483 research outputs found

    Judicial Enforcement of Default Interest Rates

    Get PDF
    (Excerpt) Although secured creditors use default interest rates to protect their security interest throughout the bankruptcy process, courts are not required to enforce those contractual provisions. Secured creditors can legitimately use default interest rates to provide an offset for the “costs and delay of the bankruptcy process.” Equitable considerations may require judicial nullification of default interest rates. Inequitable default interest rates directly contradict the policy goals of bankruptcy. The difficulty in determining the reasonableness of default interest rates results from competing policy interests within bankruptcy. Courts favor enforcing contractual obligations and preserving rights inside of bankruptcy, as they would have existed outside of bankruptcy. However, courts also value protecting a debtor’s “fresh start” and the interest of all creditors within the bankruptcy process. For these reasons, it is important to understand the different justifications courts have used to enforce, or nullify, default interest rates. Courts have analyzed several factors to determine whether it is equitable to enforce a default interest rate under section 506(b) of the Bankruptcy Code. In In re General Growth Properties Inc., the Bankruptcy Court for the Southern District of New York enforced a default interest rate that was 3% higher than the contractual interest rate. The bankruptcy court determined that the debtor failed to produce persuasive evidence that enforcement of the default interest rate would produce an inequitable result. The bankruptcy court noted that GGP was a solvent debtor, and the default interest rate would not impair GGP’s “fresh start. The bankruptcy court also placed a distinct value in enforcing the “expressly bargained for result” between the parties. As a policy matter, it was further recognized that default interest rates help debtors attain loans with lower interest, because“[I]f a creditor had to anticipate a possible loss in the value of the loan due to his debtor\u27s bankruptcy or reorganization, he would need to exact a higher uniform interest rate for the full life of the loan.

    KOMUNIKASI PEMASARAN VAPENOID_JAKTIM MELALUI MEDIA SOSIAL INSTAGRAM

    Get PDF
    The purpose of the study explains vapenoid marketing communications via @vaporenoid_jaktim instagram account. The method used in this study is qualitative work with a qualitative descriptive approach. Data collection is interviewing two people in the freeway. Revolutionary hero no. 14, rw 3, bamboo pd, kec. Duren sawit, east Jakarta city, special area of capital Jakarta 13430. Research shows that marketing strategies used with promotions in social media that give away a weekend, discount a weekly for all member, reward customers with a minimum of 1.000.000, provide a member's card program and provide convenience stores. @vaporenoid_team-sales communications via instastory, and instagram

    \u3ci\u3eAuer\u3c/i\u3e 2.0: The Disuniform Application of \u3ci\u3eAuer\u3c/i\u3e Deference After \u3ci\u3eKisor v. Wilkie\u3c/i\u3e

    Get PDF
    This Note examines how lower courts have applied Auer deference after the U.S. Supreme Court’s decision in Kisor v. Wilkie. The Court granted certiorari in Kisor to answer one question: whether to overturn the deference regimes created by Bowles v. Seminole Rock & Sand Co. and Auer v. Robbins. The Court upheld the doctrines and clarified their reach, limits, and proper application. This Note focuses on Kisor’s holding regarding the extent judges must scrutinize a regulation before concluding it is ambiguous. Despite the Court’s attempt to explicate a standard, lower courts have demonstrated stark differences in regulatory interpretation before concluding a regulation is ambiguous for the purposes of Auer deference. This Note highlights that disuniformity, explains its cause, and offers its own interpretation of Kisor v. Wilkie. This Note also identifies two causes of the disuniform application of Kisor. First, different judges have different ideas of what “ambiguity” means. A regulation that is 75 percent clear may be ambiguous to some judges but unambiguous to others. Without resolving this problem, the Court used conclusory terms to characterize the level of regulatory interpretation lower courts should engage in. Those terms include “rigorous” and “exhaustive.” Two courts can engage in the same “rigorous” or “exhaustive” regulatory interpretation but disagree on whether the result of that process means a regulation is “ambiguous.” Second, the Court raised two competing values but did not clarify how to resolve them. Competing with the requirement of “exhaustive” regulatory interpretation is the idea that a deference regime facilitates the judiciary’s respect for an agency’s policy discretion. But how does a court exhaustively interpret a regulation and simultaneously defer to an agency’s policy discretion? While the Court raised these two competing factors, it never clarified how they precisely interact

