64 research outputs found

    Identification of Value Proposition and Development of Innovative Business Models for Demand Response Products and Services Enabled by the DR-BOB Solution

    Get PDF
    The work presented is the result of an ongoing European H2020 project entitled DR-BOB Demand Response in Blocks of Buildings (DR-BOB) that seeks to integrate existing technologies to create a scalable solution for Demand Response (DR) in blocks of buildings. In most EU countries, DR programs are currently limited to the industrial sector and to direct asset control. The DR-BOB solution extends applicability to the building sector, providing predictive building management in blocks of buildings, enabling facilities managers to respond to implicit and explicit DR schemes, and enabling the aggregation of the DR potential of many blocks of buildings for use in demand response markets. The solution consists of three main components: the Local Energy Manager (LEM), which adds intelligence and provides the capacity for predictive building management in blocks of buildings, a Consumer Portal (CP) to enable building managers and building occupants to interact with the system and be engaged in demand response operations, and a Decentralized Energy Management System (DEMSÂź, Siemens plc, Nottingham, England, UK), which enables the aggregation of the DR potential of many blocks of buildings, thus allowing participation in incentive-based demand response with or without an aggregator. The paper reports the key results around Business Modelling development for demand response products and services enabled by the DR-BOB solution. The scope is threefold: (1) illustrate how the functionality of the demand response solution can provide value proposition to underpin its exploitation by four specific customer segments, namely aggregators and three types of Owners of Blocks of Buildings in different market conditions, (2) explore key aspects of the Business Model from the point of view of a demand response solution provider, in particular around most the suitable revenue stream and key partnership, and (3) assess the importance of key variables such as market maturity, user engagement, and type of blocks of buildings as drivers to market penetration and profitability. The work presented is framed by the expected evolution of DR services in different market contexts and the different relationships between the main stakeholders involved in the DR value chain in different EU countries. The analysis also relies on the results of interviews conducted at the fours pilot sites of the DR-BOB project with key representatives of the management, operations, and marketing. These are used to better understand customer needs and sharpen the value proposition

    Upsurge of Enterovirus D68, the Netherlands, 2016

    Get PDF
    In June and July 2016, we identified 8 adults and 17 children with respiratory enterovirus D68 infections. Thirteen children required intensive care unit admission because of respiratory insufficiency, and 1 had concomitant acute flaccid myelitis. Phylogenetic analysis showed that all of 20 sequences obtained belong to the recently described clade B3

    Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP) Produk Garmen pada PT. PancaPrima EkaBrothers, Tangerang

