71,016 research outputs found
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN DALAM REKAYASA KASUS OLEH PENYIDIK DIHUBUNGKAN DENGAN UU NO 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen keempat menjadi sangat penting
sebagai landasan idiil bagi pemerintah untuk memberikan perlindungan yang seamanamannya
kepada seluruh tumpah darah Indonesia serta memberikan rasa adil kepada
masyarakat tanpa adanya perbedaan, yang tercantum dalam pasal 28 D ayat (1) yaitu
“perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”. Pengertian penyidik diatur dalam KUHAP yang terdapat pada Pasal 1 butir 1
yang berbunyi sebagai berikut,“Penyidik adalah pejabat polisi Negara republik
Indonesia atau PPNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang undang
untuk melakukan penyidikan.”Yahya Harahap menjelaskan keterangan yang
dikemukakan saksi dalam pemeriksaan penyidikan, dicatat dengan teliti oleh penyidik
dalam BAP. Dalam pelaksanaan BAP ada beberapa kasus yang sengaja direkayasa untuk
merugikan seorang tersangka atau terdakwa. Jelas perbuatan penyidik ini tidaklah
dibenarkan karena dapat merugikan sesorang dengan merekayasa BAP tersebut, seperti
kasus dibawah ini yang terjadi di Riau dan Surabaya. Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (Kontras) telah mendapatkan petikan putusan Peninjauan
Kembali (PK) kasus dugaan pembunuhan yang dilakukan Yusman Telaumbanua.
Berdasarkan uraian di atas terhadap kasus rekayasa Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
yang dilakukan oleh penyidik jelas-jelas sangat merugikan seorang tersangka dan bahkan
memberatkannya, yang dimana seharusnya penyidik bersikap objektif dalam memeriksa
seorang tersangka dan saksi-saki dalam suatu kasus pidana yang sedang diproses tersebut
supaya terjadi kepastiaan hukum demi tercapainya tujuan hukum.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulisan hukum ini dibuat berdasarkan
metode penulisan deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, dan merujuk
pada UU No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana serta di hubungkan dengan
Keputusan Kapolri No. 12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan
Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, mengingat
penelitian ini bertitik tumpu pada norma hukum dan asas-asas hukum pidana dalam
hukum positif serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka teknik pengumpulan
data penulis menggunakan studi kepustakaan yang didapat dari media cetak dan
elektronik, serta wawancara dilapangan. Dengan demikian dalam melakukan pemeriksaan
penyidik tidak dapat melakukan kekerasan yang merupakan ancaman bagi tersangka,
selalu mengedepankan hak-hak tersangka, apabila terdapat rekayasa BAP karena adanya
intimidasi yang berujung kriminalisasi terhadap tersangka, Atas dasar hukum yang
berlaku maka dalam proses pemeriksaan pendahuluan seorang tersangka tidak dapat
diperlakukan sebagai Terdakwa (obyek) yang harus diperiksa, melainkan tersangka
dilakukan sebagai subyek.. Ketentuan ini jelas terdapat dalam pasal di atas (Pasal 52 dan
184 ayat 1) KUHAP dan Dalam upaya mencegah terjadinya rekayasa BAP, diperlukan
penataan kewenangan dalam proses hukum pidana karena terlihat pada fakta yang
menunjukan penumpukan kewenangan pada polisi dengan fungsi penyidikan dan
penyelidikan. Kontrol dan akuntabilitas diperlukan dalam pengawasan institusi setiap
divisi guna terciptanya profesionalitas yang mengurangi resiko kesalahan prosedur kerja.
