10 research outputs found

    Karakteristik Hambur Balik Akustik Rajungan (Portunus pelagicus) pada Kondisi Terkontrol

    Get PDF
    Rajungan (Portunus pelagicus) atau blue swimming crab merupakan biota yang memiliki area penyebaran yang luas termasuk di Indonesia. P.pelagicus juga menjadi komoditas ekonomis penting bagi Indonesia, sehingga menjaga dan mengetahui keberadaan P.pelagicus menjadi sangat penting. Hydro-acoustic menjadi salah satu metode yang dapat digunakan untuk memetakan keberadaan dari P.pelagicus. Langkah awal yang dilakukan yaitu mengetahui karakteristik hambur balik dari P.pelagicus. Karakteristik tersebut antara lain nilai Target Strength (TS), nilai Echo Level (EL) dan Frekuensi deteksi. Berdasarkan penelitian ini, diketahui nilai TS dari P.pelagicus berkisar di nilai -40 hingga -45 dB, EL berkisar pada nilai 95 hingga 100 dB, dan Frekuensi deteksi berada pada frekuensi 110 kHz. Penelitian ini masih perlu dilanjutkan karena skala yang digunakan masih dalam taraf laboratorium

    ANALISIS NUMERIK PENGARUH MULTIBODY PADA KONFIGURASI TRANSFER LNG SECARA SIDE-BY-SIDE DENGAN VARIASI JARAK

    Get PDF
    Kebutuhan akan energi bersih dalam satu dekade terakhir terus meningkat seiring dengan kesadaran user dan regulator untuk menjaga kelestarian lingkungan, sehingga dibutuhkan berbagai macam upaya untuk mengelola dan memperluas produksinya. Salah satu jenis clean energy yang akhir-akhir ini menyita perhatian industri global adalah Liquefied Natural Gas (LNG). Asia Pasifik memiliki 9,4% dari cadangan gas dunia, dengan Indonesia menyumbang 1,53%. Kebanyakan cadangan LNG ditemukan pada laut lepas (offshore) dan terisolasi dari infrastruktur daratan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dibutuhkanlah fasilitas struktur bangunan apung, seperti FSRU. FSRU sendiri biasanya ditambatkan pada jetty/dermaga dengan sistem berthing. Dalam mendesain dermaga perlu dipertimbangkan gaya-gaya yang timbul akibat kondisi berthing dengan konfigurasi side-by-side. Konfigurasi ini menciptakan efek multibody dalam perilaku hidrodinamika, sehingga penelitian ini bertujuan mengkaji efek multibody antara FSRU dan LNGC dengan variasi jarak satu sama lain 2, 4, 6 dan 8 m. Gerakan FSRU ditinjau dalam penelitian ini dengan skenario pemodelan tanpa pengaruh dan terpengaruh LNGC. Hal ini penting dilakukan dalam perancangan jetty karena FSRU ditambatkan pada jetty. Berdasarkan simulasi numerik analisis dinamis frequency domain yang dihasilkan, didapatkan bahwa efek multibody terlihat pada model side-by-side. Efek multibody akibat propagasi gelombang dari arah head seas (= 180o) tidak menyebabkan dampak signifikan pada variasi jarak, kecuali pada jarak 2 m akibat fenomena standing wave. Pada gelombang yang berpropagasi arah seperempat haluan (= 225o)) dan arah samping (= 270o)  juga terlihat adanya efek multibody pada variasi jarak. Pada model dengan jarak 4 dan 8 m, karakter RAO cenderung lebih rendah atau sama dengan RAO pada model FSRU free floating. Namun pada jarak 2 dan 6 m, karakter RAO lebih tinggi dari dari RAO FSRU free floating. Selain menaikkan dan menurunkan harga RAO gerakan, efek multibody juga menggeser frekuensi natural (?) struktur bangunan apung dengan beda 0.1 – 0.3 rad/s. Hal ini penting diketahui karena posisi frekuensi natural dapat memicu magnifikasi gerakan jika terjadi resonansi.The demand of clean energy in the last decade continues to increase along with the awareness of users and regulators to preserve the environment, so that efforts are needed to manage and expand their production. A type of clean energy that has recently caught the attention of the global industry is Liquefied Natural Gas (LNG). Asia Pacific has 9.4% of the world’s gas reserves, with Indonesia contributing 1.53%. Most LNG reserves are located in offshore and isolated from land infrastructure. To overcome these problems, floating structures, such as the FSRU, are needed. The FSRU is usually moored to the jetty / dock with the berthing system. In designing the jetty it is necessary to consider the forces that arise due to berthing condition with side-by-side configuration. This configuration create a multibody effect in hydrodynamic behavior, this study aims to examine the multibody effects between FSRU and LNGC with variations in distance 2, 4, 6 and 8 m. The FSRU movement was reviewed in this study with a modeling scenario without the influence and influence of the LNGC. This is important to evaluate in designing the jetty because the FSRU is moored to the jetty. According to the numerical simulation of the dynamic frequency domain analysis, it was found that the multibody effect was found in the side-by-side model. The multibody effect due to wave propagation from the direction of the head seas (= 180o)  does not cause a significant impact on the variation of the distance, except at a distance of 2 m due to the standing wave phenomenon. While the waves propagating in the direction of a quarter of the bow (= 225o) and the side direction (= 270o) a multibody effect is also found in the variation of distance. In models with a distance of 4 and 8 m, the RAO character tends to be lower or equal to RAO in the free floating FSRU model. Therefore at a distance of 2 and 6 m, the RAO character is higher than that of the RAO free floating FSRU. In addition to raising and lowering the RAO price of the movement, the multibody effect also shifts the natural frequency of the floating structure with a difference of 0.1 - 0.3 rad / s. This is important to investigate because the position of natural frequencies can trigger magnification of the movement in the event of resonance

