16 research outputs found
Cost Saving of Stress Ulcer Prophylaxis Used in Non-Intensive Care Unit (ICU) Inpatients
Stress ulcer prophylaxis (SUP) is largely prescribed to ICU and non-ICU patients. SUP, an acid-suppressive drug, is overused in hospital settings mainly due to inadequate prescriptions in low-risk patients. In this context, the appropriate administration of SUP needs to be analyzed, and the potentially saved money from reducing excessive use can thereby be quantified. This study was intended to calculate potential cost savings in inappropriate SUP therapy in non-ICU inpatients. With a non-experimental retrospective design, it analyzed medical records and details obtained from the financial department of “X” hospital in Purwokerto, Indonesia. The data were collected from 80 non-ICU inpatients in May 2015, which were selected by purposive sampling. We calculated potential cost savings by referring to the American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) guidelines that had been modified by Zeitoun (2011) for stress ulcer prophylaxis in non-ICU inpatients. The results showed that inappropriate indications and doses were found in 32.5% and 18% of selected patients, respectively. Before the cost-saving calculation, patients had to spend USD 2,411. However, after the analysis eliminated unnecessary SUP use, this number was proven to be potentially decreased by USD 512 to only USD 1,899. Based on the Wilcoxon Sign Rank Test result (p = 0.000 (≤ 0.05)), there was a significant difference between the total cost before and after the application of modified ASHP guidelines for appropriateness. After a thorough assessment, we concluded that the treatment cost could be reduced by identifying and excluding inappropriateness in SUP therapy
Kepuasan Pasien Rawat Inap terhadap Konseling Apoteker di Bangsal Penyakit Dalam RSUD Margono Soekarjo Purwokerto
Pasien penyakit kronis merupakan salah satu pasien yang perlu diberikan konseling. Konseling merupakan salah satu standar layanan kefarmasian di bidang farmasi klinis. Konseling dapat mempengaruhi tingkat kepuasan pasien. Melalui pengukuran kepuasan, dapat diketahui sejauh mana mutu layanan kesehatan yang telah diselenggarakan dapat memenuhi harapan pasien. Pasien kronis di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto ditempatkan di ruang perawatan bangsal penyakit dalam. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien rawat inap terhadap konseling apoteker di bangsal penyakit dalam RSUD Margono Soekarjo Purwokerto. Penelitian ini adalah penelitian cross-sectional. Pasien dipilih sebagai sampel dengan metode total sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner kepuasan pasien yang diadaptasi dari penelitian Jose et al. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Tingkat kepuasan pasien 36 responden adalah 79,93%, yang tergolong dalam kepuasan sedang. Aspek dengan kategori kepuasan baik terdapat pada pertanyaan apoteker, bahasa yang digunakan apoteker, dan cara interaksi apoteker saat konseling. Sementara aspek dengan kategori kepuasan sedang antara lain cara diskusi apoteker, privasi yang diberikan apoteker saat konseling, pengetahuan apoteker, respon apoteker, durasi konseling, dan informasi yang diberikan apoteker. Pasien rawat inap bangsal penyakit dalam RSUD Margono Soekarjo Purwokerto merasakan kepuasan kategori sedang terhadap layanan konseling apoteker
An interventional study on the effectiveness of peer assistance for medication adherence among hypertensive patients in Purwokerto
Hypertension is a disorder of the blood vessels that hampers the transport of supply of oxygen and nutrients to the body’s tissues. Antihypertensive therapy lasts a lifetime and, so, the success of hypertension treatment strongly depends on the willingness of patients to take antihypertensives regularly. Since medical non-compliance can adversely affect the patient's health, medication supervision or peer assistance has been proposed as a way to monitor and remind hypertensive patients to adhere to prescribed daily dosage. This study aimed to determine the effect of peer assistance on adherence to hypertensive medication. It employed a quasi-experimental model with a one-group pretest-posttest design and a peer-based mentoring to achieve drug compliance as the intervention. The research samples were patients registered in the Chronic Disease Management Program (Program Pengelolaan Penyakit Kronis) at two primary health services in Purwokerto. In the first four weeks, a total of 29 respondents acted as the control group without receiving any intervention, and in the second four weeks, they became the intervention group who received peer assistance for their regular drug intake. To measure compliance, the Hill-Bone questionnaire was used. The expected maximum compliance score is 56. The results showed that the average score of compliance increased from 47.69 in the pre-control period to 49 in post-control/pre-intervention and then to 49.93 in post-intervention. The compliances during the control and intervention period had similarly significant differences with p values of 0.008 and 0.039, respectively. In conclusion, peer assistance does not affect patients’ adherence to hypertension treatment