    Get PDF
    BRATA LESMANA MEKANIA. 2002. Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP) Produk Garmen pada PT. PancaPrima EkaBrothers, Tangerang. SYAMSUL MA'ARIF dan SRI HARTOYO. Industri tekstii mulai berkembang dengan pesat di Indonesia sejak dikeluarkannya Undang-undang PMA dan PMDN pada tahun 1967 dan 1968. Membaiknya iklim usaha menjadikan industri baik serat sintetis maupun industri pertenunan clan pemintalan semakin meningkat. Pa& akhir dasawarsa 1980-an diieluarkan berbagai paket deregulasi guna meningkatkan ekspor non-migas namun kebijakan tersebut lebii berorientasi pada sasaran ekspor. Dampak dari kebijakan tersebut di atas adalah ekspor tekstil dan garmen melonjak terutama sejak tahun 1987, namun pada tahun 1993 dan 1994 tejadi penurunan. Kemudian pada tahun 1996 sedikit derni sedikit mengalami kenaikan lagi, akhirnya menurun lagi pada tahun 1997 hingga sekarang ini. Kunci sukses industri garmen dalam menembus pasar ekspor yaitu terletak pada produk yang bermutu tinggi, produktivitas yang tinggi, penman barang tepat waktu dan harga yang bersaing. Untuk mendukung hal tersebut, suatu produk yang bennutu dan produktivitas yang tinggi, tidak cukup mengandallcan mutu bahan baku saja tetapi juga akurasi penjahitan, kecepatan produksi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu diperlukan perencanaan produksi produk garment yang terpadu. Berproduksi secata tepat waktu dan tepat jumlah merupakan tujuan yang hams dicapai oleh PT PEB terutama pada bagian cutting dan embroidery. Oleh karena itu diperlukan suatu perencanaan kebutuhan kapasitas (Cupcity Requirements Planning = CRP) yang baik dan tepat sehingga &pat dijadiian panduan dalam proses pengambilan keputusan manajemen. PT PEB dalam melakukan proses produksinya dihadapkan pada kendala-kendala antara lain : Waktu pelaksanaan operasi (run time) yang tidak merniliki standar yang baku dan kapasitas produksi pada bagian cutting dan embroidery yang belum tepat perencanaannya sehingga penjadwalan pada kedua pusat kerja (work station = WSMQ tidak tepat mengikut jadwal bagian produksi (sewing). Selanjutnya dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas maka rumusan pennasalahan yang dianalisa yaitu bagaimana faktor-faktor produksi mempengaruhi perhitungan perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP) dan bagaimana membuat laporan perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP) pada sentra keja cutting dan bordir sesuai dengan sumber daya yang dirniliki perusahaan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidenmasi variabel-variabel yang berpengaruh terhadap pengukuran perencanaan kebutuhan kapasitas pada bagian cutting dan embroidery/printing. menentukan rencana kebutuhan kaoasitas vada sentra- keja cutting dan embr~~dery/printingbagi PT PEB yang*disesu&an dengan order yang diterima dan memberikan rekomendasi perencanaan kebutuhan kapasitas berupa laporan CRP pada bagian cutting dan embroideiylprinting untuk order yang diterima perusahaan. ïżœ Ruang lingkup penelitian manajemen produksi dan operasi ini difokuskan kepada pengkajian kegiatan perencanaan kebutuhan kapasitas khususnya pada bagian cutting dan embroidery/printing yang mendukung kebutuhan dari bagian produksi (sewing), dimulai dengan penentuan time study sampai dengan konsep perhitungan kebutuhan kapasitas yang mampu menunjang kelancaran produksi dari bagian cutting dan embroidery/printing. Penelitian ini hanya sarnpai pada tahap pengajuan alternatif sedanghn tahap selanjutnya berupa implementasi merupakan kewenangan manajemen PT PancaPrima EkaBrothers (PEB). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang bersifat studi kasus. Studi kasus ini secara khusus membahas perhitungan perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP) yang akan dilakukan oleh PT PEB. Sementara data-data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh melalui mdode pengamatan langsung di lapangan berupa standar pengukuran produktivitas yaitu time study, diskusi lapangan dengan operator, foreman, supervisor, dan manajer produksiiteknis, serta manajemen PT PEB. Data-data yang telah diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisa dengan rumus/formula baku Time Siudy, Productivity Emboidev (TAW), utilisasi, effisiensi, dan kapasitas terpasang (Rated Capacity). Variabel yang sangat mempengamhi dalam perhitungan CRP ini yaitu time study dengan memandang pentingnya lead time, pada hasil pengamatan ada Lima elemen lead time yang semestinya diiangkum dalam proses produksi di WC-1 dan WC-2 untuk menentukan waktu standarlactual, routing atau alur penugasan pada kedua WC ini haws lebii jelas sehingga kelima elemen ini dapat diperhatikan. Kelima elemen tersebut adalah : (1) Waktu antrian (queue time), merupakan waktu menunggu sebelum operasi diiulai. (2) Waktu Setup (setup time), merupakan waktu setup mesin agar siap beroperasi. (3) Waktu pelaksanaan (run time), merupakan waktu melaksanakan operasi. (4) waktu menunggu (wait t~me), merupakan waktu menunggu setelah operasi berakhir. (5) Waktu Bergerak (move time), merupakan waktu bergerak secara fisik diantara operasi yang satu dan operasi lain. Waktu pelaksanaan (run time) rnerupakan elemen yang saat ini digunakan, karena manajemen melihat saat ini dan dari pengalaman terdahulu para operator, alat pernbantu, helper (operator pembantu) telah melakukan gerakan atau kerja proses yang cepat sehingga keempat elemen lainnya untuk saat ini diabaikan. Selain variabel time study ada variabel lain yang penting pula diperhatikan yaitu bahan baku dan proses pembuatan produk gmen itu sendiri yang tidak seragam, artinya setiap produk garmen yang dihasilkan berbeda komponen bahan bakunya. Komponen yang berbeda ini bukan dari jenis bahan baku atau material pendukung lainya, tetapi susunan komponen setiap order garmen yang diterima berbeda bahkan jurnlahnya juga berbeda, baik berdasarkan order per season ataupun style. Hasil dari perhitungan CRP dan pengamatan untuk kedua produk garmen yaitu pant (5569 pcs) dan short (27986 pcs) pada WC-1 dan WC-2 terjadi ketidakseimbangan antara kapasitas dan beban kerja. Pada laporan CRP dinyatakan bahwa kapasitas terpasang untuk WC-1 1350.63 rne~t@ant) dan 3792.27 rne~t(short) sedangkan kapasitas aktual 1740.32 menit (pant) dan 4206.16 menit (short) , tejadi over capacity 389.69 menit (pant) dan 413.89 menit (short). Pada WC-2 juga terjadi hal yang sama yaitu over capacity sebesar ïżœ 258.13 menit @ant) dan 1297.19 menit (short). Pada distribusi beban keja untuk kedua WC tersebut juga diketahui adanya kelebiian beban keja. Penentuan beban kerja dilakukan dengan menggunakan in$nite loading (tanpa pemabatasan beban kerja) bersamaan diiakukan penjadwalan ke belakang. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara kapasitas dan beban. Hasil lain yang didapat dengan melakukan pengukuran time study pada kedua WC tersebut yaitu pada WC-2 belum mencapai tingkat produktivitas yang diinginkan oleh manajemen. Hasii perhitungan produktivitas yang digunakan untuk mengukur kapasitas pada WC-2 menyatakan WC-2 hanya mampu mencapai 67.11% (tertinggi) dan 27.59% (terendah) produktivitas yang dicapai pada WC-2, saat ini produktivitas yang diinginkan oleh manajemen idealnya adalah 80%. Implikasi dari temuan di atas mengharuskan manajemen untuk menyeimbangkan kapasitas dengan beban kerja pada tiap WC. Ada beberapa tindakan yang mungkin dapat diambii akibat dari ketidakseimbangan atau perbedaan antara kapasitas yang ada dan beban yang dibutuhkan. Tidakan-tindakan ini dapat diiakukan secara sendiri atau dalam berbagai bentuk kombiiasi yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi aktual dari PT PEB, yaitu dengan : (1) Meningkatkan Kapasitas (Increasing Capacity) dengan cara : (a) menambah ekstra shift, (b) menjadwalkan lernbur (over trme) atau bekerja di akhir pekan (work weekend), (c) menambah peralatan bordii, alat bantu seperti meja gelar danlatau personel, (d) melakukan subkontrak satu atau lebii dari shop order. (2) Mengurangi Beban (Reducing Load), dengan cara (a) melakukan subkontrak pekejaan ke pernasok luar, (b) Mengurangi ukuran lot, (c) melakukan penjadwalan ulang seluruh order yang diterima, (d) menahan pekejaan dalam pengendalian produksi atau mengeluakan pesanan lebii lambat (karena setiap pesanan yang ada telah memiliki waktu jatuh tempo yang sama yaitu 90 hari), (3) mendistribusikan Kemabali Beban (Redistrzbuting Load), dengan cara (a) menggunakan alternatif work center artinya WC-1 proses pada bagian cutting yaitu dengan membuat parthagian yang akan diianjutkan pada WC-2 bordii jadi bagian lainnya menunggu dalam antrian, (b) menggunakan alternatif routinglalur penugasan, (c) menyesuaikan tanggal mulai operasi ke belakang (lebii awal atau lebii lambat, dikombimsikan sesuai kondisi aktual). Sedangkan tindakan yang perlu dilakukan oleh manajernen untuk meningkatkan produktivitas dari hasil bordir, dapat dilakukan dengan mempersimgkat waktu proses bordii, Cara yang palimg mudah yaitu dengan merubah metode keja dari bagian bordir baik itu dengan scheduling yang lebih baik, dan yang paling penting memberikan pengertian kepada operator mengenai pentingnya ketepatan dan kecepatan dari proses pra bordir yaitu set up, pemasangan fiame dan kecepatan menghadapi hambatan pada saat proses bordir seperti penaganan secara cepat dan tepat jiia jarum patah, benang lepas dan kendala lainnya. Peningkatan produktivitas tidak dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan pada mesin bordir, namun dapat diianipulasi dengan perbaikan kinerja dari bagian bordir secara keseluruhan. Penggunaan CRP memberikan penilaian secara terperinci dari sumber- sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan order manufakturing. Pengukuran yang dilakukan dari konsep CRP ini telah membuka wawasan bagi para foreman, supervisor, dan pihak manajemen di WC terkait akan pentingnya ïżœ melakukan perhitungan CRP, karena CRP mampu memberikan time-phased visibiliy dari ketidakseimbangan kapasitas dan beban sehingga manajemen hams mulai mengambii keputusan dengan menyiapkan sistem pengukuran dan alat bantu lainnya untuk melakukan tahap awd dari komponen CRP yaitu Time Study. CRP juga mampu mengkonfirmasi bahwa kapasitas cukup, dan ada pada basis kumulatif sepanjang horizon perencanaan. Manajemen dapat mempertimbangkan ukuran lot spesifik dan ratings atau alur penugasan serta alternatif WC jika terjadi unbalancing antara kapasitas dan beban. Manajemen manpu memperkirakan lead time yang lebih tepat dan mengehnhirlmenghilangkan erratic lead times (waktu tunggu yang tidak menentu) dengan cara memberikan data untuk memuluskan beban seoaniana sentra-sentra keria (WO. .<- Dari berbagai alternatif yang a& dalam rangka mknieimbangkan kapasitas dan beban, maka dengan mempertimbangkan biaya produksi maka pelatihan internal SDM untuk meningkatkan produktivitas, peningkatan performance kerja dan rescheduling adalah alternatif solusi yang lebih baik untuk mengatasi ketidak seimbangan antara kapasitas dan beban pada setiap sentra kerja (WC). Dari hasil pengamatan dan analisa yang dilakukan di PT PEB, maka disarankan bagi manajemen perusahaan untuk dapat mempertimbangkan Penggunaan CRP dengan mengikuti tahapan MRP 11secara keseluruhan karena CRP tidak dapat berdiri sendii, CRP merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dalam MRP 11dan untuk pembebanan dauat dicoba oenagunan metode lain seoerti . -- program finite loading, sijdan dengan pinggunam konsep-konsep yang telah ada sekarang. Selain itu untuk menyeimbangkan kapasitas dan beban kerja, manajeien lebih disarankan untuk helakukan penjadwalan ulang untuk jadwd induk utama dengan pertimbangan akan meminimalkan biaya produksi jika dibandingkan dengan penambahan shift, panjadwalan lembur, menambah peralatan/personel. Namun pada special case hal-ha1 terebut dapat diiakukan atau dengan subkontrak. Perusahaan juga disarankan untuk mengembangkan program- program pelatihan dasar-dasar manufaktur, kepemimpinan, dan pelatihan mengenai proses berkelanjutan yang diperlukan guna meningkatkan kerja sama antara tiap-tiap work center, dan untuk mendukung implementasi dari perbaikan- perbaikan yang dilakukan oleh perusahaan

