16 research outputs found

    ESTANDARIZACIÓN DE LA TÉCNICA DE PCR PARA LA DETECCIÓN DE LA SECUENCIA ITS1 DE NECATOR AMERICANUS (STILES, 1902) Y CLONACIÓN DEL PRODUCTO PARA SU USO COMO CONTROL

    Get PDF
    Hookworm is generally caused by Necator americanus (Stiles, 1902), causing digestive symptoms and anemia. The diagnosis by coprology can have low sensitivity, especially in light parasite loads. The Polymerase Chain Reaction (PCR) is a sensitive and specific technique, which must be adapted to laboratory conditions and positive controls are necessary. The objective of this work was the standardization of the PCR technique for the amplification of the ITS-1 sequence of N. americanus in stool samples and its cloning for its use as a control. Three DNA extraction protocols were standardized (Phenol/chloroform, Saline Precipitation, and Chelex® 100 Resin). Optimal reagent concentrations (MgCl , BSA, dNTP, primers, and Taq polymerase) were determined, as well as the hybridization 2 temperature and number of cycles. The analytical sensitivity and specificity of the technique was determined. For cloning, the ITS-1 sequence amplified by PCR was purified and ligated with the vector pGEM-T-Easy. Competent E. coli XL1Blue MRF` cells were transformed with the ligation mixture (pGEM-T-easy-Na-ITS1), recombinant colonies were identified and plasmid DNA was extracted from them. The best DNA extraction protocol was phenol / chloroform, the optimal conditions for PCR were; 1.5 mM MgCl , 0.5 mg/mL BSA, 100 μM dNTP, 0.6 μM primers, and 1 U Taq polymerase, 56 °C 2 hybridization temperature and 40 cycles. The optimal amounts of reagents were less than the amounts used by other authors, allowing saving of reagents. 100% specificity and an analytical sensitivity of 10 pg of DNA (extracted from stool samples), and 10 ag of the plasmid (with the cloned sequence) were obtained, which worked very well as positive control.La anquilostomiasis generalmente se produce por Necator americanus (Stiles, 1902), y ocasiona síntomas digestivos y anemia. El diagnóstico por coprología tiene sensibilidad baja en las cargas parasitarias leves. La Reacción en Cadena de la Polimerasa (PCR) es una técnica sensible y específica, que debe ser adaptada a las condiciones de laboratorio, donde se necesitan controles positivos. El objetivo de este trabajo fue la estandarización de la técnica de PCR para la amplificación de la secuencia ITS-1 de N. americanus en muestras de heces y su clonación para el uso como control. Se estandarizaron tres protocolos de extracción de ADN (Fenol/cloroformo, Precipitación salina, y Resina Chelex® 100). Se determinaron las concentraciones óptimas de reactivos (MgCl , BSA, dNTP, cebadores, y Taq polimerasa), así como, la 2 temperatura de hibridación y número de ciclos. Se determinó la sensibilidad y especificidad analítica de la técnica. Para la clonación, la secuencia ITS-1 amplificada por PCR, se purificó y se ligó con el vector pGEM-T-Easy. Se transformaron células competentes E. coli XL1Blue MRF` con la mezcla de ligación (pGEM-T-easy-Na-ITS1), se identificaron las colonias recombinantes y luego se extrajo el ADN plasmídico. El mejor protocolo de extracción de ADN fue el fenol/cloroformo, las condiciones óptimas de la PCR fueron; MgCl 1,5 mM, BSA 0,5 mg/mL, dNTP 100 μM, cebadores 0,6 μM, y Taq polimerasa 1 U, 2 56 °C de temperatura de hibridación y 40 ciclos. Las cantidades óptimas determinadas de los reactivos permitieron ahorro de los mismos. Se obtuvo 100% de especificidad y una sensibilidad analítica de 10 pg de ADN (extraído de muestras de heces) y 10 ag del plásmido (con la secuencia clonada), que funcionó como control positivo

    Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP) Produk Garmen pada PT. PancaPrima EkaBrothers, Tangerang

