16 research outputs found
PENGARUH APLIKASI HIDROGEL TERHADAP BEBERAPA KARAKTERISTIK TANAH IMPACT OF HYDROGEL APPLICATION ON SOME SOIL CHARACTERISTICS
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh aplikasi hidrogel terhadap beberapa sifat atau karakteristik tanah : kadar air, stabilitas agregat, porositas makro, dan kandungan C-organik. Penelitian dilakukan pada bulan September sampai dengan November 2013 di rumah kaca dan laboratorium fisika dan kimia tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran dengan ketinggian tempat ± 700 m di atas permukaan laut. Penelitian ini ditata dalam satu rancangan dasar berupa Rancangan Acak Kelompok yang meliputi 4 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan tadi adalah: dosis hidrogel 0 gr polybag-1 (H0), dosis hidrogel 100 gr polybag-1 (H1), dosis hidrogel 200 gr polybag-1 (H2), dan dosis hidrogel 300 gr polybag-1 (H3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi hidrogel berpengaruh nyata terhadap hampir semua variabel yang diamati (stabilitas agregat, porositas makro, dan C-organik), akan tetapi aplikasi hidrogel tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah.Kata kunci: hidrogel, kadar air, stabilitas agregat, porositas makro, C-organi
Rancangan Pengembangan Kawasan Agropolitan Berdasarkan Karakteristik Lahan di Kabupaten Aceh Besar
Kebijakan Otonomi Daerah dan Desentralisasi di Indonesia, membawa nuansa dan paradigma baru dalam pengembangan daerah. Metode perencanaan bottom up (dari bawah/masyarakat) adalah suatu USAha untuk meningkatkan partisipasi dari semua pihak (stake holder) sesuai dengan karakteristik daerahnya. Aspirasi dan informasi daerah yang diperoleh melalui analisis multi-faceted, wawancara, kuesioner, dan informasi lainnya, memunculkan Kabupaten Aceh Besar sebagai salah satu lokasi penelitian yang mempunyai potensi besar di bidang pertanian di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada tiga kecamatan di Aceh Besar yang dapat dikembangkan menjadi wilayah agropolitan. Kecamatan Indrapuri memiliki potensi paling besar untuk pengembangan kawasan agropolitan ini, karena memiliki persyaratan paling lengkap untuk kebutuhan tersebut. Pengelompokkan zona-zona pengembangan dan komoditas dari hasil analisis, menggunakan metode zona agroekologi, adalah : Zona I untuk kehutanan sekitar 81.465 ha (27, 39%), Zona II untuk perkebunan seluas 44.365 ha (14,92%), Zona III untuk keperluan agroforestri sekitar 65.232 ha (21,93%), Zona IV untuk tanaman pangan sebesar 56.350 ha (18,95%) dan Zona VI untuk kawasan mangrove seluas 50.100 ha (16,85%)
Identifikasi Kedalaman Pirit dan Kaitannya Terhadap Kesehatan dan Produktivitas Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) ( Studi Kasus di Perkebunan PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk )
The pyrite layer (FeS2) characterizes acid sulphate soil. Under oxidized conditions, pyrite produces sulphuric acid that increases acidic soil to very acidic (pH 2-3). This condition is a threat to plantation, including oil palm plantation. Therefore, the management of acid sulphate soil must take into account the depth of pyrite layer. Studies on the identification of pyrite and the use of remote sensing in monitoring plant health are urgently required to optimize oil palm production in acid sulphate soil. In this case study, detailed survey and mapping were performed to measure the depth of pyrite followed by plant health analysis, and production analysis. The results showed that the depth of pyrite layer at the site ranged from 30 cm to over 120 cm from the soil surface. The depth indicated that the 72.40% of the soil was categorized medium pyrite depth (60-120 cm). Furthermore, 484.85 ha was shallow pyrite layer (<60 cm) and deep pyrite layer (>120 cm) covered an area of 163.75 ha. A tendency for a positive linear relationship between pyrite depth, NDVI (normalized difference vegetation index) or plant health, and plant productivity. NDVI values and plant productivity and deeper pyrite depth was identified as shown in higher NDVI values following deeper pyrite layer. Plant productivity on deep pyrite soil was significantly different from the one in medium or shallow pyrite soil. Shallower pyrite layer was followed by lower oil palm production. The productivity has decreased by 39% and 19% in soil with pyrite depths of < 60 cm and 60 cm – 120 cm respectively.Lapisan pirit (FeS2) merupakan penciri khusus dari tanah sulfat masam. Dalam kondisi teroksidasi, pirit menghasilkan asam sulfat yang dapat menyebabkan tanah menjadi masam sampai sangat masam (pH 2-3). Hal tersebut tentunya menjadi masalah dalam perkembangan tanaman, termasuk kelapa