    TSUNAMI HAZARD ZONE IN THE COASTAL OF PANGANDARAN REGENCY

    Get PDF
    Pangandaran Regency is famous for its natural beauty and favorite tourist destination in West Java, but it also has the potential for earthquakes and tsunamis due to its proximity to the Indo-Australian plate subduction zone. Pangandaran has a history of the 7.7 magnitude earthquake with the tsunami in 2006, to anticipate it again a mapping model is needed related to the vulnerability of the tsunami disaster in Pangandaran in the form of a vulnerability map as well as conducting a survey of vulnerability locations on the coast of Pangandaran. The zoning method is described descriptively using satellite imagery and direct observation, satellite imagery data analyzed are data on slope, elevation, land use, distance from the river and distance from the coastline. The tsunami hazard along the coast of Pangandaran Regency is relatively different from one zone to another, because it is influenced by parameters of morphology, bathymetry and coastal topography. Indicators of coastal slope and bottom of coastal waters play an important role in the magnitude of the potential for a tsunami in a zone, the zoning results show that the Pangandaran coastal area may be directly affected by tsunami waves. The following are high-risk zones which are areas with low altitudes such as the sub-districts: Kertamukti, Ciparanti, Legokjawa, Cijulang, Parigi, Karangbenda, Cibenda, Sukaresik, Wonoharjo, Pananjung, Babakan and Bagolo. These sub-districts need to install signs of tsunami vulnerability in the event of an emergency, it is also necessary to conduct outreach and training on preparedness in the event such as an earthquake and natural signs related to a tsunami or post-tsunami

    Rancang Bangun Model Uji Kapal General Cargo 8202 DWT untuk Pengujian Hidrostatis

