33 research outputs found
Tari Eklek Sebagai Dasar Pembentukan Kepenarian di Lembaga Kursus dan Pelatihan Pradapa Loka Bhakti
Eklek dance is a type of dance performance created by the innovations of Sukarman, who was inspired by the cultural phoenomena within the community of the village Pelem, in the district of Pringkuku, in the regency of Pacitan. The existence of this dance is supported by public interest in entertainment, and also serves as a form of cultural preservation. The issue to be examined in particular is the Eklek dance as the foundation within the scope of non-formal education and training courses at Pradapa Loka Bhakti. The issues are as follow: (1) What causes Pradapa Loka Bhakti to use the Eklek dance as the foundation of its basic learning material?, (2) What are the forms within the performing of Eklek dance, and what is the process of the students at Pradhapa Loka Bhakti? (3) Why do the dance forms of the students of Pradhapa Loka Bhakti give a particular aesthetic experience?. In reviewing the experience of dance education, concepts were used from (1) Desmond Morris, concerning elements of preservation and regeneration. (2) Margaret N.H. Doubler, used to analyze the aesthetic experience of the students, (3) David A Kolb, used to analyze the process of the learning style of the students. To illustrate these aspects, this study uses the approach of ethnochoreography combined with with history, sociology and aesthetics. This research apllies dance tenography method by Getrude Prokosch Kurathâs model, data was collected with the following techniques: observation, description, and recordings (visual/audio visual); laboratory study; explanations of style/appearance with cross checks on resources and in-depth interviews when laboratory studies were unstatisfactory; and finally presenting results in a format compliant with the original purpose. The study results show that the Eklek dance posesses a learning style which is divergent and covergent; and assimilated from the experience of the studentsâ feelings, thoughts, observations, and actions. The peculiarties of the dance are apparent in the tanjak position, the trecet side motion patterns, the oglengan movements, the entragan, and the berikan movements. The formation of the position pattern adeg was created using traditonal methods which have been preserved until the present, in an effort to realize preservation and regeneration are still firmly in place
Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Melalui Rekrutmen Tenaga Guru
The recruitment process is a selection process from a group of applicants or new teachers who meet the criteria to occupy available positions based on existing needs in the school institution. The recruitment process needs to be carried out because there are teachers who are entering retirement, have died, or have left the institution due to violating disciplinary regulations or other factors. To fill these vacancies, new teachers are needed through a recruitment process aimed at improving the quality of education in schools.Quality schools require competent and qualified teachers from primary, secondary, and tertiary education levels. Recruiting competent and accomplished teachers is necessary to meet these quality standards. To recruit teachers, a recruitment team is needed whose task is to find and get the new teachers the school wants. Recruitment is based on the procurement of teachers to meet school needs
TARI RUNG SARUNG KARYA DEASYLINA DA ARY SEBUAH ANALISIS KRITIK HOLISTIK
ABSTRAK
TARI RUNG SARUNG KARYA DEASYLINA DA ARY SEBUAH ANLISIS KRITIK HOLISTIK OLEH MIA PUSPITARANI, 2015, Skripsi Program Studi S-1 Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Surakarta.
Tari Rung Sarung merupakan salah satu karya tari unggulan di Sanggar Pradapa Loka Bhakti yang terletak di Desa Pelem, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Karya tari yang disusun tahun 2004 oleh Deasylina Da Ary ingin menunjukkan bahwa kegunaaan kain sarung tidak hanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari, namun juga terdapat nilai-nilai semangat kebersamaan, gotong royong, dan interaksi sosial. Bentuk karya tari Rung Sarung adalah koreografi kelompok yang ditarikan oleh 20 orang penari perempuan. Karya tari yang menggunakan gerak tegas dan kuat, namun beberapa bagian menunjukkan gerak yang terkesan lucu terwujud dalam pengekspresian mimik wajah.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengkaji secara analitis kreativitas Deasylina Da Ary dalam karya tari Rung Sarung, bentuk tari Rung Sarung, serta perkembangan, tanggapan, dan dampak karya tari Rung Sarung. Metode penelitian yang digunakan dalam karya tari Rung Sarung adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan analisis kritik holistik. Tahap penelitian yang dilakukan adalah pengumpulan data dengan cara observasi, wawancara kepada beberapa narasumber, dan studi pustaka. Seluruh data telah didapatkan tahap selanjutnya adalah menganalisis data tersebut dengan menggunakan pendekatan kritik holistik yang mencakup faktor genetik, faktor objektif, dan faktor afektif .
