah studi kasus yang melibatkan seorang anak Down Syndrome (usia 4 tahun) dan orang tuanya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa anak Down Syndrome memiliki keterlambatan dalam perkembangan bahasa dibandingkan dengan anak pada kelompok usia yang sama. Untuk mengoptimalkan perkembangan anak Down Syndrome, orang tua melakukan konsultasi dengan dokter, mengikutkan anak mereka pada sesi terapi, dan secara rutin memberikan rangsangan di rumah. Orang tua anak Down Syndrome berperan tidak hanya sebagai pendamping utama, tetapi juga sebagai advokat, guru, dan diagnostis. 

    The Science Performance of JWST as Characterized in Commissioning

    Full text link
    This paper characterizes the actual science performance of the James Webb Space Telescope (JWST), as determined from the six month commissioning period. We summarize the performance of the spacecraft, telescope, science instruments, and ground system, with an emphasis on differences from pre-launch expectations. Commissioning has made clear that JWST is fully capable of achieving the discoveries for which it was built. Moreover, almost across the board, the science performance of JWST is better than expected; in most cases, JWST will go deeper faster than expected. The telescope and instrument suite have demonstrated the sensitivity, stability, image quality, and spectral range that are necessary to transform our understanding of the cosmos through observations spanning from near-earth asteroids to the most distant galaxies.Comment: 5th version as accepted to PASP; 31 pages, 18 figures; https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1538-3873/acb29

    The James Webb Space Telescope Mission

    Full text link
    Twenty-six years ago a small committee report, building on earlier studies, expounded a compelling and poetic vision for the future of astronomy, calling for an infrared-optimized space telescope with an aperture of at least 4m4m. With the support of their governments in the US, Europe, and Canada, 20,000 people realized that vision as the 6.5m6.5m James Webb Space Telescope. A generation of astronomers will celebrate their accomplishments for the life of the mission, potentially as long as 20 years, and beyond. This report and the scientific discoveries that follow are extended thank-you notes to the 20,000 team members. The telescope is working perfectly, with much better image quality than expected. In this and accompanying papers, we give a brief history, describe the observatory, outline its objectives and current observing program, and discuss the inventions and people who made it possible. We cite detailed reports on the design and the measured performance on orbit.Comment: Accepted by PASP for the special issue on The James Webb Space Telescope Overview, 29 pages, 4 figure

    Finishing the euchromatic sequence of the human genome

    Get PDF
    The sequence of the human genome encodes the genetic instructions for human physiology, as well as rich information about human evolution. In 2001, the International Human Genome Sequencing Consortium reported a draft sequence of the euchromatic portion of the human genome. Since then, the international collaboration has worked to convert this draft into a genome sequence with high accuracy and nearly complete coverage. Here, we report the result of this finishing process. The current genome sequence (Build 35) contains 2.85 billion nucleotides interrupted by only 341 gaps. It covers ∼99% of the euchromatic genome and is accurate to an error rate of ∼1 event per 100,000 bases. Many of the remaining euchromatic gaps are associated with segmental duplications and will require focused work with new methods. The near-complete sequence, the first for a vertebrate, greatly improves the precision of biological analyses of the human genome including studies of gene number, birth and death. Notably, the human enome seems to encode only 20,000-25,000 protein-coding genes. The genome sequence reported here should serve as a firm foundation for biomedical research in the decades ahead

    Healthcare Access and Quality Index based on mortality from causes amenable to personal health care in 195 countries and territories, 1990-2015 : a novel analysis from the Global Burden of Disease Study 2015

    Get PDF