    Get PDF
    The development of Indonesia's maritime industry cannot be separated from the growth of sea transportation facilities, in this case, namely the growth of the fleet of ships. However, despite this growth, ship accidents are still a crucial issue. One of the causes is sinking caused by poor ship stability. Transfer of cargo on board from loading-unloading activities causes changes in the stability of the ship. In general, ship stability can be analyzed using a numerical approach with hydrostatic analysis, but to accommodate non-linear behavior, model-test experiments are needed. This research focuses on the design of the model test of the General Cargo 8202 DWT ship. The model-test was made with a 1:60 scale which has a model length (L) of 1.80m, breadth (B) of 0.3m, height (D) of 0.23m and a draft (T) of 0.12m. The model-test is designed by modeling the linesplane and then compiling it into a 3D model. Each station on the ship is patterned on wood, cut and arranged to form a ship pattern, then covered with multiplex and fiber. The design procedure for the model-test made refers to the International Towing Tank Conference (ITTC) standard. Pond testing was carried out to identify the draft and inclination of the ship at 3 loading conditions: lightweight, ballasted load and full load. Based on the test results, the model-test’s draft was in accordance with the principal dimensions and the inclination tended to be stable.Perkembangan industri maritim Indonesia tidak bisa terlepas dari pertumbuhan sarana transportasi laut, dalam hal ini yaitu pertumbuhan armada kapal. Namun dibalik pertumbuhan tersebut kecelakaan kapal masih menjadi isu yang cukup krusial. Salah satu penyebabnya adalah tenggelam yang diakibatkan buruknya stabilitas kapal. Perpindahan muatan di atas kapal dari aktivitas bongkar-muat (loading-unloading) menyebabkan berubahnya stabilitas kapal. Pada umumnya stabilitas kapal dapat dianalisis menggunakan pendekatan numerik dengan analisis hidrostatis, namun untuk mengakomodasi perilaku non-linier dibutuhkan eksperimen model uji. Penelitian ini berfokus pada rancang bangun model uji kapal General Cargo 8202 DWT. Model uji dibuat dengan skala 1:60 yang memiliki panjang model (L) 1.80m, lebar (B) 0.3m, tinggi (D) 0.23m dan sarat air (T) 0.12m. Model uji dibuat dengan memodelkan linesplane kemudian menyusunnya menjadi model 3D. Setiap station pada kapal dipolakan pada kayu, dipotong dan disusun membentuk pola kapal, kemudian dilapisi dengan multiplek dan fiber. Prosedur rancang bangun model uji yang dibuat mengacu pada standar International Towing Tank Conference (ITTC). Pengujian kolam dilakukan untuk mengidentifikasi sarat air dan kemiringan kapal pada 3 kondisi muatan: lightweight, ballasted load dan full load. Berdasarkan hasil pengujian didapatkan sarat air yang sesuai dengan desain ukuran utama serta kemiringan yang cenderung stabil

    RANCANG BANGUN MINI ROV DENGAN PENGGUNAAN PWM SPEED CONTROLLER MODULE SEBAGAI SISTEM KENDALI

    Get PDF
    Remotely Operated Vehicle (ROV) is an underwater vehicle or robot designed to able to move in the water. The increasing need for ROV in the future will require an ROV that is easy to build and operate. This study aims to design and build an ROV that is easy to manufacturing and easy to operate, which can be used for observation purposes in the future. The ROV designed with dimensions of length was 311,89 mm, width was 240 mm and height was 180 mm. ROV had three thruster motors with Pulse Width Modulation (PWM) Speed Controller Module as a control system. The ROV test were conducted motion tests and maneuvering tests, with the results shown that the ROV had an average forward speed of 0,26 m/s with the turning time was 6,3 s for 180° to portside, 6,7 s for 180° to starboard and time for circular motion was 8,2 s. The ROV’s motion test and maneuvering test showed good results, so that further development plans for this ROV can be carried out.  Remotely Operated Vehicle (ROV) merupakan sebuah wahana atau robot bawah air yang dirancang untuk mampu bergerak di dalam air. Permintaan ROV diprediksi akan semakin meningkat dimasa yang akan datang, karenanya perlu direspons dengan penyediaan suatu ROV yang mudah untuk dibangun dan dioperasikan. Penelitian ini bertujuan untuk mendesain dan membangun suatu ROV yang mudah untuk diikuti proses pembuatannya dan mudah untuk dioperasikan sehingga ke depannya dapat dimanfaatkan untuk keperluan observasi. Remotely Operated Vehicle dirancang dengan dimensi panjang 311,89 mm, lebar 240 mm dan tinggi 180 mm. Remotely Operated Vehicle memiliki tiga motor penggerak dengan Pulse Width Modulation (PWM) Speed Cotroller Module sebagai sistem kendali. Pengujian ROV dilakukan meliputi uji pergerakan dan uji manuver, dengan hasil menunjukkan bahwa ROV memiliki rata-rata kecepatan maju 0,26 m/s dengan waktu berputar 180° menuju portside selama 6,7 s dan berputar 180° menuju starboard selama 6,3 s, serta gerakan melingkar selama 8,2 s. Uji pergerakan dan manuver ROV menunjukkan hasil yang baik, sehingga rencana pengembangan lebih lanjut dari ROV ini dapat terus dilakukan

