18 research outputs found

    Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung

    Full text link
    Permasalahan hutan lindung Indonesia sudah sangat kritis, penurunan luas dan kerusakan hutan lindung sejak 1997 sampai 2002 dua kali lebih besar dari kerusakan hutan produksi. Melihat kondisi yang demikian, muncul beberapa pertanyaan mendasar, seperti sejauh mana kebijakan dan peraturan Perundangan yang ada mendukung ke arah pengelolaan hutan lindung yang berkelanjutan? Adakah dampak kebijakan ini terhadap pengelolaan hutan lindung? Sudah tepatkah kebijakan dan peraturan Perundangan yang ada sehingga mendukung ke arah tujuan dari Peruntukkan kawasan hutan lindung tersebut? Kajian tentang kebijakan pengelolaan hutan lindung ini selain bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, juga bertujuan untuk mengkaji kebijakan dan peraturan Perundangan terkini yang berkaitan dengan pengelolaan hutan lindung. Secara lebih khusus, penelitian ini bertujuan untuk (i) mengidentifikasi kebijakan dan peraturan Perundangan yang mengatur secara langsung maupun tidak langsung hutan lindung, mulai tingkat pusat sampai daerah, (ii) menelaah kebijakan dan peraturan Perundangan, termasuk mengkaji konsistensi dan sinkronisasi kebijakan tersebut, (iii) mengetahui kondisi hutan lindung saat ini, dan (iv) merekomendasikan kebijakan pengelolaan hutan lindung yang diperlukan untuk mencapai pembangunan hutan lindung yang berkelanjutan. Hasil kajian terhadap 83 peraturan yang mengatur hutan lindung, menunjukkan masih belum jelas dan terarahnya kebijakan pengelolaan hutan lindung yang berkelanjutan. Walaupun berbagai Perundangan mulai dari UU No. 41/1999, PP 44/2004, PP 34/2002, Keppres 32/1990 sudah secara jelas menyebutkan fungsi, peranan dan kriteria hutan lindung, serta bentuk pemanfaatan yang dapat dilakukan di atasnya. Tetapi Perundangan yang sama masih mengijinkan Perubahan penggunaan areal hutan lindung untuk kepentingan penggunaan di luar kehutanan, termasuk pertambangan tertutup. Sehingga keberadaan hutan lindung menurut peraturan Perundangan masih dilematis. Secara lebih rinci persoalan dalam kebijakan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, masih terdapat perbedaan mendasar antar Perundangan tentang istilah-istilah yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan lindung. Kedua, adanya dualisme kebijakan pemerintah, dimana di satu sisi berupaya untuk melindungi kawasan lindung dan menetapkan aturan-aturan untuk melestarikannya, tapi di sisi lain membuka peluang kawasan hutan lindung tersebut untuk dieksploitasi. Ketiga, belum terlihatnya harmonisasi kebijakan yang dapat menjadi dasar dan acuan dalam pengelolaan hutan lindung di daerah. Keempat, adanya kebijakan yang overlapping dan membingungkan pelaksana lapangan. Kelima, kurangnya apresiasi pemerintah kabupaten terhadap fungsi ekologis dari hutan lindung sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan mencegah intrusi air laut. Keenam, tidak mengacunya kebijakan yang lebih rendah kepada peraturan yang berkaitan erat yang berada diatasnya. Penelitian ini menyarankan perlunya meningkatkan kebijakan terutama dalam hal : (i) mewujudkan persamaan persepsi tentang fungsi hutan lindung antar instansi yang terkait dalam pengelolaan hutan lindung, dan (ii) kebijakan yang komprehensif, integrated, dan tidak overlapping

    Kondisi Tata Kelola Hutan untuk Implementasi Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) di Indonesia

    Full text link
    Salah satu elemen kritis untuk mendukung keberhaslan REDD+ adalah melalui upaya meningkatkan tata kelola kepemerintahan yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis upaya kondisi tata kelola lembaga REDD+ sudah ada. Penelitian dilakukan pada tahun 2011 di Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Berau. Pemilihan kedua lokasi ini didasarkan pada keberadaan kegiatan percontohan (Demonstration Activities good) di lokasi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga REDD+yang ada belum sepenuhnya mencerminkan tiga pilar dalam good governance , keterwakilan unsur masyarakat masih kurang. Indikator profesionalisme menduduki nilai tertinggi, sedangkan indikator partisipasi menduduki nilai terendah. Lembaga yang dapat berpotensi untuk menjadi lembaga REDD+ tersebut juga belum sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip good governance , hal ini karena baru dalam tahap awal operasional. Lembaga REDD+ yang ada semuanya merupakan lembaga ad hoc sehingga bersifat sementara, ada kecenderungan tidak adanya learning organization dan mengarah ke overlapping fungsi. Penelitian menyarankan beberapa hal: (i) penguatan tata kelola hutan pada lembaga REDD+ yang sudah ada bisa dilakukan melalui penguatan pilar masyarakat dan penguatan prinsip partisipasi, (ii) masyarakat atau pihak yang mewakili masyarakat perlu dilibatkan dalam struktur kelembagaan REDD+, (iii) Penilaian prinsip-prinsip good governance dalam institusi REDD+ akan lebih komprehensif jika dilakukan pada kondisi implementasi, dimana mekanisme distribusi pembayaran dari kegiatan penurunan emisi sudah berjalan, (iv) Fungsi fasilitas perlu terus diperkuat sebagai penggerak mekanisme REDD+ agar dapat terimplementasikan dan (iv) Struktur organisasi yang terbaik mengikuti strategi REDD+yang ditetapkan