    Background National levels of personal health-care access and quality can be approximated by measuring mortality rates from causes that should not be fatal in the presence of effective medical care (ie, amenable mortality). Previous analyses of mortality amenable to health care only focused on high-income countries and faced several methodological challenges. In the present analysis, we use the highly standardised cause of death and risk factor estimates generated through the Global Burden of Diseases, Injuries, and Risk Factors Study (GBD) to improve and expand the quantification of personal health-care access and quality for 195 countries and territories from 1990 to 2015. Methods We mapped the most widely used list of causes amenable to personal health care developed by Nolte and McKee to 32 GBD causes. We accounted for variations in cause of death certification and misclassifications through the extensive data standardisation processes and redistribution algorithms developed for GBD. To isolate the effects of personal health-care access and quality, we risk-standardised cause-specific mortality rates for each geography-year by removing the joint effects of local environmental and behavioural risks, and adding back the global levels of risk exposure as estimated for GBD 2015. We employed principal component analysis to create a single, interpretable summary measure-the Healthcare Quality and Access (HAQ) Index-on a scale of 0 to 100. The HAQ Index showed strong convergence validity as compared with other health-system indicators, including health expenditure per capita (r= 0.88), an index of 11 universal health coverage interventions (r= 0.83), and human resources for health per 1000 (r= 0.77). We used free disposal hull analysis with bootstrapping to produce a frontier based on the relationship between the HAQ Index and the Socio-demographic Index (SDI), a measure of overall development consisting of income per capita, average years of education, and total fertility rates. This frontier allowed us to better quantify the maximum levels of personal health-care access and quality achieved across the development spectrum, and pinpoint geographies where gaps between observed and potential levels have narrowed or widened over time. Findings Between 1990 and 2015, nearly all countries and territories saw their HAQ Index values improve; nonetheless, the difference between the highest and lowest observed HAQ Index was larger in 2015 than in 1990, ranging from 28.6 to 94.6. Of 195 geographies, 167 had statistically significant increases in HAQ Index levels since 1990, with South Korea, Turkey, Peru, China, and the Maldives recording among the largest gains by 2015. Performance on the HAQ Index and individual causes showed distinct patterns by region and level of development, yet substantial heterogeneities emerged for several causes, including cancers in highest-SDI countries; chronic kidney disease, diabetes, diarrhoeal diseases, and lower respiratory infections among middle-SDI countries; and measles and tetanus among lowest-SDI countries. While the global HAQ Index average rose from 40.7 (95% uncertainty interval, 39.0-42.8) in 1990 to 53.7 (52.2-55.4) in 2015, far less progress occurred in narrowing the gap between observed HAQ Index values and maximum levels achieved; at the global level, the difference between the observed and frontier HAQ Index only decreased from 21.2 in 1990 to 20.1 in 2015. If every country and territory had achieved the highest observed HAQ Index by their corresponding level of SDI, the global average would have been 73.8 in 2015. Several countries, particularly in eastern and western sub-Saharan Africa, reached HAQ Index values similar to or beyond their development levels, whereas others, namely in southern sub-Saharan Africa, the Middle East, and south Asia, lagged behind what geographies of similar development attained between 1990 and 2015. Interpretation This novel extension of the GBD Study shows the untapped potential for personal health-care access and quality improvement across the development spectrum. Amid substantive advances in personal health care at the national level, heterogeneous patterns for individual causes in given countries or territories suggest that few places have consistently achieved optimal health-care access and quality across health-system functions and therapeutic areas. This is especially evident in middle-SDI countries, many of which have recently undergone or are currently experiencing epidemiological transitions. The HAQ Index, if paired with other measures of health-systemcharacteristics such as intervention coverage, could provide a robust avenue for tracking progress on universal health coverage and identifying local priorities for strengthening personal health-care quality and access throughout the world. Copyright (C) The Author(s). Published by Elsevier Ltd.Peer reviewe

    PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN RASA INGIN TAHU PESERTA DIDIK PADA PEMBELAJARAN TEMATIK

    No full text
    ABSTRAK Irma Sri Maryam, Penggunaan Model Discovery Learning untuk Meningkatkan Rasa Ingin Tahu Peserta Didik pada Pembelajran Tematik (Penelitian Tindakan Kelas Pembelajaran Tematik Pada Tema Indahnya Kebersamaan Subtema Keberagaman Budaya Bangsaku Pembelajaran 4 di Kelas IV SDN Leuwiliang kabupaten Sumedang) Pembelajaran tematik terpadu merupakan suatu proses pembelajaran dengan melibatkan atau mengkaitkan berbagai bidang studi dalam suatu kegiatan pembelajaran yang tercantum pada kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi. Didalamnya dirumuskan secara terpadu kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai peserta didik. Adapun masalah yang dihadapi oleh peserta didik yaitu rendahnya rasa ingin tahu peserta didik dalam proses pembelajaran yang digunakan masih menggunakan pendekatan tradisional dan peserta didik kurang dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran, sehingga membuat kegiatan pembelajaran menjadi monoton dan membosankan tanpa memberi stimulus rasa ingin tahu peserta didik. Salah satu strategi yang bisa digunakan untuk memotivasi dan meningkatkan rasa ingin tahu peserta didik dalam pembelajaran tematik terpadu pada tema indahnya kebersamaan subtema keberagaman budaya bangsaku pembelajaran 4 dengan cara bermakna. Penggunan model pembelajaran Discovery Learning diharapkan dapat meningkatkan rasa ingin tahu peserta didik secara signifikan. Penggunaan model pembelajaran Discovery Learning merupakan suatu penemuan sebagai suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran, perseorangan, manipulasi objek dan lain-lain percobaan, sebelum sampai kepada generalisasi, dimana peserta didik dapat mencari tahu dengan menemukan jawaban dengan cara sendiri. Serta mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerja. Tujuan penelitian ini memperbaiki dan meningkatkan rasa ingin tahu peserta didik pada pembelajaran tematik pada tema indahnya kebersamaan subtema keberagaman budaya bangsaku pembelajaran 4 setelah menggunakan model pemebelajaran Discovery Learning. Manfaat penelitian ini adalah agar dapat menambah khazanah keilmuan dan diharap bermanfaat bagi guru, peserta didik, penulis dan lembaga. Penelitian ini berbentuk Penelitian Tindakan Kelas yang dilaksanakan sebanyak tiga siklus objek penelitian peserta didik kelas IV SDN Leuwiliang yang berjumlah 27 peserta didik 13 peserta didik laki-laki dan 14 peserta didik perempuan dengan waktu dari tanggal 9 September sampai 11 September 2014. Peneliti dapat dinyatakan tuntas jika rasa ingin tahu peserta didik telah mencapai 80%. Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukan peningkatan ecara signifikan melalui siklus I rasa ingin tahu peserta didik belum mencapai harapan yaitu 40%, pada siklus II mengalami peningkatan sebanyak 65% dan pada siklus III sebanayk 87%. Sebagai hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan penggunaan model pemebelajaran Discovery Learning mampu meningkatkan Rasa Ingin Tahu peserta didikpada tema indahnya kebersamaan subtema keberagaman budaya bangsaku pembelajaran 4. Berdasarkan hasil penelitian ini guru kelas hendaknya menggunakan model pemebelajaran Discovery Learning pada tema indahnya kebersamaan subtema keberagaman budaya bangsaku pembelajaran 4 karena terbukti dapat meningkatkan rasa ingin tahu peserta didik. Kata Kunci: Rasa Ingin Tahu, Model BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu upaya yang dilakukan guru dalam pendidikan merupakan suatu kemampuan yang menjadikan manusia lebih baik dalam kehidupannya. Seperti yang diungkapkan oleh Maslelis (2013:1) bahwa “Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mengembangkan kemampuan dan kepribadiannya. Pendidikan ini memegang peranan penting dalam membina manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan, serta manusia-manusia yang memiliki sikap positif terhadap segala hal, sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha yang sangat penting dan dianggap pokok dalam kehidupan manusia”. Proses pembelajarannya menentukan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Sedangkan belajar merupakan suatu proses perpindahan ilmu dari guru kepada peserta didik. karena itu guru merupakan seseorang yang memiliki peranan penting dalam kegiatan pembelajaran berlangsung memberikan ilmu kepada peserta didik. Sehingga peserta didik berasumsikan bahwa guru mengetahui segalanya dan yang dikatakan guru semua benar . Dalam undang-undang sistem pendidikan Nasional No.20 tahun 2003 pasal 3, menyatakan bahwa : Pendidikan Nasional berpungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadaptuhan yang maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Pada proses pembelajaran seorang guru bertugas menyiapkan situasi yang kondusif bagi peserta didik untuk memahami apa yang sedang dipelajari dengan memberi fakta, data, serta konsep. Menurut Hermansyah dalam Sumarmo (2003:4), menerapkan berbagai strategi, metode, dan pendekatan yang tepat dengan kondisi peserta didik ataupun materi diperlukan karena apabila pembelajaran yang digunakan membuat peserta didik tertarik, maka motivasi dan minat peserta didik akan meningkat, sehingga peserta didik menjadi senang untuk belajar lebih lanju, dan pembelajaran pun lebih terarah, hasil pembelajaranpun akan meningkat. Untuk menjadi guru yang profesional ia dituntut untuk memiliki kompetensi. Undang-undang Republik Indonesian Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen dijelaskan: ”Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan prilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasi oleh guru dan dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya”. Merujuk pada undang-undang di atas jelas, bahwa peran dan fungsi guru berpengaruh terhadap pelaksanan pendidikan di sekolah. Lebih lanjut sukmadinata (2004:50) mengemukakan bahwa, keberhasilan pendidikan bukan saja ditentukan oleh ketepatan pemilihan model desain kurikulum, tetapi juga oleh kelengkapan kualitas dan ketetapan penggunaan sumber daya pendidikan. Diantara sumber daya pendidikan tersebut yang memegang peranan kunci adalah guru. Karena guru dapat mengoptimalkan pelaksanaan rancangan kurikulum, baik dalam pencapaian target (materi) maupun proses pembelajaran. Maka kegiatan belajar yang dapat dilaksanakan untuk meningkatkan pemahaman peserta didik diharapkan dapat bergaiarah, lebih aktif dan kreatif, sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan. Dalam hal ini juga pendidik berupaya untuk meningkatkan kreatifitas belajar peserta didik sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan rasa ingin tahu peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Pada saat ini kurikulum di Indonesia memiliki perubahan dalam kegiatan belajar mengajar di tingkat satuan sekolah dasar (SD). Perubahan ini merupakan salah satu langkah pemerintah untuk meningkatkan pembelajaran dan mempermudah guru dalam mengajar. Namun dalam kontek nasional, kebijakan perubahan kurikulum merupakan politik pendidikan yang berkaitan dengan kepentingan berbagai pihak. Sekolah sebagai pelaksana pendidikan, baik pengawas, kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan (nonguru), maupun peserta didik sangat berkepetingan dan akan terkena secara langsung dari setiap perubahan kurikulum. Demikian halnya yang dengan pengembangan dan penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP 2006) menjadi kurikulum 2013 akan memberikan dampak kepada berbagai pihak. Perubahan tersebut merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan terus menerus dilakukan baik secara konvensional maupun inovatif. Hal tersebut lebih terfokus setelah diamanatkan bahwa pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan mutu pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Upaya tersebut, antara lain dengan dikeluarkannya undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pada tahun 2003, dan Peraturan Pemerintahan No.19 Tahun 2005 Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang telah dilakukan penataan kembali dalam Peraturan Pemerintahan No. 32 Tahun 2013. Pentingnya arti kurikulum dalam pendidikan di sekolah dapat dilihat dari berbagai definisi