PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI MELINJO (Gnetum gnemon) TERHADAP KADAR KOLESTEROL LDL PADA TIKUS GALUR WISTAR (Rattus norvegicus) MODEL HIPERKOLESTEROLEMIA

Kolesterol LDL serum yang tinggi merupakan kondisi yang mendasari terjadinya aterosklerosis yang berujung pada penyakit kardiovaskuler dan modifikasi diet dianjurkan pada kondisi ini, misalnya dengan meningkatkan konsumsi sayuran. Melinjo (Gnetum gnemon) merupakan tumbuhan asli Indonesia yang mudah diperoleh dan ekstrak biji melinjo mengandung berbagai macam stilbenoid yang tergolong senyawa resveratrol beserta turunannya. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa resveratrol dapat menurunkan kadar kolesterol LDL serum dengan menghambat HMG-KoA reduktase. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak biji melinjo terhadap penurunan kadar kolesterol LDL pada tikus yang diberi diet tinggi lemak. Penelitian ini menggunakan rancangan randomized pre-post test control group design yang terdiri dari lima kelompok (n=5). Diet tinggi lemak diberikan berupa pakan otak sapi selama 29 hari (2 ml/hari). Kelompok perlakuan diberi ekstrak biji melinjo dosis 250, 500, dan 2000 mg/kgbb/hari. Ekstrak biji melinjo mulai diberikan hari ke-16 sampai hari ke-29. Kadar kolesterol LDL serum diperiksa dengan spektrofotometer. Data dianalisis dengan paired sample t-test dan One-Way ANOVA. Hasil paired sample t-test menunjukkan terdapat penurunan bermakna kadar kolesterol LDL serum setelah pemberian ekstrak biji melinjo pada kelompok yang mendapat dosis 2000 mg/kgbb/hari (p=0,003), sedangkan pada dosis lain tidak terdapat penurunan LDL serum yang bermakna. Uji One-Way ANOVA antar kelompok perlakuan menunjukkan tidak terdapat perbedaan kadar kolesterol LDL serum yang bermakna (p=0,531). Disimpulkan bahwa pemberian ekstrak biji melinjo dapat menurunkan kadar kolesterol LDL serum pada tikus yang diinduksi diet tinggi lemak pada dosis 2000 mg/kgbb/hari. Kata kunci: Kolesterol, LDL, melinj

Taking movement data to new depths : Inferring prey availability and patch profitability from seabird foraging behavior

Funded byNatural Environment Research Council. Grant Number: NE/K007440/1 and Marine Scotland Science and Seabird Tracking and Research (STAR) Project led by the Royal Society for the Protection of Birds (RSPB)Peer reviewedPublisher PD

Pengaruh Pemberian Ekstrak Biji Melinjo (Gnetum gnemon) Terhadap Kadar Kolesterol LDL Pada Tikus Galur Wistar (Rattus norvegicus) Model Hiperkolesterolemia

Melinjo (Gnetum gnemon) merupakan tumbuhan asli Indonesia yang mudah diperoleh dan ekstrak biji melinjo mengandung berbagai macam stilbenoid yang tergolong senyawa resveratrol beserta turunannya. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa resveratrol dapat menurunkan kadar kolesterol LDL serum melalui penghambatan HMG-KoA reduktase. Tujuan penelitian ini adalah meneliti pengaruh pemberian ekstrak biji melinjo terhadap penurunan kadar kolesterol LDL pada tikus yang diberi diet tinggi lemak. Penelitian ini menggunakan rancangan randomized pre-post test control group design yang terdiri dari lima kelompok (n=5). Diet tinggi lemak diberikan berupa pakan otak sapi selama 29 hari (2 ml/hari). Kelompok perlakuan diberi ekstrak biji melinjo dosis 250, 500, dan 2000 mg/kgbb/hari. Ekstrak biji melinjo mulai diberikan hari ke-16 sampai hari ke-29. Kadar kolesterol LDL serum diperiksa dengan spektrofotometer. Data dianalisis dengan paired sample t-test dan One-Way ANOVA. Hasil paired sample t-test menunjukkan terdapat penurunan bermakna kadar kolesterol LDL serum setelah pemberian ekstrak biji melinjo pada kelompok yang mendapat dosis 2000 mg/kgbb/hari (p=0,003), sedangkan pada dosis lain tidak terdapat penurunan LDL serum yang bermakna. Uji One-Way ANOVA antar kelompok perlakuan menunjukkan tidak terdapat perbedaan kadar kolesterol LDL serum yang bermakna (p=0,531). Disimpulkan bahwa pemberian ekstrak biji melinjo dapat menurunkan kadar kolesterol LDL serum pada tikus yang diinduksi diet tinggi lemak pada dosis 2000 mg/kgbb/hari