Untuk mengupas hal-hal yang berkaitan faktor objektif secara koreografis menggunakan pemikiran dari Alma M Hawkins. Untuk mengkaji ide-ide kreatif dari koreografer yang erat kaitannya dengan kreativitas menggunakan pemikiran dari Rhodes. Faktor afektif berisi tanggapan yang disampaikan dari masyarakat maupun seniman tari, serta dampak yang ditimbulkan dengan adanya karya tari Rung Sarung. Makna tari Rung Sarung berdasarkan pengkajian dari ketiga faktor tersebut yakni kematangan wawasan dan pengetahuan serta integritas prosesionalitas Deasylina Da Ary sebagai koreografer muda.
Kata kunci : Deasylina Da Ary, Kreativitas, Kritik holistik, Tari Rung Sarung
KONTRIBUSI PELEM FESTIVAL TERHADAP MASYARAKAT DESA PELEM KECAMATAN PRINGKUKU KABUPATEN PACITAN
Pelem Festival merupakan salah satu festival berskala internasional yang diselenggarakan oleh SACPA (Sampang Agung Center for Performing Art) yang bertempat di Desa Pelem yaitu desa terpencil berada di ujung barat Kabupaten Pacitan. Festival tersebut pertama kali diselenggarakan pada tahun 2016 dan setelah 2 tahun dapat terselenggara lagi di tahun 2018. Pelem Festival dalam penyelenggaraannya dipimpin oleh seorang Direktur yaitu Agung Gunawan. Agung menggagas Pelem Festival bertujuan untuk membuka jaringan yang lebih luas dan sebagai ruang silaturahmi antar seniman dalam negeri maupun luar negeri juga sebagai ruang silaturahmi bagi masyarakat Desa Pelem. Pelem Festival menarik untuk diteliti karena merupakan festival berskala internasional, yang ternyata banyak peminatnya baik kalangan para seniman pendukung maupun masyarakat penonton. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui studi pustaka, observasi, wawancara dan dokumentasi. Metode observasi menggunakan pendekatan partisipan observer yaitu pengamatan terlibat. Penyelenggaraan Pelem Festival memiliki kontribusi terhadap masyarakat yaitu, bagi seniman, bagi penonton, dan bagi masyarakat Desa Pelem itu sendiri. Salah satu kontribusinya adalah masyarakat Desa Pelem dapat mempelajari bahasa asing secara tidak langsung. Masyarakat Desa Pelem memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi dengan seniman luar negeri tetapi masyarakat terus melakukan komunikasi dengan bahasa tubuh yang mudah dimengerti. Melalui bahasa tubuh, perlahan Masyarakat Desa Pelem juga mempelajari bahasa Inggris yang diucapkan para seniman luar negeri setelah memahami maksud dari bahasa tubuh masyarakat setempat saat berkomunikasi. Kata kunci: Pelem Festival, Kontribusi, Masyaraka
Kajian Ikonografi Pada Seni Lukis T-Shirt Tema Rangda Karya I Nyoman Ngurah Ardika Yasa
Bali telah dikenal memiliki banyak bentuk seni. Salah satunya adalah seni lukis. Seni Lukis di Bali telah
dikenal cukup lama. Seiring perjalanan waktu, terjadi perubahan dengan kedatangan bangsa Barat yang mempengaruhi
gaya
lukis Bali. Selanjutnya,
media
juga
memberikan
pengaruh yang sangat besar dalam seni
lukis
di
Bali,
salah
satunya
adalah
t-shirt.
Salah
satu
seniman
lukis
t-shirt
yang
cukup
dikenal
oleh
anak
muda
Bali
yaitu
I
Nyoman Ngurah Ardika
Yasa.
Pada karyanya yang
bertema âRangdaâ,
salah
satu
dari banyak
karya
yang
telah dibuat cukup menarik
untuk dilakukan penelitian. Metode
yang digunakan dalam penelitian
ini
adalah
metode
ikonografi
Erwin
Panofsky.
