213 research outputs found

    Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 Sebagai Pedoman Pemidanaan Pelaku Tindak Pidana Korupsi

    Get PDF
    Abstract Judicial acts of corruption in Indonesia are not fully carried out in accordance with applicable legal norms, caused by deviations from norms so that collusion occurs. As a result of the legal discrepancy in the implementation of the corruption trial, the community loses accountability and doubts the credibility of state officials in enforcing the law on corruption. Positive law regulates material corruption which is more profitable for corruptors so that the implementation of a simple, fast and low-cost, collusion-free judiciary cannot be carried out. Since Perma No.1/2020 was promulgated, it has not reduced the criminalization of corruption cases in terms of light sentences, which should have been eradicated in extra ordinary measures. Corruption trials have precedents in the form of decisions by previous courts that create legal loopholes for judges to determine the same decision, namely light sentences against perpetrators of corruption. The researchmethod used in this research is normative legal research and uses a research approach including statutory approach, conceptual approach, and case approach. The results of this study indicate that Perma No.1/2020 has no value of justice from a societal perspective and after theSupreme Court regulation was promulgated for more than a year it is known that this regulation is optional and does not bind judges to be guided by Perma No.1/2020. Therefore, Perma No.1/2020 must have its material formulation changed and judicially reviewed by thesupreme court with the aim of Perma No.1/2020 the normative material is more proportional, of better quality and produces decisions withoutdisparities in corruption cases with the same characteristics to realize future rule of law. Keywords: criminal guidelines; Supreme Court regulations; value of justice Abstrak Peradilan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan norma hukum yang berlaku, disebabkan oleh penyimpangan norma sehingga kolusi terjadi. Akibat dari kesenjangan hukum pada implementasi peradilan tindak pidana korupsi masyarakat kehilangan akuntabilitas dan meragukan kredibilitas aparat negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Hukum positif mengatur korupsi materinya lebih menguntungkan terhadap pelaku korupsi sehingga implementasi peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan bebas kolusi tidak dapat terlaksana. Semenjak Perma No.1/2020 diundangkan juga tidak membuat pemidanaan kasus korupsiberkurang dalam aspek vonis ringan yang seharusnya pelaksanaan pemidanaan kasus korupsi diberantas secara extra ordinary measures.  Peradilan  tindak  pidana  korupsi  memiliki  preseden  berupa  putusan  oleh  pengadilan terdahulu membuat celah hukum bagi hakim untuk menetapkan putusan yang sama yaitu vonis ringan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian hukum normatif serta menggunakan pendekatan penelitian meliputipendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Perma No.1/2020 tidak memiliki nilai keadilan dalam perspektif masyarakat dan setelah peraturan mahkamah agung ini diundangkan lebih dari satu tahun diketahui bahwa regulasi ini fakultatif dan tidak mengikat hakim untuk wajibberpedoman pada Perma No.1/2020. Oleh karena itu, Perma No.1/2020 harus dirubah rumusan materinya dan di judicial review olehmahkamah agung dengan tujuan Perma No.1/2020 materi normanya lebih proporsional, berkualitas dan menghasilkan putusan tanpa adanya disparitas pada kasus korupsi dengan karakteristik yang sama untuk mewujudkan supremasi hukum di masa mendatang. Kata kunci: peraturan Mahkamah Agung, pedoman pemidanaan, nilai keadila

    Penerapan Metode Regresi Least Absolute Shrinkage and Selection Operator (LASSO) dan Regresi Linier untuk Memprediksi Tingkat Kemiskinan di Indonesia

    Get PDF
    Poverty is defined as a situation where a person or family is unable to meet the basic needs for survival, such as clothing, food, shelter, and education. This study aims to compare the accuracy of the Least Absolute Shrinkage and Selection Operator (Lasso) regression method and linear regression in predicting poverty levels in Indonesia and to choose the best model from the two methods used. The results of this study indicate that of the two algorithms used, namely the linear regression algorithm and Lasso regression, the algorithm that has a higher level of accuracy for predicting poverty rates in each province in Indonesia is the linear regression algorithm because it has a lower MSE value and has the value of R^2 is closer to 1 than the Lasso regression algorithm. In addition, the results of the analysis show that the variables that have the highest influence on poverty rates in provinces in Indonesia are education, as well as the Human Development Index (IPM).Keywords: Poverty Rate Prediction, Lasso Regression, Linear Regressio

