80 research outputs found
Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP) Produk Garmen pada PT. PancaPrima EkaBrothers, Tangerang
BRATA LESMANA MEKANIA. 2002. Perencanaan Kebutuhan Kapasitas
(CRP) Produk Garmen pada PT. PancaPrima EkaBrothers, Tangerang.
SYAMSUL MA'ARIF dan SRI HARTOYO.
Industri tekstii mulai berkembang dengan pesat di Indonesia sejak
dikeluarkannya Undang-undang PMA dan PMDN pada tahun 1967 dan 1968.
Membaiknya iklim usaha menjadikan industri baik serat sintetis maupun industri
pertenunan clan pemintalan semakin meningkat. Pa& akhir dasawarsa 1980-an
diieluarkan berbagai paket deregulasi guna meningkatkan ekspor non-migas
namun kebijakan tersebut lebii berorientasi pada sasaran ekspor. Dampak dari
kebijakan tersebut di atas adalah ekspor tekstil dan garmen melonjak terutama
sejak tahun 1987, namun pada tahun 1993 dan 1994 tejadi penurunan. Kemudian
pada tahun 1996 sedikit derni sedikit mengalami kenaikan lagi, akhirnya menurun
lagi pada tahun 1997 hingga sekarang ini.
Kunci sukses industri garmen dalam menembus pasar ekspor yaitu terletak
pada produk yang bermutu tinggi, produktivitas yang tinggi, penman barang
tepat waktu dan harga yang bersaing. Untuk mendukung hal tersebut, suatu
produk yang bennutu dan produktivitas yang tinggi, tidak cukup mengandallcan
mutu bahan baku saja tetapi juga akurasi penjahitan, kecepatan produksi dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu diperlukan
perencanaan produksi produk garment yang terpadu.
Berproduksi secata tepat waktu dan tepat jumlah merupakan tujuan yang
hams dicapai oleh PT PEB terutama pada bagian cutting dan embroidery. Oleh
karena itu diperlukan suatu perencanaan kebutuhan kapasitas (Cupcity
Requirements Planning = CRP) yang baik dan tepat sehingga &pat dijadiian
panduan dalam proses pengambilan keputusan manajemen. PT PEB dalam
melakukan proses produksinya dihadapkan pada kendala-kendala antara lain :
Waktu pelaksanaan operasi (run time) yang tidak merniliki standar yang baku dan
kapasitas produksi pada bagian cutting dan embroidery yang belum tepat
perencanaannya sehingga penjadwalan pada kedua pusat kerja (work station =
WSMQ tidak tepat mengikut jadwal bagian produksi (sewing). Selanjutnya
dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas maka rumusan pennasalahan
yang dianalisa yaitu bagaimana faktor-faktor produksi mempengaruhi perhitungan
perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP) dan bagaimana membuat laporan
perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP) pada sentra keja cutting dan bordir
sesuai dengan sumber daya yang dirniliki perusahaan.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengidenmasi variabel-variabel yang
berpengaruh terhadap pengukuran perencanaan kebutuhan kapasitas pada bagian
cutting dan embroidery/printing. menentukan rencana kebutuhan kaoasitas vada
sentra- keja cutting dan embr~~dery/printingbagi PT PEB yang*disesu&an
dengan order yang diterima dan memberikan rekomendasi perencanaan
kebutuhan kapasitas berupa laporan CRP pada bagian cutting dan
embroideiylprinting untuk order yang diterima perusahaan.
�
Ruang lingkup penelitian manajemen produksi dan operasi ini difokuskan
kepada pengkajian kegiatan perencanaan kebutuhan kapasitas khususnya pada
bagian cutting dan embroidery/printing yang mendukung kebutuhan dari bagian
produksi (sewing), dimulai dengan penentuan time study sampai dengan konsep
perhitungan kebutuhan kapasitas yang mampu menunjang kelancaran produksi
dari bagian cutting dan embroidery/printing. Penelitian ini hanya sarnpai pada
tahap pengajuan alternatif sedanghn tahap selanjutnya berupa implementasi
merupakan kewenangan manajemen PT PancaPrima EkaBrothers (PEB).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
yang bersifat studi kasus. Studi kasus ini secara khusus membahas perhitungan
perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP) yang akan dilakukan oleh PT PEB.