Kata Kunci : Penyidikan, Tersangka, Dan Berita Acara Pidana
Video Evidence That London Infants Can Resettle Themselves Back to Sleep After Waking in the Night, as well as Sleep for Long Periods, by 3 Months of Age
Objective: Most infants become settled at night by 3 months of age, whereas infants not settled by 5 months are likely to have long-term sleep-waking problems. We assessed whether normal infant development in the first 3 months involves increasing sleep-period length or the ability to resettle autonomously after waking in the night. Methods: One hundred one infants were assessed at 5 weeks and 3 months of age using nighttime infrared video recordings and parental questionnaires. Results: The clearest development was in sleep length; 45% of infants slept continuously for 5 hours or more at night at 3 months compared with 10% at 5 weeks. In addition, around a quarter of infants woke and resettled themselves back to sleep in the night at each age. Autonomous resettling at 5 weeks predicted prolonged sleeping at 3 months suggesting it may be a developmental precursor. Infants reported by parents to sleep for a period of 5 hours or more included infants who resettled themselves and those with long sleeps. Three-month olds fed solely breast milk were as likely to self-resettle or have long sleep bouts as infants fed formula or mixed breast and formula milk. Conclusions: Infants are capable of resettling themselves back to sleep in the first 3 months of age; both autonomous resettling and prolonged sleeping are involved in “sleeping through the night” at an early age. Findings indicate the need for physiological studies of how arousal, waking, and resettling develop into sustained sleeping and of how environmental factors support these endogenous and behavioral processes
LAPORAN INDIVIDU PRAKTIK PENGALAMAN LAPANGAN (PPL) UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) merupakan perguruan tinggi negeri yang pada awal namanya IKIP kemudian menjadi Universitas Negeri Yogyakarta namun demikian basis yang diterapkan yaitu sama halnya dengan IKIP yaitu mempunyai tugas untuk menyelenggarakan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat serta membina tenaga kependidikan. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka UNY memberikan pengetahuan dan ketrampilan kepada mahasiswa program studi pendidikan pada salah satu mata kuliah yaitu Praktik Pengalaman Lapangan (PPL). Kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) UniversitasNegeri Yogyakarta secaraterpadudilaksanakan mulai dari tanggal 1 Juli sampaidengan 14 September 2014bertujuanuntukmendapatkanpengalaman pengajaran pada di kondisilapangan yang sesungguhnya. Sehingga mahasiswa memiliki pengalaman nyata tentang proses mengajar dan diharapkan agar PPL ini dapat menjadi bekal bagi mahasiswa untuk mengembangkan diri sebagai tenaga kependidikan yang profesional pada saat memasuki dunia kerja. Lokasi pratikan melaksanakan PPL adalah di SMK PI AMBARUKMO yang beralamatkan di Jl. Cendrawasih 125 Mancasan Lor, Condongcatur, Telp. (0274) 4477515.
Mahasiswa dalam pelaksanaan PPL melalui beberapa tahap yaitu pertama observasi ke sekolah dengan melihat secara langsung Kegiatan belajar mengajar (KBM) yang dilakukan oleh Guru bidang studi sesuai disiplin ilmunya masing-masing. Kemudian dilaksanakan PPL I yaitu kegiatan mengajar di kampus bersama dosen mikro dan para mahasiswa dalam rangka persiapan praktik mengajar di sekolah. Kegiatan PPL yang dilaksanakan di sekolah meliputi tahap persiapan, praktik mengajar, dan analisis pelaksanaan PPL. Pada tahap persiapan meliputi observasi kegiatan belajar mengajar di kelas dan pembuatan perangkat pembelajaran, yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) serta persiapan media pembelajaran. Tahap persiapan dilanjutkan dengan praktik mengajar yang merupakan kegiatan inti dari PPL. Praktik mengajar disesuaikan dengan jadwal mengajar guru pembimbing, meliputi pendahuluan, kegiatan inti, dan penutupan.
Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) ini dijadikan proses pembelajaran bagi mahasiswa sebagai calon guru atau pendidik Bahasa Prancis dan dapat meningkatkan serta mengembangkan diri. Semoga dengan adanya kegiatan PPL ini dapat dijadikan sebagai sarana untuk menjadikan diri sebagai guru atau pendidik yang profesional yaitu guru yang mempunyai nilai, sikap, kemampuan dan ketrampilan yang memadai sesuai dengan bidangnya masing-masing
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN DALAM REKAYASA UMUR OLEH PENYIDIK DIHUBUNGKAN DENGAN UU NO 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen keempat menjadi sangat penting
sebagai landasan idiil bagi pemerintah untuk memberikan perlindungan yang seaman
amannya kepada seluruh tumpah darah Indonesia serta memberikan rasa adil kepada
masyarakat tanpa adanya perbedaan, yang tercantum dalam pasal 28 D ayat (1) yaitu
“perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”. Pengertian penyidik diatur dalam KUHAP yang terdapat pada Pasal 1 butir 1
yang berbunyi sebagai berikut,“Penyidik adalah pejabat polisi Negara republik
Indonesia atau PPNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang undang
untuk melakukan penyidikan.”Yahya Harahap menjelaskan keterangan yang
dikemukakan saksi dalam pemeriksaan penyidikan, dicatat dengan teliti oleh penyidik
dalam BAP. Dalam pelaksanaan BAP ada beberapa kasus yang sengaja direkayasa untuk
merugikan seorang tersangka atau terdakwa. Jelas perbuatan penyidik ini tidaklah
dibenarkan karena dapat merugikan sesorang dengan merekayasa BAP tersebut, seperti
kasus dibawah ini yang terjadi di Riau dan Surabaya. Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (Kontras) telah mendapatkan petikan putusan Peninjauan
Kembali (PK) kasus dugaan pembunuhan yang dilakukan Yusman Telaumbanua.