    Get PDF
    BRATA LESMANA MEKANIA. 2002. Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP) Produk Garmen pada PT. PancaPrima EkaBrothers, Tangerang. SYAMSUL MA'ARIF dan SRI HARTOYO. Industri tekstii mulai berkembang dengan pesat di Indonesia sejak dikeluarkannya Undang-undang PMA dan PMDN pada tahun 1967 dan 1968. Membaiknya iklim usaha menjadikan industri baik serat sintetis maupun industri pertenunan clan pemintalan semakin meningkat. Pa& akhir dasawarsa 1980-an diieluarkan berbagai paket deregulasi guna meningkatkan ekspor non-migas namun kebijakan tersebut lebii berorientasi pada sasaran ekspor. Dampak dari kebijakan tersebut di atas adalah ekspor tekstil dan garmen melonjak terutama sejak tahun 1987, namun pada tahun 1993 dan 1994 tejadi penurunan. Kemudian pada tahun 1996 sedikit derni sedikit mengalami kenaikan lagi, akhirnya menurun lagi pada tahun 1997 hingga sekarang ini. Kunci sukses industri garmen dalam menembus pasar ekspor yaitu terletak pada produk yang bermutu tinggi, produktivitas yang tinggi, penman barang tepat waktu dan harga yang bersaing. Untuk mendukung hal tersebut, suatu produk yang bennutu dan produktivitas yang tinggi, tidak cukup mengandallcan mutu bahan baku saja tetapi juga akurasi penjahitan, kecepatan produksi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu diperlukan perencanaan produksi produk garment yang terpadu. Berproduksi secata tepat waktu dan tepat jumlah merupakan tujuan yang hams dicapai oleh PT PEB terutama pada bagian cutting dan embroidery. Oleh karena itu diperlukan suatu perencanaan kebutuhan kapasitas (Cupcity Requirements Planning = CRP) yang baik dan tepat sehingga &pat dijadiian panduan dalam proses pengambilan keputusan manajemen. PT PEB dalam melakukan proses produksinya dihadapkan pada kendala-kendala antara lain : Waktu pelaksanaan operasi (run time) yang tidak merniliki standar yang baku dan kapasitas produksi pada bagian cutting dan embroidery yang belum tepat perencanaannya sehingga penjadwalan pada kedua pusat kerja (work station = WSMQ tidak tepat mengikut jadwal bagian produksi (sewing). Selanjutnya dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas maka rumusan pennasalahan yang dianalisa yaitu bagaimana faktor-faktor produksi mempengaruhi perhitungan perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP) dan bagaimana membuat laporan perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP) pada sentra keja cutting dan bordir sesuai dengan sumber daya yang dirniliki perusahaan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidenmasi variabel-variabel yang berpengaruh terhadap pengukuran perencanaan kebutuhan kapasitas pada bagian cutting dan embroidery/printing. menentukan rencana kebutuhan kaoasitas vada sentra- keja cutting dan embr~~dery/printingbagi PT PEB yang*disesu&an dengan order yang diterima dan memberikan rekomendasi perencanaan kebutuhan kapasitas berupa laporan CRP pada bagian cutting dan embroideiylprinting untuk order yang diterima perusahaan. � Ruang lingkup penelitian manajemen produksi dan operasi ini difokuskan kepada pengkajian kegiatan perencanaan kebutuhan kapasitas khususnya pada bagian cutting dan embroidery/printing yang mendukung kebutuhan dari bagian produksi (sewing), dimulai dengan penentuan time study sampai dengan konsep perhitungan kebutuhan kapasitas yang mampu menunjang kelancaran produksi dari bagian cutting dan embroidery/printing. Penelitian ini hanya sarnpai pada tahap pengajuan alternatif sedanghn tahap selanjutnya berupa implementasi merupakan kewenangan manajemen PT PancaPrima EkaBrothers (PEB). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang bersifat studi kasus. Studi kasus ini secara khusus membahas perhitungan perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP) yang akan dilakukan oleh PT PEB. Sementara data-data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh melalui mdode pengamatan langsung di lapangan berupa standar pengukuran produktivitas yaitu time study, diskusi lapangan dengan operator, foreman, supervisor, dan manajer produksiiteknis, serta manajemen PT PEB. Data-data yang telah diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisa dengan rumus/formula baku Time Siudy, Productivity Emboidev (TAW), utilisasi, effisiensi, dan kapasitas terpasang (Rated Capacity). Variabel yang sangat mempengamhi dalam perhitungan CRP ini yaitu time study dengan memandang pentingnya lead time, pada hasil pengamatan ada Lima elemen lead time yang semestinya diiangkum dalam proses produksi di WC-1 dan WC-2 untuk menentukan waktu standarlactual, routing atau alur penugasan pada kedua WC ini haws lebii jelas sehingga kelima elemen ini dapat diperhatikan. Kelima elemen tersebut adalah : (1) Waktu antrian (queue time), merupakan waktu menunggu sebelum operasi diiulai. (2) Waktu Setup (setup time), merupakan waktu setup mesin agar siap beroperasi. (3) Waktu pelaksanaan (run time), merupakan waktu melaksanakan operasi. (4) waktu menunggu (wait t~me), merupakan waktu menunggu setelah operasi berakhir. (5) Waktu Bergerak (move time), merupakan waktu bergerak secara fisik diantara operasi yang satu dan operasi lain. Waktu pelaksanaan (run time) rnerupakan elemen yang saat ini digunakan, karena manajemen melihat saat ini dan dari pengalaman terdahulu para operator, alat pernbantu, helper (operator pembantu) telah melakukan gerakan atau kerja proses yang cepat sehingga keempat elemen lainnya untuk saat ini diabaikan. Selain variabel time study ada variabel lain yang penting pula diperhatikan yaitu bahan baku dan proses pembuatan produk gmen itu sendiri yang tidak seragam, artinya setiap produk garmen yang dihasilkan berbeda komponen bahan bakunya. Komponen yang berbeda ini bukan dari jenis bahan baku atau material pendukung lainya, tetapi susunan komponen setiap order garmen yang diterima berbeda bahkan jurnlahnya juga berbeda, baik berdasarkan order per season ataupun style. Hasil dari perhitungan CRP dan pengamatan untuk kedua produk garmen yaitu pant (5569 pcs) dan short (27986 pcs) pada WC-1 dan WC-2 terjadi ketidakseimbangan antara kapasitas dan beban kerja. Pada laporan CRP dinyatakan bahwa kapasitas terpasang untuk WC-1 1350.63 rne~t@ant) dan 3792.27 rne~t(short) sedangkan kapasitas aktual 1740.32 menit (pant) dan 4206.16 menit (short) , tejadi over capacity 389.69 menit (pant) dan 413.89 menit (short). Pada WC-2 juga terjadi hal yang sama yaitu over capacity sebesar � 258.13 menit @ant) dan 1297.19 menit (short). Pada distribusi beban keja untuk kedua WC tersebut juga diketahui adanya kelebiian beban keja. Penentuan beban kerja dilakukan dengan menggunakan in$nite loading (tanpa pemabatasan beban kerja) bersamaan diiakukan penjadwalan ke belakang. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara kapasitas dan beban. Hasil lain yang didapat dengan melakukan pengukuran time study pada kedua WC tersebut yaitu pada WC-2 belum mencapai tingkat produktivitas yang diinginkan oleh manajemen. Hasii perhitungan produktivitas yang digunakan untuk mengukur kapasitas pada WC-2 menyatakan WC-2 hanya mampu mencapai 67.11% (tertinggi) dan 27.59% (terendah) produktivitas yang dicapai pada WC-2, saat ini produktivitas yang diinginkan oleh manajemen idealnya adalah 80%. Implikasi dari temuan di atas mengharuskan manajemen untuk menyeimbangkan kapasitas dengan beban kerja pada tiap WC. Ada beberapa tindakan yang mungkin dapat diambii akibat dari ketidakseimbangan atau perbedaan antara kapasitas yang ada dan beban yang dibutuhkan. Tidakan-tindakan ini dapat diiakukan secara sendiri atau dalam berbagai bentuk kombiiasi yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi aktual dari PT PEB, yaitu dengan : (1) Meningkatkan Kapasitas (Increasing Capacity) dengan cara : (a) menambah ekstra shift, (b) menjadwalkan lernbur (over trme) atau bekerja di akhir pekan (work weekend), (c) menambah peralatan bordii, alat bantu seperti meja gelar danlatau personel, (d) melakukan subkontrak satu atau lebii dari shop order. (2) Mengurangi Beban (Reducing Load), dengan cara (a) melakukan subkontrak pekejaan ke pernasok luar, (b) Mengurangi ukuran lot, (c) melakukan