9 research outputs found

    Denial of long-term issues with agriculture on tropical peatlands will have devastating consequences

    Get PDF
    Non peer reviewe

    Inventarisasi Jenis Tanaman Penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu di Hutan Nagari Paru, Sijunjung, Sumatera Barat

    Full text link
    Hutan memainkan peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang berada di sekitarnya, terutama dalam menyediakan hasil hutan bukan kayu (HHBK). HHBK umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsistence) dan menambah pendapatan rumah tangga. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis tanaman yang menghasilkan HHBK di Hutan Nagari Paru di Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat. Pengambilan data dilakukan melalui survei lapangan dengan menggunakan 98 plot berukuran 0,1 ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Nagari Paru memanfaatkan berbagai jenis HHBK dari generasi ke generasi sebagai sumber makanan, obat-obatan, kerajinan tangan, pewarna, resin, bangunan, ritual adat, dan keperluan lainnya. Hutan Nagari Paru terjaga dengan kearifan lokal dan hukum adat yang kuat, sehingga memiliki keanekaragaman jenis tanaman penghasil HHBK yang tinggi dengan total 98 jenis. Namun, perlu dicatat bahwa metode pemanfaatan ekstraktif tanpa pembatasan jumlah HHBK yang diambil akan menyebabkan berkurangnya ketersediaan HHBK di masa depan. Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan volume HHBK yang dapat pembudidayaan tanaman penghasil HHBK yang bernilai tinggi di lahan masyarakat. Dengan demikian, pelestarian hutan lindung dan ketersediaan HHBK diharapkan dapat dipertahankan dan kesejahteraan masyarakat dapat meningkat

