45 research outputs found
IbM BAGI KELOMPOK WANITA TANI MELALUI PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN
Program Kegiatan Ipteks bagi Masyarakat (IbM) kami laksanakan pada dua KelompokWanitaTani di Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan. Hal ini berdasarkan padapermasalahan kelompok wanita tani yaitu permasalahan faktor internal dan faktor eksternal.Faktor internal meliputi peningkatan pengetahuan dan skill ibu-ibu dalamrangkapemberdayaan ibu-ibu anggota kelompok wanita tani, sedangkan faktor eksternal meliputioptimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan dan lahan tidur di Desa Polagan KecamatanGalis Kabupaten Pamekasan. Metode pendekatan yang akan digunakan dalam kegiatan IbMini adalah metodependekatan partisipasi kelompok atau Partisipatory Rural Apprasial (PRA),yaitu melibatkan masyarakat dalam kegiatan. Hasil pelaksanaan IbMmenunjukkan bahwa (1)Secara umumanggota Kelompok Wanita Tani Tunas Harapan I dan Tunas Harapan IItelahmemahami arti pentingpertanian organik,konsumsi sayuran organik dan mulai memahamipemanfaatan lahan pekarangan untuk kegiatan budidaya sayuran organik, (2)AnggotaKelompok Wanita Tani Tunas Harapan I dan Kelompok Wanita Tani Tunas Harapan IIsebagian besar telah menguasai dan menerapkan teknik budidaya sayuran organik dipekarangan rumah masing-masing, meskipun ada sebagian yang belum maksimal dalammelakukan praktek budidaya sayuran dikarenakan latar belakang keluarga yang berbeda-beda,(3)Anggota Kelompok Wanita Tani Tunas Harapan I dan Kelompok Wanita Tani TunasHarapan IItelah menguasai teknik pembuatan pupuk organik baik skala lahan maupun skalarumahan dengan baik melaluipemanfaatan kotoran ternak sapi maupunkotoran ayamyangadadi sekitar rumah mereka,(4) Anggota Kelompok Wanita Tani Tunas Harapan I danKelompok Wanita Tani Tunas Harapan IItelah menguasai teknik pembuatanpestisida organikdengan memanfaatkan tanaman yang ada disekitar lingkungan mereka,(5) Anggota KelompokWanita Tani Tunas Harapan I dan Kelompok Wanita Tani Tunas Harapan II telah menyadariarti penting screen house sebagai wadah sebagai sarana praktek budidaya sayuran organikserta screen house menjadi sarana berbagi informasi antar anggota kelompok wanita tanisehingga kendala-kendala yang mereka hadapi selama melakukan praktek budidaya sayuranorganik dapat diatasi dengan baik, (6) Anggota Kelompok Wanita Tani Tunas Harapan I danKelompok Wanita Tani Tunas Harapan IImulai menyadaribahwa kegiatan budidaya sayuranorganik memberikan dampak ekonomi dan menambah pendapatan bagi keluarganya sertatermotivasi untuk melanjutkan kegiatan usahatani sayuran organik dan (7)Anggota KelompokWanita Tani Tunas Harapan I dan Kelompok Wanita Tani Tunas Harapan IItelah melakukanpencatatan dan penghitungan sederhana terhadap usahatani sayuran organik sebagairangkaian dalam menjalankan kegiatan pra koperas
Ravuconazole self-emulsifying delivery system : in vitro activity against Trypanosoma cruzi amastigotes and in vivo toxicity.