    Kelembagaan Aforestasi dan Reforestasi Mekanisme Pembangunan Bersih (A/r Mpb) di Indonesia: Kasus di Nusa Teggara Barat dan Jawa Barat 1

    Full text link
    Kelembagaan Mekanisme Pembangunan Bersih untuk dan (A/R MPB) Aforestasi Reforestasi menarik untuk dikaji karena berbagai hal, diantaranya: (i) siklus proses perolehan Sertifikat Penurunan Emisi yang panjang, sehingga pedoman yang jelas pada setiap tahap sangat diperlukan (Yamada dan Fujimori, 2003), (ii) lahan kosong dan terdegradasi yang perlu direhabilitasi sangat luas, dan (iii) merupakan alternative pilihan dana reboisasi yang menarik di tengah minimnya dana DR dan APBN. Bagaimana bentuk kelembagaan MPB, siapa saja lembaga yang terlibat dan apa saja yang perlu dilakukan terutama di tingkat daerah agar mekanisme pelaksanaan MPB lebih efisien dari aspek biaya dan waktu, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang mendasari dilakukannya penelitian ini. Metode AHP digunakan sebagai alat analisis. Pre-MPB proyek di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan JIFPRO ( ) sebagai investor awal dipilih sebagai lokasi penelitian. Japan International Forestry Promotion and Cooperation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan MPB A/R harus mencakup dan melibatkan kelembagaan pada tingkat daerah, nasional dan Internasional. Kelembagaan daerah sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan MPBA/R, terutama berkaitan dengan pemilihan lokasi atau lahan MPByang layak berdasarkan definisi Protokol Kyoto, jelas status kepemilikannya, dan tidak mempunyai resiko sosial yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya bobot kepentingan indikator lahan dan indikator sosial di NTBdan jawa Barat, yaitu masing-masing 28% dan 31%. Struktur kelembagaan MPB A/R di daerah saat ini disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dan sistem administrasi setempat. Karena itu struktur kelembagaan di NTB dan Jawa Barat berbeda, di NTB terdapat beberapa pihak yang mempunyai peran penentu dalam mengarahkan pelaksanaan MPB yaitu Dinas Kehutanan Propinsi, Gubernur NTB dan Bupati Lombok Timur, Departemen Kehutanan terutama Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Dirjen RLPS) serta JIFPRO. Untuk Jawa Barat hanya melibatkan Departemen Kehutanan terutama Dirjen RLPS, dan BP DAS Citarum Ciliwung, serta JIFPRO. Keduanya melibatkan JIFPRO sebagai investor awal, yang menandakan pentingnya peran investor awal dalam memulai kegiatan MPBA/R. Hasil penelitian menyarankan perlunya dibentuk komisi daerah MPB atau forum MPB daerah yang dapat berfungsi untuk koordinasi, fasilitasi dan sinkronisasi kegiatan MPB mulai tingkat lokal sampai nasional