    PEMBINAAN PROFESIONAL GURU SEKOLAH DASAR DAERAH TERPENCIL

    No full text
    Abstract: This study aims to describe the professional development of elementary school teachers in remote areas in the UPTD Damang Batu working area, seen from the aspects of: (1) elementary teacher professional development through: (a) Intensive Development, (b) Cooperative Development, (c) Self Directed Development, and (2) Supporting factors and obstacles encountered in the professional development of remote area elementary school teachers. This research is a qualitative research with a case study design. Data collection is done by methods: in-depth interviews (indepth interview), participant observation (participant observation), and study documentation (study of document). Determination of data sources is done by using purposive sampling technique. Data analysis was performed using the interactive patterns of Miles and Huberman (1994). Checking the validity of the data is done by using a degree of credibility through both source and method triangulation techniques. The results of the study show that: (1) Professional development of elementary school teachers in remote areas, through: (a) Intensive Development, carried out through activities commonly aimed at developing teacher professionals and program activities that are tailored to the needs of teachers; (b) Cooperative Development, carried out through visits to other schools, sharing experiences with colleagues, being active in MGMP activities, and supporting each other to increase work motivation; and (c) Self-Directed Development, carried out through teaching media manufacturing activities, actively reading books in school libraries, actively participating in seminars / training, and actively seeking new teaching materials if they have the opportunity to access the internet; and (2) Supporting factors include the establishment of synergic cooperation between the Education Office, UPTD, supervisors, school principals and teachers; while the constraint factor is not all teachers have the opportunity to participate in a professional development program due to geographical conditions and the difficulty of access to and from the school. Keywords: Professional Development, Elementary Teacher, Remote Area Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang Pembinaan profesional guru SD daerah terpencil di wilayah kerja UPTD Kecamatan Damang Batu, dilihat dari aspek: (1) Pembinaan professional guru SD melalui: (a) Intensive Development, (b) Cooperative Development, (c) Self- Directed Development, dan (2) Faktor pendukung dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan profesional guru SD daerah terpencil. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam, observasi partisipan, dan studi dokumentasi. Penetapan sumber data dilakukan dengan teknikpurposive sampling. Analisis data dilakukan dengan menggunakan pola interaktif Miles dan Huberman (1994). Pengecekan keabsahan data dilakukan dengan menggunakan derajat kepercayaan (credibility) melalui teknik triangulasi baik sumber maupun metode. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pembinaan profesional guru SD daerah terpencil, melalui: (a) Intensive Development, dilaksanakan melalui kegiatan yang lazim ditujukan untuk mengembangkan profesional guru serta program kegiatan yang disesuaikan dengan kebutuhan guru; (b) Cooperative Development, dilaksanakan melalui kegiatan kunjungan ke sekolah lain, sharing pengalaman dengan sejawat, aktif dalam kegiatan MGMP, serta saling mendukung untuk meningkatkan motivasi kerja; dan (c) Self- Directed Development, dilaksanakan melalui kegiatan pembuatan media ajar, aktif membaca buku di perpustakaan sekolah, aktif mengikuti seminar/pelatihan, serta aktif mencari bahan ajar baru jika memiliki kesempatan untuk mengakses internet; dan (2) Faktor pendukung meliputi terjalinnya kerjasama yang sinergis antara Dinas Pendidikan, UPTD, pengawas, kepala sekolah dan guru; sedangkan faktor kendala belum semua guru mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program pembinaan profesional disebabkan kondisi geografis serta sukarnya akses dari dan menuju ke sekolah tersebut. Kata Kunci: Pembinaan Profesional, Guru Sekolah Dasar, Daerah Terpencil   References: Arifin. (2011). Kompetensi Guru dan Strategi Pengembanganya. Yogyakarta: Penerbit LILIN. Arnold, P. (2001). Review of Contemporary Issues for Rural Schools. Education in Rural Australia, 11 (1), 30-42. Bafadal, I. (2003). Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar: Dalam Rangka Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara. Collette, A.T., & Chiappetta, E. L. (1994). Science Instruction in the Middle and Secondary Schools(3rd Edition). New York: Merrill. Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.Departemen Pendidikan Nasional. Dinas Pendidikan Kabupaten Gunung Mas. (2010). Laporan Tahunan DinasPendidikan Kabupaten Gunung Mas Tahun 2010. Dinas Pendidikan Kabupaten Gunung Mas. (2016). Data Hasil UKG Tahun 2015. Gaffar, F. M. (1987). Perencanaan Pendidikan: Teori dan Metodologi. Jakarta: Depdikbud. Glatthorn, A. A. (1995). Teacher Development. In: Anderson, L. (Ed.). International Encyclopedia of Teaching and Teacher Education. Second Edition.London: Pergamon Press. Gorton, R. A. (1976). School Administration Challenge and Opportunity for Leadership.New York: Wm. C. Brown Company Publishers. Hanson, M. E. (1985). Educational Administration and Organizational Behavior. Third Edition. Boston Allyn and Bacon. Heslop, J. (1996). A Model for The Development of Teacher in a Remote Area of Western Australia.Australian Journal of Education. Vol.21: Iss.1, Article 1. Available at: http://ro.ecu.edu.au/ajte/vol21/iss1/1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). (2012). Pedoman Uji Kompetensi Guru.Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). (2015). Pedoman Pelaksanaan Uji Kompetensi Guru.Jakarta: Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. Khasanah, N. (2014). Ternyata ini Alasan Pendidikan di Jawa Lebih Berkualitas. Diakses pada tanggal 20 Juli 2018, dari: https://www.kompasiana.com/noerchasanahkinar/ 54f868f5a333113a038b4577/ternyata-ini-alasan-pendidikan-di-jawa-lebih-berkualitas. Koswara, D. D., & Triatna, C. (2011). Manajemen Pendidikan: Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan.Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Alfabeta. McPherson, R. B. (1986). Managing Uncertainty: Administrative Theory and Practice in Education. Colombus: Charles E. Merrill Publishing Company. Miles, M., & Huberman, A. M. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press. Mulyasa, E. (2013). Uji Kompetensi Guru dan Penilaian Kinerja Guru.Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Mustofa. (2007). Upaya Pengembangan Profesionalisme Guru di Indonesia.Jurnal Ekonomi Pendidikan, Vol.4 (1). Nugroho, P. J. (2013). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Profesionalisme Guru SD Daerah Terpencil Daratan Pedalaman Kabupaten Gunung Mas.Prosiding Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun 2013. Dies Natalis Universitas Palangka Raya. ISSN: 2354-6727. Nugroho, P. J. (2017). Pengembangan Model Pelatihan Inovatif untuk Meningkatkan Kompetensi Guru SD Daerah Terpencil. Jurnal Sekolah Dasar: Kajian Teori dan Praktik, Vol.26 (2). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005. Rohani, N. K. (2004). Pengaruh Pembinaan Kepala Sekolah dan Kompensasi Terhadap Kinerja Guru SLTP Negeri di Kota Surabaya.Jurnal Pendidikan Dasar, Vol.5 (1). Saud, U. S. (2009). Pengembangan Profesi Guru SD/MI. Bandung: Alfabeta. Sher, J. P., & Sher, K. R. (1994). Beyond the Conventional Wisdom: Rural Develop-ment as if Australia’s Rural People and Communities Really Mattered. Journal of Research in Rural Education, Vol 10 No 1. Siram, R. (1992). Pelaksanaan Model Sistem Guru Kunjung Suatu Alternatif Pemerataan Pendidikan Sekolah Dasar Daerah Terpencil di Kalimantan Tengah.Tesis tidak dipublikasikan, PPS IKIP Malang. Snyder, K. J., & Anderson, R. H. (1986). Managing Productivity Schools. Orlando: Academic Press College Division. Supriadi, D. (1990). Pendidikan di Daerah Terpencil: Masalah dan Penanganannya. Analisis CSIS No. 5. Bandung: IKIP Bandung. Tjalla, A. (2010). Potret Mutu Pendidikan Indonesia ditinjau dari Hasil-Hasil Studi Internasional.Diakses tanggal 20 Juli 2018 dari: http://repository.ut.ac.id/2609/1/fkip201047.pdf. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