Sementara data-data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh melalui
mdode pengamatan langsung di lapangan berupa standar pengukuran
produktivitas yaitu time study, diskusi lapangan dengan operator, foreman,
supervisor, dan manajer produksiiteknis, serta manajemen PT PEB. Data-data
yang telah diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisa dengan rumus/formula baku
Time Siudy, Productivity Emboidev (TAW), utilisasi, effisiensi, dan kapasitas
terpasang (Rated Capacity).
Variabel yang sangat mempengamhi dalam perhitungan CRP ini yaitu time
study dengan memandang pentingnya lead time, pada hasil pengamatan ada Lima
elemen lead time yang semestinya diiangkum dalam proses produksi di WC-1 dan
WC-2 untuk menentukan waktu standarlactual, routing atau alur penugasan pada
kedua WC ini haws lebii jelas sehingga kelima elemen ini dapat diperhatikan.
Kelima elemen tersebut adalah : (1) Waktu antrian (queue time), merupakan
waktu menunggu sebelum operasi diiulai. (2) Waktu Setup (setup time),
merupakan waktu setup mesin agar siap beroperasi. (3) Waktu pelaksanaan (run
time), merupakan waktu melaksanakan operasi. (4) waktu menunggu (wait t~me),
merupakan waktu menunggu setelah operasi berakhir. (5) Waktu Bergerak (move
time), merupakan waktu bergerak secara fisik diantara operasi yang satu dan
operasi lain.
Waktu pelaksanaan (run time) rnerupakan elemen yang saat ini digunakan,
karena manajemen melihat saat ini dan dari pengalaman terdahulu para operator,
alat pernbantu, helper (operator pembantu) telah melakukan gerakan atau kerja
proses yang cepat sehingga keempat elemen lainnya untuk saat ini diabaikan.
Selain variabel time study ada variabel lain yang penting pula diperhatikan
yaitu bahan baku dan proses pembuatan produk gmen itu sendiri yang tidak
seragam, artinya setiap produk garmen yang dihasilkan berbeda komponen bahan
bakunya. Komponen yang berbeda ini bukan dari jenis bahan baku atau material
pendukung lainya, tetapi susunan komponen setiap order garmen yang diterima
berbeda bahkan jurnlahnya juga berbeda, baik berdasarkan order per season
ataupun style.
Hasil dari perhitungan CRP dan pengamatan untuk kedua produk garmen
yaitu pant (5569 pcs) dan short (27986 pcs) pada WC-1 dan WC-2 terjadi
ketidakseimbangan antara kapasitas dan beban kerja. Pada laporan CRP
dinyatakan bahwa kapasitas terpasang untuk WC-1 1350.63 rne~t@ant) dan
3792.27 rne~t(short) sedangkan kapasitas aktual 1740.32 menit (pant) dan
4206.16 menit (short) , tejadi over capacity 389.69 menit (pant) dan 413.89
menit (short). Pada WC-2 juga terjadi hal yang sama yaitu over capacity sebesar
�
258.13 menit @ant) dan 1297.19 menit (short). Pada distribusi beban keja untuk
kedua WC tersebut juga diketahui adanya kelebiian beban keja. Penentuan beban
kerja dilakukan dengan menggunakan in$nite loading (tanpa pemabatasan beban
kerja) bersamaan diiakukan penjadwalan ke belakang. Hal ini mengakibatkan
ketidakseimbangan antara kapasitas dan beban.
Hasil lain yang didapat dengan melakukan pengukuran time study pada
kedua WC tersebut yaitu pada WC-2 belum mencapai tingkat produktivitas yang
diinginkan oleh manajemen. Hasii perhitungan produktivitas yang digunakan
untuk mengukur kapasitas pada WC-2 menyatakan WC-2 hanya mampu
mencapai 67.11% (tertinggi) dan 27.59% (terendah) produktivitas yang dicapai
pada WC-2, saat ini produktivitas yang diinginkan oleh manajemen idealnya
adalah 80%.
Implikasi dari temuan di atas mengharuskan manajemen untuk
menyeimbangkan kapasitas dengan beban kerja pada tiap WC. Ada beberapa
tindakan yang mungkin dapat diambii akibat dari ketidakseimbangan atau
perbedaan antara kapasitas yang ada dan beban yang dibutuhkan.
