29 research outputs found

    Phenolic compounds particle engineering and formulation with dense gas technology.

    Full text link
    Phenolic compounds have robust activity against free radicals, thus they possess potential in the treatment of various metabolic disorders such as cancer, diabetes, cardiovascular, osteoporosis and malaria. The application of the compounds, however, has been hindered by their intrinsic physicochemical properties of having poor solubility and stability in the human gastro-intestinal pathway. As a result, phenolic compounds have low oral bioavailability. Addressing the drawbacks such as those exhibited by phenolic compounds usually focuses on the strategy of processing and formulation. The processing can contribute to improvement of the physical properties of the compounds and exploration of alternative administration, while formulation can facilitate the modification of compound interactions with the targeted site of delivery. In this study, particle engineering and formulation were applied to phenolic compound of curcumin for development composite products. Derived compound of cyclodextrins; hydroxypropylated and methylated beta cyclodextrins, and water soluble polymer of polyvinylpyrrolidone (PVP) were used as excipients to investigate synergistic effect of the co-formulations. The method of dense gas anti-solvent technology was used throughout the study, using compressed CO2 as processing medium. Processing and formulation had succeeded to improve curcumin performance in term of dissolution property as 80% of curcumin in 200 min and enhancement of aqueous solubility of 190 times could be obtained. Inhalable powders of curcumin composite having enhanced properties on aerodynamic performance with 61% - compared to 11% of the unprocessed material - of fine particle fraction (FPF) was produced. In addition, inhalable powder exhibited improved aqueous solubility as high as 70 times. Further, the ARISE processed pulmonary products had enhanced activity towards lung cancer cells. Process scale-up to evaluate feasibility of the dense gas method of the atomized rapid injection solvent extraction (ARISE) system was also conducted both technically and economically. The applicability of the ARISE method to produce micrometric particle of phenolic para-coumaric acid was examined in the lab and pilot-lab scale processing. An evaluation on the economics has confirmed scalability of the ARISE method to process micro- or nanoscale materials at larger scale operation

    Pra Desain Pabrik Olein Dari CPO Dengan Proses Physical Refining Dan Dry Fractionation

    Get PDF
    Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi utama yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Industri pengolahannya memberikan kontribusi yang penting dalam menghasilkan devisa dan lapangan pekerjaan. Hal tersebut dikarenakan minyak kelapa sawit  merupakan industri hulu yang sangat penting bagi berbagai industri lainnya, seperti: makanan, kosmetik, sabun dan cat. Bahkan akhir-akhir ini ada upaya penggunaan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar alternatif. Kondisi ini memacu perkembangan industri pengolahan kelapa sawit, baik kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Dan perkembangan industri sejalan dengan semakin meningkatnya luas areal perkebunan kelapa sawit.Pabrik Olein akan didirikan dan siap beroperasi pada tahun 2023, dengan pembelian peralatan pada tahun 2020 dan masa konstruksi selama 2 tahun (2021-2022). Lokasi pabrik direncanakan di daerah Musi Banyuasin, Kota Sekayu, Sumatera Selatan. Pemilihan lokasi pabrik ini berkaitan dengan ketersediaan bahan baku utama berupa Crude Palm Oil (CPO). Bahan baku utama dalam proses pembuatan Olein yaitu Crude Palm Oil (CPO) yang memiliki komposisi sebesar 93,60% Trigliserida (TGA), 1,75% Digliserida (DGA), 0,5% Monogliserida (MGA), 4% Free Fatty Acid (FFA), 0,06% Phosphatida, 0,03% Karoten, 0,06% Tocopherols. Adapun bahan baku tambahan berupa Asam Phospat dan Bleaching Earth. Dosis yang digunakan yaitu sebesar 0.044% dari feed yang masuk untuk asam phospat. Sedangkan untuk Bleaching Earth dosis yang digunakan yaitu 1.4% dari feed yang masuk. Kebutuhan tersebut bergantung pada kualitas CPO yang digunakan untuk proses produksi. Kapasitas produksi Olein direncanakan sebesar 340.000 ton olein/tahun. Perencanaan ini berdasarkan jumlah lahan yang dimiliki oleh pabrik dan jumlah raw material yang tersedia untuk proses produksi. Dalam pemenuhan kapasitas tahunan, pabrik akan beroperasi kontinyu 8 jam per hari selama 330 hari. Untuk memproduksi Olein sebesar 340.000 ton olein/tahun diperlukan bahan baku CPO sebesar 69.697,673 kg CPO/jam. Selain produk utama Olein, pabrik ini juga dapat memproduksi produk berupa stearin. Selain itu hasil Palm Fatty Acid Distillated (PFAD) dapat diolah menjadi biodiesel.Proses pembuatan Olein dapat diuraikan menjadi 2 tahapan proses, yaitu Proses Refinery dan Proses Fraksinasi. Proses Refinery dapat dibagi menjadi 4 tahapan proses yaitu tahap Degumming, Bleaching, Filtrasi, dan Deodorisasi. Dari tahap ini akan diperoleh produk berupa Refined Bleach Deodorized Palm Oil (RBDPO). Selanjutnya dilanjutkan proses Fraksinasi yang dibagi menjadi dua tahapan proses yaitu kristalisasi dan filtrasi. Pada tahap ini akan diperoleh produk Olein dan Stearin. Dari perhitungan analisa ekonomi, dengan harga jual olein sebesar 607,5pertondanhargastearinsebesar607,5 per ton dan harga stearin sebesar 535 per ton. Adapaun diperoleh Internal Rate Return (IRR) sebesar 22,82%. Dengan IRR tersebut mengindikasikan bahwa pabrik layak untuk didirikan dengan suku bunga 9,75% dan waktu pengembalian modal (pay out period) selama 3,90 tahun. Perhitungan analisa ekonomi didasarkan pada discounted cash flow. Modal untuk pendirian pabrik menggunakan rasio 60% modal sendiri dan 40% modal pinjaman. Modal total yang dibutuhkan untuk mendirikan pabrik adalah sebesar Rp. 1.070.670.796.513,74 Sedangkan Break Event Point (BEP) yang diperoleh adalah sebesar 34,71%