    Pembinaan Profesional Guru Sekolah Dasar Daerah Terpencil

    Full text link
    Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang Pembinaan profesional guru SD daerah terpencil di wilayah kerja UPTD Kecamatan Damang Batu, dilihat dari aspek: (1) Pembinaan professional guru SD melalui: (a) Intensive Development, (b) Cooperative Development, (c) Self- Directed Development, dan (2) Faktor pendukung dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan profesional guru SD daerah terpencil. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam, observasi partisipan, dan studi dokumentasi. Penetapan sumber data dilakukan dengan teknikpurposive sampling. Analisis data dilakukan dengan menggunakan pola interaktif Miles dan Huberman (1994). Pengecekan keabsahan data dilakukan dengan menggunakan derajat kepercayaan (credibility) melalui teknik triangulasi baik sumber maupun metode. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pembinaan profesional guru SD daerah terpencil, melalui: (a) Intensive Development, dilaksanakan melalui kegiatan yang lazim ditujukan untuk mengembangkan profesional guru serta program kegiatan yang disesuaikan dengan kebutuhan guru; (b) Cooperative Development, dilaksanakan melalui kegiatan kunjungan ke sekolah lain, sharing pengalaman dengan sejawat, aktif dalam kegiatan MGMP, serta saling mendukung untuk meningkatkan motivasi kerja; dan (c) Self- Directed Development, dilaksanakan melalui kegiatan pembuatan media ajar, aktif membaca buku di perpustakaan sekolah, aktif mengikuti seminar/pelatihan, serta aktif mencari bahan ajar baru jika memiliki kesempatan untuk mengakses internet; dan (2) Faktor pendukung meliputi terjalinnya kerjasama yang sinergis antara Dinas Pendidikan, UPTD, pengawas, kepala sekolah dan guru; sedangkan faktor kendala belum semua guru mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program pembinaan profesional disebabkan kondisi geografis serta sukarnya akses dari dan menuju ke sekolah tersebut. Kata Kunci: Pembinaan Profesional, Guru Sekolah Dasar, Daerah Terpencil References: Arifin. (2011). Kompetensi Guru dan Strategi Pengembanganya. Yogyakarta: Penerbit LILIN. Arnold, P. (2001). Review of Contemporary Issues for Rural Schools. Education in Rural Australia, 11 (1), 30-42. Bafadal, I. (2003). Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar: Dalam Rangka Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara. Collette, A.T., & Chiappetta, E. L. (1994). Science Instruction in the Middle and Secondary Schools(3rd Edition). New York: Merrill. Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.Departemen Pendidikan Nasional. Dinas Pendidikan Kabupaten Gunung Mas. (2010). Laporan Tahunan DinasPendidikan Kabupaten Gunung Mas Tahun 2010. Dinas Pendidikan Kabupaten Gunung Mas. (2016). Data Hasil UKG Tahun 2015. Gaffar, F. M. (1987). Perencanaan Pendidikan: Teori dan Metodologi. Jakarta: Depdikbud. Glatthorn, A. A. (1995). Teacher Development. In: Anderson, L. (Ed.). International Encyclopedia of Teaching and Teacher Education. Second Edition.London: Pergamon Press. Gorton, R. A. (1976). School Administration Challenge and Opportunity for Leadership.New York: Wm. C. Brown Company Publishers. Hanson, M. E. (1985). Educational Administration and Organizational Behavior. Third Edition. Boston Allyn and Bacon. Heslop, J. (1996). A Model for The Development of Teacher in a Remote Area of Western Australia.Australian Journal of Education. Vol.21: Iss.1, Article 1. Available at: http://ro.ecu.edu.au/ajte/vol21/iss1/1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). (2012). Pedoman Uji Kompetensi Guru.Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). (2015). Pedoman Pelaksanaan Uji Kompetensi Guru.Jakarta: Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. Khasanah, N. (2014). Ternyata ini Alasan Pendidikan di Jawa Lebih Berkualitas. Diakses pada tanggal 20 Juli 2018, dari: https://www.kompasiana.com/noerchasanahkinar/ 54f868f5a333113a038b4577/ternyata-ini-alasan-pendidikan-di-jawa-lebih-berkualitas. Koswara, D. D., & Triatna, C. (2011). Manajemen Pendidikan: Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan.Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Alfabeta. McPherson, R. B. (1986). Managing Uncertainty: Administrative Theory and Practice in Education. Colombus: Charles E. Merrill Publishing Company. Miles, M., & Huberman, A. M. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press. Mulyasa, E. (2013). Uji Kompetensi Guru dan Penilaian Kinerja Guru.Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Mustofa. (2007). Upaya Pengembangan Profesionalisme Guru di Indonesia.Jurnal Ekonomi Pendidikan, Vol.4 (1). Nugroho, P. J. (2013). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Profesionalisme Guru SD Daerah Terpencil Daratan Pedalaman Kabupaten Gunung Mas.Prosiding Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun 2013. Dies Natalis Universitas Palangka Raya. ISSN: 2354-6727. Nugroho, P. J. (2017). Pengembangan Model Pelatihan Inovatif untuk Meningkatkan Kompetensi Guru SD Daerah Terpencil. Jurnal Sekolah Dasar: Kajian Teori dan Praktik, Vol.26 (2). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005. Rohani, N. K. (2004). Pengaruh Pembinaan Kepala Sekolah dan Kompensasi Terhadap Kinerja Guru SLTP Negeri di Kota Surabaya.Jurnal Pendidikan Dasar, Vol.5 (1). Saud, U. S. (2009). Pengembangan Profesi Guru SD/MI. Bandung: Alfabeta. Sher, J. P., & Sher, K. R. (1994). Beyond the Conventional Wisdom: Rural Develop-ment as if Australia's Rural People and Communities Really Mattered. Journal of Research in Rural Education, Vol 10 No 1. Siram, R. (1992). Pelaksanaan Model Sistem Guru Kunjung Suatu Alternatif Pemerataan Pendidikan Sekolah Dasar Daerah Terpencil di Kalimantan Tengah.Tesis tidak dipublikasikan, PPS IKIP Malang. Snyder, K. J., & Anderson, R. H. (1986). Managing Productivity Schools. Orlando: Academic Press College Division. Supriadi, D. (1990). Pendidikan di Daerah Terpencil: Masalah dan Penanganannya. Analisis CSIS No. 5. Bandung: IKIP Bandung. Tjalla, A. (2010). Potret Mutu Pendidikan Indonesia ditinjau dari Hasil-Hasil Studi Internasional.Diakses tanggal 20 Juli 2018 dari: http://repository.ut.ac.id/2609/1/fkip201047.pdf. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