Tidakan-tindakan ini dapat diiakukan secara sendiri atau dalam berbagai
bentuk kombiiasi yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi aktual dari PT
PEB, yaitu dengan : (1) Meningkatkan Kapasitas (Increasing Capacity) dengan
cara : (a) menambah ekstra shift, (b) menjadwalkan lernbur (over trme) atau
bekerja di akhir pekan (work weekend), (c) menambah peralatan bordii, alat bantu
seperti meja gelar danlatau personel, (d) melakukan subkontrak satu atau lebii
dari shop order. (2) Mengurangi Beban (Reducing Load), dengan cara (a)
melakukan subkontrak pekejaan ke pernasok luar, (b) Mengurangi ukuran lot, (c)
melakukan penjadwalan ulang seluruh order yang diterima, (d) menahan
pekejaan dalam pengendalian produksi atau mengeluakan pesanan lebii lambat
(karena setiap pesanan yang ada telah memiliki waktu jatuh tempo yang sama
yaitu 90 hari), (3) mendistribusikan Kemabali Beban (Redistrzbuting Load),
dengan cara (a) menggunakan alternatif work center artinya WC-1 proses pada
bagian cutting yaitu dengan membuat parthagian yang akan diianjutkan pada
WC-2 bordii jadi bagian lainnya menunggu dalam antrian, (b) menggunakan
alternatif routinglalur penugasan, (c) menyesuaikan tanggal mulai operasi ke
belakang (lebii awal atau lebii lambat, dikombimsikan sesuai kondisi aktual).
Sedangkan tindakan yang perlu dilakukan oleh manajernen untuk
meningkatkan produktivitas dari hasil bordir, dapat dilakukan dengan
mempersimgkat waktu proses bordii, Cara yang palimg mudah yaitu dengan
merubah metode keja dari bagian bordir baik itu dengan scheduling yang lebih
baik, dan yang paling penting memberikan pengertian kepada operator mengenai
pentingnya ketepatan dan kecepatan dari proses pra bordir yaitu set up,
pemasangan fiame dan kecepatan menghadapi hambatan pada saat proses bordir
seperti penaganan secara cepat dan tepat jiia jarum patah, benang lepas dan
kendala lainnya. Peningkatan produktivitas tidak dapat dilakukan dengan
melakukan perbaikan pada mesin bordir, namun dapat diianipulasi dengan
perbaikan kinerja dari bagian bordir secara keseluruhan.
Penggunaan CRP memberikan penilaian secara terperinci dari sumber-
sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan order manufakturing.
Pengukuran yang dilakukan dari konsep CRP ini telah membuka wawasan bagi
para foreman, supervisor, dan pihak manajemen di WC terkait akan pentingnya
�
melakukan perhitungan CRP, karena CRP mampu memberikan time-phased
visibiliy dari ketidakseimbangan kapasitas dan beban sehingga manajemen hams
mulai mengambii keputusan dengan menyiapkan sistem pengukuran dan alat
bantu lainnya untuk melakukan tahap awd dari komponen CRP yaitu Time Study.
CRP juga mampu mengkonfirmasi bahwa kapasitas cukup, dan ada pada basis
kumulatif sepanjang horizon perencanaan. Manajemen dapat mempertimbangkan
ukuran lot spesifik dan ratings atau alur penugasan serta alternatif WC jika
terjadi unbalancing antara kapasitas dan beban. Manajemen manpu
memperkirakan lead time yang lebih tepat dan mengehnhirlmenghilangkan
erratic lead times (waktu tunggu yang tidak menentu) dengan cara memberikan
data untuk memuluskan beban seoaniana sentra-sentra keria (WO.
.<-
Dari berbagai alternatif yang a& dalam rangka mknieimbangkan kapasitas
dan beban, maka dengan mempertimbangkan biaya produksi maka pelatihan
internal SDM untuk meningkatkan produktivitas, peningkatan performance kerja
dan rescheduling adalah alternatif solusi yang lebih baik untuk mengatasi ketidak
seimbangan antara kapasitas dan beban pada setiap sentra kerja (WC).