sawit. Oleh karena itu, pengelolaan tanah asam sulfat harus memperhatikan kedalaman lapisan pirit. Studi tentang identifikasi pirit dan penggunaan penginderaan jauh dalam memantau kesehatan tanaman sangat diperlukan untuk mengoptimalkan produksi kelapa sawit di tanah sulfat masam.Penelitian dilakukan dengan metode studi kasus mulai dari survei detil dan pemetaan kedalaman pirit, analisis kesehatan tanaman, dan analisis produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lapisan pirit di lokasi penelitian berada pada kedalaman 30 cm sampai lebih dari 120 cm dari permukaan tanah. Berdasarkan klasifikasi kedalaman pirit, lokasi penelitian didominasi oleh lahan dengan kedalaman pirit sedang (60-120 cm) seluas 1.701,33 ha. Sebagian areal lainnya memiliki kedalaman pirit dangkal (<60 cm) seluas 484,85 ha, dan pirit dalam (>120 cm) seluas 163,75 ha. Terdapat kecenderungan hubungan linier positif antara kedalaman pirit, nilai NDVI ((normalized difference vegetation index) atau kesehatan tanaman, dan produktivitas tanaman. Nilai NDVI dan produktivitas tanaman cenderung lebih baik dengan semakin meningkatnya kedalaman pirit. Hal ini terlihat dari nilai NDVI yang lebih tinggi seiring dengan semakin dalam tingkat kedalaman pirit. Produktivitas tanaman pada lahan dengan kedalaman pirit dalam, berbeda nyata dengan pirit sedang ataupun dangkal. Semakin dangkal kedalaman pirit, produksi kelapa sawit semakin menurun. Penurunan produksi pada kedalaman pirit sedang dan dangkal berturut-turut adalah 19% dan 39%. Upaya pengelolaan lahan sebaiknya disesuaikan dengan kedalaman dan karakteristik pirit
Pengaruh Pupuk Hayati dan Anorganik Terhadap Populasi Bakteri Pelarut Fosfat, Kandungan Fosfat (P) dan Hasil Tomat Hidroponik
Pada sistem hidroponik, pemberian pupuk anorganik dan pupuk hayati dilakukan untuk meningkatkan hasil tanaman karena pupuk anorganik menyediakan unsur hara dan pupuk hayati menghasilkan fitohormon yang meningkatkan pertumbuhan tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk hayati yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik terhadap populasi bakteri pelarut fosfat, kandungan fosfat (P) dan hasil tanaman tomat. Penelitian ini dilakukan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 7 perlakuan kombinasi pupuk anorganik (konsentrasi 100%, 75%, dan 50%), pupuk hayati (konsentrasi 100%, 75%, 50%, dan 25%) 4 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik untuk melihat pengaruh perlakuan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kombinasi pupuk anorganik dan pupuk hayati menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap populasi bakteri pelarut fosfat, kandungan P, dan hasil tanaman tomat pada sistem hidroponik
Etude des éléments du bilan hydrique et du rendement de la culture pluviale du maïs et du riz à Lampung (Indonésie) (Diagnostic agropédoclimatique régional)
Ce travail analyse la potentialité des facteurs pédoclimatiques de la région de Lampung (Indonésie), et surtout les paramètres qui interviennent directement sur le calcul du bilan hydrique de culture au terrain. Ces paramètres sont: pluie, évapotranspiration, ruissellement, drainage et stock hydrique du sol. Par la suite, en utilisant un modèle, les facteurs ci-dessus vont être testés et simulés sur des cultures pluviales de maïs et de riz pour caractériser et quantifier la ressource hydrique de pluie et du sol en rapport avec le besoin en eau de ces cultures. Dans un premier chapitre, on présentera les bases théoriques des relations hydriques entre l'atmosphère, le sol et la plante. On parlera aussi d'un modèle du bilan hydrique, ses avantages et ses contraintes. Dans le deuxième chapitre, le milieu physique de la région sera présenté. On analysera ensuite la potentialité des facteurs et des conditions pédoclimatiques. Le troisième chapitre sera consacré à l'application de la simulation du bilan hydrique sur la pratique culturale pluviale dans la zone de transmigration. Deux systèmes culturaux seront analysés: monoculture et culture associée. Le zonage du rendement espéré est le résultat principal de cette simulation. Dans le quatrième chapitre, le ruissellement sera comparativement étudié par deux méthodes différentes: la mesure sur le terrain et une approche par simulation. Les résultats obtenus montrent qu'il semble possible de simuler les effets des techniques culturales sur l'évolution du ruissellement en prenant en considération les états de surface caractéristiques mis en évidence. Enfin, le dernier chapitre (conclusion générale), nous amènera à évaluer des aspects sur l'utilisation du modèle dans cette étude, et des réflexions sur les recherches expérimentales pour que la modélisation du bilan hydrique soit validée dans les conditions tropicales humides