    High quality of SARS-CoV-2 molecular diagnostics in a diverse laboratory landscape through supported benchmark testing and External Quality Assessment

    Get PDF
    A two-step strategy combining assisted benchmark testing (entry controls) and External Quality Assessments (EQAs) with blinded simulated clinical specimens to enhance and maintain the quality of nucleic acid amplification testing was developed. This strategy was successfully applied to 71 diagnostic laboratories in The Netherlands when upscaling the national diagnostic capacity during the SARS-CoV-2 pandemic. The availability of benchmark testing in combination with advice for improvement substantially enhanced the quality of the laboratory testing procedures for SARS-CoV-2 detection. The three subsequent EQA rounds demonstrated high quality testing with regard to specificity (99.6% correctly identified) and sensitivity (93.3% correctly identified). Even with the implementation of novel assays, changing workflows using diverse equipment and a high degree of assay heterogeneity, the overall high quality was maintained using this two-step strategy. We show that in contrast to the limited value of Cq value for absolute proxies of viral load, these Cq values can, in combination with metadata on strategies and techniques, provide valuable information for laboratories to improve their procedures. In conclusion, our two-step strategy (preparation phase followed by a series of EQAs) is a rapid and flexible system capable of scaling, improving, and maintaining high quality diagnostics even in a rapidly evolving (e.g. pandemic) situation.</p