Dari hasil pengamatan dan analisa yang dilakukan di PT PEB, maka
disarankan bagi manajemen perusahaan untuk dapat mempertimbangkan
Penggunaan CRP dengan mengikuti tahapan MRP 11secara keseluruhan karena
CRP tidak dapat berdiri sendii, CRP merupakan satu kesatuan yang terintegrasi
dalam MRP 11dan untuk pembebanan dauat dicoba oenagunan metode lain seoerti
. --
program finite loading, sijdan dengan pinggunam konsep-konsep yang telah ada
sekarang. Selain itu untuk menyeimbangkan kapasitas dan beban kerja,
manajeien lebih disarankan untuk helakukan penjadwalan ulang untuk jadwd
induk utama dengan pertimbangan akan meminimalkan biaya produksi jika
dibandingkan dengan penambahan shift, panjadwalan lembur, menambah
peralatan/personel. Namun pada special case hal-ha1 terebut dapat diiakukan atau
dengan subkontrak. Perusahaan juga disarankan untuk mengembangkan program-
program pelatihan dasar-dasar manufaktur, kepemimpinan, dan pelatihan
mengenai proses berkelanjutan yang diperlukan guna meningkatkan kerja sama
antara tiap-tiap work center, dan untuk mendukung implementasi dari perbaikan-
perbaikan yang dilakukan oleh perusahaan
Effects on Smoking Cessation: Naltrexone Combined with a Cognitive Behavioral
A promising option in substance abuse treatment is the Community Reinforcement Approach (CRA). The opioid antagonist naltrexone (NTX) may work in combination with nicotine replacement therapy (NRT) to block the effects of smoking stimuli in abstinent smokers. Effects of lower doses than 50 mg/dd. have not been reported. A study was conducted in Amsterdam in 2000/2001 with the objective to explore the effects of the combination NTX (25/50-mg dd.), NRT, and CRA in terms of craving and abstinence. In a randomized open label, 2 × 2 between subjects design, 25 recovered spontaneous pneumothorax (SP) participants received 8 weeks of treatment. Due to side effects, only 3 participants were compliant in the 50-mg NTX condition. Craving significantly declined between each measurement and there was a significant interaction between decline in craving and craving measured at baseline. The abstinence rate in the CRA group was nearly double that in the non-psychosocial therapy group (46% vs. 25%; NS) at 3 months follow-up after treatment
Epidemiology of taeniosis/cysticercosis in Europe, a systematic review : Western Europe
Background: Taenia solium and Taenia saginata are zoonotic parasites of public health importance. Data on their occurrence in humans and animals in western Europe are incomplete and fragmented. In this study, we aimed to update the current knowledge on the epidemiology of these parasites in this region. Methods: We conducted a systematic review of scientific and grey literature published from 1990 to 2015 on the epidemiology of T. saginata and T. solium in humans and animals. Additionally, data about disease occurrence were actively sought by contacting local experts in the different countries. Results: Taeniosis cases were found in twelve out of eighteen countries in western Europe. No cases were identified in Iceland, Ireland, Luxembourg, Norway, Sweden and Switzerland. For Denmark, Netherlands, Portugal, Slovenia, Spain and the UK, annual taeniosis cases were reported and the number of detected cases per year ranged between 1 and 114. Detected prevalences ranged from 0.05 to 0.27%, whereas estimated prevalences ranged from 0.02 to 0.67%. Most taeniosis cases were reported as Taenia spp. or T. saginata, although T. solium was reported in Denmark, France, Italy, Spain, Slovenia, Portugal and the UK. Human cysticercosis cases were reported in all western European countries except for Iceland, with the highest number originating from Portugal and Spain. Most human cysticercosis cases were suspected to have acquired the infection outside western Europe. Cases of T. solium in pigs were found in Austria and Portugal, but only the two cases from Portugal were confirmed with molecular methods. Germany, Spain and Slovenia reported porcine cysticercosis, but made no Taenia species distinction. Bovine cysticercosis was detected in all countries except for Iceland, with a prevalence based on meat inspection of 0.0002-7.82%. Conclusions: Detection and reporting of taeniosis in western Europe should be improved. The existence of T. solium tapeworm carriers, of suspected autochthonous cases of human cysticercosis and the lack of confirmation of porcine cysticercosis cases deserve further attention. Suspected cases of T. solium in pigs should be confirmed by molecular methods. Both taeniosis and human cysticercosis should be notifiable and surveillance in animals should be improved.Peer reviewe
Hundreds of variants clustered in genomic loci and biological pathways affect human height