penjadwalan ulang seluruh order yang diterima, (d) menahan pekejaan dalam pengendalian produksi atau mengeluakan pesanan lebii lambat (karena setiap pesanan yang ada telah memiliki waktu jatuh tempo yang sama yaitu 90 hari), (3) mendistribusikan Kemabali Beban (Redistrzbuting Load), dengan cara (a) menggunakan alternatif work center artinya WC-1 proses pada bagian cutting yaitu dengan membuat parthagian yang akan diianjutkan pada WC-2 bordii jadi bagian lainnya menunggu dalam antrian, (b) menggunakan alternatif routinglalur penugasan, (c) menyesuaikan tanggal mulai operasi ke belakang (lebii awal atau lebii lambat, dikombimsikan sesuai kondisi aktual). Sedangkan tindakan yang perlu dilakukan oleh manajernen untuk meningkatkan produktivitas dari hasil bordir, dapat dilakukan dengan mempersimgkat waktu proses bordii, Cara yang palimg mudah yaitu dengan merubah metode keja dari bagian bordir baik itu dengan scheduling yang lebih baik, dan yang paling penting memberikan pengertian kepada operator mengenai pentingnya ketepatan dan kecepatan dari proses pra bordir yaitu set up, pemasangan fiame dan kecepatan menghadapi hambatan pada saat proses bordir seperti penaganan secara cepat dan tepat jiia jarum patah, benang lepas dan kendala lainnya. Peningkatan produktivitas tidak dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan pada mesin bordir, namun dapat diianipulasi dengan perbaikan kinerja dari bagian bordir secara keseluruhan. Penggunaan CRP memberikan penilaian secara terperinci dari sumber- sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan order manufakturing. Pengukuran yang dilakukan dari konsep CRP ini telah membuka wawasan bagi para foreman, supervisor, dan pihak manajemen di WC terkait akan pentingnya � melakukan perhitungan CRP, karena CRP mampu memberikan time-phased visibiliy dari ketidakseimbangan kapasitas dan beban sehingga manajemen hams mulai mengambii keputusan dengan menyiapkan sistem pengukuran dan alat bantu lainnya untuk melakukan tahap awd dari komponen CRP yaitu Time Study. CRP juga mampu mengkonfirmasi bahwa kapasitas cukup, dan ada pada basis kumulatif sepanjang horizon perencanaan. Manajemen dapat mempertimbangkan ukuran lot spesifik dan ratings atau alur penugasan serta alternatif WC jika terjadi unbalancing antara kapasitas dan beban. Manajemen manpu memperkirakan lead time yang lebih tepat dan mengehnhirlmenghilangkan erratic lead times (waktu tunggu yang tidak menentu) dengan cara memberikan data untuk memuluskan beban seoaniana sentra-sentra keria (WO. .<- Dari berbagai alternatif yang a& dalam rangka mknieimbangkan kapasitas dan beban, maka dengan mempertimbangkan biaya produksi maka pelatihan internal SDM untuk meningkatkan produktivitas, peningkatan performance kerja dan rescheduling adalah alternatif solusi yang lebih baik untuk mengatasi ketidak seimbangan antara kapasitas dan beban pada setiap sentra kerja (WC). Dari hasil pengamatan dan analisa yang dilakukan di PT PEB, maka disarankan bagi manajemen perusahaan untuk dapat mempertimbangkan Penggunaan CRP dengan mengikuti tahapan MRP 11secara keseluruhan karena CRP tidak dapat berdiri sendii, CRP merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dalam MRP 11dan untuk pembebanan dauat dicoba oenagunan metode lain seoerti . -- program finite loading, sijdan dengan pinggunam konsep-konsep yang telah ada sekarang. Selain itu untuk menyeimbangkan kapasitas dan beban kerja, manajeien lebih disarankan untuk helakukan penjadwalan ulang untuk jadwd induk utama dengan pertimbangan akan meminimalkan biaya produksi jika dibandingkan dengan penambahan shift, panjadwalan lembur, menambah peralatan/personel. Namun pada special case hal-ha1 terebut dapat diiakukan atau dengan subkontrak. Perusahaan juga disarankan untuk mengembangkan program- program pelatihan dasar-dasar manufaktur, kepemimpinan, dan pelatihan mengenai proses berkelanjutan yang diperlukan guna meningkatkan kerja sama antara tiap-tiap work center, dan untuk mendukung implementasi dari perbaikan- perbaikan yang dilakukan oleh perusahaan