Penetapan Kelembaban, Tekstur Tanah dan Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kina (Chinchona spp.) di Sub Das Cikapundung Hulu Melalui Citra Satelit Landsat-TM Image
Penggunaan citra satelit Landsat TM telah banyak digunakan dalam bidang pertanian, terutama dalam hal penetapan atau identifikasi tutupan permukaan lahan seperti vegetasi, penggunaan lahan, kemiringan lereng, genangan air dan sungai, serta tutupan lainnya. Studi ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana citra satelit Landsat TM dapat mengidenÂtifikasi kelembaban dan tekstur tanah serta analisis kesesuaian lahan tanaman kina (Chinchona spp.) pada Sub-DAS Cikapundung Hulu di Kabupaten Bandung Jawa Barat dengan ketinggian tempat 1000-1500 m di atas permukaan laut. Metode yang digunakan dalam peneÂlitian ini adalah analisis deskriptif melalui interpretasi citra dengan membuat citra Normalized Difference Soil Index (NDSI), citra transformasi model Tasseled Cap: Wetness Index, survey lapangan dan analisis laboratorium. Hasil studi menunjukkan bahwa interpretasi citra satelit Landsat-TM dengan menggunakan pendugaan citra transformasi, dapat mengidenÂtifikasi kelembaban tanah dengan tingkat akurasi 57,14 % dan untuk tekstur tanah sebesar 42,85 %. Karakteristik lahan pada Sub-DAS Cikapundung Hulu dikategorikan cukup sesuai (S2) untuk pengembangan tanaman kina dengan luasan area sebesar 68,69 ha
Identifikasi Lahan Kritis Melalui Pemanfaatan Teknologi Drone Di DTA Cipaheut Pada SUB DAS Cikapundung Hulu
Perkembangan populasi penduduk di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) menyebabkan terjadinya perubahan pola pemanfaatan Sumberdaya Alam (SDA). Hal tersebut berakibat pada maraknya fenomena alih fungsi lahan yang pada gilirannya akan berdampak pada meningkatnya erosi dan kerusakan lahan. Jika fenomena tersebut terus terjadi maka akan berdampak pada penurunan daya dukung lahan bagi fungsi ekologis DAS dan juga timbulnya lahan kritis. Banyaknya perubahan penggunaan lahan menyebabkan penurunan kualitas pada Sub DAS Cikapundung, salah satunya di daerah Daerah Tangkapan Air (DTA) Cipaheut yang terletak pada Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kab Bandung, Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi lahan kritis pada DTA Cipaheut dengan menggunakan kemampuan teknologi drone. Penelitian dilakukan dengan metode survei dengan analisis deskriptif dan kuantitatif.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DTA Cipaheut didominasi oleh kerapatan vegetasi yang buruk (51,47%). Data DEM menunjukkan bahwa DTA Cipaheut didominasi lereng yang curam (48,20%). Data survei lapangan menunujukkan bahwa tingkat bahaya erosi didominasi dengan kategori berat yakni pada penggunaan lahan tegalan. Manajemen lahan di DTA Cipaheut termasuk kelas sedang. Secara keseluruhan berdasarkan hasil penilaian didapatkan hasil bahwa lahan di DTA Cipaheut 54,020% dalam kategori kritis dan 43,567% dalam kategori sangat kritis
The Pemetaan Tingkat Bahaya Erosi dengan Pemanfaatan Teknologi Drone di DTA Cipaheut Sub DAS Cikapundung Hulu
Technology in the field of mapping is constantly evolving to provide convenience for human work. One of the innovations that are developing in today’s modern era is drone or Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Erosion mapping and erosion measurements are carried out to determine the potential risk of erosion in certain areas. The erosion risk map shows the distribution of erosion hazard levels in an area. The objective of this research is to determine erosion prediction and erosion hazard levels spatially based on USLE (Universal Soil Loss Equation) method using drone. The used of UAV for collecting data to generate soil erosion risk map at detail scale based on USLE method is relatively infrequently done in Indonesia. The research was conducted in Cipaheut Watershed, Cikapundung Hulu Sub-watershed, Cimenyan, Cimenyan, Bandung Regency, West Java. The results of the study show that the role of drone is very helpful in mapping general conditions and land use spatially. In addition, drones are able to provide actual data sources to identify the physical factors needed in the USLE method of erosion calculations such as LS, C and P factors. Erosion prediction and erosion hazard levels can be calculated using data acquired from drones. There are 8 SPLs with a total land area of ​​225.10 Ha. SPL 5 with the use of dry land and steep slope have the highest erosion prediction values ​​of 703.1207 tons/ha/year and an erosion hazard index of 87.8901 tons/ha/year with a very high level of erosion hazard. 