    Produksi Kappa Karaginan dari Rumput Laut (Eucheuma cottonii) dengan Metode Semi-Refined Carrageenan

    Get PDF
    Indonesia merupakan negara maritime yaitu negara dengan luas perairan yang lebih luas dari pada luas daratan. Potensi perairan yang besar ini telah dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut. Jenis Eucheuma Cottonii merupakan penghasil karaginan karena memiliki kadar karaginan yang demikian tinggi, sekitar 62-68% berat keringnya. Karaginan memiliki kegunaan yang sangat banyak baik dalam industri pangan maupun non pangan. Metode yang digunakan dalam pabrik ini adalah Semi-Refined Carrageenan karena proses pembuatannya cepat dan tidak membutuhkan biaya yang banyak. Dilakukan proses yang berurutan yang terbagi menjadi tiga unit proses, yaitu Unit Pre-treatment, Unit Perebusan dalam Alkali, dan Unit Pengolahan Lanjut. Proses pre-treatment adalah pencucian untuk menghilangkan kotoran pada rumput laut dan pemotong untuk memperkecil ukuran rumput laut. Unit Perebusan dalam Alkali bertujuan untuk mendapatkan karaginan yang terkandung pada rumput laut. Selanjutnya adalah proses pencucian dan memisahkan antara fitrat dan cake. Filtrat ditekan menggunakan Hidrolik Press, kemudiandikeringkandengan Tray Dryer. Hasil menuju Ball Mill untuk menjadikannya tepung dengan ukuran 80 mesh. Pabrik direncanakan beroperasi pada tahun 2022. Berdasarkan data impor, konsumsi, produksi yang terus meningkat didapat estimasi kapasitas pabrik sebesar 1.000.000 ton/tahun. Lokasi pendirian pabrik direncanakan di direncanakan didirikan pada Desa Wongsorejo Kec. Wongsorejo Kab. Banyuwangi, Jawa Timur. Untuk dapat mendirikan pabrik diperlukan modal total sebesar Rp92.507.339.845 . Hasil penjualan per tahun Rp 139.997.088.000. Estimasi umur pabrik 10 tahun, sehingga dapat diketahui internal rate of return (IRR) sebesar 23,54%, pay out time (POT) 3,6 tahun dan break even point (BEP) sebesar 39,5%