mengenai kurikulum yang mengembangkan bahwa kurikulum merupakan sentral dari suatu program pendidikan. Pengembangan kurikulum secara rasional merupakan bagian dari strategi meningkatkan tercapainya pendidikan. Abdul majid (2014:19) “pengembangan kurikulum 2013 dilakukan atas prinsip: a. Bahwa sekolah adalah suatu kesatuan lembaga pendidikan dan kurikulum adalah kurikulum satuan pendidikan, bukan daftar mata pelajaran. b. Guru di satuan pendidikan adalah satu satuan pendidikan (community of educators), mengembangkan kurikulum bersama-sama. c. Pengembangan kurikulum di jenjang satuan pendidikan di pimpinlangsung oleh kepala sekolah. d. Pelaksanaan implementasi kurikulim di satuan pendidikan di evaluasi oleh kepala sekolah. Titik tekan pengembangan Kurikulum 2013 adalah penyempurnaan pola pikir, penguatan tata kelola kurikulum, pendalaman dan perluasan materi, penguatan proses pembelajaran, dan penyesuaian beban belajar agar dapat menjamin kesesuaian antara apa yang diinginkan dengan apa yang dihasilkan. Pengembangan kurikulum menjadi amat penting sejalan dengan kontin itas kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni budaya serta perubahan masyarakat pada tataran lokal, nasional, regional, dan global di masa depan. Aneka kemajuan dan perubahan itu melahirkan tantangan internal dan eksternal pada bidang pendidikan pendidikan. Oleh karena itu, implementasi Kurikulum 2013 merupakan langkah strategis dalam menghadapi globalisasi dan tuntutan masyarakat Indonesia masa depan. Standar Kompetensi Lulusan merupakan salah satu dari 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan, yang akan menjadi acuan bagi pengembangan kurikulum dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam kurikulum 2013 salah satu model pembelajaran yang di gunakan adalah dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning, Discovery Learning adalah merupakan suatu menemuan Penemuan. Menurut Sund ”discovery adalah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip”. Proses mental tersebut ialah mengamati, mencerna, mengerti, mengolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya (Roestiyah, 2001:20). Model Pembelajaran Discovery Learning untuk menciptakan proses pembelajaran yang sesuai dengan proses perkembangan rasa ingin tahu peseta didik dalam membangun pengetahuanya. Dengan pembelajaran yang berbasis penemuan, siswa didorong untuk belajar sebagian besar dalam keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Selain itu, dalam pembelajaran penemuan siswa juga belajar pemecahan masalah secara mandiri dan keterampilan-keterampilan berfikir, karena mereka harus menganalisis dan memanipulasi informasi. Bimbingan guru yang dimaksud adalah memberikan bantuan agar peserta didik dapat memahami tujuan kegiatan yang dilakukan dan berupa arahan tentang prosedur kerja yang perlu dilakukan dalam kegiatan pembelajaran Penemuan terbimbing yang dilakukan oleh siswa dapat mengarah pada terbentuknya kemampuan untuk melakukan penemuan yang siswa temukan dalam pembelajaran. Berdasarkan pengalaman observasi yang dilakukankan di kelas IV SDN Leuwiliang kabupaten Sumedang ada beberapa faktor yang timbul dalam kegiatan belajar peserta didik di dalam kelas, peserta didik hanya mendengarkan dan memahami penyampain materi yang dilakukan dengan ceramah dan penugasan oleh pendidik. Peserta didik kurang aktif dalam mengajukan pertanyaan karena tidak berani untuk bertanya mengenai materi yang kurang ia mengerti dan pahami, sehingga keaktifan peserta didik dalam mengasah keberanian untuk menunjukan rasa ingin tahunya dengan bertanya dalam materi yang disampaikan kurang atau sama sekalih tidak muncul. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian tindakan kelas yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning Untuk Meningkatkan Rasa Ingin Tahu Peserta Didik Pada Pembelajaran Tematik (Penelitian Tindakan Kelas Pembelajaran Tematik Pada Tema Indahnya Kebersamaan Subtema Keberagaman Budaya Bangsaku bagian Pembelajaran 4 Di Kelas IV SD Negeri Leuwiliang, Kecamatan Cimanggung Kabupaten Sumedang )”. B. Identifikasi Masalah Permasalahan yang menjadi bahan penelitian tindakan kelas di sekolah tersebut antara lain : 1. Kegiatan pembelajaran mengajar yang monoton, tanpa mengembangkan model pembelajaran melalui pendekatan model pembelajara. 2. Peserta didik sulit mengaitkan pelajaran IPA dengan kehidupan sehari-hari yang mereka alami di sekitar lingkungan mereka. 