Identification of prey captures in Australian Fur Seals (Arctocephalus pusillus doriferus) using head-mounted accelerometers: field validation with animal-borne video cameras

This study investigated prey captures in free-ranging adult female Australian fur seals (Arctocephalus pusillus doriferus) using head-mounted 3-axis accelerometers and animal-borne video cameras. Acceleration data was used to identify individual attempted prey captures (APC), and video data were used to independently verify APC and prey types. Results demonstrated that head-mounted accelerometers could detect individual APC but were unable to distinguish among prey types (fish, cephalopod, stingray) or between successful captures and unsuccessful capture attempts. Mean detection rate (true positive rate) on individual animals in the testing subset ranged from 67-100%, and mean detection on the testing subset averaged across 4 animals ranged from 82-97%. Mean False positive (FP) rate ranged from 15-67% individually in the testing subset, and 26-59% averaged across 4 animals. Surge and sway had significantly greater detection rates, but also conversely greater FP rates compared to heave. Video data also indicated that some head movements recorded by the accelerometers were unrelated to APC and that a peak in acceleration variance did not always equate to an individual prey item. The results of the present study indicate that head-mounted accelerometers provide a complementary tool for investigating foraging behaviour in pinnipeds, but that detection and FP correction factors need to be applied for reliable field application

Convergent Foraging Tactics of Marine Predators with Different Feeding Strategies across Heterogeneous Ocean Environments

Advances in satellite tracking and archival technologies now allow marine animal movements and behavior to be recorded at much finer temporal scales, providing a more detailed ecological understanding that can potentially be applicable to conservation and management strategies. Pelagic sharks are commercially exploited worldwide with current concerns that populations are declining, however, how pelagic sharks use exploited environments remains enigmatic for most species. Here we analyzed high-resolution dive depth profiles of two pelagic shark species with contrasting feeding strategies to investigate movement patterns in relation to environmental heterogeneity. Seven macropredatory blue (Prionace glauca) and six plankton-feeding basking (Cetorhinus maximus) sharks were tagged with pop-off satellite-linked archival tags in the North Atlantic Ocean to examine habitat use and investigate the function of dives. We grouped dives of both species into five major categories based on the two-dimensional dive profile shape. Each dive-shape class presented similar frequency and characteristics among the two species with U- and V-shaped dives predominating. We tested the spatial occurrence of different U- and V-shape dive parameters in response to environmental field gradients and found that mean depth and mean depth range decreased with increasing levels of primary productivity (chlorophyll “a”), whereas ascent velocities displayed a positive correlation. The results suggest that a planktivore and a macropredator responded behaviourally in similar ways to environmental heterogeneity. This indicates fine-scale dive profiles of shark species with different feeding strategies can be used to identify key marine habitats, such as foraging areas where sharks aggregate and which may represent target areas for conservation

Penentuan Korelasi Antara Kadar Sineol Yang Ditetapkan Secara Spekttrofotodensitometri Dengan Indeks Bias Dan Bobot Jenis Dari Sepuluh Produk Minyak Kayu Putih Yang Berbeda