Tujuan
penelitian
ini
adalah untuk mengetahui makna karya seni
lukis t-shirt seniman I Nyoman Ngurah Ardika yang bertemakan rangda.Tahap pra-ikonografi, ilustrasi yang
digambarkan merupakan sebuah komunikasi bahwa rangda merupakan sosok yang akan membawa kematian
bagi manusia. Pada tahapan analisis ikonografi digunakan teori Roland Barthes untuk mengungkap lambang
yang ada pada karya tersebut. Mitos yang hadir sebagai petanda dalam karya selanjutnya dihubungkan dengan
tema dan konsep yang tersirat. âRangdaâ telah menjadi mitos yang ada pada masyarakat Bali. Analisis interpretasi
ikonologis,
Ilustrasi rangda
karya I
Nyoman Ngurah
Ardika
Yasa
diciptakan
tidak
dengan
mengedepankan
nilai
keindahan
secara
konvensional,
namun
berdasarkan
imajinasi
atas
rasa
dan
pengalaman
estetis
yang
diterima pada masa yang lalu. Pada karyanya wujud rangda
digambarkan dengan penggayaan bentuk
melalui
penyederhaan
dan
deformasi
bentuk,
sehingga
karakter
rangda
terlihat berbeda
dengan
wujud
rangda
secara
tradisi. Sehingga dapat dikatakan bahwa ilustrasi rangda
ini mengikuti gaya postmodern champ
yaitu
menolak
keotentikan atau keorisinilan untuk tujuan dan kepentingannya sendiri.
Kata kunci : rangda, ikonografi, erwin panofsky, t-shirt painting, i nyoman ngurah ardika yasa
Research Of Arts Painting On T-Shirt With Theme Of Rangda Working By Artist
I Nyoman Ngurah Ardika Yasa Using Iconography
Bali has had many forms of art. One of them is painting. Balinese Painting has been known for a long time.
Over time though, they changed when The westerners were arriving that influenced the style of Balinese painting.
Furthermore, the media also gave a huge influence in Balinese painting, one of them was a t-shirt. One
of the t-shirt painting artists is known by young Balinese, I Nyoman Ngurah Ardika Yasa. In his work entitled
âRangdaâ, one of his works has been made, is interesting enough to do research. The method of this research
is the iconographic method of Erwin Panofsky. The purpose of this study was to find out the meaning of t-shirt
painting of I Nyoman Ngurah Ardika Yasa with the theme of rangda. In the pre-iconography stage, the illustration
is
depicted revealing
a
communication
that
Rangda
is a person
who would bring death
to
humans.
At
the
stage
of
iconographic
analysis,
Roland
Barthesâs
theory
was
used
to
reveal
the
symbols
in
the
work.
The
myths
that are
present as markers in the work are then related to
the implicit themes
and
concepts. âRangdaâ
has
become
a
myth
that
exists
in
Balinese
society.
Analysis
of
iconological
interpretations,
I
Nyoman
Ngurah
Ardika
Yasaâs
illustration of rangda were not created with prioritizing the value of beauty in a conventional
way, but it based on imagination over the aesthetic taste and experience that had received in the past. In his
work, the rangda is depicted in the form of simplification and deformation, so that the character of Rangda
looks different from the traditional form. So, it can be said that the illustration of Rangda following a postmodern
style is a champ that rejects authenticity for its own purposes and interests.