    Penanggulangan Tindak Pidana Penipuan Dalam Pembelian Melalui Internet

    Get PDF
    Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana penanggulangan tindak pidana penipuan dalam pembelian melalui internet dan bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa dalam tindak pidana penipuan melalui pembelian melalui internet. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dapat disimpulkan : 1. Penanggulangan tindak pidana penipuan dalam pembelian melalui internet. Kebijakan penal adalah penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana. Kebijakan tersebut dioperasionalisasikan dengan cara menerapkan hukum pidana, yaitu hukum pidana materil, hukum formil, dan hukum panitensier dalam masyarakat. Operasionalisasi kebijakan penal meliputi kriminalisasi, deskriminasi, penalisasi, dan depenalisasi. 2. Penyelesaian sengketa dalam tindak pidana penipuan dalam pembelian melalui internet. Transaksi belanja melalui internet seperti layaknya suatu transaksi konvensional dimana menimbulkan hak dan kewajiban antara pelaku USAha dan konsumen. Di dalam pemenuhan hak dan kewajiban ini tidak selamanya mulus. Sehingga dimungkinkan terjadinya sengketa antara pelaku USAha dan konsumen. Jika pelaku USAha dan konsumen sama-sama berada di wilayah negara Republik Indonesia maka penyelesaian sengketa dapat di lakukan menurut cara penyelesaian sengketa yang ada di Undang-Undang Perlindungan Konsumen

    SANKSI PIDANA DALAM SISTEM PEMIDANAAN MENURUT KUHP DAN DI LUAR KUHP

    Get PDF
    Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli. Bila disimak dari sudut perkembangan masyarakat manusia, perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui tentang suatu hal demi meningkatkan kesejahteraannya dengan mendasarkan diri pada pengalamannya di masa lampau. Pidana dan pemidanaan sebagai ilmu atau penologi akan terkait erat dengan filosofi pemidanaan. Bila diamati perkembangan hukum pidana dewasa ini di Indonesia, terutama Undang-Undang Pidana Khusus atau perundang-undangan pidana di luar KUHP, terdapat suatu kecenderungan penggunaan sistem dua jalur dalam stelsel sanksinya yang berarti sanksi pidana dan sanksi tindakan diatur sekaligus. Penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengadakan penelitian terhadap bahan hukum primer yaitu berupa ketentuan perundang-undangan, bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.  Hasil penelitian menunjukkan tentang bagaimana kedudukan sanksi dalam sistem pemidanaan menurut  KUHP? Serta bagaimana kedudukan sanksi dalam sistem pemidanaan yang diatur diluar KUHP. Pertama, Pidana merupakan bagian mutlak dari hukum pidana, karena pada dasar­nya hukum pidana memuat dua hal, yakni syarat-syarat untuk memungkinkan penjatuhan pidana dan pidananya itu sendiri. Jenis hukuman atau macam ancaman hukuman dalam Pasal 10 tersebut adalah Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Kedua, jenis sanksi tindakan masih terlihat belum tertata secara sistematis di Indonesia dalam peraturan tindak pidana khusus di luar KUHP. Terjadi inconsistency dalam penetapan sanksinya antara perundang-undangan pidana yang satu dengan perundang-undangan pidana lainnya. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut Pasal 10 KUHP, pidana dibedakan dalam pidana po­kok dan pidana tambahan. Urutan pidana dalam Pasal 10 dibuat menurut beratnya pidana, di mana yang terberat disebut terlebih dahulu. Dalam penerapan perumusannya pada tiap-tiap pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana digunakan sistem alternatif, dalam arti bila suatu tindak pidana, hakim hanya boleh memilih salah satu saja. Hal ini berbeda dengan sistem kumulatif dimana hakim dapat memilih lebih dari satu jenis pidan

    KAJIAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMAKSAAN MELAKUKAN HUBUNGAN INTIM OLEH SUAMI TERHADAP ISTERI NYA DI HUBUNGKAN DENGAN UU NO 23 TAHUN 2004