    Development and Evaluation of a New Lateral Flow Immunoassay for Serodiagnosis of Human Fasciolosis

    Get PDF
    Fasciolosis is an important plant-borne trematode zoonosis. This disease is of both clinical and veterinary relevance and, according to the WHO, is considered a re-emerging disease that is spreading around the world. Fasciolosis has a serious impact on health because of the large size of the parasite and the effects of the parasite in down-regulating the host immune response. Human fasciolosis can be distinguished by an acute phase, in which the parasite migrates through different tissues, and a chronic phase in which it invades the bile ducts. Here we describe the development of a rapid, simple and inexpensive immunochromatographic diagnostic method, based on the use of a recombinant cathepsin L1 protein, which performs better than other more complex indirect methods, providing similar specificity and higher sensitivity. The simplicity of the method represents a great advantage for the intervention systems applied in different endemic areas by WHO, such as passive case finding (e.g. Vietnam) and selective treatment (e.g. Egypt). Because of its characteristics, the system can be applied to both phases of the disease, and in holo, meso and hyperendemic areas where point-of-care testing is required

    Interleukin-4 production in BALB/c mice immunized with Anisakis simplex

    No full text
    We investigated the interleukin (IL-4) levels in BALB/c mice immunized with Anisakis extract in single or multiple doses and in mice orally infected with a larva. From animals immunized maximum responses were obtained with the multiple doses with an only IL-4 peak. Conversely, in the mice inoculated with a larva per os, the IL-4 levels showed two peaks of different rates

    SHORT COMMUNICATION - Interleukin-4 Production in BALB/c Mice Immunized with Anisakis simplex  

    No full text
    We investigated the interleukin (IL-4) levels in BALB/c mice immunized with Anisakis   extract in single or multiple doses and in mice orally infected with a larva. From animals immunized maximum responses were obtained with the multiple doses with an only IL-4 peak. Conversely, in the mice inoculated with a larva per os, the IL-4 levels showed two peaks of different rates

    Comparison of T24H-his, GST-T24H and GST-Ts8B2 recombinant antigens in western blot, ELISA and multiplex bead-based assay for diagnosis of neurocysticercosis

    Get PDF
    Abstract Background Currently, the reference standard assay for the serodiagnosis of neurocysticercosis (NCC) is the lentil lectin-bound glycoproteins/enzyme-linked immunoelectrotransfer blot (LLGP-EITB). The main disadvantage of this technique is the complexity of obtaining and purifying the LLGP extract. This could be solved by replacement with highly specific recombinant antigens from Taenia solium. Based on previous studies, we selected and produced the recombinant Ts8B2 and T24H proteins and applied them to three diagnostic techniques: western blot (WB), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) and the multiplex bead-based assay (MBA). Methods The Ts8B2 and T24H cDNA sequences were expressed in a prokaryotic system and the corresponding expression products purified; three recombinant proteins were further characterized: T24H-his, GST-T24H and GST-Ts8B2. The proteins on WB, ELISA and MBA were tested against 149 sera from patients with NCC confirmed by brain imaging, 40 sera from patients with other parasitic diseases, and 131 sera from US. individuals without evidence of neurocysticercosis (clinical/serological/brain imaging). The sensitivity and specificity of each antigen by WB were calculated by counting the number of true positive, false positive, true negative and false negative results. Using the receiver operating characteristic (ROC) curves, the cut-off values for the ELISA and MBA were established as well as the sensitivity and specificity of each assay. Results All three antigens showed a high sensitivity on WB in active NCC cases with two or more viable cysts and low sensitivity for cases with single viable cyst or calcified lesions and inactive NCC. WB showed the highest specificity and sensitivity out of the three diagnostic techniques. The recombinant T24H-his was the best diagnostic reagent in WB (100% sensitivity, 99.4% specificity), exhibiting similar results to the LLGP-EITB, against the same panel of NCC sera. The GST-T24H antigen worked better than the others in ELISA and MBA protocols (88.3 and 96.1% sensitivity, respectively and 96.5% specificity). Conclusions The sensitivity and specificity that we obtained were similar to results from a previous study using a similar recombinant antigen (rT24H), suggesting that recombinant antigens may be good alternatives to crude extracts in a variety of diagnostic techniques. Furthermore, these antigens can be applied in the development of point-of-care tests which would be useful in NCC field studies

