45 research outputs found

    DESAIN SHELTER SEBAGAI PENUNJANG AKTIVITAS BELAJAR BAGI ANAK -ANAK DI KAMPUNG RAWAN GUSUR DENGAN KONSEP PUZZLE : STUDI KASUS KAMPOENG DOLANAN - SURABAYA

    Get PDF
    Di Indonesia terdapat berbagai perkampungan. Beberapa perkampungan didirikan diatas lahan rawan gusur, yaitu lahan milik suatu perusahaan. Tak sedikit perkampungan di Indonesia yang didirikan di daerah rawan gusur. Salah satunya adalah Kampoeng Dolanan di Surabaya yang berdiri diatas lahan milik PT. Kereta Api Indonesia. Walau berdiri diatas lahan rawan gusur, warga tetap beraktivitas sama seperti warga perkampungan pada umumnya. Warga yang tinggal di daerah perkampungan identik dengan kerukunan dan solidaritas yang tinggi. Warga di Kampoeng Dolanan juga melakukan aktivitas yang sama seperti warga perkampungan pada umumnya. Namun ada sedikit yang berbeda, karena memiliki komunitas yang mengadakan beragam kegiatan di Kampoeng Dolanan, salah satunya adalah Semesta Belajar yang merupakan kegiatan yang diisi oleh kakak dari Komunitas Dolanan, dengan tujuan mengadakan sekolah kecil-kecilan bagi anak-anak di Kampoeng Dolanan. Semesta Belajar diadakan di area terbuka yang hanya beralaskan terpal saja. Hal ini menyebabkan ketika hujan, tidak ada yang melindungi mereka, sehingga ketika hujan turun, kegiatan Semesta Belajar di tiadakan atau dipindah tempatnya. Oleh karena itu, penulis menggunakan studi kasus diatas sebagai obyek untuk merancang tenda sehingga dapat menunjang kegiatan berkumpul warga perkampungan rawan gusur, yang salah satunya contohnya adalah Semesta Belajar, agar dapat berjalan dengan optimal dalam berbagai keadaan cuaca

    Ef-QuantFace: Streamlined Face Recognition with Small Data and Low-Bit Precision

    Full text link
    In recent years, model quantization for face recognition has gained prominence. Traditionally, compressing models involved vast datasets like the 5.8 million-image MS1M dataset as well as extensive training times, raising the question of whether such data enormity is essential. This paper addresses this by introducing an efficiency-driven approach, fine-tuning the model with just up to 14,000 images, 440 times smaller than MS1M. We demonstrate that effective quantization is achievable with a smaller dataset, presenting a new paradigm. Moreover, we incorporate an evaluation-based metric loss and achieve an outstanding 96.15% accuracy on the IJB-C dataset, establishing a new state-of-the-art compressed model training for face recognition. The subsequent analysis delves into potential applications, emphasizing the transformative power of this approach. This paper advances model quantization by highlighting the efficiency and optimal results with small data and training time

    THE EFFECTIVITY OF NATURAL DIETS OF Tubifex sp. AND Chironomus sp. LARVAE TOWARD GROWTH PERFORMANCE OF MANFISH (Pterophyllum scalare, Schultze 1823) FRY

    Get PDF
    Natural feed Tubifex sp. and larvae of Chironomus sp. proven to be able to improve growth performance in several types of ornamental fish.  The purpose of this study was to evaluate the natural feeding of Tubifex sp. and larvae of Chironomus sp. to the growth rate of manfish fry (Pterophyllum scalare). This study used the Complete Randomized Design (CRD) with 4 treatments fish feed namely commercial feed PF 500 (A), Tubifex sp. 100% (B), Tubifex sp. 50% and larvae of Chironomus sp. 50% (C), and larvae of Chironomus sp. 100% (D). Fish used are 2-4 cm in size and weigh approximately 1-2 g. Fish distribute into 12 aquariums with a density of each aquarium of 1 fish/liter. The results showed the natural feeding of Tubifex sp. and larvae of Chironomus sp. Significantly able to improve the growth of manfish fry. Feeding in the form of 100% Tubifex sp. resulting in the highest growth performance in manfish fry reaching 2,914 g and 5,202 cm for absolute weight and absolute length, respectively. The survival rate of manfish fry in this study reached 100% for all treatments and controls. This research is expected to be one of the references for ornamental fish farmers in manfish seed feeding management