Self-emulsifying drug delivery systems (SEDDSs) are lipid-based anhydrous formulations composed of an isotropic mixture of oil, surfactant, and cosurfactants usually presented in gelatin capsules. Ravuconazole (Biopharmaceutics Classification System [BCS] Class II) is a poorly water-soluble drug, and a SEDDS type IIIA was designed to deliver it in a predissolved state, improving dissolution in gastrointestinal fluids. After emulsification, the droplets had mean hydrodynamic diameters ,250 nm, zeta potential values in the range of -45 mV to -57 mV, and showed no signs of ravuconazole precipitation. Asymmetric flow field-flow fractionation with dynamic and multiangle laser light scattering was used to characterize these formulations in terms of size distribution and homogeneity. The fractograms obtained at 37?C showed a polydisperse profile for all blank and ravuconazole?SEDDS formulations but no large aggregates. SEDDS increased ravuconazole in vitro dissolution extent and rate (20%) compared to free drug (3%) in 6 h. The in vivo toxicity of blank SEDDS comprising Labrasol? surfactant in different concentrations and preliminary safety tests in repeated-dose oral administration (20 days) showed a dose-dependent Labrasol toxicity in healthy mice. Ravuconazole?SEDDS at low surfactant content (10%, v/v) in Trypanosoma cruzi-infected mice was safe during the 20-day treatment. The anti-T. cruzi activity of free ravuconazole, ravuconazole?SEDDS and each excipient were evaluated in vitro at equivalent ravuconazole concentrations needed to inhibit 50% or 90% (IC50 and IC90), respectively of the intracellular amastigote form of the parasite in a cardiomyocyte cell line. The results showed a clear improvement of the ravuconazole anti-T. cruzi activity when associated with SEDDS. Based on our results, the repurposing of ravuconazole in SEDDS dosage form is a strategy that deserves further in vivo investigation in preclinical studies for the treatment of human T. cruzi infections
Pharmacokinetic targeting of intravenous busulfan reduces conditioning regimen related toxicity following allogeneic hematopoietic cell transplantation for acute myelogenous leukemia
Optimal conditioning therapy for hematopoietic cell transplantation (HCT) in acute myelogenous leukemia (AML) remains undefined. We retrospectively compared outcomes of a consecutive series of 51 AML patients treated with oral busulfan (1 mg/kg every 6 hours for 4 days) and cyclophosphamide (60 mg/kg IV × 2 days) - (Bu/Cy) with 100 consecutive AML patients treated with pharmacokinetic targeted IV busulfan (AUC < 6000 μM/L*min per day × 4 days) and fludarabine (40 mg/m2 × 4 days) - (t-IV Bu/Flu). The Bu/Cy and t-IV Bu/Flu groups significantly differed according to donor relation, stem cell source, aGVHD prophylaxis, remission status, primary vs. secondary disease, median age, and % blasts prior to HCT (p < 0.01 for each). Conditioning with t-IV Bu/Flu reduced early toxicity including idiopathic pneumonia syndrome (IPS) and hepatic veno-occlusive disease (VOD). Additionally, the trajectory of early NRM (100 day: 16% vs. 3%, and1 year: 25% vs. 15% for Bu/Cy and t-IV Bu/Flu, respectively) favored t-IV Bu/Flu. Grade II-IV aGVHD (48% vs. 82%, p < 0.0001), as well as moderate/severe cGVHD (7% vs. 40%, p < 0.0001) differed between the Bu/Cy and t-IV Bu/Flu groups, due to the predominance of peripheral blood stem cells in the t-IV Bu/Flu group. Pharmacokinetic targeting of intravenous busulfan in combination with fludarabine is associated with reduced conditioning regimen related toxicity compared to oral busulfan and cyclophosphamide. However, multivariable analysis did not demonstrate significant differences in overall survival (p = 0.78) or non-relapse mortality (p = 0.6) according to conditioning regimen delivered
A search for pair-produced resonances in four-jet final states at root s=13 TeV with the ATLAS detector
A search for massive coloured resonances which are pair-produced and decay into two jets is presented. The analysis uses 36.7 fb−1
−
1
of √
s
= 13 TeV pp collision data recorded by the ATLAS experiment at the LHC in 2015 and 2016. No significant deviation from the background prediction is observed. Results are interpreted in a SUSY simplified model where the lightest supersymmetric particle is the top squark, ̃
t
~
, which decays promptly into two quarks through R-parity-violating couplings. Top squarks with masses in the range 100 GeV<̃<410
100
GeV
<
m
t
~
<
410
GeV
GeV
are excluded at 95% confidence level. If the decay is into a b-quark and a light quark, a dedicated selection requiring two b-tags is used to exclude masses in the ranges 100 GeV<̃<470
100
GeV
<
m
t
~
<
470
GeV
GeV
and 480 GeV<̃<610
480
GeV
<
m
t
~
<
610
GeV
GeV
. Additional limits are set on the pair-production of massive colour-octet resonances
Measurements of electroweak Wjj production and constraints on anomalous gauge couplings with the ATLAS detector
Measurements of the electroweak production of a W boson in association with two jets at high dijet invariant mass are performed using root s = 7 and 8 TeV proton-proton collision data produced by the Large Hadron Collider, corresponding respectively to 4.7 and 20.2 fb(-1) of integrated luminosity collected by the ATLAS detector. The measurements are sensitive to the production of a W boson via a triple-gauge-boson vertex and include both the fiducial and differential cross sections of the electroweak process
Analisis Kinerja Pasar Benih Padi Di Kabupaten Malang
Benih menjadi salah satu sarana produksi utama yang berperan penting
dalam budidaya tanaman, sehingga kondisi perbenihan mencerminkan kemajuan
pertanian dalam suatu negara (Arsanti, 1995). Menurut Unit Pelaksana Teknis
Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (2018)
menjelaskan bahwa Kabupaten Malang merupakan salah satu sentra penghasil
benih padi terbesar ke 2 di Jawa Timur. Berdasarkan survei pendahuluan,
didapatkan informasi bahwa produsen benih padi mendistribusikan benih padi ke
berbagai wilayah baik di dalam maupun di luar Kabupaten Malang. Oleh Karena
itu, penelitian ini penting dilakukan untuk mendapatkan alternatif saluran
pemasaran benih padi yang paling efisien untuk masing-masing pelaku pasar yang
terlibat dalam pemasaran benih padi di Kabupaten Malang.