    Pengaruh Persentase Penutupan Hutan Terhadap Debit Puncak Di Sub Daerah Aliran Sungai Hutan Alam Kabupaten Tanah Laut (the Effect of Forest Coverage Percentage on Peak Discharge in the Natural Forest Sub Watershed, Tanah Laut Regency)

    Full text link
    Persentase penutupan hutan memegang peran penting dalam mengatur tata air Daerah Aliran Sungai (DAS). Hutan dengan fungsi hidrologisnya berpengaruh terhadap debit sungai. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh persentase penutupan hutan terhadap debit puncak di sub DAS hutan alam. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2017 di Sub DAS Bakar, Sub DAS Tanjung, Sub DAS Iwakan, dan Sub DAS Langsat, Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan. Persentase hutan alam bervariasi dari 9,7 sampai 98% dari uas sub DAS. Penelitian dilakukan dengan pengkuran langsung data curah hujan dan tinggi muka air (TMA) yang dikonversi menjadi debit puncak. Data debit puncak antar sub DAS dibandingkan menurut curah hujan dan persentase penutupan hutan alam. Hasil penelitian menunjukkan secara umum persentase penutupan hutan berpengaruh terhadap debit puncak. Penutupan hutan memberikan respon yang positif dalam menurunkan debit puncak ketika curah hujan dibawah 115 mm/hari. Sub DAS Bakar dan Tanjung yang memiliki persentase penutupan hutan alam yang rendah memiliki debit puncak yang lebih tinggi dibandingkan dengan Sub DAS Langsat dan Iwakan yang memiliki persentase penutupan hutan yang tinggi. Pengaruh persentase penutupan hutan alam terhadap debit puncak ditandai oleh koefisien determinasi sebesar 53,3%. Keberadaan hutan sangat penting sebagai pengatur hidrologi sehingga sangat penting untuk dilakukannya upaya konservasi dan penghijauan di hulu sub DAS yang diamati

    Pengaruh Persentase Penutupan Hutan Terhadap Debit Puncak Di Sub Daerah Aliran Sungai Hutan Alam Kabupaten Tanah Laut (the Effect of Forest Coverage Percentage on Peak Discharge in the Natural Forest Sub Watershed, Tanah Laut Regency)

    Full text link
    Persentase penutupan hutan memegang peran penting dalam mengatur tata air Daerah Aliran Sungai (DAS). Hutan dengan fungsi hidrologisnya berpengaruh terhadap debit sungai. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh persentase penutupan hutan terhadap debit puncak di sub DAS hutan alam. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2017 di Sub DAS Bakar, Sub DAS Tanjung, Sub DAS Iwakan, dan Sub DAS Langsat, Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan. Persentase hutan alam bervariasi dari 9,7 sampai 98% dari uas sub DAS. Penelitian dilakukan dengan pengkuran langsung data curah hujan dan tinggi muka air (TMA) yang dikonversi menjadi debit puncak. Data debit puncak antar sub DAS dibandingkan menurut curah hujan dan persentase penutupan hutan alam. Hasil penelitian menunjukkan secara umum persentase penutupan hutan berpengaruh terhadap debit puncak. Penutupan hutan memberikan respon yang positif dalam menurunkan debit puncak ketika curah hujan dibawah 115 mm/hari. Sub DAS Bakar dan Tanjung yang memiliki persentase penutupan hutan alam yang rendah memiliki debit puncak yang lebih tinggi dibandingkan dengan Sub DAS Langsat dan Iwakan yang memiliki persentase penutupan hutan yang tinggi. Pengaruh persentase penutupan hutan alam terhadap debit puncak ditandai oleh koefisien determinasi sebesar 53,3%. Keberadaan hutan sangat penting sebagai pengatur hidrologi sehingga sangat penting untuk dilakukannya upaya konservasi dan penghijauan di hulu sub DAS yang diamati