Most common human traits and diseases have a polygenic pattern of inheritance: DNA sequence variants at many genetic loci influence the phenotype. Genome-wide association (GWA) studies have identified more than 600 variants associated with human traits, but these typically explain small fractions of phenotypic variation, raising questions about the use of further studies. Here, using 183,727 individuals, we show that hundreds of genetic variants, in at least 180 loci, influence adult height, a highly heritable and classic polygenic trait. The large number of loci reveals patterns with important implications for genetic studies of common human diseases and traits. First, the 180 loci are not random, but instead are enriched for genes that are connected in biological pathways (P = 0.016) and that underlie skeletal growth defects (P < 0.001). Second, the likely causal gene is often located near the most strongly associated variant: in 13 of 21 loci containing a known skeletal growth gene, that gene was closest to the associated variant. Third, at least 19 loci have multiple independently associated variants, suggesting that allelic heterogeneity is a frequent feature of polygenic traits, that comprehensive explorations of already-discovered loci should discover additional variants and that an appreciable fraction of associated loci may have been identified. Fourth, associated variants are enriched for likely functional effects on genes, being over-represented among variants that alter amino-acid structure of proteins and expression levels of nearby genes. Our data explain approximately 10% of the phenotypic variation in height, and we estimate that unidentified common variants of similar effect sizes would increase this figure to approximately 16% of phenotypic variation (approximately 20% of heritable variation). Although additional approaches are needed to dissect the genetic architecture of polygenic human traits fully, our findings indicate that GWA studies can identify large numbers of loci that implicate biologically relevant genes and pathways.
Frailty is associated with in-hospital mortality in older hospitalised COVID-19 patients in the Netherlands:the COVID-OLD study
BACKGROUND: During the first wave of the coronavirus disease 2019 (COVID-19) pandemic, older patients had an increased risk of hospitalisation and death. Reports on the association of frailty with poor outcome have been conflicting. OBJECTIVE: The aim of the present study was to investigate the independent association between frailty and in-hospital mortality in older hospitalised COVID-19 patients in the Netherlands. METHODS: This was a multicentre retrospective cohort study in 15 hospitals in the Netherlands, including all patients aged ≥70 years, who were hospitalised with clinically confirmed COVID-19 between February and May 2020. Data were collected on demographics, co-morbidity, disease severity and Clinical Frailty Scale (CFS). Primary outcome was in-hospital mortality. RESULTS: A total of 1,376 patients were included (median age 78 years (interquartile range 74-84), 60% male). In total, 499 (38%) patients died during hospital admission. Parameters indicating presence of frailty (CFS 6-9) were associated with more co-morbidities, shorter symptom duration upon presentation (median 4 versus 7 days), lower oxygen demand and lower levels of C-reactive protein. In multivariable analyses, the CFS was independently associated with in-hospital mortality: compared with patients with CFS 1-3, patients with CFS 4-5 had a two times higher risk (odds ratio (OR) 2.0 (95% confidence interval (CI) 1.3-3.0)) and patients with CFS 6-9 had a three times higher risk of in-hospital mortality (OR 2.8 (95% CI 1.8-4.3)). CONCLUSIONS: The in-hospital mortality of older hospitalised COVID-19 patients in the Netherlands was 38%. Frailty was independently associated with higher in-hospital mortality, even though COVID-19 patients with frailty presented earlier to the hospital with less severe symptoms
Transiting exoplanets from the CoRoT space mission. VIII. CoRoT-7b: the first super-Earth with measured radius
Copyright © The European Southern Observatory (ESO)Aims. We report the discovery of very shallow (ΔF/F ≈ 3.4×10−4), periodic dips in the light curve of an active V = 11.7 G9V star observed by the CoRoT satellite, which we interpret as caused by a transiting companion. We describe the 3-colour CoRoT data and complementary ground-based observations that support the planetary nature of the companion.
Methods. We used CoRoT colours information, good angular resolution ground-based photometric observations in- and out- of transit, adaptive optics imaging, near-infrared spectroscopy, and preliminary results from radial velocity measurements, to test the diluted eclipsing binary scenarios.
The parameters of the host star were derived from optical spectra, which were then combined with the CoRoT light curve to derive parameters of the companion.
Results. We examined all conceivable cases of false positives carefully, and all the tests support the planetary hypothesis. Blends with separation >0.40'' or triple systems are almost excluded with a 8 × 10−4 risk left. We conclude that, inasmuch we have been exhaustive, we have discovered a planetary companion, named CoRoT-7b, for which we derive a period of 0.853 59 ± 3 × 10−5 day and a radius of Rp = 1.68 ± 0.09 REarth. Analysis of preliminary radial velocity data yields an upper limit of 21 MEarth for the companion mass, supporting the finding.