Berdasarkan uraian di atas terhadap kasus rekayasa Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
yang dilakukan oleh penyidik jelas-jelas sangat merugikan seorang tersangka dan bahkan
memberatkannya, yang dimana seharusnya penyidik bersikap objektif dalam memeriksa
seorang tersangka dan saksi-saki dalam suatu kasus pidana yang sedang diproses tersebut
supaya terjadi kepastiaan hukum demi tercapainya tujuan hukum.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulisan hukum ini dibuat berdasarkan
metode penulisan deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, dan merujuk
pada UU No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana serta di hubungkan dengan
Keputusan Kapolri No. 12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan
Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, mengingat
penelitian ini bertitik tumpu pada norma hukum dan asas-asas hukum pidana dalam
hukum positif serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka teknik pengumpulan
data penulis menggunakan studi kepustakaan yang didapat dari media cetak dan
elektronik, serta wawancara dilapangan.
Dengan demikian dalam melakukan pemeriksaan penyidik tidak dapat melakukan
kekerasan yang merupakan ancaman bagi tersangka, selalu mengedepankan hak-hak
tersangka, apabila terdapat rekayasa BAP karena adanya intimidasi yang berujung
kriminalisasi terhadap tersangka, Atas dasar hukum yang berlaku maka dalam proses
pemeriksaan pendahuluan seorang tersangka tidak dapat diperlakukan sebagai Terdakwa
(obyek) yang harus diperiksa, melainkan tersangka dilakukan sebagai subyek.. Ketentuan
ini jelas terdapat dalam pasal di atas (Pasal 52 dan 184 ayat 1) KUHAP dan Dalam upaya
mencegah terjadinya rekayasa BAP, diperlukan penataan kewenangan dalam proses
hukum pidana karena terlihat pada fakta yang menunjukan penumpukan kewenangan
pada polisi dengan fungsi penyidikan dan penyelidikan. Kontrol dan akuntabilitas
diperlukan dalam pengawasan institusi setiap divisi guna terciptanya profesionalitas yang
mengurangi resiko kesalahan prosedur kerja.
Kata Kunci : Penyidikan, Tersangka, Dan Berita Acara Pidana
Increased circulating levels of vitamin D binding protein in MS patients
Vitamin D (vitD) low status is currently considered a main environmental factor in multiple sclerosis (MS) etiology and pathogenesis. VitD and its metabolites are highly hydrophobic and circulate mostly bound to the vitamin D binding protein (DBP) and with lower affinity to albumin, while less than 1\% are in a free form. The aim of this study was to investigate whether the circulating levels of either of the two vitD plasma carriers and/or their relationship are altered in MS. We measured DBP and albumin plasma levels in 28 MS patients and 24 healthy controls. MS patients were found to have higher DBP levels than healthy subjects. Concomitant interferon beta therapy did not influence DBP concentration, and the difference with the control group was significant in both females and males. No significant correlation between DBP and albumin levels was observed either in healthy controls or in patients. These observations suggest the involvement of DBP in the patho-physiology of MS
The sizes of BLRs and BH masses of double-peaked broad low-ionization emission line objects
In this paper, the sizes of the BLRs and BH masses of DouBle-Peaked broad
low-ionization emission line emitters (dbp emitters) are compared using
different methods: virial BH masses vs BH masses from stellar velocity
dispersions, the size of BLRs from the continuum luminosity vs the size of BLRs
from the accretion disk model. First, the virial BH masses of dbp emitters
estimated by the continumm luminosity and line width of broad H are
about six times (a much larger value, if including another dbp emitters, of
which the stellar velocity dispersions are traced by the line widths of narrow
emission lines) larger than the BH masses estimated from the relation which is a more accurate relation to estimate BH masses. Second, the
sizes of the BLRs of dbp emitters estimated by the empirical relation of
are about three times (a much larger value, if
including another dbp emitters, of which the stellar velocity dispersions are
traced by the line widths of narrow emission lines) larger than the mean
flux-weighted sizes of BLRs of dbp emitters estimated by the accretion disk
model. The higher electron density of BLRs of dbp emitters would be the main
reason which leads to smaller size of BLRs than the predicted value from the
continuum luminosity.Comment: 7 pages, two figures and one table. Accepted by MNRA
Evidence suggesting that di-n-butyl phthalate has anti-androgenic effects in fish