Penelitian ini dilakukan pada produsen benih padi di Kabupaten Malang,
dengan dasar pertimbangan dari key informan UPT PSBTPH bahwa Kabupaten
Malang juga merupakan salah satu sentra penghasil benih padi terbesar ke-2 di
Jawa Timur. Pada penelitian ini menggunakan metode forward snowball
sampling, dengan responden produsen pada wilayah Kabupaten Malang berperan
sebagai starting point untuk menelusuri lembaga pemasaran selanjutnya sampai
ke konsumen (petani). Dari metode tersebut diperoleh responden sebanyak 3
produsen, 3 pengepul dan 10 pengecer. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan penggunaan dokumen
arsip. Sementara analisi data menggunakan identifikasi saluran pemasaran,
analisis Total Gross Marketing Margin, analisis rasio keuntungan dan biaya
pemasaran dan analisis Marketing Efficiency Index.
Hasil penelitian yang didapatkan dari identifikasi saluran pemasaran adalah
terdapat 3 pola saluran pemasaran. Hasil analisis Total Gross Marketing Margin
(TGMM) di ketiga saluran pemasaran benih padi di Kabupaten Malang memiliki
kinerja pasar yang baik, dikarenakan nilai yang didapatkan dalam perhitungan
TGMM di seluruh saluran adalah <50%. Saluran yang memiliki nilai TGMM
terendah adalah pada saluran pemasaran 1 (produsen-petani) dengan nilai TGMM
0%. Dengan demikian seluruh saluran pemasaran benih padi di Kabupaten malang
memiliki kinerja pasar yang baik.
Selanjutnya, untuk analisis rasio keuntungan dan biaya pemasaran diperoleh
kinerja bahwa memiliki kinerja pasar yang buruk. Hal tersebut dikarenakan rata-
rata rasio K/B yang diterima produsen sebesar 1,18 dan dapat diinterpretasikan
bahwa setiap biaya yang dikeluarkan oleh produsen sebesar Rp 1 maka akan
mendapatkan keuntungan sebesar Rp 1,18. Sedangkan, pada rata-rata rasio K/B
yang diperoleh lembaga (pengepul dan pengecer) yakni sebesar 4,93 dan dapat
ii
diinterpretasikan bahwa setiap rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh lembaga
pemasaran sebesar Rp 1 maka akan mendapatkan rata-rata keuntungan sebesar Rp
4,93.
Indikator selanjutnya dapat dilihat dari analisis Marketing Efficiency Index
(MEI) dan dari ketiga saluran pemasaran tersebut memiliki kinerja yang baik. Hal
tersebut dilihat dari nilai MEI yang memiliki nilai lebih dari 1 yang menunjukkan
bahwa saluran pemasaran tersebut efisien. Saluran pemasaran I memiliki nilai
MEI paling tinggi jika dibandingkan saluran pemasaran lain. Tingginya nilai MEI
pada saluran pemasaran I dikarenakan pada saluran ini total biaya pemasaran dan
marjin pemasaran lebih rendah dibandingkan dengan saluran lain dan saluran I
merupakan saluran pemasaran terpendek. Dapat disimpulkan bahwa saluran
pemasaran I jika dilihat dari indikator MEI memiliki kinerja pasar yang paling
baik dalam saluran pemasaran benih padi di Kabupaten Malang. Hal tersebut
dikarenakan dengan semakin pendeknya saluran pemasaran, maka semakin sedikit
juga jumlah lembaga pemasaran yang terlibat. Sehingga akan menyebabkan nilai
total marjin bersih serta total biaya pemasarannya semakin rendah.
Berdasarkan hasil penelitian analisis kinerja pasar secara keseluruhan,
dilihat dari 3 indikator tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja pasar benih padi
di Kabupaten Malang adalah baik. Hal tersebut dapat dilihat dari penilaian kinerja
ketiga indikator yang mana terdapat 2 indikator yaitu TGMM dan MEI yang
menunjukkan bahwa kinerja pasar benih padi memenuhi kriteria kinerja pasar
yang baik dan efisien. Dari hasil peneliti memberikan saran untuk meningkatkan
share harga yang diterima produsen, sebaiknya produsen menerapkan saluran
pemasaran yang lebih pendek. Sebaiknya setiap lembaga yang terlibat dalam
saluran pemasaran dapat memiliki peranan yang aktif untuk mendistribusikan
benih padi dari produsen ke konsumen dengan mengadakan pembagian balas
jasa/keuntungan yang adil dari keseluruhan harga konsumen terakhir kepada
semua pihak yang ikut serta didalam kegiatan produksi dan pemasaran komoditas
pertania