    PENERAPAN ZONASI PASAR TRADISIONAL DAN PASAR MODERN DALAM RANGKA PENINGKATAN PEREKONOMIAN DAERAH DIHUBUNGKAN DENGAN PERATURAN PRESIDEN NO. 112 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PASAR TRADISIONAL, PUSAT PERBELANJAAN DAN TOKO MODERN JO UNDANG-UNDANG NO. 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

    Get PDF
    Perdagangan adalah salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan, Perdagangan Pasar merupakan kegiatan usaha yang mampu memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional, Berkaitan dengan pendirian pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan pasar modern telah ditentukan dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang arah acuannya berbicara tentang Penataan dari suatu wilayah, kemudian pula di tentukan dalam Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, harus mengacu pada rencana tata ruang wi1ayah kabupaten atau kota, dan rencana detail tata ruang kabupaten atau kota, termasuk peraturan zonasinya, tata ruang wilayah juga hatus memperhatikan pula kondisi ekonomi, budaya maupun sosial masyarakat setempat, agar inventasi tidak hanya memberikan keuntungan semata bagi pemerintah daerah tetapi juga masyarakatnya, pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah yang dalam regulasinya adanya pengaturan jarak antara pasar tradisional, toko modern. Metode penelitian yang di gunakan yaitu deskriftif analitis untuk menggambarkan mengenai fakta-fakta berupa data dengan bahan hukum primer dalam bentuk peraturan perundang, data sekunder sebagai sumber utama yang diperoleh melalui Penelitian kepustakaan (library research), Penelitian lapangan (field research) data untuk penelitian ini, yuridis kualitatif. Penerapan zonasi Pasar modern dan pasar tradisional bersaing di sektor yang sama yaitu industri perdagangan, banyaknya pembangunan pasar modern dirasakan oleh berbagai pihak berdampak terhadap keberadaan pasar tradisional, Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,yang terdapat di dalam pasal 1 berbicara tentang bentuk pengendalian penyelenggaraan penataan ruang , pasal 12 dan pasal 13, serta pengenaan sanksi pemerintah daerah merupakan pihak yang paling berkompeten dalam implementasi Perpres No. 112 Tahun 2007 dan Permendag No. 53/MDAG/PER/12/2008 di tingkat daerah., Penataan zonasi pasar tradisonal dan pasar modern dalam peraturan daerah seiring dengan tumbuh dan berkembang pasar modern menggerus gerak dan langkah pasar tradisional, Penyelesaian persoalan yang di hadapi adalah beberapa pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah yang mengatur penataan pasar tradisional dan pasar modern. Kata Kunci : Zonasi, Pasar tradisional, Pasar modern dan Penataan Ruang

    SISTEM PENGENDALIAN PERSEDIAAN BARANG JADI PADA PT. TIGA SERANGKAI PUSTAKA MANDIRI SURAKARTA

    Get PDF
    Gudang merupakan lokasi untuk penyimpanan produk atau barang sampai ada permintaan untuk dilakukan distribusi. Maka dari itu, perlu adanya sistem pengendalian persediaan barang yang ada di gudang. Sistem tersebut diperlukan untuk menjaga kemanan dan keakuratan jumlah barang yang tersimpan dalam gudang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk memperoleh gambaran tentang sistem pengendalian persediaan barang jadi pada gudang PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri Surakarta. Pengumpulan data-data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan studi pustaka. Data yang diperoleh dievaluasi kesesuaian prosedurnya berdasarkan teori dan prakteknya di gudang. Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa gudang barang jadi PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri Surakarta berfungsi sebagai tempat singgah sementara dan penyimpanan sementara barang jadi dari bagian produksi. Aktivitas yang ada dalam gudang berupa penerimaan, penyimpanan, dan pengiriman barang. Penerimaan barang yang dilakukan oleh gudang dilakukan secara cepat dan teliti dengan didukung tenaga dan sarana yang memadai. Dalam pengeluaran barang perlu dievaluasi karena waktu yang digunakan dalam proses pencarian barang terlalu lama yang disebabkan oleh belum adanya kartu persediaan barang. Maka dari itu, hal ini menjadi usulan peneliti untuk gudang PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri Surakarta. Katu persediaan barang diperlukan agar keakuratan jumlah barang terjaga dengan baik sehingga menghindari adanya penyelewengan dari pihak gudang seperti pencurian barang. Selain itu juga berfungsi sebagai acuan untuk pengambilan barang sesuai dengan permintaan dari cabang. Dengan begitu sistem pengendalian persediaan barang jadi PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri Surakarta dapat berjalan sesuai dengan prosedur serta dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam gudang. Kata Kunci: Gudang, Sistem pengendalian persediaan barang, Fungsi gudang