    Breakpoint mapping of 13 large parkin deletions/duplications reveals an exon 4 deletion and an exon 7 duplication as founder mutations

    Get PDF
    Early-onset Parkinson’s disease (EOPD) has been associated with recessive mutations in parkin (PARK2). About half of the mutations found in parkin are genomic rearrangements, i.e., large deletions or duplications. Although many different rearrangements have been found in parkin before, the exact breakpoints involving these rearrangements are rarely mapped. In the present study, the exact breakpoints of 13 different parkin deletions/duplications, detected in 13 patients out of a total screened sample of 116 EOPD patients using Multiple Ligation Probe Amplification (MLPA) analysis, were mapped using real time quantitative polymerase chain reaction (PCR), long-range PCR and sequence analysis. Deletion/duplication-specific PCR tests were developed as a rapid and low cost tool to confirm MLPA results and to test family members or patients with similar parkin deletions/duplications. Besides several different deletions, an exon 3 deletion, an exon 4 deletion and an exon 7 duplication were found in multiple families. Haplotype analysis in four families showed that a common haplotype of 1.2 Mb could be distinguished for the exon 7 duplication and a common haplotype of 6.3 Mb for the deletion of exon 4. These findings suggest common founder effects for distinct large rearrangements in parkin

    High quality of SARS-CoV-2 molecular diagnostics in a diverse laboratory landscape through supported benchmark testing and External Quality Assessment

    Get PDF
    A two-step strategy combining assisted benchmark testing (entry controls) and External Quality Assessments (EQAs) with blinded simulated clinical specimens to enhance and maintain the quality of nucleic acid amplification testing was developed. This strategy was successfully applied to 71 diagnostic laboratories in The Netherlands when upscaling the national diagnostic capacity during the SARS-CoV-2 pandemic. The availability of benchmark testing in combination with advice for improvement substantially enhanced the quality of the laboratory testing procedures for SARS-CoV-2 detection. The three subsequent EQA rounds demonstrated high quality testing with regard to specificity (99.6% correctly identified) and sensitivity (93.3% correctly identified). Even with the implementation of novel assays, changing workflows using diverse equipment and a high degree of assay heterogeneity, the overall high quality was maintained using this two-step strategy. We show that in contrast to the limited value of Cq value for absolute proxies of viral load, these Cq values can, in combination with metadata on strategies and techniques, provide valuable information for laboratories to improve their procedures. In conclusion, our two-step strategy (preparation phase followed by a series of EQAs) is a rapid and flexible system capable of scaling, improving, and maintaining high quality diagnostics even in a rapidly evolving (e.g. pandemic) situation.</p

    Clinical and cost-effectiveness of computerised cognitive behavioural therapy for depression in primary care: Design of a randomised trial