    Get PDF
    Pada era globalisasi ini masyarakat lambat laun berkembang, dimana perkembangan itu selalu diikuti proses penyesuaian diri yang kadang-kadang proses tersebut terjadi secara tidak seimbang. Masalah kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya merupakan salah satu kejahatan yang menjadi sorotan, karena keretakan hubungan keluarga yang kurang harmonis antara suami dan isteri yang tidak segera dipecahkan dengan hasil yang dirasakan tidak adil bagi korban sehingga tidak dapat mengembalikan hubungan baik antara pelaku dan korban. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah Faktor apa yang menyebabkan tindak pidana melakukan pemaksaan hubungan intim oleh suami terhadap isteri, Mengapa pemerintah merumuskan tindak pidana pemaksaan hubungan intim oleh suami terhadap isteri dalam UU KDRT dan Bagaimana mekanisme penyelesaian tindak pidana pemaksaan hubungan seksual oleh suami terhadap isteri menurut UU PKDRT. Penelitian menggunakan deskritif analitis yaitu menganalisis objek penelitian dengan memaparkan situasi dan masalah untuk memperoleh gambaran mengenai situasi dan keadaan, dengan cara memaparkan data yang di peroleh sebagaimana adanya kemudian dianalisis dan menghasilkan beberapa kesimpulan. Metode yang digunakan penulis adalah dengan pendekatan yuridis normatif melalui tahap penelitian berupa studi kepustakaan dan studi lapangan. Teknik pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan data dan menganalisis bahan-bahan hukum dan metode analisis data menggunakan yuridis kualitatif. Hasil analisis terhadap Faktor Tindak Pidana Kekerasan Hubungan Intim oleh Suami Terhadap Isteri dikarenakan istri terdakwa menolak untuk melakukan hubungan intim, pada saat menolak berhubungan intim suami melakukan kekerasan, sehinga suami memenuhi unsur dari Pasal 288 ayat (1) KUHP. Upaya pemerintah dalam merumuskan tindak pidana pemaksaan hubungan intim oleh suami terhadap isteri diantaranya melalui beberapa cara, cara tersebut adalah Represif dan Preventif, represif merupakan suatu pengendalian sosial yang dilakukan setelah terjadinya suatu pelanggaran atau merupakan usaha-usaha yang dilakukan setelah pelanggaran terjadi sedangkan preventif merupakan suatu pengendalian sosial yang dilakukan untuk mencegah kejadian yang belum terjadi atau merupakan suatu usaha yang dilakukan sebelum terjadinya suatu pelanggaran. Mekanisme penyelesaian tindak pidana pemaksaan hubungan seksual oleh suami terhadap isteri menurut UU PKDRT menggunakan perumusan system sanksi pidana jenis system perumusan alternative. Pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara atau denda dengan aturan minimum dan maksimum. Dalam memproses kasus kekerasan dalam rumah tangga ini, prosedur hukum yang dilakukan yakni melalui penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kata kunci : Kekerasan, Tindak Pidana, KDR

    KONTRIBUSI NORMA HUKUM ADAT DALAM PEMBAHARUAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

    Get PDF

    PEMBERLAKUAN KETENTUAN PIDANA DI BIDANG PERIKANAN AKIBAT MELAKUKAN PEMALSUAN PERSETUJUAN DAN PENDAFTARAN

    Get PDF
    Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana berkaitan dengan pemalsuan persetujuan dan pendaftaran di bidang perikanan dan bagaimana pemberlakuan ketentuan pidana di bidang perikanan akibat melakukan pemalsuan persetujuan dan pendaftaran. Dengan menggunakan metode peneltian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Bentuk-bentuk tindak pidana berkaitan dengan pemalsuan persetujuan dan pendaftaran di bidang perikanan, memalsukan dan/atau menggunakan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu. Nakhoda kapal perikanan yang tidak memiliki surat persetujuan berlayar dan adanya pemalsuan persetujuan dan pemalsuan pendaftaran yang melibatkan pejabat. 2. Pemberlakuan ketentuan pidana di bidang perikanan akibat melakukan pemalsuan persetujuan dan pendaftaran dipidana dengan pidana penjara dan denda, demikian pula terhadap nakhoda kapal perikanan yang tidak memiliki surat persetujuan berlayar. Dalam hal tindak pidana pemalsuan persetujuan dan pemalsuan pendaftaran melibatkan pejabat, pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana pokok.   Kata kunci : dakwaan kumulatif; perikanan; kajian; putusan; pemalsua