Cholesterol Profile in The Dyslipidemia Patient Related to Pill Taking Time at Primary Healthcare in Purwokerto
Dyslipidemia is a lipid metabolism disorder in Indonesians aged >15 years old. Pharmacokinetics and pharmacodynamics of Statin, the drug of choice for dyslipidemia, are influenced by circadian rhytms and thus require timing of pill taking time. The aims of this study are to determine relationship between the respondent characteristics to blood ccholesterol level and the effect of taking Simvastatin in the afternoon on the cholesterol level’s profile. The results showed that only body mass index (BMI) had an effect on cholesterol level (p=0,016) with Pearson correlation -0,685 (p=0,029). The cholesterol level is lower in respondents whose BMI is not ideal. The difference of pill taking time, at 18.00-21.00 and 21.00-24.00, did not show a difference profile of cholesterol level during one month of therapy. This results indicate that Simvastatin can be taken in the time range 18.00-24.00 to control cholesterol level of dyslipidemia patients
Analisis Tingkat Pengetahuan dan Sikap Apoteker terhadap Obat Generik di Wilayah Kabupaten Banyumas
Obat generik telah digunakan di beberapa wilayah di Indonesia namun masih relatif rendah. Pengetahuan dan sikap apoteker di apotek terhadap obat generik berperan penting dalam menentukan peningkatan persentase penggunaan obat generik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap apoteker di apotek Kabupaten Banyumas terhadap obat generik serta hubungannya dengan karakteristik responden. Penelitian ini merupakan penelitian non-experimental dengan metode cross-sectional. Metode pengambilan sampel yaitu accidental sampling. Pengambilan data menggunakan kuesioner dilakukan secara daring kepada apoteker di apotek Kabupaten Banyumas melalui google form. Kuesioner diadaptasi dan dimodifikasi dari penelitian terdahulu. Analisis deskriptif dilakukan untuk data karakteristik, tingkat pengetahuan, dan sikap. Tingkat pengetahuan dikategorikan menjadi baik, cukup, dan kurang, sedangkan sikap menjadi positif dan negatif. Analisis korelatif dengan uji korelasi Spearman dilakukan untuk data hubungan karakteristik dengan tingkat pengetahuan dan dengan sikap. Penelitian melibatkan 67 apoteker sebagai responden. Apoteker memiliki pengetahuan baik terhadap obat generik (59,7%), sisanya cukup dan kurang. Apoteker memiliki sikap positif terhadap obat generik (98,5%), sisanya negatif. Tidak terdapat hubungan signifikan antara jenis kelamin (p=0,188), usia (p=0,536), lama pengalaman berpraktik (p=0,135), dan tingkat pendidikan (p=0,360) dengan tingkat pengetahuan apoteker. Terdapat hubungan signifikan antara tingkat pendidikan (p=0,004) dengan sikap terhadap obat generik, namun tidak terdapat hubungan signifikan antara jenis kelamin (p=0,080), usia (p=0,061), dan lama pengalaman berpraktik (p=0,744) dengan sikap. Tidak terdapat hubungan signifikan antara semua karakteristik dengan tingkat pengetahuan dan hanya tingkat pendidikan yang memiliki hubungan signifikan dengan sikap terhadap obat generik
Pengobatan Berpotensi Tidak Tepat Berdasarkan Kriteria Beers 2015 pada Pasien Geriatri di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Geriatri berpotensi mengalami pengobatan berpotensi tidak tepat atau potentially inappropriate medications (PIMs). Kriteria Beers 2015 merupakan kriteria untuk mengidentifikasi PIMs. Pengambilan sampel secara retrospektif dengan pengambilan sampel acak sederhana. Hasil penelitian menunjukkan pasien paling banyak berusia 75-90 tahun, jenis kelamin laki-laki, lama rawat <7 hari dengan polifarmasi ≥5 macam obat. Dari 97 pasien, sebanyak 93 mengalami kejadian PIMs dengan 261 kejadian PIMs. Obat yang dihindari adalah omeprazol (31,57%). Obat yang masih bisa digunakan dengan hati-hati adalah furosemid (45,68%). Obat yang membutuhkan penyesuaian dosis adalah ranitidin (11,11%). Interaksi obat yang paling banyak adalah ketorolak dengan metilprednisolon (42,85%) dengan kondisi gagal jantung dan ginjal (28,57%)
Pengaruh Edukasi Penggunaan Obat pada Ibu Hamil dan Menyusui terhadap Tingkat Pengetahuan Kader Posyandu di Desa Cendana, Kutasari, Purbalingga
Permasalahan kurangnya pengetahuan tentang penggunaan obat pada ibu hamil dan menyusui masih ditemui di masyarakat. Edukasi perlu dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan kader posyandu tentang penggunaan obat pada ibu hamil dan menyusui. Edukasi dilakukan dengan metode modul, ceramah dan diskusi. Instrumen penelitian berupa kuesioner yang dibagikan kepada responden sebelum dan sesudah edukasi untuk mengevaluasi tingkat pengetahuan peserta. Kuesioner berisi 10 item pertanyaan tertutup terkait pengetahuan penggunaan obat pada ibu hamil dan menyusui. Data dianalisis dengan uji statistik paired t-test. Hasil menunjukkan bahwa rata-rata nilai pengetahuan kader meningkat 25,73% dari rata-rata nilai pengetahuan awal setelah dilakukan edukasi. Setelah dilakukan edukasi ada peningkatan tingkat pengetahuan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa edukasi dengan metode modul, ceramah dan diskusi mampu meningkatkan pengetahuan kader Posyandu