    UPAYA MENINGKATKAN KESADARAN MASYARAKAT TERHADAP ANEMIA DAN PENCEGAHANNYA PADA KOMUNITAS LANJUT USIA

    Get PDF
    Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama. Negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah menjadi penyumbang kejadian anemia terbesar, terutama memengaruhi populasi yang tinggal di pedesaan, di rumah tangga yang lebih miskin dan yang tidak mendapatkan pendidikan formal. Penelitian memperkirakan bahwa, pada orang berusia di atas 65 tahun, prevalensi anemia adalah 12% pada mereka yang tinggal di masyarakat, 40% pada mereka yang dirawat di rumah sakit, dan setinggi 47% pada lansia di panti jompo, dan lebih tinggi lagi pada lansia dengan diabetes, hipertensi dan hiperkolesterolemia. Penyebab anemia pada lansia dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu defisiensi gizi, anemia penyakit kronis dan anemia yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Anemia pada lansia sangat penting karena mempunyai sejumlah konsekuensi serius. Upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap anemia dan pencegahannya dalam (Pengabdian Kesehatan Masyarakat) PKM ini dilakukan melalui penyuluhan dan skrining atau deteksi dini penyakit pada kelompok lanjut usia. Pada PKM ini digunakan tahapan kegiatan (Plan-Do-Check-Action) PDCA sehingga kegiatan dapat berlangsung dengan baik dan efisien. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat di Panti Lanjut Usia Santa Anna melibatkan 50 responden kelompok lanjut usia dengan rerata usia 75,92 (±11,14) tahun, dan 46% responden didapatkan memiliki anemia. Anemia pada lansia dapat dicegah dengan pemberian nutrisi yang cukup, intervensi yang sederhana dan tidak mahal. Terlaksananya program ini diharapkan terdapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap anemia dan pencegahannya pada lansia, sehingga kedepannya terjadi peningkatan kualitas hidup komunitas lansia dan mengurangi beban ekonomi akibat biaya perawatan akibat anemia

    UPAYA MENINGKATKAN KESADARAN MASYARAKAT TERHADAP PENTINGNYA ALBUMIN DALAM PENYEMBUHAN LUKA PADA LANSIA

    Get PDF
    Secara global, populasi individu lanjut usia kian meningkat seiring waktu. Salah satu masalah yang sering dihadapi ketika beranjak lanjut usia adalah hipoalbuminemia. Prevalensi hipoalbuminemia lebih tinggi tidak hanya pada pasien rawat inap dan pasien sakit kritis, namun juga individu lanjut usia. Ulkus dekubitus merupakan tanda hipoalbuminemia dan merupakan masalah kesehatan yang signifikan di seluruh dunia, dan umum terjadi pada lansia. Pengelolaannya memakan biaya miliaran dolar per tahun, sehingga membebani perekonomian kesehatan. Albumin dan asupan nutrisi memainkan peran penting dalam penyembuhan luka dan merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan dalam penyembuhan luka pada lansia. Upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap albumin dalam PKM ini dilakukan melalui penyuluhan dan skrining atau deteksi dini penyakit pada kelompok lanjut usia. Pada kegiatan pengabdian ini digunakan tahapan kegiatan PDCA agar acara dapat berlangsung dengan baik dan efisien. Kegiatan ini mencakup 50 responden lanjut usia dengan rerata usia 75,92 (±11,14) tahun. Didapatkan 14% dari responden memiliki kadar albumin darah yang rendah (<3,5 g/dL). Dengan terlaksananya program ini diharapkan terdapat peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya albumin dalam penyembuhan luka pada lansia, sehingga kedepannya terdapat peningkatan kualitas hidup komunitas lansia dan mengurangi beban ekonomi akibat biaya perawatan akibat masalah perawatan luka

