7 research outputs found
Efektivitas Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica) sebagai Antimikroba pada Tahu Putih
Daun beluntas memiliki aktivitas antimikroba yang dapat mengawetkan produk tahu yang memiliki masa simpan yang pendek. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh konsentrasi ekstrak daun beluntas dan lama perendaman terhadap daya hambat mikroba tahu putih. Penelitian terdiri dari tahapan pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan meliputi tahap pengamatan tahu putih tanpa perlakuan di hari ke-0 (H+0), ke-1(H+1), ke-2 (H+2) dan ke-3 (H+3), serta penyiapan ekstrak daun beluntas menggunakan metode maserasi. Penelitian utama yaitu aplikasi ekstrak beluntas pada rendaman tahu putih dengan berbagai variasi konsentrasi lama perendaman. Pertumbuhan mikroba pada tahu dianalisis dengan uji Total Plate Count (TPC) dan uji visual. Pada H+2, tofu mengandung mikrobia 4,9 x 108 koloni/mL dengan aroma masam, memiliki kenampakan berlendir serta warna putih kekuningan. Hal ini menunjukan bahwa H+2 sebagai hari kritis. Tahu pada H+2 tersebut kemudian diberi perlakuan ekstrak daun beluntas pada penelitian utama. Analisis statistik menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak daun beluntas dan lama perendaman menurunkan secara signifikan jumlah total mikroba pada tahu putih. Secara visual, tahu putih yang direndam dengan ekstrak daun beluntas memiliki permukaan tidak berlendir, dan memiliki aroma ekstrak daun beluntas.
PENGARUH PEMBERIAN SERBUK EKSTRAK KELOPAK BUNGA ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) TERHADAP SISTEM IMUN TIKUS SPRAGUE DAWLEY
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian serbuk ekstrak kelopak bunga rosela terhadap sistem imun tikus Sprague Dawley. Parameter yang diamati adalah leukosit, differensial leukosit, organ limfoid (limpa dan hati), total serum protein dan serum albumin dari darah tikus Sprague Dawley. Hewan uji dibagi atas 4 kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus. Kelompok pertama adalah kelompok normal, kelompok 2 diberikan stimuno forte dosis 1,35 mg/KgBB, kelompok 3 diberikan serbuk ekstrak rosela I dosis 40,5 mg/KgBB, dan kelompok 4 diberikan serbuk ekstrak rosela II dosis 81 mg/KgBB secara sonde selama 28 hari. Pada hari ke-0 dan hari ke-29 dilakukan pengambilan darah. Analisa data menggunakan perhitungan selisih, yang hasilnya dibandingkan dengan nilai normal tikus kondisi sehat. Berdasarkan hasil penelitian pemberin serbuk ekstrak rosela I dosis 40,5 mg/KgBB KgBB dapat mempertahankan fungsi sistem imun pada tikus Sprague Dawley dengan peningkatan nilai rata-rata jumlah neutrofil segmen sebesar 42,2%, total serum protein sebesar 10,99g/dl, bobot limpa relatif sebesar 0,22% dan bobot hati relatif sebesar 3,27% yang masih dalam batas normal hewan coba dalam kondisi sehat sehingga dapat memberikan efek protektif terhadap serangan antigen. Kata kunci : Serbuk ekstrak, rosela, sistem imu
Community forest management in Indonesia: Avoided deforestation in the context of anthropogenic and climate complexities
Community forest management has been identified as a win-win option for reducing deforestation while improving the welfare of rural communities in developing countries. Despite considerable investment in community forestry globally, systematic evaluations of the impact of these policies at appropriate scales are lacking. We assessed the extent to which deforestation has been avoided as a result of the Indonesian government’s community forestry scheme, Hutan Desa (Village Forest). We used annual data on deforestation rates between 2012 and 2016 from two rapidly developing islands: Sumatra and Kalimantan. The total area of Hutan Desa increased from 750 km2 in 2012 to 2500 km2 in 2016. We applied a spatial matching approach to account for biophysical variables affecting deforestation and Hutan Desa selection criteria. Performance was assessed relative to a counterfactual likelihood of deforestation in the absence of Hutan Desa tenure. We found that Hutan Desa management has successfully achieved avoided deforestation overall, but performance has been increasingly variable through time. Hutan Desa performance was influenced by anthropogenic and climatic factors, as well as land use history. Hutan Desa allocated on watershed protection forest or limited production forest typically led to a less avoided deforestation regardless of location. Conversely, Hutan Desa granted on permanent or convertible production forest had variable performance across different years and locations. The amount of rainfall during the dry season in any given year was an important climatic factor influencing performance. Extremely dry conditions during drought years pose additional challenges to Hutan Desa management, particularly on peatland, due to increased vulnerability to fire outbreaks. This study demonstrates how the performance of Hutan Desa in avoiding deforestation is fundamentally affected by biophysical and anthropogenic circumstances over time and space. Our study improves understanding on where and when the policy is most effective with respect to deforestation, and helps identify opportunities to improve policy implementation. This provides an important first step towards evaluating the overall effectiveness of this policy in achieving both social and environmental goals