    Authoritarianism and prejudice in Near-Eastern students attending American universities /

    Get PDF

    ANALISIS IMPLEMENTASI PROGRAM POS PEMBINAAN TERPADU PENYAKIT TIDAK MENULAR (POSBINDU PTM) DI KECAMATAN BANGUNTAPAN KABUPATEN BANTUL

    Get PDF
    Kecamatan Banguntapan merupakan kecamatan dengan jumlah sasaran program Posbindu PTM tertinggi di Kabupaten Bantul, yaitu sebesar 82.728 jiwa. Cakupan kegiatan Posbindu PTM sebesar 0,52% termasuk kategori merah (kurang dari 10%) dan penilaian proporsi pengukuran lingkar perut sebesar 60% termasuk kategori merah. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis implementasi program Posbindu PTM di Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Jenis penelitian yaitu kualitatif deskriptif dengan pengumpulan datanya wawancara mendalam dan observasi. Informan penelitian ini yaitu: ketua kader, sasaran Posbindu PTM, staf programer PTM, kepala puskesmas, dan staf P2PTM Kesehatan Jiwa DKK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi program Posbindu PTM di Kecamatan Banguntapan belum optimal karena belum rutin dilaksanakan, kemitraan masih terbatas, pelaksanaan tahapan layanan belum optimal pada tahapan wawancara, pengukuran, pemeriksaan dan identifikasi faktor risiko PTM dan konseling. Hal itu dipengaruhi oleh variabel komunikasi, sumber daya, sikap/disposisi, dan struktur birokrasi. Pada variabel komunikasi yaitu komunikasi kepada sasaran dan lintas sektor masih kurang, kader belum memahami perhitungan IMT. Pada variabel sumber daya, dari aspek SDM jumlah kader belum mencukup dan sarana-prasarana penyediaan strip pemeriksaan belum mencukupi. Pada variabel sikap/disposisi, respon, komitmen, dan motivasi pelaksana baik, tetapi komitmen puskesmas dalam pendampingan kurang. Pada variabel struktur birokrasi, struktur organisasi secara tertulis belum dibuat, SK pembentukan Posbindu PTM belum dibuat, pembagian tugas masih belum optimal di layanan identifikasi faktor risiko PTM dan konseling, dan supervisi belum dilakukan secara optimal. Saran dari penelitian ini adalah sosialisasi kepada sasaran, menjalin kemitraan, refreshing kader tentang IMT, pembuatan SK, dan monitoring evaluasi berkala Kata Kunci: Implementasi Program, Posbindu PT

    FUNGSI LEGISLATIF DESA PASCA REFORMASI (Telaah Kritis Atas UU No. 22/1999 Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 6/2014 Tentang Desa)

    Get PDF
    This paper aims to determine the function of village legislative at post-reform. Based on historical data as well as critical analyzes of UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, and UU No. 6/2014 tentang Desa, it can be concluded that the function of village legislative at post-reform is ups and downs. BPD 1999 has such a dominant function, so that the village government is unbalanced. The function of BPD 2004 is stripped down, so that the village executive can run his will without any supervision. The BPD 2014 is equipped with control function, so that the expected mechanism of checks and balances in village governance can be realized. Thus, it can be said that the function of BPD 1999 is dominant, the function of BPD 2004decreased, while the function of BPD 2014 is placed in a matched
    • …
    corecore