    DISTRIBUSI SKOR KALSIUM ARTERI KORONER BERDASARKAN USIA DAN JENIS KELAMIN PADA POPULASI SEHAT

    Get PDF
    Introduction: Coronary Artery Calcification (CAC) score may give information in cardiovascular risk stratification asymptomatic individuals. Profiles and distribution of CAC scores are still scarce in Indonesia. This study aimed to evaluate the distribution of CAC based on age and gender in asymptomatic patients. Methods: Subjects were asymptomatic Asian above 40 years-old undergoing cardiovascular check-up, including Computed Tomography (CT) CAC at Siloam Heart Institute, from April 2018 to August 2019. Data were obtained retrospectively and analyzed statistically with IBM SPSS version 22. Results: A total of 1640 patients were enrolled, with males slightly more than half. The mean age was 55,6 ± 9,6 years, with age group of 50-59 years as the majority (35,9%). Almost half of the subjects had zero CAC score. Around two-thirds of females, particularly below 50 years old, had zero CAC scores. CAC scores >400 were more prevalent in males across all age groups. The majority of healthy males had a CAC score between 0-99. There was a positive correlation between age and CAC scores in both genders. Females with CAC score >400 were found mostly after 70 years old, ten years older than males. CAC score >1000 was more prevalent in older males compared to females. Conclusion: The distribution of CAC score is remarkably affected by age and gender. Zero CAC score is found predominant in our subjects. CAC scores of ≥400 are common in males across all age groups. CAC score >1000 is more exclusively found in the elderly malePendahuluan: Skor kalsifikasi arteri koroner (KAK) dapat memberikan informasi dalam stratifikasi risikokardiovaskular pada individu tanpa gejala. Profil dan distribusi dari skor KAK masih sangat jarang di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi distribusi KAK berdasarkan usia dan jenis kelamin pada pasien tanpa gejala.Metode: Subjek meliputi individu sehat dengan usia 40 tahun ke atas yang menjalani pemindai ComputedTomography (CT) kalsifikasi arteri koroner pada pemeriksaan rutin kardiovaskular di Siloam Heart Institutepada April 2018 hingga Agustus 2019. Pemindaian computerized tomography (CT) untuk menilai KAKdilakukan dengan menggunakan multi-detektor 64-slice dari mesin SOMATOM Definition Flash Siemens Dualsource. Data diperoleh secara retrospektif dan dianalisis secara statistik dengan IBM SPSS versi 22.Hasil: Sebanyak 1640 pasien diikutsertakan pada penelitian ini, dengan jumlah laki-laki sedikit lebih banyak.Usia rata-rata 55,6 ± 9,6 tahun dengan kelompok usia terbanyak 50-59 tahun (35,9%). Hampir setengah daritotal subjek memiliki skor KAK nol. Sekitar dua pertiga kelompok perempuan terutama di bawah usia 50 tahun memiliki skor KAK nol. Pada skor KAK >400 lebih sering pada laki-laki di semua kelompok umur. Sebagian besar laki-laki sehat memiliki skor KAK antara 0-99. Terdapat korelasi positif antara usia dan skor KAK pada kedua jenis kelamin. Perempuan dengan skor KAK >400 ditemukan pada kelompok usia di atas 70 tahun, 10 tahun lebih tua dibanding dengan laki-laki. Skor KAK >1000 lebih umum pada kelompok laki-laki yang lebih tua dibanding dengan perempuan. Simpulan: Distribusi skor KAK sangat dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Skor KAK nol mendominasipada subjek penelitian kami. Skor KAK ≥400 lebih sering pada laki-laki pada setiap kelompok usia. Skor KAK> 1000 khususnya ditemukan pada laki-laki usia tu

    PENYULUHAN DAN DETEKSI DINI HIPERTRIGLISERIDEMIA DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEJADIAN DEMENSIA

    Get PDF
    Demensia merupakan suatu kondisi dimana terjadi penurunan fungsi kognitif, yang berdampak pada memori, prilaku yang dapat menurunkan kualitas hidup seseorang. Jumlah penderita demensia setiap tahunya terus bertambah, dan diperkirakan akan mencapai 152 juta pada tahun 2050. Pertambahan usia merupakan faktor risiko utama pada demensia, namun faktor lain seperti gaya hidup, obesitas, depresi, inaktivitas kognitif ikut memengaruhi. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, hipertrigliseridemia tidak hanya menjadi faktor risiko kardiovaskular tetapi juga demensia. Pentingnya untuk memberikan edukasi mengenai hipertrigliseridemia serta dampaknya pada masyarakat. Kegiatan penyuluhan deteksi dini dilakukan di Panti Wreda St. Anna, dengan 31 responden yang mengikuti kegiatan tersebut. Terdapat 14 responden yang mengalami ganggan kognitif, dan 13 responden memiliki nilai trigliserida yang tinggi. Masyarakat penting untuk mengetahui pengendalian dan pencegahan trigliserida tinggi serta melakukan deteksi dini melalui pemeriksaan trigliserida di fasilitas kesehatan. Hal ini penting diketahui agar masyarat terhindar dari komplikasi yang timbul dari hipertrigliseridemia ini. Diharapkan pemberikan edukasi dan deteksi dini mengenai demensia dan hipertrigliseridemia dapat meningkatkan kualitas hidup dan meningkatan kesehatan masyarakat