    TINDAK PIDANA PELANGGARAN FUNGSI JALAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2004 TENTANG JALAN

    Get PDF
    Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana terganggunya fungsi jalan menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 dan bagaimana sanksi pidana yang mengakibatkan terganggunnya fungsi jalan menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Terganggunya fungsi jalan yaitu dengan sengaja dan karena kelalaian melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, milik jalan, pengawasan jalan. Melakukan kegiatan penyelenggaraan jalan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang‑undangan. Melakukan kegiatan pengusahaan suatu ruas jalan tol sebelum adanya penetapan Menteri. Selain pengguna jalan tol dan petugas jalan tol yang dengan sengaja memasuki jalan tol. 2. Sanksi pidana mengakibatkan terganggunya fungsi adalah penyelenggaraan jalan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang‑undangan, mengusahakan suatu ruas jalan sebagai jalan tol sebelum adanya penetapan Menteri, dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika dilakukan karena kelalaian diberlakukan pidana kurungan dan pidana denda. Apabila dilakukan oleh badan usaha, baik karena kesengajaan maupun kelalalaian pidana dikenakan terhadap badan usaha yang bersangkutan berupa pidana denda ditambah sepertiga denda yang dijatuhkan.Kata kunci: Tindak Pidana, Pelanggaran,  Fungsi Jalan

    PEMBERLAKUAN KETENTUAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA INDIKASI GEOGRAFIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS

    Get PDF
    Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana indikasi geografis yang dapat dikenakan ketentuan pidana dan bagaimana pemberlakuan ketentuan pidana terhadap pelaku tindak pidana indikasi geografis menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis, disimpulkan: 1. Bentuk-bentuk tindak pidana indikasi geografis yang dapat dikenakan ketentuan pidana seperti bentuk perbuatan yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan pada keseluruhan dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar. Perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar. Perbuatan memperdagangkan barang dan/atau jasa dan/atau produk yang diketahui atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau produk tersebut merupakan hasil tindak pidana. 2.Pemberlakuan ketentuan pidana terhadap pelaku tindak pidana indikasi geografis yang telah terbukti secara sah menurut hukum dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan, berupa pidana kurungan, pidana penjara dan pidana denda sesuai dengan bentuk-bentuk perbuatan pidana yang dilakukan menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.Kata kunci: Ketentuan Pidana,Pelaku Tindak Pidana, Indikasi Geografis

    Analisis Pasal 5 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan terhadap model pelayanan peserta BPJS Kesehatan perspektif teori Maslahah