    Proceedings of the 3rd International Conference on Community Engagement and Education for Sustainable Development

    No full text
    This proceeding contains articles on the various ideas of the academic community presented at The 3rd International Conference on Community Engagement and Education for Sustainable Development (ICCEESD 2022) organized by the Universitas Gadjah Mada, Indonesia on 7th-8th December 2022.  ICCEESD is a biannual forum for sharing, benchmarking, and discussing HEI’s activities in developing Education for Sustainable Development towards community engagement. Education for Sustainability as a teaching strategy for resolving community challenges through formal, informal, or non-formal education is expected to benefit from various community service best practices by academics, researchers, and students. The 3rd ICCEESD has “Strengthening Education for Sustainability Towards Better Community Engagement” as its theme this year. It is expected that the 3rd ICCEESD will provide a forum for the presenters and participants to exchange best practices, policies, and conceptual implementation of Education for Sustainability towards better community engagement and explore ideas to address community needs.  Conference Title: 3rd International Conference on Community Engagement and Education for Sustainable DevelopmentConference Theme: Strengthening Education for Sustainability Towards Better Community EngagementConference Acronyms: ICCEESD 2022Conference Date: 7th-8th December 2022Conference Location: Grand Rohan Jogja Yogyakarta, IndonesiaConference Organizer: Universitas Gadjah Mada, Indonesi

    Denial of long-term issues with agriculture on tropical peatlands will have devastating consequences