Conclusions. CoRoT-7b is very likely the first Super-Earth with a measured radius. This object illustrates what will probably become a common situation with missions such as Kepler, namely the need to establish the planetary origin of transits in the absence of a firm radial velocity detection and mass measurement. The composition of CoRoT-7b remains loosely constrained without a precise mass. A very high surface temperature on its irradiated face, ≈1800–2600 K at the substellar point, and a very low one, ≈50 K, on its dark face assuming no atmosphere, have been derived
Multi-trait analysis characterizes the genetics of thyroid function and identifies causal associations with clinical implications
To date only a fraction of the genetic footprint of thyroid function has been clarified. We report a genome-wide association study meta-analysis of thyroid function in up to 271,040 individuals of European ancestry, including reference range thyrotropin (TSH), free thyroxine (FT4), free and total triiodothyronine (T3), proxies for metabolism (T3/FT4 ratio) as well as dichotomized high and low TSH levels. We revealed 259 independent significant associations for TSH (61% novel), 85 for FT4 (67% novel), and 62 novel signals for the T3 related traits. The loci explained 14.1%, 6.0%, 9.5% and 1.1% of the total variation in TSH, FT4, total T3 and free T3 concentrations, respectively. Genetic correlations indicate that TSH associated loci reflect the thyroid function determined by free T3, whereas the FT4 associations represent the thyroid hormone metabolism. Polygenic risk score and Mendelian randomization analyses showed the effects of genetically determined variation in thyroid function on various clinical outcomes, including cardiovascular risk factors and diseases, autoimmune diseases, and cancer. In conclusion, our results improve the understanding of thyroid hormone physiology and highlight the pleiotropic effects of thyroid function on various diseases
Multi-trait analysis characterizes the genetics of thyroid function and identifies causal associations with clinical implications
To date only a fraction of the genetic footprint of thyroid function has been clarified. We report a genome-wide association study meta-analysis of thyroid function in up to 271,040 individuals of European ancestry, including reference range thyrotropin (TSH), free thyroxine (FT4), free and total triiodothyronine (T3), proxies for metabolism (T3/FT4 ratio) as well as dichotomized high and low TSH levels. We revealed 259 independent significant associations for TSH (61% novel), 85 for FT4 (67% novel), and 62 novel signals for the T3 related traits. The loci explained 14.1%, 6.0%, 9.5% and 1.1% of the total variation in TSH, FT4, total T3 and free T3 concentrations, respectively. Genetic correlations indicate that TSH associated loci reflect the thyroid function determined by free T3, whereas the FT4 associations represent the thyroid hormone metabolism. Polygenic risk score and Mendelian randomization analyses showed the effects of genetically determined variation in thyroid function on various clinical outcomes, including cardiovascular risk factors and diseases, autoimmune diseases, and cancer. In conclusion, our results improve the understanding of thyroid hormone physiology and highlight the pleiotropic effects of thyroid function on various diseases.</p
Multi-trait analysis characterizes the genetics of thyroid function and identifies causal associations with clinical implications
To date only a fraction of the genetic footprint of thyroid function has been clarified. We report a genome-wide association study meta-analysis of thyroid function in up to 271,040 individuals of European ancestry, including reference range thyrotropin (TSH), free thyroxine (FT4), free and total triiodothyronine (T3), proxies for metabolism (T3/FT4 ratio) as well as dichotomized high and low TSH levels. We revealed 259 independent significant associations for TSH (61% novel), 85 for FT4 (67% novel), and 62 novel signals for the T3 related traits. The loci explained 14.1%, 6.0%, 9.5% and 1.1% of the total variation in TSH, FT4, total T3 and free T3 concentrations, respectively. Genetic correlations indicate that TSH associated loci reflect the thyroid function determined by free T3, whereas the FT4 associations represent the thyroid hormone metabolism. Polygenic risk score and Mendelian randomization analyses showed the effects of genetically determined variation in thyroid function on various clinical outcomes, including cardiovascular risk factors and diseases, autoimmune diseases, and cancer. In conclusion, our results improve the understanding of thyroid hormone physiology and highlight the pleiotropic effects of thyroid function on various diseases.</p
- …