    Reducing the environmental impact of surgery on a global scale: systematic review and co-prioritization with healthcare workers in 132 countries

    Get PDF
    Abstract Background Healthcare cannot achieve net-zero carbon without addressing operating theatres. The aim of this study was to prioritize feasible interventions to reduce the environmental impact of operating theatres. Methods This study adopted a four-phase Delphi consensus co-prioritization methodology. In phase 1, a systematic review of published interventions and global consultation of perioperative healthcare professionals were used to longlist interventions. In phase 2, iterative thematic analysis consolidated comparable interventions into a shortlist. In phase 3, the shortlist was co-prioritized based on patient and clinician views on acceptability, feasibility, and safety. In phase 4, ranked lists of interventions were presented by their relevance to high-income countries and low–middle-income countries. Results In phase 1, 43 interventions were identified, which had low uptake in practice according to 3042 professionals globally. In phase 2, a shortlist of 15 intervention domains was generated. In phase 3, interventions were deemed acceptable for more than 90 per cent of patients except for reducing general anaesthesia (84 per cent) and re-sterilization of ‘single-use’ consumables (86 per cent). In phase 4, the top three shortlisted interventions for high-income countries were: introducing recycling; reducing use of anaesthetic gases; and appropriate clinical waste processing. In phase 4, the top three shortlisted interventions for low–middle-income countries were: introducing reusable surgical devices; reducing use of consumables; and reducing the use of general anaesthesia. Conclusion This is a step toward environmentally sustainable operating environments with actionable interventions applicable to both high– and low–middle–income countries

    BIOLOGI, KUALITAS AIR DAN PERIKANAN RAJUNGAN PORTUNUS PELAGICUS (LINNAEUS, 1758) DI KABUPATEN CIREBON

    No full text
    Kabupaten Cirebon yang memiliki wilayah pesisir dan daerah pantai, tentu menjadikan sektor perikanan sebagai salah satu sektor unggulan, salah satunya adalah perikanan rajungan. Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salah satu komoditas yang sangat penting di Kabupaten Cirebon. Satu dekade ini di daerah Cirebon, penangkapan rajungan telah meningkat (overfishing), selain itu, parameter biologi dan kualitas air sangat berpengaruh terhadap keberlanjutannya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui aspek biologi rajungan, menganalisis potensi rajungan terkait isu overfishing, menganalisis parameter lingkungan dari perairan, dan memahami aspek sosial nelayan rajungan di Cirebon. Penelitian menunjukkan bahwa secara umum rajungan jantan lebih banyak tertangkap dengan rasio jenis kelamin 1,6:1, rajungan jantan juga memiliki ukuran tubuh relatif lebih besar dibandingkan dengan rajungan betina. Fekunditas rajungan betina bertelur berkisar antara 1,69 juta sampai dengan 1,95 juta butir telur dengan tingkat kematangan gonad (TKG) ada direntang antara TKG II sampai dengan TKG V. Panjang rajungan pertama kali matang gonad (Lm) berada pada nilai 115,89 mm dan panjang rajungan pertama kali tertangkap (Lc) berada pada nilai 117,93 mm. Di Cirebon, lingkungan perairan sumberdaya rajungan, memiliki kisaran suhu antara 28° C dan 29° C, salinitas antara 25 ‰ dan 30 ‰, derajat keasaman (pH) antara 7 dan 8, serta tingkat kecerahan antara 4 dan 5 meter