Peningkatan Pengetahuan Masyarakat Melalui Edukasi Tentang Penggunaan Antibiotik Bijak dan Rasional
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat terjadi karena minimalnya informasi dari tenaga kesehatan. Permasalahan tersebut dapat mendorong terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik pada manusia. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat di Desa Sambeng Wetan mengenai penggunaan antibiotik yang rasional masih kurang. Pemberdayaan masyarakat terutama terhadap kader kesehatan perlu dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan tentang penggunaan antibiotik. Metode edukasi yang dilaksanakan yaitu dengan metode modul, ceramah dan diskusi. Instrumen penelitian berupa kuesioner yang dibagikan kepada responden sebelum dan sesudah edukasi untuk mengevaluasi tingkat pengetahuan peserta. Kuesioner berisi pertanyaan tertutup terkait pengetahuan penggunaan antibiotik. Data dianalisis dengan uji t berpasangan. Berdasarkan karakteristik peserta, sebagian besar peserta adalah usia dewasa awal (83,87%). Pendidikan responden sebagian besar adalah tamat SMA (38,71%) dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga (90,32%). Hasil menunjukkan bahwa rata-rata nilai pengetahuan kader meningkat 0,97 poin setelah dilakukan edukasi. Persentase peningkatan nilai pengetahuan kader sebesar 13,8% dari rata-rata nilai pengetahuan awal. Edukasi berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengetahuan. Kegiatan edukasi dengan metode modul, ceramah dan diskusi mampu meningkatkan pengetahuan dari kader kesehatan. Oleh karena itu perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat terutama kader kesehatan secara berkelanjutan sebagai salah satu langkah kongkrit untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mengendalikan resistensi bakteri terhadap antibiotik
Peningkatan Kemampuan Apoteker sebagai Peneliti dalam Upaya Antimicrobial Resistance Awareness
Hingga saat ini, resistensi antimikroba masih menjadi masalah akibat ketidakrasionalan penggunaan antimikroba. Diperlukan minat dan pemahaman dari praktisi Apoteker untuk meneliti terkait antimikroba sehingga dapat berkontribusi terhadap penyelesaian masalah tersebut. Akan tetapi, penelitian lebih umum dilakukan oleh para akademisi dibandingkan dengan praktisi. Oleh sebab itu, dirancang sebuah kegiatan pengabdian masyarakat yang bertujuan meningkatkan minat dan pemahaman praktisi Apoteker terkait penelitian antimikroba. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah Focus Group Discussion (FGD) yang diawali dengan paparan ilmiah oleh narasumber. Peserta di setiap kelompok diatur terdiri dari gabungan akademisi dan praktisi Apoteker. Pada sesi FGD, praktisi Apoteker memaparkan permasalahan terkait antimikroba berdasarkan pengalaman kerjanya. Para akademisi berkontribusi untuk menyusun permasalahan menjadi sebuah kerangka penelitian yang dapat diaplikasikan. Berdasarkan post-assessment, kegiatan FGD antara akademisi dan praktisi terbukti meningkatkan minat dan pemahaman peserta terkait penelitian antimikroba. Kolaborasi antara akademisi dan praktisi perlu ditingkatkan untuk mengatasi masalah praktikal termasuk resistensi antimikroba
Analisis Kualitatif Mengenai Peran dan Perilaku Apoteker di Apotek Terkait Penggunaan Telefarmasi Selama Pandemi COVID-19
Pandemi coronavirus disease-19 (COVID-19) menyebabkan perubahan pelayanan kesehatan. Upaya mengurangi penyebaran COVID-19 adalah menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Pada layanan kesehatan, telefarmasi memberikan akses cepat dan kenyamanan yang baik. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi peran dan perilaku apoteker dalam penggunaan telefarmasi serta faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan telefarmasi selama pandemi COVID-19. Penelitian dilakukan menggunakan metode non-eksperimental kualitatif fenomenologis melalui wawancara mendalam. Informan diambil hingga data jenuh dan diperoleh 5 informan. Wawancara dilakukan langsung maupun online. Keabsahan data melalui uji kredibilitas dengan member checking, uji transferabilitas dengan uraian rinci, uji dependabilitas dan uji konfirmabilitas melalui peer debrifing. Hasil wawancara dianalisis secara deskriptif dengan proses berpikir induktif. Peran apoteker dalam telefarmasi selama pandemi COVID-19 adalah memberikan layanan telefarmasi yang profesional, sedangkan perilaku apoteker adalah memanfaatkan telefarmasi untuk memberikan layanan farmasi klinik dan menggunakan media yang bervariasi. Faktor pendukung penerapan telefarmasi selama pandemi adalah kerja sama rekan sejawat dan keluarga pasien, peraturan terkait dukungan telefarmasi, dan pandemi COVID-19; sedangkan faktor penghambatnya adalah teknologi, hambatan finansial pasien, penerimaan pasien terhadap telefarmasi, keterbatasan sumber daya manusia dan waktu