This article is the pre-print version of the full and final published article.Phthalate ester plasticizers are anti-androgenic in mammals. High doses of certain phthalates consistently interfere with the normal development of male offspring exposed in utero, causing disrupted sperm production, abnormal development of the genitalia, and in some cases infertility. In the environment, phthalates are considered ubiquitous and are commonly measured in aquatic ecosystems at low ng to mu g per litre concentrations. Given the similarity between mammalian and teleost endocrine systems, phthalate esters may be able to cause anti-androgenic endocrine disruption in fish in the wild. In the present study, adult male three-spined sticklebacks (Gasterosteus aculetaus) (n = 8) were exposed to di-n-butyl phthalate (DBP) (0, 15, and 35 mu g DBP/L) for 22 d and analyzed for changes in nesting behavior, plasma androgen concentrations, spiggin concentrations, and steroidogenic gene expression. Plasma testosterone concentrations were significantly higher in males from the 35 mu g DBP/L group compared with the solvent control, whereas plasma 11-ketotestosterone concentrations were not significantly affected. Expression of steroid acute regulatory protein and 3 beta-hydroxysteroid dehydrogenase remained unchanged. Spiggin concentrations were significantly lower in the males exposed to 35 mu g DBP/L. Nest building appeared to be slower in some males exposed to DBP, but this was not statistically significant. These results suggest that DBP has anti-androgenic effects in fish. However, further research is required to firmly establish the consequences of chronic DBP exposure in fish
Vitamin D Binding Protein, Total and Free Vitamin D Levels in Different Physiological and Pathophysiological Conditions.
This review focuses on the biologic importance of the vitamin D binding protein (DBP) with emphasis on its regulation of total and free vitamin D metabolite levels in various clinical conditions. Nearly all DBP is produced in the liver, where its regulation is influenced by estrogen, glucocorticoids and inflammatory cytokines but not by vitamin D itself. DBP is the most polymorphic protein known, and different DBP alleles can have substantial impact on its biologic functions. The three most common alleles-Gc1f, Gc1s, Gc2-differ in their affinity with the vitamin D metabolites and have been variably associated with a number of clinical conditions. Although DBP has a number of biologic functions independent of vitamin D, its major biologic function is that of regulating circulating free and total levels of vitamin D metabolites. 25 hydroxyvitamin D (25(OH)D) is the best studied form of vitamin D as it provides the best measure of vitamin D status. In a normal non-pregnant individual, approximately 0.03% of 25(OH)D is free; 85% is bound to DBP, 15% is bound to albumin. The free hormone hypothesis postulates that only free 25(OH)D can enter cells. This hypothesis is supported by the observation that mice lacking DBP, and therefore with essentially undetectable 25(OH)D levels, do not show signs of vitamin D deficiency unless put on a vitamin D deficient diet. Similar observations have recently been described in a family with a DBP mutation. This hypothesis also applies to other protein bound lipophilic hormones including glucocorticoids, sex steroids, and thyroid hormone. However, tissues expressing the megalin/cubilin complex, such as the kidney, have the capability of taking up 25(OH)D still bound to DBP, but most tissues rely on the free level. Attempts to calculate the free level using affinity constants generated in a normal individual along with measurement of DBP and total 25(OH)D have not accurately reflected directly measured free levels in a number of clinical conditions. In this review, we examine the impact of different clinical conditions as well as different DBP alleles on the relationship between total and free 25(OH)D, using only data in which the free 25(OH)D level was directly measured. The major conclusion is that a number of clinical conditions alter this relationship, raising the question whether measuring just total 25(OH)D might be misleading regarding the assessment of vitamin D status, and such assessment might be improved by measuring free 25(OH)D instead of or in addition to total 25(OH)D
Coherent 100G Nonlinear Compensation with Single-Step Digital Backpropagation
Enhanced-SSFM digital backpropagation (DBP) is experimentally demonstrated
and compared to conventional DBP. A 112 Gb/s PM-QPSK signal is transmitted over
a 3200 km dispersion-unmanaged link. The intradyne coherent receiver includes
single-step digital backpropagation based on the enhanced-SSFM algorithm. In
comparison, conventional DBP requires twenty steps to achieve the same
performance. An analysis of the computational complexity and structure of the
two algorithms reveals that the overall complexity and power consumption of DBP
are reduced by a factor of 16 with respect to a conventional implementation,
while the computation time is reduced by a factor of 20. As a result, the
proposed algorithm enables a practical and effective implementation of DBP in
real-time optical receivers, with only a moderate increase of the computational
complexity, power consumption, and latency with respect to a simple
feed-forward equalizer for dispersion compensation.Comment: This work has been presented at Optical Networks Design & Modeling
(ONDM) 2015, Pisa, Italy, May 11-14, 201
- …