Keywords: rangda, iconography, erwin panofsky, t-shirt painting, i nyoman ngurah ardika yas
Kajian Ikonografi Pada Seni Lukis T-Shirt Tema Rangda Karya I Nyoman Ngurah Ardika Yasa
Bali telah dikenal memiliki banyak bentuk seni. Salah satunya adalah seni lukis. Seni Lukis di Bali telah dikenal cukup lama. Seiring perjalanan waktu, terjadi perubahan dengan kedatangan bangsa Barat yang mempengaruhi gaya lukis Bali. Selanjutnya, media juga memberikan pengaruh yang sangat besar dalam seni lukis di Bali, salah satunya adalah t-shirt. Salah satu seniman lukis t-shirt yang cukup dikenal oleh anak muda Bali yaitu I Nyoman Ngurah Ardika Yasa. Pada karyanya yang bertema âRangdaâ, salah satu dari banyak karya yang telah dibuat cukup menarik untuk dilakukan penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ikonografi Erwin Panofsky. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna karya seni lukis t-shirt seniman I Nyoman Ngurah Ardika yang bertemakan rangda.Tahap pra-ikonografi, ilustrasi yang digambarkan merupakan sebuah komunikasi bahwa rangda merupakan sosok yang akan membawa kematian bagi manusia. Pada tahapan analisis ikonografi digunakan teori Roland Barthes untuk mengungkap lambang yang ada pada karya tersebut. Mitos yang hadir sebagai petanda dalam karya selanjutnya dihubungkan dengan tema dan konsep yang tersirat. âRangdaâ telah menjadi mitos yang ada pada masyarakat Bali. Analisis interpretasi ikonologis, Ilustrasi rangda karya I Nyoman Ngurah Ardika Yasa diciptakan tidak dengan mengedepankan nilai keindahan secara konvensional, namun berdasarkan imajinasi atas rasa dan pengalaman estetis yang diterima pada masa yang lalu. Pada karyanya wujud rangda digambarkan dengan penggayaan bentuk melalui penyederhaan dan deformasi bentuk, sehingga karakter rangda terlihat berbeda dengan wujud rangda secara tradisi. Sehingga dapat dikatakan bahwa ilustrasi rangda ini mengikuti gaya postmodern champ yaitu menolak keotentikan atau keorisinilan untuk tujuan dan kepentingannya sendiri
Ki Enthus Susmono: Dhalang Edan Membangun Kebaruan
Artikel ini menganalisis performativitas Ki Enthus Susmono melalui pengamatan beberapa rekaman pertunjukannya terdahulu dengan menggunakan gagasan performativitas Shoshana Felman dalam bukunya, The Scandal of The Speaking Body: Don Juan with J.L. Austin, or Seduction in Two Languages. Hasilnya, ditemukan adanya kemiripan antara tindakan janji dan rayuan yang dilakukan oleh J.L. Austin, Don Juan dan Ki Enthus Susmono. Tindakan janji melalui rayuan yang berulang kali dilakukan kemudian berulang kali digagalkan, melahirkan performativitas. Ki Enthus Susmono berhasil membangun performativitasnya sebagai dalang edan melalui strategi representasi seni postmodern yang eklektis, parodi, dan ironi. Strategi ini menunjukkan realitas tindakan tubuhnya yang telah diproduksi berulang-kali untuk menghasilkan efek tertentu sehingga menjadi kebiasaan dan kekhasan atau mitos. Melalui performativitasnya tersebut, Ki Enthus Susmono menunjukkan keberhasilannya membangun penanda kebaruan gagrag pedalangan.Artikel ini menganalisis performativitas Ki Enthus Susmono melalui pengamatan beberapa rekaman pertunjukannya terdahulu dengan menggunakan gagasan performativitas Shoshana Felman (2013) dalam bukunya, The Scandal of The Speaking Body: Don Juan with J.L. Austin, or Seduction in Two Languages. Hasilnya, ditemukan adanya kemiripan antara tindakan janji dan rayuan yang dilakukan oleh J.L. Austin, Don Juan dan Ki Enthus Susmono. Tindakan janji melalui rayuan yang berulang kali dilakukan kemudian berulang kali digagalkan, melahirkan performativitas. Ki Enthus Susmono berhasil membangun performativitasnya sebagai dalang edan melalui strategi representasi seni postmodern yang eklektis, parodi, dan ironi. Strategi ini menunjukkan realitas tindakan tubuhnya yang telah diproduksi berulang-kali untuk menghasilkan efek tertentu sehingga menjadi kebiasaan dan kekhasan atau mitos. Melalui performativitasnya tersebut, Ki Enthus Susmono menunjukkan keberhasilannya membangun penanda kebaruan gagrag pedalangan.