    Get PDF
    <p>Abstract</p> <p>Background</p> <p>Major depression is a common mental health problem in the general population, associated with a substantial impact on quality of life and societal costs. However, many depressed patients in primary care do not receive the care they need. Reason for this is that pharmacotherapy is only effective in severely depressed patients and psychological treatments in primary care are scarce and costly. A more feasible treatment in primary care might be computerised cognitive behavioural therapy. This can be a self-help computer program based on the principles of cognitive behavioural therapy. Although previous studies suggest that computerised cognitive behavioural therapy is effective, more research is necessary. Therefore, the objective of the current study is to evaluate the (cost-) effectiveness of online computerised cognitive behavioural therapy for depression in primary care.</p> <p>Methods/Design</p> <p>In a randomised trial we will compare (a) computerised cognitive behavioural therapy with (b) treatment as usual by a GP, and (c) computerised cognitive behavioural therapy in combination with usual GP care. Three hundred mild to moderately depressed patients (aged 18–65) will be recruited in the general population by means of a large-scale Internet-based screening (<it>N </it>= 200,000). Patients will be randomly allocated to one of the three treatment groups. Primary outcome measure of the clinical evaluation is the severity of depression. Other outcomes include psychological distress, social functioning, and dysfunctional beliefs. The economic evaluation will be performed from a societal perspective, in which all costs will be related to clinical effectiveness and health-related quality of life. All outcome assessments will take place on the Internet at baseline, two, three, six, nine, and twelve months. Costs are measured on a monthly basis. A time horizon of one year will be used without long-term extrapolation of either costs or quality of life.</p> <p>Discussion</p> <p>Although computerised cognitive behavioural therapy is a promising treatment for depression in primary care, more research is needed. The effectiveness of online computerised cognitive behavioural therapy without support remains to be evaluated as well as the effects of computerised cognitive behavioural therapy in combination with usual GP care. Economic evaluation is also needed. Methodological strengths and weaknesses are discussed.</p> <p>Trial registration</p> <p>The study has been registered at the Netherlands Trial Register, part of the Dutch Cochrane Centre (ISRCTN47481236).</p

    Safety and Efficacy of a Dapivirine Vaginal Ring for HIV Prevention in Women.

    Get PDF
    BACKGROUND: The incidence of human immunodeficiency virus (HIV) infection remains high among women in sub-Saharan Africa. We evaluated the safety and efficacy of extended use of a vaginal ring containing dapivirine for the prevention of HIV infection in 1959 healthy, sexually active women, 18 to 45 years of age, from seven communities in South Africa and Uganda. METHODS: In this randomized, double-blind, placebo-controlled, phase 3 trial, we randomly assigned participants in a 2:1 ratio to receive vaginal rings containing either 25 mg of dapivirine or placebo. Participants inserted the rings themselves every 4 weeks for up to 24 months. The primary efficacy end point was the rate of HIV type 1 (HIV-1) seroconversion. RESULTS: A total of 77 participants in the dapivirine group underwent HIV-1 seroconversion during 1888 person-years of follow-up (4.1 seroconversions per 100 person-years), as compared with 56 in the placebo group who underwent HIV-1 seroconversion during 917 person-years of follow-up (6.1 seroconversions per 100 person-years). The incidence of HIV-1 infection was 31% lower in the dapivirine group than in the placebo group (hazard ratio, 0.69; 95% confidence interval [CI], 0.49 to 0.99; P=0.04). There was no significant difference in efficacy of the dapivirine ring among women older than 21 years of age (hazard ratio for infection, 0.63; 95% CI, 0.41 to 0.97) and those 21 years of age or younger (hazard ratio, 0.85; 95% CI, 0.45 to 1.60; P=0.43 for treatment-by-age interaction). Among participants with HIV-1 infection, nonnucleoside reverse-transcriptase inhibitor resistance mutations were detected in 14 of 77 participants in the dapivirine group (18.2%) and in 9 of 56 (16.1%) in the placebo group. Serious adverse events occurred more often in the dapivirine group (in 38 participants [2.9%]) than in the placebo group (in 6 [0.9%]). However, no clear pattern was identified. CONCLUSIONS: Among women in sub-Saharan Africa, the dapivirine ring was not associated with any safety concerns and was associated with a rate of acquisition of HIV-1 infection that was lower than the rate with placebo. (Funded by the International Partnership for Microbicides; ClinicalTrials.gov number, NCT01539226 .)
    • 

    corecore