    Pra Desain Pabrik Propilen Glikol melalui Proses Hidrogenasi Gliserol

    Get PDF
    Industri kimia di Indonesia terus mengalami peningkatan dalam bidang inovasi maupun teknologi. Salah satu sektor peningkatan yang signifikan yaitu dibidang bahan penunjang, salah satu contongnya Propilen glikol merupakan suatu senyawa organik yang banyak sekali digunakan dalam industri makanan, kosmetik dan farmasi, baik sebagai pelarut, pelembut pada kosmetik maupun sebagai absorber untuk menghilangkan excess air. Bahan baku yang digunakan untuk memproduksi propilen glikol adalah gliserol dari hasil produk samping industri biodiesel yang saat ini sedang dikembangkan di Indonesia. Propilen glikol (PG) dapat diproduksi melalui 2 metode yaitu acetol pathway dan glyceraldehyde pathway. Proses pembuatan propilen glikol pada parik ini ada 3 tahapan utama, yaitu pre-treatment, reaksi dan pemurnian. Proses pre-treatment bertujuan untuk menghilangkan kandungan garam organik dan metanol yang terdapat pada crude gliserol. Sedangkan pada tahapan reaksi gliserol murni di hidrogenasi pada reaktor hidrogenasi pada suhu 210oC dan tekanan 13 atm hingga terbentuk propilen glikol. Untuk tahapan pemurnian, propilen glikol dipisahkan dari waste water dan sisa acetol sebagai produk intermediet dan propanol sebagai produk samping menggunakan metode distilasi pada suhu 114oC dan tekanan 1,2 atm hingga kemurnian propilen glikol mencapai 97% dan disimpan ke dalam tangka penampung produk. Pabrik Propilen Glikol akan beroperasi pada tahun 2022 dan didirikan di Ngoro, Mojokerto dengan kapasitas sebesar 20.000 ton/tahun dan Bahan baku Gliserol yang dibutuhkan sebesar 36500 ton/tahun. Harga jual Propilen glikol sebesar $1,2 per kg Dengan estimasi umur pabrik 10 tahun dan waktu pengembalian pinjaman selama 10 tahun, dapat diketahui Return Of Investment (ROI) sebesar 28,37 %, Pay Out Time (POT) selama 3.4 tahun dan break even point (BEP) sebesar 29,81%. Untuk dapat mendirikan pabrik propilen glikol dari gliserol berkapasitas 20.000 ton/tahun diperlukan total capital investment sebesar Rp. 267.862.525.132,79,- total production cost sebesar Rp. 169.302.685.000,- dengan estimasi hasil penjualan per tahun sebelum kena pajak yaitu sebesar Rp. 329.427.600.000,00,-

    Pra Desain Pabrik Pembuatan Biometan dan PCC dari Vinasse Limbah Pabrik Bioetanol

    Get PDF
    Berdasarkan Indonesia Energy Outlook 2018, data cadangan energi fosil pada tahun 2016 yaitu 338 juta barel minyak bumi, 144,06 TCF gas dan 14,3 miliar ton batubara. Namun di sisi lain, energi fosil tersebut merupakan energi yang tidak terbarukan. Dengan laju pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) rata-rata 6,9% per tahun, kebutuhan energi pada tahun 2050 dapat naik menjadi 7,6 kali lipat terhadap kebutuhan energi tahun 2014. Di masa depan, pengembangan energi akan bergeser dari energi berbasis fosil menjadi energi baru terbarukan (EBT). Salah satu energi baru terbarukan adalah biomethane atau biogas yang dihasilkan oleh bakteri apabila bahan organik (vinasse) mangalami proses fermentasi dalam reaktor (biodigester) dalam kondisi anaerob yang dapat digunakan sebagai bahan bakar kendaraan, menghasilkan listrik, dan bahan bakar gas engine untuk industri. Dengan mendirikan pabrik biomethane (biogas) bisa menjawab dua permasalahan negara ini yaitu menyediakan energi baru terbarukan yang didukung oleh Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 21 Tahun 2016 tentang Pembelian Tenaga Listrik Dari Pembangkit Listrik Tenaga Biogas oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1129. CO2 yang merukapan produk samping dari produksi biomethane dapat digunakan langsung pada produksi PCC. PCC merupakan kalsium karbonat yang dihasilkan dari proses presipitasi dengan kemurnian yang tinggi (99,38%). Proses pembuatan Biomethane dari limbah vinasse ada lima tahap, yaitu tahap pre-treatment, tahap digester, tahap pemurnian dari H2S, pengeringan PCC dan penyimpanan. Kemurnian biomethane yang dihasilkan yaitu 82,47%. Lokasi pabrikdirencanakan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Untuk dapat mendirikan pabrik Pembuatan Biomethane dan PCC dari Vinasse Bioetanol diperlukan total modal investasi sebesar Rp 16.564.532.211.167. Dari perhitunan analisa ekonomi didapat internal rate of return (IRR) sebesar 23,45%, pay out time (POT) 4 tahun 4 bulan dan break even point (BEP) sebesar 33,65%