3. Pembelajaran kurang melibatkan peserta didik secara aktif sehingga peserta didik merasa jenuh pada materi pembelajaran yang kurang terlibat dalam proses pembelajaran. 4. Kurangnya pemahaman peserta didik dalam memahami materi sehingga kurang menimbulkan rasa ingin tahu bagi peserta didik terhadap materi pembelajaran. C. Rumusan Masalah 1. Bagaimana menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dengan menerapkan model Discovery Learning untuk meningkatkan rasa ingin tahu peserta didik pada pembelajaran tematik di kelas IV SD Negeri Leuwiliang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang Pada Tema Indahnya Kebersamaan Subtema Keberagaman Budaya Bangsaku bagian Pembelajaran 4 ? 2. Bagaimana penerapan model pembelajaran Discovery Learning dalam pembelajaran tematik di kelas IV SD Negeri Leuwiliang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang Pada Tema Indahnya Kebersamaan Subtema Keberagaman Budaya Bangsaku bagian Pembelajaran 4 ? 3. Apakah dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning dapat meningkatkan rasa ingin tahu peserta didik dalam Pembelajaran tematik di kelas IV SD Negeri Leuwiliang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang Pada Tema Indahnya Kebersamaan Subtema Keberagaman Budaya Bangsaku bagian Pembelajaran 4 ? D. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui sunsunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dengan menerapkan model Discovery Learning untuk meningkatkan rasa ingin tahu peserta didik pada pembelajaran tematik di kelas IV SD Negeri Leuwiliang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang Pada Tema Indahnya Kebersamaan Subtema Keberagaman Budaya Bangsaku bagian Pembelajaran 4. 2. Mengetahui cara penerapan model pembelajaran Discovery Learning dalam pembelajaran tematik di kelas IV SD Negeri Leuwiliang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang Pada Tema Indahnya Kebersamaan Subtema Keberagaman Budaya Bangsaku bagian Pembelajaran 4. 3. Mengetahui secara rinci dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning dapat meningkatkan rasa ingin tahu peserta didik dalam Pembelajaran tematik di kelas IV SD Negeri Leuwiliang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang Pada Tema Indahnya Kebersamaan Subtema Keberagaman Budaya Bangsaku bagian Pembelajaran 4. E. Manfaat Penelitian Dengan melakukan penelitian tentang penerapan model pembelajaran Discovery Learning dalam pembelajaran tematik pada tema indahnya kebersamaan subtema keberagaman budaya bangsaku bagian pembelajran 4 di kelas IV Sekolah Dasar, diharapkan dapat diperoleh beberapa manfaat antara lain : 1. Bagi Peserta didik Hasil penelitian ini sebagai media meningkatkan rasa ingin tahu siswa dalam belajar untuk lebih menguasai dan memahami materi pelajaran melalui penerapan model pembelajaran Discovery Learning dalam pembelajaran tematik pada tema indahnya kebersamaan subtema keberagaman budaya bangsaku. 2. Bagi guru Sebagai salah satu upaya perbaikan guru dan meningkatkan kualitas pembelajaran dan sebagai referensi untuk menerapakan model pembelajaran Discovery Learning dalam pembelajaran tematik pada tema indahnya kebersamaan subtema keberagaman budaya bangsaku dan upaya mengembangkan profesionalisme guru dalam proses pembelajaran yang efektif . 3. Bagi sekolah, Hasil penelitian diharapkan dapat memberi informasi dan atau sebagai acuan untuk pengembangan teknologi pembelajaran terutama pada pembelajaran Discovery Learning sebagai dukungan kegiatan pembelajaran serta dapat meningkatkan kemampuan dalam mengembangkan model pembelajaran Discovery Learning di sekolah. 4. Bagi peneliti, Menambah pengetahuan, pemahaman, dan pemahaman tentang proses belajar mengajar yang bermakna dan berkualitas serta dapat menjadi informasi dan gagasan untuk pengembangan dan peningkatan keterampilan mengorganisasi, memformulasi, dan mengkondisikan kegiatan belajar di kelas dalam mengembangkan model pembelajaran Discovery Learning di sekolah sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan maksimal. F. Definisi Operasional Untuk menghindari kesalaha pahaman dan penafsiran terhadap istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan beberapa istilah berikut: 1. Belajar dalam pengerian luas dapa diartikan sebagai kegiatan psikofisik menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya. Kemudian dalam arti sempit belajar dimaksudkan sebagain kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya (Sardiman, 2011:22) 2. Rasa ingin tahu adalah suatu dorongan atau hasrat untuk lebih mengerti suatu hal yang sebelumnya kurang atau tidak kita ketahui. Rasa ingin tahu biasanya berkembang apabila melihat keadaan diri sendiri atau keadaan sekeliling yang menarik. (Nasoetion, Hadi dan Permata, 2010:3) 3. Discovery Learning adalah Penemuan, Metode penemuan diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran, perseorangan, manipulasi objek dan lain-lain percobaan, sebelum sampai kepada generalisasi (Suryosubroto, 2009). 4. Pembelajaan tematik/terpadu adalah suatu proses pembelajaran dengan melibatkan atau mengkaitkan berbagai bidang studi. Pembelajaran terpadu juga merupakan pendekatan belajar pengajar yang melibatkan beberapa bidang studi. Pembelajaran terpadu, merupakan pendekatan belajar mengajar yang memperhatikan dan menyesuaikan dengan tingkat perkembangan anak didik (Prabowo, 2002:2). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam suatu pendidikan peserta didik didorong untuk belajar yang merupakan suatu kegiatan psikofisik untuk membentuk perkembangan pribadi seutuhnya. Dengan belajar peserta didik menunjukan sikap rasa ingin tahu dalam pengetahuan yang sebelumnya kurang atau tidak kita ketahui, sehingga peserta didik dapat mencari dan menemukan dengan caranya sendiri. Didalam Kurikulum 2013 kegiatan pembelajaran dirubah menjadi pembelajaran tematik yang mana peserta didik di tuntut untuk menemkan sendiri materi yang dia pelajari, sedangkan pendidik hanya mengarahkan dan membimbing peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN A. Kajian Pustaka a. Pembelajaran Discovery Learning (Penemuan) 1. Pengertian Pembelajaran Discovery Learning Pengertiana Discovery Learning menurut Jerome Bruner (2014: 281) adalah model belajar yang mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan dan menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum praktis contoh pengalaman. Hal yang menjadi dasar ide Jerome Bruner ialah pendapat dari Piaget yamh mengatakan bahwa anak harus berperan secara aktif di dalam belajar di kelas. Untuk itu Burner memakai cara dengan apa yang disebutnya Discovery Learning, yaitu murid mengorganisasikan bahan yang di pelajari dengan suatu bentuk akhir. Menurut Bruner dalam Arends (2008:186), Discovery Learning merupakan sebuah metode pengajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa untuk memahami struktur atau ide-ide kunci suatu disiplin ilmu, kebutuhan akan keterlibatan aktif peserta didik dalam proses belajar, dan keyakinan bahwa pembelajaran sejati terjadi melalui personal Discovery Learning (penemuan pribadi). Metode penemuan diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran, perseorangan, manipulasi objek dan lain-lain percobaan, sebelum sampai kepada generalisasi. Sebelum siswa sadar akan pengertian, guru tidak menjelaskan dengan kata-kata. Metode penemuan merupakan komponen dari praktik pendidikan yang meliputi metode mengajar yang memajukan cara belajar aktif, berorientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri, dan reflektif. Menurut Ensiklopedia of Educational Research, “penemuan merupakan suatu strategi yang unik dapat diberi bentuk oleh guru dalam berbagai cara, termasuk mengajarkan berbagai keterampilan menyelidiki dan memecahkan masalah sebagai alat bagi siswa untuk mencapai tujuan pendidikannya” (Suryosubroto, 2009:65). Dalam Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 pada lampiran menyatakan bahwa: untuk mencapai kualitas yang telah dirancang dalam dokumen kurikulum, kegiatan pembelajaran perlu menggunakan prinsip yang : (1) berpusat pada peserta didik, (2) mengembangkan kreatifitas peserta didik, (3) menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang, (4) bermuatan nilai, etika, estetika, logika, dan kinestetika, dan (5) menyediakan pengalaman belajar yang beragam melalui penerapan berbagai strategi dan model pembel;ajaran yang menyenangkan, kontekstual, efektif, efesien, dan bermakna. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Discovery Learning (penemuan) adalah metode pembelajaran yang menitikberatkan pada aktifitas peserta didik dalam belajar. Dalam proses pembelajaran guru hanya bertindak sebagai pembimbing dan fasil
    corecore