    Una comparación de la exactitud de los análisis objetivos

    Get PDF

    Nilai Ekonomi Air di Sub DAS Konto dan Sub DAS Cirasea

    Full text link
    Nilai ekonomi manfaat hidrologis yang dihasilkan hutan lindung belum diketahui secara luas, sehingga apresiasi terhadap hutan lindung masih rendah dan tekanan terhadap hutan lindung masih terus berlangsung. Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji nilai-ekonomi manfaat hidrologis air dari hutan lindung. Metode yang digunakan adalah pendekatan biaya pengadaan, yang mencerminkan nilai minimal manfaat ekonomi air yang dirasakan rumah tangga di hulu DAS yang langsung memanfaatkan air dari sumber mata air hutan lindung. Analisis ini menggunakan software Minitab versi 13.0. Penelitian dilakukan di bagian hulu-tengah DAS Brantas, yaitu di Sub DAS Konto, yang mengalirkan air ke waduk Selorejo, dan di Sub DAS Cirasea, hulu DAS Citarum. Lokasi ini dipilih karena merupakan DAS yang paling banyak memiliki permasalahan, terutama polusi air permukaan, konflik air, dan penurunan muka air tanah, serta merupakan sumber air utama untuk Perum Jasa Tirta (PJT) I dan PJT II yang merupakan BUMN pensuplai air terbesar di pulau Jawa. Hasil penelitian menunjukkan nilai ekonomi air untuk manfaat hidrologis Sub DAS Konto, dan Sub DAS Cirasea, masing-masing sebesar Rp. 37.873.740.832/tahun dan Rp. 76.769.512.989/tahun, nilai ini adalah nilai yang diberikan oleh keberadaan hutan lindung di Sub DAS Brantas dan Sub DAS Cirasea yang menghasilkan manfaat hidrologis terhadap rumah tangga. Hasil perhitungan nilai ekonomi air dari manfaat hidrologis yang dihasilkan sebagai fungsi dari keberadaan kawasan hutan lindung di Sub DAS Brantas dan Sub DAS Cirasea ini, hanya sebagian kecil dari nilai ekonomi air total yang dikandung oleh kawasan hutan lindung di Sub DAS Brantas dan Sub DAS Cirasea karena masih banyak pengguna-pengguna air lain yang lebih besar seiring dengan mengalirnya air

    Economic Assessment of Some Agro Forestry Systems and Its Potential for Carbon Sequestration Service in Indonesia

    Get PDF
    This paper provides several alternatives agroforestry and plantation systems to consider for carbon sequestration purposes. It is indicated that multicropping of coffee multistrata or fruit trees such as mango, duku and durian with timber or food and vegetable crops produces more benefits financially and economically compared to monoculture of tree plantation such as albizia. The former system is more attractive in terms of return to labour and land. However, the later system produce more carbon and low cost of carbon, which is more potential from the buyers point of view: So there is a trade-off from supply and demand side for choosing the best alternatives system. Implication of these are as follows: (i) amount and price of product is becoming a key factors in determining whether a system is more feasible for selling of product or carbon trade, and (ii) there is a need to create incentives system for land owners/producers if carbon trade is a priority

    The Reliability of Global and Hemispheric Surface Temperature Records

    Get PDF
    The purpose of this review article is to discuss the development and associated estimation of uncertainties in the global and hemispheric surface temperature records. The review begins by detailing the groups that produce surface temperature datasets. After discussing the reasons for similarities and differences between the various products, the main issues that must be addressed when deriving accurate estimates, particularly for hemispheric and global averages, are then considered. These issues are discussed in the order of their importance for temperature records at these spatial scales: biases in SST data, particularly before the 1940s; the exposure of land-based thermometers before the development of louvred screens in the late 19th century; and urbanization effects in some regions in recent decades. The homogeneity of land-based records is also discussed; however, at these large scales it is relatively unimportant. The article concludes by illustrating hemispheric and global temperature records from the four groups that produce series in near-real time

    Informal support to first-parents after childbirth: a qualitative study in low-income suburbs of Dar es Salaam, Tanzania

    Get PDF
    <p>Abstract</p> <p>Background</p> <p>In Tanzania, and many sub-Saharan African countries, postpartum health programs have received less attention compared to other maternity care programs and therefore new parents rely on informal support. Knowledge on how informal support is understood by its stakeholders to be able to improve the health in families after childbirth is required. This study aimed to explore discourses on health related informal support to first-time parents after childbirth in low-income suburbs of Dar es Salaam, Tanzania.</p> <p>Methods</p> <p>Thirteen focus group discussions with first-time parents and female and male informal supporters were analysed by discourse analysis.</p> <p>Results</p> <p>The dominant discourse was that after childbirth a first time mother needed and should be provided with support for care of the infant, herself and the household work by the maternal or paternal mother or other close and extended family members. In their absence, neighbours and friends were described as reconstructing informal support. Informal support was provided conditionally, where poor socio-economic status and non-adherence to social norms risked poor support. Support to new fathers was constructed as less prominent, provided mainly by older men and focused on economy and sexual matters. The discourse conveyed stereotypic gender roles with women described as family caretakers and men as final decision-makers and financial providers. The informal supporters regulated the first-time parents' contacts with other sources of support.</p> <p>Conclusions</p> <p>Strong and authoritative informal support networks appear to persist. However, poverty and non-adherence to social norms was understood as resulting in less support. Family health in this context would be improved by capitalising on existing informal support networks while discouraging norms promoting harmful practices and attending to the poorest. Upholding stereotypic notions of femininity and masculinity implies great burden of care for the women and delimited male involvement. Men's involvement in reproductive and child health programmes has the potential for improving family health after childbirth. The discourses conveyed contradicting messages that may be a source of worry and confusion for the new parents. Recognition, respect and raising awareness for different social actors' competencies and limitations can potentially create a health-promoting environment among families after childbirth.</p
    corecore