PENGARUH NaCl DAN AMELIORAN ORGANIK Azolla pinnata TERHADAP N-TOTAL, pH TANAH, SERTA BOBOT KERING TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) PADA INCEPTISOLS JATINANGOR
The high content of NaCl in soil may lead to nutrient imbalance and inhibit the Nitrogen uptake by plants. Azolla pinnata can be used as an organic ameliorant to help plant roots in absorbing nutrients and enhancing the number of available N for plants. The aim of this research was to ascertain whether Azolla pinnata as organic ameliorant gave the significant difference on the enhancement of N content of soil, pH of soil, and dry weight of rice plant on various salinity level of soil and also to find out if Azolla pinnata could suppress salinity stress at certain salinity. The experiment was conducted at the Greenhouse of Faculty of Agriculture Universitas Padjadjaran, Jatinangor and also at the Laboratory of Soil Fertility and Plant Nutrion, Departement of Soil Science and Land Resources on November 2016 until March 2017. The experimental design used was Randomized Completely Block Design with 8 treatments and 4 replications. The treatment was consisted of without the organic ameliorant Azolla pinnata, and with the application of Azolla pinnata on salinity level 0, 2, 4, 6 mmhos cm-1. The results showed that the application of NaCl and Azolla pinnata gave the significant difference on soil pH, and dry weight of plant. The application of Azolla pinnata is not able yet to suppress the rice symptom of salinity stress at 2, 4, and 6 mmhos cm-1 on the enhancement of dry weight of plant. The application of Azolla at salinity 6 mmhos cm-1 was equivalent with salinity 2 mmhos cm-1 in producing dry weight of plant.Keywords: NaCl, Organic ameliorant Azolla pinnata, Rice, Salinit
Prediction of Bandung District Land Use Change Using Markov Chain Modeling
Land conversion has occurred and converted into non-agricultural purposes in Bandung district, Indonesia. Consequently, the availability of agricultural land has decreased. The tendency of accessibility to infrastructure, natural resources, and population growth contribute to land-use change. This study aims to identify the relationship between distance accessibility factors such as distance to road, river, city center, slope and population density, and the land conversion in Bandung district. In this study, three multitemporal land use data (2007, 2012, and 2017) were used to determine transition probability matrix land-use change and predict land use in 2027. ArcGIS and Idrisi Selva software were used to simulate the land-use change in 2007–2017 and land use projection in 2027 using the Markov Chain model. The study resulted in Bandung district during 2007 to 2017 there was a decline in the areas of forest (0.03%), garden/plantation (7.02%), dryland (3.48%), paddy field (3.07%), and bushes (3.56%). Meanwhile, 34.57% of settlement and 11.44% of water bodies area increased in 2017. Land use was converted into settlement/built-up (18%), paddy fields (2.6%), water bodies (0.3%) and forest (0.1%). Distance to road, river, city center, and slope factor tended a negative correlation, while population density factor obtained positively correlated to the extent of land-use change. Land use prediction in 2027 resulting the most extensive land use was for paddy fields (22.58%), followed by forest (19.00%), garden/plantation (18.13%), settlement/built-up area (16.38%), dryland (12.32%), bushes (11.21%), and water bodies area (0.38%)