Ki Enthus Susmono: Skandal Performatif Don Juan dan Kebaruan Gagrag Pedalangan
This article analyzes Ki Enthus Susmonoâs performance through observing some of his previous performances, with the performance idea of Shoshana Felman (2003) in his book, The Scandal of Speaking Body: Don Juan with J.L. Austin, or Seduction in Two Languages, which reads the Don Juan theater by Molière. As a result, it was found that there were similarities between promises by J.L. Austin, Don Juan and Ki Enthus Susmono. Ki Enthus Susmonoâs performance has been successfully built through the eclectic, parody and irony representation of postmodern art, which shows the reality of his bodyâs actions, has been produced repeatedly to produce certain effects so that it becomes a habit (myth). Through his performativity, Ki Enthus Susmono showed his success in building a novel marker of gagrag puppetry. Artikel ini menganalisis performativitas Ki Enthus Susmono melalui pengamatan beberapa rekaman pertunjukannya terdahulu, dengan gagasan performativitas Shoshana Felman (2003) dalam bukunya, The Scandal of The Speaking Body: Don Juan with J.L. Austin, or Seduction in Two Languages, yang membaca teater Don Juan karya Molière. Hasilnya, ditemukan bahwa ada kesamaan antara tindakan janji oleh J.L. Austin,Don Juan dan Ki Enthus Susmono. Performativitas Ki Enthus Susmono berhasil dibangun melalui strategi representasi seni postmodern yang eklektis, parodi, dan ironi, yang menunjukkan realitas tindakan tubuhnya, telah diproduksi berulangkali untuk menghasilkan efek tertentu sehingga menjadi kebiasaan (mitos). Melalui performativitasnya tersebut, Ki Enthus Susmono menunjukkan keberhasilannya membangun penanda kebaruan gagrag pedalangan
Don Quixotes gĂŚld til Celestina
Rigmor Kappel Schmidt viser hvordan Cervantesâ Don Quixote stĂĽr i gĂŚld til dialogromanen Celestina fra omkring ĂĽr 1500
FESTIVAL RAKYAT THONG-THONG LĂK SEBAGAI ARENA GENGSI MASYARAKAT DI KABUPATEN REMBANG
Thong-thong Lèk merupakan kesenian ikonis di bulan Ramadhan yang berkembang seiring dengan perkembangan zaman, namun hal ini tidak mengurangi minat masyarakat. Tulisan ini mengungkapkan bagaimana kesenian Thong-thong Lèk ini tetap bertahan meliputi sejarah, perkembangan dan daya tariknya. Selain itu tulisan ini mengungkapkan dukungan masyarakat hingga membuat festival kesenian ini menjadi sebuah arena gengsi masyarakat. Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji penelitian ini, yaitu Interaksionisme Simbolik oleh Herbert Blumer. Penelitian menggunakan metode penelitian etnografi dengan teknik penelitian, yaitu: studi pustaka, observasi partisipasi dan wawancara mendalam. Berdasarkan hasil penelitian, bertahannya kesenian Thong-thong Lèk yang ada di Kabupaten Rembang tidak terlepas dari peran masyarakat dan pemerintah. Peran masyarakat adalah membuat kesenian ini terlihat menarik bagi semua kalangan dengan kreativitas dalam mengemas dan menyajikan kesenian Thong-thong Lèk setiap tahun. Peran pemerintah dari awal adalah mewadahi kesenian Thong-thong Lèk dan membuat perlombaan. Gengsi sosial sosial hadir di tengah-tengah masyarakat Rembang sebagai rasa kebanggaan mereka terhadap grup desanya yang mengikuti festival kesenian Thong-thong Lèk. Gengsi sosial mengakibatkan perubahan fungsi Thong-thong Lèk dari waktu ke waktu, yaitu: sebagai pelestarian budaya; kebanggaan desa, perekat sosial masyarakat dalam maupun luar kota; kemeriahan bulan puasa Ramadhan; dan sajian budaya dalam pariwisata.
Thong-thong Lèk is an iconic art in the month of Ramadan that develops along with the times, but this does not reduce the interest of the community. This paper reveals how the Thong-thong Lèk art still survives covering its history, development and appeal. In addition this article expresses community support to make this art festival an arena of community prestige. The approach used to study this research, namely Symbolic Interactionism by Herbert Blumer. The research uses ethnographic research methods with research techniques, namely: literature study, participatory observation and in-depth interviews. Based on research results, the survival of Thong-thong Lèk art in Rembang Regency is inseparable from the role of the community and the government. The role of the community is to make this art look attractive to all groups with creativity in packaging and presenting Thong-thong Lèk art every year. The role of the government from the start was to accommodate the arts of Thong-thong Lèk and make competitions. Social prestige is present in the midst of the people of Rembang as a sense of pride in the village group that follows the Thong-thong Lèk art festival. Social prestige results in changes in the function of Thong-thong Lèk from time to time, namely: as a cultural preservation; village pride, social glue in and out of town; the joy of the fasting month of Ramadan; and cultural offerings in tourism