    HDP2: a ribosomal DNA (NTS-ETS) sequence as a target for species-specific molecular diagnosis of intestinal taeniasis in humans

    Get PDF
    Abstract Background Taenia solium, T. asiatica and T. saginata tapeworms cause human taeniasis and are the origin of porcine and bovine cysticercosis. Furthermore, T. solium eggs can cause human cysticercosis, with neurocysticercosis being the most serious form of the disease. These helminth infections are neglected tropical diseases and are endemic in several countries in the Americas, Asia and Africa. As a result of globalization, migration in particular, the infections have been extending to non-endemic territories. Species-specific diagnosis of taeniasis is subject to drawbacks that could be resolved using molecular approaches. In the present study, conventional and real-time amplification protocols (cPCR and qPCR) based on the T. saginata HDP2 sequence were applied in the differential diagnosis of taeniasis (T. saginata, T. solium) in both fecal samples and proglottids expelled by patients. The HDP2 homolog in T. solium was cloned and characterized. Results Semi-nested cPCR and qPCR (Sn-HDP2 cPCR and Sn-HDP2 qPCR) amplified T. saginata and T. solium DNA, with an analytical sensitivity of 40 and 400 fg, respectively, and identically in both protocols. Eighteen taeniasis patients were diagnosed directly with T. saginata or T. solium, either from proglottids or fecal samples with/without eggs (detected using microscopy), based on the optimized Sn-HDP2 qPCR. After cloning, the T. solium HDP2 homolog sequence was confirmed to be a ribosomal sequence. The HDP2 fragment corresponded to a non-transcribed sequence/external transcribed repeat (NTS/ETS) of ribosomal DNA. Compared with the T. saginata HDP2 homolog, the T solium HDP2 sequence lacked the first 900 nt at the 5′ end and showed nucleotide substitutions and small deletions. Conclusions Sn-HDP2 cPCR and Sn-HDP2 qPCR were set up for the diagnosis of human taeniasis, using proglottids and fecal samples from affected patients. The new Sn-HDP2 qPCR protocol was the best option, as it directly differentiated T. saginata from T. solium. The diagnosis of an imported T. solium-taeniasis case and nine European T. saginata cases was relevant. Finally, the cloning and sequencing of the T. solium HDP2 fragment confirmed that HDP2 was part of a ribosomal unit

    Comparison of the detection limit of the MM3-SERO and SeroFluke tests.

    No full text
    <p>The ability of MM3-SERO ELISA (A) and SeroFluke (B) to detect anti-<i>Fasciola</i> antibodies in two fold dilutions of pooled positive sera was compared. The starting serum dilution was 1/100 for both tests.</p

    Schematic sequence showing the use of SeroFluke strips with whole blood.

    No full text
    <p>The sample (10 µl) was diluted 1/20 with SeroFluke buffer in a polystyrene microtitre plate well and allowed to haemolyze for 2 min (1, 2). The LFIA strip was then placed in the well, and allowed to react for 10 min (3). The strip was then cut at the beginning of the nitrocellulose membrane (4) and transferred to a new well containing 200 µl of fresh SeroFluke buffer (5). The results were read after washing the strip for another 10 min.</p
    corecore