    No full text
    The first International Peat Congress (IPC) held in the tropics - in Kuching (Malaysia) - brought together over 1000 international peatland scientists and industrial partners from across the world (“International Peat Congress with over 1000 participants!,” 2016). The congress covered all aspects of peatland ecosystems and their management, with a strong focus on the environmental, societal and economic challenges associated with contemporary large-scale agricultural conversion of tropical peat. However, recent encouraging developments towards better management of tropical peatlands have been undermined by misleading newspaper headlines and statements first published during the conference. Articles in leading regional newspapers (“Oil palm planting on peat soil handled well, says Uggah,” 2016; Cheng & Sibon, 2016; Nurbianto, 2016a, 2016b; Wong, 2016) widely read across the region, portrayed a general consensus, in summary of the conference, that current agricultural practices in peatland areas, such as oil palm plantations, do not have a negative impact on the environment. This view is not shared by many scientists, or supported by the weight of evidence that business-as-usual management is not sustainable for tropical peatland agriculture. Peer-reviewed scientific studies published over the last 19 years, as reflected in the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Wetland Supplement on greenhouse gas inventories, affirms that drained tropical peatlands lose considerable amounts of carbon at high rates (Drösler et al., 2014). Tropical peat swamp forests have sequestered carbon for millennia, storing a globally significant reservoir below ground in the peat (Page et al., 2011; Dommain et al., 2014). However, contemporary agriculture techniques on peatlands heavily impact this system through land clearance, drainage and fertilization, a process that too often involves fire. Along with biodiversity losses driven by deforestation (Koh et al., 2011; Posa et al., 2011; Giam et al., 2012), the carbon stored in drained peatlands is rapidly lost through oxidation, dissolution and fire (Couwenberg et al., 2009; Hirano et al., 2012; Ramdani & Hino, 2013; Schrier-Uijl et al., 2013; Carlson et al., 2015; Warren et al., 2016). Tropical peat fires are a major contributor to global greenhouse gas emissions and produce transboundary haze causing significant impacts on human health, regional economies and ecosystems (Page et al., 2002; Marlier et al., 2012; Jaafar & Loh, 2014; Chisholm et al., 2016; Huijnen et al., 2016; Stockwell et al., 2016). With future El-Niño events predicted to increase in frequency and severity (Cai et al., 2014) and with fire prevalence now decoupled from drought years (Gaveau et al., 2014), future large scale fire and haze events are imminent given the extensive areas of now drained fire prone drained peatlands (Kettridge et al., 2015; Turetsky et al., 2015; Page & Hooijer, 2016). In reality, just how much of the estimated 69 gigatonnes of carbon (Page et al., 2011) stored in Southeast Asian tropical peatlands is being lost due to agricultural operations under the current management regime is still uncertain. Of great concern is that none of the agricultural management methods applied to date have been shown to prevent the loss of peat and the associated subsidence of the peatland surface following drainage (Wösten et al., 1997; Melling et al., 2008; Hooijer et al., 2012; Evers et al., 2016). Recent projections suggest that large areas of currently drained coastal peatlands will become un-drainable, and progressively be subjected to longer periods of inundation by river and ultimately sea water (Hooijer et al., 2015a, 2015b; Sumarga et al., 2016). With growing risk of saltwater intrusion, agriculture in these coastal lands will become increasingly untenable, calling into question the very notion of “long-term sustainability of tropical peatland agriculture”. A more accurate view of drained peatland agriculture is that of an extractive industry, in which a finite resource (the peat) is ‘mined’ to produce food, fibre and fuel, driven by global demand. In developing countries with growing populations, there are strong socio-economic arguments for exploiting this resource to support local livelihoods and broader economic development (Mizuno et al., 2016). However, an acceptance that on-going peat loss is inevitable under this scenario. Science-based measures towards improved management, including limitations on the extent of plantation development, can be used to minimise the rate of this peat loss (President of Indonesia, 2011). Such an evidence-based position, supported with data and necessary legal instruments are needed for sustainable futures. The scientifically unfounded belief that drained peatland agriculture can be made ‘sustainable’, and peat loss can be halted, via unproven methods such as peat compaction debilitates the effort to find sustainable possibilities. To a large extent, the issues surrounding unsustainable peatland management have now been recognized by sections of industry (Wilmar, 2013; APP, 2014; Cargill Inc., 2014; Mondelēz International, 2014; Sime Darby Plantation, 2014; APRIL, 2015; Olam International, 2015), government (President of Indonesia, 2014, 2016; Mongabay, 2015; Mongabay Haze Beat, 2015; Hermansyah, 2016) and consumers (Wijedasa et al., 2015). In recognition of the constraints and risks of peatland development, many large and experienced oil palm and pulpwood companies have halted further development on peat and introduced rigorous management requirements for existing peatland plantations(Lim et al., 2012). However, the denial of the empirical basis calling for improved peatland management remains persistent in influential policy spaces, as illustrated by the articles reporting on the conference (“Oil palm planting on peat soil handled well, says Uggah,” 2016; Cheng & Sibon, 2016; Nurbianto, 2016a, 2016b). The search for more responsible tropical peatland agriculture techniques includes promising recent initiatives to develop methods to cultivate crops on peat under wet conditions (Giesen, 2015; Dommain et al., 2016; Mizuno et al., 2016). While a truly sustainable peatland agriculture method does not yet exist, the scientific community and industry are collaborating in the search for solutions(International Peat Society, 2016), and for interim measures to mitigate ongoing rates of peat loss under existing plantations. Failing to recognize the devastating consequences of the current land use practices on peat soils and failing to work together to address them could mean that the next generation will have to deal with an irreversibly altered, dysfunctional landscape where neither environment nor society, globally or locally, will be winners.JRC.D.1-Bio-econom
    corecore