    PENINGKATAN KEWASPADAAN MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT GINJAL KRONIS DENGAN EDUKASI GAYA HIDUP DAN SKRINING FUNGSI GINJAL

    Get PDF
    Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan suatu kondisi progresif dengan penurunan fungsi ginjal atau kerusakan ginjal selama 3 bulan. Prevalensi PGK secara global meningkat mencapai 27,9% pada usia 70-80 tahun. Penyakit ginjal kronis berhubungan erat dengan diabetes, hipertensi, dan obesitas di negara berpendapatan tinggi, sedangkan di negara berpendapatan rendah dan menengah, PGK terkait dengan penyakit menular dan obat nefrotoksik. Edukasi dan deteksi dini penyakit PGK sangat penting untuk mencegah komplikasi serius dan mempertahankan kesehatan yang baik. Edukasi membantu individu memahami faktor risiko dari PGK, seperti diabetes, hipertensi, dan pola makan yang tidak sehat. Melalui pemahaman tentang gejala awal PGK, individu dapat segera mengidentifikasi masalah ginjal dan mencari bantuan medis lebih awal. Deteksi dini PGK dapat membantu mengurangi kemungkinan komplikasi yang serius. Pemeriksaan fungsi ginjal merupakan suatu tindakan proaktif yang mendukung deteksi dini PGK. Meningkatkan kesadaran dan melakukan deteksi dini dapat mengurangi beban sistem kesehatan secara keseluruhan. Pengabdian ini melibatkan 50 responden lanjut usia di Panti Lansia Santa Anna. Seluruh responden mengikuti rangkaian kegiatan berupa penyuluhan dengan media edukasi berupa poster, kegiatan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Rerata usia responden adalah 75,92 tahun dengan 70% responden berjenis kelamin laki-laki. Hasil pemeriksaan penunjang menyatakan 12% responden memiliki kadar ureum >50 mg/dL, 18% responden memiliki kadar kreatinin >1 mg/dL, dan 20% responden memiliki laju filtrasi ginjal <60 mL/menit/1,73m2. Edukasi dan deteksi dini PGK adalah langkah kunci dalam upaya pencegahan dan manajemen penyakit ini. Oleh karena itu, penting untuk dilaksanakan kegiatan komprehensif untuk mengatasi permasalahan ini

    Antimicrobial resistance among migrants in Europe: a systematic review and meta-analysis

    Get PDF
    BACKGROUND: Rates of antimicrobial resistance (AMR) are rising globally and there is concern that increased migration is contributing to the burden of antibiotic resistance in Europe. However, the effect of migration on the burden of AMR in Europe has not yet been comprehensively examined. Therefore, we did a systematic review and meta-analysis to identify and synthesise data for AMR carriage or infection in migrants to Europe to examine differences in patterns of AMR across migrant groups and in different settings. METHODS: For this systematic review and meta-analysis, we searched MEDLINE, Embase, PubMed, and Scopus with no language restrictions from Jan 1, 2000, to Jan 18, 2017, for primary data from observational studies reporting antibacterial resistance in common bacterial pathogens among migrants to 21 European Union-15 and European Economic Area countries. To be eligible for inclusion, studies had to report data on carriage or infection with laboratory-confirmed antibiotic-resistant organisms in migrant populations. We extracted data from eligible studies and assessed quality using piloted, standardised forms. We did not examine drug resistance in tuberculosis and excluded articles solely reporting on this parameter. We also excluded articles in which migrant status was determined by ethnicity, country of birth of participants' parents, or was not defined, and articles in which data were not disaggregated by migrant status. Outcomes were carriage of or infection with antibiotic-resistant organisms. We used random-effects models to calculate the pooled prevalence of each outcome. The study protocol is registered with PROSPERO, number CRD42016043681. FINDINGS: We identified 2274 articles, of which 23 observational studies reporting on antibiotic resistance in 2319 migrants were included. The pooled prevalence of any AMR carriage or AMR infection in migrants was 25·4% (95% CI 19·1-31·8; I2 =98%), including meticillin-resistant Staphylococcus aureus (7·8%, 4·8-10·7; I2 =92%) and antibiotic-resistant Gram-negative bacteria (27·2%, 17·6-36·8; I2 =94%). The pooled prevalence of any AMR carriage or infection was higher in refugees and asylum seekers (33·0%, 18·3-47·6; I2 =98%) than in other migrant groups (6·6%, 1·8-11·3; I2 =92%). The pooled prevalence of antibiotic-resistant organisms was slightly higher in high-migrant community settings (33·1%, 11·1-55·1; I2 =96%) than in migrants in hospitals (24·3%, 16·1-32·6; I2 =98%). We did not find evidence of high rates of transmission of AMR from migrant to host populations. INTERPRETATION: Migrants are exposed to conditions favouring the emergence of drug resistance during transit and in host countries in Europe. Increased antibiotic resistance among refugees and asylum seekers and in high-migrant community settings (such as refugee camps and detention facilities) highlights the need for improved living conditions, access to health care, and initiatives to facilitate detection of and appropriate high-quality treatment for antibiotic-resistant infections during transit and in host countries. Protocols for the prevention and control of infection and for antibiotic surveillance need to be integrated in all aspects of health care, which should be accessible for all migrant groups, and should target determinants of AMR before, during, and after migration. FUNDING: UK National Institute for Health Research Imperial Biomedical Research Centre, Imperial College Healthcare Charity, the Wellcome Trust, and UK National Institute for Health Research Health Protection Research Unit in Healthcare-associated Infections and Antimictobial Resistance at Imperial College London