    PENGARUH RESPON GERAKAN TANKER PADA SISTEM TERTAMBAT CONVENTIONAL BUOY MOORING (CBM) TERHADAP VARIASI BEBAN LINGKUNGAN

    No full text
    Perkembangan sistem transfer minyak dan gas lepas pantai terapung tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sistem tambat untuk menjaga posisi bangunan apung dalam kondisi stasionkeeping. Respon gerakan dan tension tali tambat merupakan parameter penting yang digunakan dalam merancang konfigurasi sistem tali tambat. Sistem tali tambat yang biasa digunakan pada perairan dangkal adalah sistem Conventional buoy Mooring (CBM), selain kemudahan dalam proses instalasi dan perawatan, sistem ini juga relatif lebih murah jika dibandingkan dengan sistem point mooring yang dapat berputar mengikuti arah beban lingkungannya (weathervaning). Analisis numerik pada konfigurasi tertambat CBM dilakukan untuk mengidentifikasi respon gerakan bangunan apung akibat beban lingkungan secara collinear dan non-collinear. Simulasi time domain Cummins dilakukan untuk menyelesaikan persamaan gerak tanker dan sistem tambat secara simultan. Pada analisis yang dilakukan, didapatkan respon gerakan tanker pada kondisi pembebanan non-collinear lebih dominan pada gerakan surge, sway dan pitch sebesar 82%, 10% dan 12% secara berturut-turut. Sedangkan gerakan heave, roll dan yaw, respon gerakan lebih besar ditemukan pada pembebanan collinear sebesar 3%, 64% dan 17% secara berturut-turut. Berdasarkan analisis fast fourier transform (FFT) didapatkan spectral density gerakan horizontal (surge, sway dan yaw) memiliki dua puncak, puncak pertama pada frekuensi rendah (0.00-0,10 rad/s), dipengaruhi oleh frekuensi natural sistem tertambat yang beresonansi dengan gelombang orde-2 dan puncak kedua pada frekuensi 0.30 rad/s yang dipengaruhi oleh gelombang orde-1

    Pancreatic surgery outcomes: multicentre prospective snapshot study in 67 countries

    No full text
    Background: Pancreatic surgery remains associated with high morbidity rates. Although postoperative mortality appears to have improved with specialization, the outcomes reported in the literature reflect the activity of highly specialized centres. The aim of this study was to evaluate the outcomes following pancreatic surgery worldwide.Methods: This was an international, prospective, multicentre, cross-sectional snapshot study of consecutive patients undergoing pancreatic operations worldwide in a 3-month interval in 2021. The primary outcome was postoperative mortality within 90 days of surgery. Multivariable logistic regression was used to explore relationships with Human Development Index (HDI) and other parameters.Results: A total of 4223 patients from 67 countries were analysed. A complication of any severity was detected in 68.7 percent of patients (2901 of 4223). Major complication rates (Clavien-Dindo grade at least IIIa) were 24, 18, and 27 percent, and mortality rates were 10, 5, and 5 per cent in low-to-middle-, high-, and very high-HDI countries respectively. The 90-day postoperative mortality rate was 5.4 per cent (229 of 4223) overall, but was significantly higher in the low-to-middle-HDI group (adjusted OR 2.88, 95 per cent c.i. 1.80 to 4.48). The overall failure-to-rescue rate was 21 percent; however, it was 41 per cent in low-to-middle-compared with 19 per cent in very high-HDI countries.Conclusion: Excess mortality in low-to-middle-HDI countries could be attributable to failure to rescue of patients from severe complications. The authors call for a collaborative response from international and regional associations of pancreatic surgeons to address management related to death from postoperative complications to tackle the global disparities in the outcomes of pancreatic surgery (NCT04652271; ISRCTN95140761)
    corecore