Kadar sineol merupakan kriteria utama penilaian mutu minyak kayu putih yang dapat ditetapkan antara lain secara penentuan titik beku minyak, spektrofotodensitometri dan kromatografi gas. Penetapan kadar sineol secara penentuan titik beku minyak mempunyai banyak kelemahan sedangkan produksi dan penggunaan minyak kayu putih makin meningkat akhir-akhir ini, sehingga perlu dicari suatu metode yang mudah, sederhana dan cepat untuk mengetahui mutu minyak kayu putih berdasarkan kadar kandungan sineolnya. Spekttrofotodensitometri mepunyai sensitivitas yang tinggi dalam hal penetapan kadar, pengerjaannya relatif cepat, dan sederhana, sedangkan penentuan bobot jenis dan indeks bias minyak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat dengan cara dan peralatan yang sederhana pula. Berdasarkan semua permasalahan diatas maka ingin diketahui apakah terdapat korelasi antara kadar sineol yang ditetapkan secara Spekttrofotodensitometri dengan indeks bias dan bobot jenis minyak kayu putih. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa antara kadar sineol yang ditetapkan secara Spekttrofotodensitometri dengan indeks bias minyak kayu putih dari 10 produk yang berbeda tidak terdapat korelasi yang berarti. Hal ini ditunjukkan dengan harga koefisien korelasi sebesar -0,1487 dan setelah diuji keberartiannya secara statistik didapatkan t hitung = -0,425 (t tabel = 3,355). Antara kadar sineol yang ditetapkan secara Spekttrofotodensitometri dengan bobot jenis minyak kayu putih dari l0 produk yang berbeda terdapat korelasi yang berarti. Hal ini ditunjukkan dengan harga koefisien korelasi sebesar 0,8159 dan setelah diuji keberartiannya secara statistik didapatkan t hitung =3,991 (t tabel = 3,355

Conception d'une structure à parois minces en béton textile

Le béton textile est un nouveau matériau qui combine les propriétés d’une armature non-métallique coulés dans une matrice à base de ciment à haute résistance. C’est un matériau performant tant pour ses qualités structurelles qu’en terme d’application en développement durable et en recherche architecturale. L’état des connaissances sur le béton textile est peu avancé. Des applications pour ce matériau existent, mais ne sont pas utilisées du fait de l’absence de normes régissant son utilisation. Ainsi depuis une vingtaine d’années, différents laboratoires universitaires, développent des projets de recherche autour de ce matériau afin de mieux connaitre ses propriétés et de le rendre exploitable à grande échelle. Ce projet de master a pour but de conceptualiser, pré-dimensionner, construire et tester une poutre en béton textile. La poutre sera caractérisée par une section variable et des parois minces. L’objectif sera de montrer la faisabilité d’un tel élément et de montrer dans quelles mesures il peut être préfabriqué. Grâce au coffrages fabriqués durant ce projet, une poutre de trois mètres et une poutre de cinq mètres ont été coulées. Nous verrons en détail comment cela s’est passé, et comment cela ouvre une porte vers la préfabrication

Nonlinear dose-response relationship for the binding of the carcinogen benzo(a)pyrene to rat liver DNA in vivo

Wlth radioactive compound of high specific activity, the binding of carcinogene to DNA can be measured wlth doses that are ineffective ln long-term studies. The binding of tritiated benzo(a )pyrene to liver DNA of adult male rats has been determined 50 hr after a singie l.p. injection of doses between 40 1'9/kg and 4 mg/kg. The doseresponse relationship is linear up to 1 mg/kg, shows a step towards 2 mg/kg, and gives a shallow linear slope above that value. The observed binding ranges from 1.7 to 180 nmoles benzo(a)pyrene per mole DNA phosphate. The nonlinearity could be due to an induction of metabolizing enzymes. The microsomal aryl hydrocarbon hydroxylase activity increases significantly 24 hr after a single dose of 4 mg/kg and 48 hr after doses of 2 and 4 mg/kg, but no induction Ia found with 1 mg/kg. The binding from an equimolar dose is 35 times lower than the one found on mouse skin DNA and 300 times lower than that of N,Ndlmethylnitrosamine in rat liver. A good correlatlon exiats to the respective tumor formation in long-term studles