    Pengembangan Teknologi Berbasis Media Air Subkritis dan CO2 Bertekanan untuk Intensifikasi Proses

    Get PDF
    A B S T R A C TGreen solvent, an environmentally friendly solvent in form of subcritical water (SBCW) and pressurized CO2, has been used as media in process intensification. It has characteristic of having low or even zero toxicity. Hence it can simplify purification procedure. In this communication, development of technology applications of those green solvents, i.e. extraction, particle synthesis, and reaction engineering, is briefly presented. In general, studies show a positive utilization of green solvents of subcritical water and pressurized CO2. For example, in pectin extraction, yield up to 90% has been obtained when the combined solvent was used. In another application, hydrolysis using SBCW-CO2 as combined solvent has facilitated 100% conversion of pinene.Keywords: carbon dioxide; intensification process; subcritical water A B S T R A KGreen solvent, yakni pelarut yang ramah lingkungan dalam bentuk air subkritis (subcritical water, SBCW) dan CO2 bertekanan yang telah dikembangkan untuk media pemrosesan, sebagai salah satu upaya intensifikasi proses. Solven ini dikatakan ramah lingkungan karena tingkat toksisitas air subkritis maupun CO2 sangat rendah, atau bahkan tidak ada sama sekali, sehingga mempersingkat prosedur purifikasi. Pada artikel pendek ini, pengembangan aplikasi teknologi tersebut diulas sebagai telaah (review) pendek dalam teknologi pemisahan (ekstraksi), sintesis partikel, dan rekayasa reaksi. Hasil-hasil studi pada umumnya memberi konfirmasi positif tentang potensi pemakaian dua fluida ramah lingkungan, yaitu SBCW dan CO2, dalam rekayasa proses. Sebagai contoh pada studi ekstraksi pektin, proses menggunakan green solvent berhasil mencapai yield hingga 90%. Hasil serupa dapat dilihat dari konversi pinene melalui proses hidrolisis hingga mencapai 100%.Kata kunci: air subkritis; karbon dioksida; intensifikasi prose

    Pemanfaatan Biomassa Sebagai Material Katalis untuk Proses Biorefinery

    Get PDF
    Having at least 200 million ton of dry biomass, Indonesia possesses enormous potential to develop sustainable biorefinery system. Realization of the system should take comprehensive approach. Simply focusing only on process mechanism or product characterization will certainly not be sufficient. Others aspect of supporting material development in the processing, for instance catalytic materials, shall be essential.   Here in this article, development of Indonesian biomass as catalyst material is discussed briefly. Nickel based catalyst was prepared by impregnating nickel salt precursor on bamboo-derived (activated) carbon and rice-husk silica as support materials. Catalyst activity was examined by applying (activated) carbon and silica catalysts for glucose hydrogenation and crude palm oil hydrocracking, respectively. Application of bamboo-(activated) carbon on glucose hydrogenation produced sorbitol approximately 3 wt. %. Similarly, application of silica derived catalyst from rice husk ash produced bio-gasoline as high as 3 wt.%.