    Get PDF
    ABSTRAK Hadirnya undang-undang BPJS Kesehatan adalah sebagai payung legalitas terhadap problem sosial di bidang kesehatan. Namun praktik model pelayanan kesehatan yang dijalankan oleh penyedia layanan kesehatan belum relevan dengan klausula Pasal 5 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Padahal cita-cita primordial dalam pembentukan undang-undang BPJS Kesehatan adalah agar rakyat memperoleh pelayanan kesehatan yang adil tanpa memandang kelas sosial. Penelitian ini memfokuskan pada dua rumusan masalah. Pertama, bagaimana analisis Pasal 5 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan terhadap model pelayanan peserta BPJS Kesehatan. Kedua, bagaimana model pelayanan perserta BPJS Kesehatan perspektif teori maslahah. Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan dan menggunakan metode analisis data dengan metode deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan sebagai bahan untuk menganalisis Pasal 5 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan perspektif teori maslahah. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa 1) Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Kesehatan terdapat inkonsistensi norma dalam klausula hukum karena belum menyebutkan suatu penalisasi atau sanksi dalam substansinya, sehingga bisa berpotensi mencederai hak konstitusional para peserta BPJS Kesehatan dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang seharusnya relevan dengan amanat konstitusi. 2) Ditinjau dari teori maslahah Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Kesehatan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap yang mampu menjerat para penyedia layanan kesehatan yang inkonstitusional, dari hal tersebut dapat dinilai bahwa pasal 5 belum memenuhi syarat-syarat maslahah secara sepenuhnya, mengingat masih ditemukan kasus pasien peserta BPJS Kesehatan yang seharusnya mendapat layanan fasilitas kesehatan dengan pelayanan efisien, aman, nyaman, bermutu, dan terjangkau tetapi pada kenyataannya tidak terpenuhi. ABSTRACT The presence of the BPJS Health law is an umbrella for legality against social problems in the health sector. However, the practice of the health service model carried out by health service providers is not yet relevant to the clause in Article 5 of Law Number 36 Year 2009 concerning Health. Whereas the primordial aspiration in the formation of the BPJS Health law is for the people to get fair health services regardless of social class. This research focuses on two problem formulations. First, how is the analysis of Article 5 of Law Number 36 of 2009 concerning Health on the service model of BPJS Health participants. Second, how is the service model for BPJS Health participants from the perspective of maslahah theory. This type of research is normative research that uses a statutory approach and uses data analysis methods with descriptive methods. Data collection was carried out by means of a literature study as material for analyzing Article 5 of Law Number 36 Year 2009 concerning Health from the perspective of maslahah theory. The results of this study show that 1) Article 5 of Law Number 5 of 2009 concerning Health contains inconsistencies in the norms in the legal clause because it does not mention a penalty or sanction in substance, so that it can potentially injure the constitutional rights of BPJS Health participants in obtaining health services that should relevant to the constitutional mandate. 2) Judging from the maslahah theory, Article 5 of Law Number 5 of 2009 concerning Health does not yet have permanent legal force that is able to ensnare unconstitutional health service providers, from this it can be judged that Article 5 has not fully fulfilled the maslahah requirements, considering that there are still cases of BPJS Health participant patients who should receive health care facilities with efficient, safe, comfortable, quality, and affordable services but in reality they are not fulfilled. مستخلص البحث حضور القانون عن BPJSكالجواز لمسئلة الإجتماعى فى الصحة. بل الممارسة فى خدمة الصحة المعمول بمقدّم خدمة الصحة لم يوافق بمادة الفصل ٥ القانون رقم ٣٦ سنة ٢٠٠٩ عن الصحة. بالرغم أن الطموح الأساسى فى تأليف القانون BPJS هو لكى الرعية تحصل خدمة الصحة العادلة بغير نظر الى الطبقة الإجتناعية. هذا البحث يتركّز على المسؤولين. الأول، كيف تحليل فصل ٥ القانون رقم ٣٧ سنة ٢٠٠٩ عن الصحة الى نموذج خدمة المشترك BPJS الثانى، التقيم للمشترك عند نضرية المصلحة. هذا النوع من البحث المعيارى بمقاربة القانون و يستخدم طريقة تحليل البينات بطريقة الوصفي. جمع البينات بدراسات المراجع كالمادة لتحليل فصل ٥ القانون رقم ٣٦ سنة ٢٠٠٩ عن الصحة على نظرية المصلحة. وأما نتائج البحث تدليل أن ١) فصل ٥ القانون رقم ٣٦ سنة ٢٠٠٩ فيه تناقض المعيار فى مادة الحكم لأن فيه لم يذكر العقاب فى زبدته، حتى محتمل يسئ الى حقوق الدستورية للمشترك BPJS فى نيل خدمة الصحة المناسبة بتفويض الدستوري. ٢) استعرض من المصلحة ان فصل ٥ القانون رقم ٣٦ سنة ٢٠٠٩ لم يملك قوية الحكم الثابت الذي يستطيع لتوريط مقدمة خدمة الصحة خارج الدستورية. من ذلك يمكن الحكم عليه ان فصل ٥ غير مؤهل لشروط المصلحة تامة، وجدت حالة المريض BPJS حصلت على حدمة الصحة بفعّال، الأمن، المريح، الجورة و الميسور لكن فى حقيقته لم تتحقّق
    corecore