    Surgical site infection after gastrointestinal surgery in high-income, middle-income, and low-income countries: a prospective, international, multicentre cohort study

    Get PDF
    Background: Surgical site infection (SSI) is one of the most common infections associated with health care, but its importance as a global health priority is not fully understood. We quantified the burden of SSI after gastrointestinal surgery in countries in all parts of the world. Methods: This international, prospective, multicentre cohort study included consecutive patients undergoing elective or emergency gastrointestinal resection within 2-week time periods at any health-care facility in any country. Countries with participating centres were stratified into high-income, middle-income, and low-income groups according to the UN's Human Development Index (HDI). Data variables from the GlobalSurg 1 study and other studies that have been found to affect the likelihood of SSI were entered into risk adjustment models. The primary outcome measure was the 30-day SSI incidence (defined by US Centers for Disease Control and Prevention criteria for superficial and deep incisional SSI). Relationships with explanatory variables were examined using Bayesian multilevel logistic regression models. This trial is registered with ClinicalTrials.gov, number NCT02662231. Findings: Between Jan 4, 2016, and July 31, 2016, 13 265 records were submitted for analysis. 12 539 patients from 343 hospitals in 66 countries were included. 7339 (58·5%) patient were from high-HDI countries (193 hospitals in 30 countries), 3918 (31·2%) patients were from middle-HDI countries (82 hospitals in 18 countries), and 1282 (10·2%) patients were from low-HDI countries (68 hospitals in 18 countries). In total, 1538 (12·3%) patients had SSI within 30 days of surgery. The incidence of SSI varied between countries with high (691 [9·4%] of 7339 patients), middle (549 [14·0%] of 3918 patients), and low (298 [23·2%] of 1282) HDI (p < 0·001). The highest SSI incidence in each HDI group was after dirty surgery (102 [17·8%] of 574 patients in high-HDI countries; 74 [31·4%] of 236 patients in middle-HDI countries; 72 [39·8%] of 181 patients in low-HDI countries). Following risk factor adjustment, patients in low-HDI countries were at greatest risk of SSI (adjusted odds ratio 1·60, 95% credible interval 1·05–2·37; p=0·030). 132 (21·6%) of 610 patients with an SSI and a microbiology culture result had an infection that was resistant to the prophylactic antibiotic used. Resistant infections were detected in 49 (16·6%) of 295 patients in high-HDI countries, in 37 (19·8%) of 187 patients in middle-HDI countries, and in 46 (35·9%) of 128 patients in low-HDI countries (p < 0·001). Interpretation: Countries with a low HDI carry a disproportionately greater burden of SSI than countries with a middle or high HDI and might have higher rates of antibiotic resistance. In view of WHO recommendations on SSI prevention that highlight the absence of high-quality interventional research, urgent, pragmatic, randomised trials based in LMICs are needed to assess measures aiming to reduce this preventable complication
    corecore