    Aplikasi Teknologi Air Subkritis untuk Formasi Partikel

    Get PDF
    Subcritical water (SBCW) refers to pressurized water having temperature between its boiling and critical points (100 – 374oC). Application of SBCW technology has been developed for various processing schemes, in particular reaction and separation. In particle formation, vast property of SBCW, especially its solvent power elasticity has been exploited to process organic and inorganic materials.The main advantage of SBCW technology for particle formation is its apparent power to dissolve hydrophobic solid materials. Upon rapid contact of SBCW with non-solvent medium - commonly developed from another aqueous based solution- supersaturation leading to particle formation can be obtained.  As a consequence, overall particles properties can be modified. In this article, a brief review of the SBCW technology to process micro- or nano-scale materials is presented. Processing of therapeutic agent of quinolone (antibacterial) is discussed to represent SBCW application for organic chemicals. Quinolone processing at pressurized water up to 200oC has successfully obtained 50 – 60 nm particle size with improved release profile. In another application, SBCW processing at 200-275 bar and 200-300oC has produced particles of lithium – ion battery with various kind of morphologies, in the absence of additives or any other modifiers.

    Pemanfaatan Biomassa Sebagai Material Katalis untuk Proses Biorefinery

    Get PDF
    Having at least 200 million ton of dry biomass, Indonesia possesses enormous potential to develop sustainable biorefinery system. Realization of the system should take comprehensive approach. Simply focusing only on process mechanism or product characterization will certainly not be sufficient. Others aspect of supporting material development in the processing, for instance catalytic materials, shall be essential.   Here in this article, development of Indonesian biomass as catalyst material is discussed briefly. Nickel based catalyst was prepared by impregnating nickel salt precursor on bamboo-derived (activated) carbon and rice-husk silica as support materials. Catalyst activity was examined by applying (activated) carbon and silica catalysts for glucose hydrogenation and crude palm oil hydrocracking, respectively. Application of bamboo-(activated) carbon on glucose hydrogenation produced sorbitol approximately 3 wt. %. Similarly, application of silica derived catalyst from rice husk ash produced bio-gasoline as high as 3 wt.%.

    Biofuel production over Fischer-Tropsch synthesis: effect of Fe-Co/meso-HZSM-5 catalyst weight on product composition and process conversion

    Get PDF
    Fischer-Tropsch Synthesis (FTS) using Fe-Co/meso-HZSM-5 catalyst has been investigated. The impregnated iron and cobalt on HZSM-5 could be used as bifunction catalyst which combined polimerizing synthesis gas and long hydrocarbon cracking for making biofuel (saturated C5–C25 hydrocarbons as gasoline, kerosene and diesel oil). The study emphasized the effect of catalyst weight on product composition and process conversion. The HZSM-5, had been converted from ammonium ZSM-5 through calcination, and then desilicated with NaOH solution. The Co(NO3)2.6H2O and Fe(NO3)3.9H2O were used as precursor for incipient wetness impregnation (IWI) on amorphous meso-HZSM-5. The catalyst consisted of 10 % Fe and 90 % Co by weight, called 10Fe-90Co/meso-HZSM-5. All catalysts were reduced in situ in the continuous reactor with flowing hydrogen at 25 mL/min, 1 bar, 400 Â°C for 10 hours. The catalyst performance was observed in the same continuous fixed bed reactor at 25 mL/min synthesis gas (30 % CO, 60 % H2, 10 % N2), 250 Â°C, 20 bar for 96 hours. Various catalyst weight (1, 1.2, 1.4, 1.6 gram) were applied in FTS. The desilicated HZSM-5 properties (BET analysis) were 6.1–29.9 nm mesoporous diameter, 0.3496 cc/g average mesoporous volume, 526.035 cc/g pore surface area, and the EDX analysis gave 22.1059 Si/Al ratio and 16.11 % loading (by weight) on meso-HZSM-5. The reduced catalyst showed the XRD spectra of Fe (66°), Fe-Co alloy (44.50°) and Co3O4 (36.80°). The reaction using 1 gram of 10Fe-90Co/meso-HZSM-5 catalyst produced the largest composition and conversion. The 1 gram catalyst gave the largest normal selectivity of gasoline (19.15 %) and kerosene (55.18 %). While the largest normal diesel oil selectivity (24.17 %) was obtained from 1.4 gram of catalyst. The CO conversion per gram of catalyst showed similar value (CO conversion of 26–28 %) for all catalyst weigh
    corecore