64 research outputs found
Identification of Value Proposition and Development of Innovative Business Models for Demand Response Products and Services Enabled by the DR-BOB Solution
The work presented is the result of an ongoing European H2020 project entitled DR-BOB Demand Response in Blocks of Buildings (DR-BOB) that seeks to integrate existing technologies to create a scalable solution for Demand Response (DR) in blocks of buildings. In most EU countries, DR programs are currently limited to the industrial sector and to direct asset control. The DR-BOB solution extends applicability to the building sector, providing predictive building management in blocks of buildings, enabling facilities managers to respond to implicit and explicit DR schemes, and enabling the aggregation of the DR potential of many blocks of buildings for use in demand response markets. The solution consists of three main components: the Local Energy Manager (LEM), which adds intelligence and provides the capacity for predictive building management in blocks of buildings, a Consumer Portal (CP) to enable building managers and building occupants to interact with the system and be engaged in demand response operations, and a Decentralized Energy Management System (DEMSÂź, Siemens plc, Nottingham, England, UK), which enables the aggregation of the DR potential of many blocks of buildings, thus allowing participation in incentive-based demand response with or without an aggregator. The paper reports the key results around Business Modelling development for demand response products and services enabled by the DR-BOB solution. The scope is threefold: (1) illustrate how the functionality of the demand response solution can provide value proposition to underpin its exploitation by four specific customer segments, namely aggregators and three types of Owners of Blocks of Buildings in different market conditions, (2) explore key aspects of the Business Model from the point of view of a demand response solution provider, in particular around most the suitable revenue stream and key partnership, and (3) assess the importance of key variables such as market maturity, user engagement, and type of blocks of buildings as drivers to market penetration and profitability. The work presented is framed by the expected evolution of DR services in different market contexts and the different relationships between the main stakeholders involved in the DR value chain in different EU countries. The analysis also relies on the results of interviews conducted at the fours pilot sites of the DR-BOB project with key representatives of the management, operations, and marketing. These are used to better understand customer needs and sharpen the value proposition
Recommended from our members
Fishery Participation and Location Choice: The West Coast Salmon Fishery
A behavioral study on fishery participation and fishing location choice for the West Coast Salmon fishermen was undertaken to determine the effect of salmon fishery closures on the distribution of fishermen across alternative fisheries and fishing locations. A dataset describing fishing trips from West Coast salmon vessels from 2005 to 2014 was used in a Random Utility Model that estimated both fishery choice and fishing location jointly. The empirical model used expected revenues for different fishing alternatives and individual vesselâs past behavior to predict fishery and fishing location choices. The results support fisheries economics literature that fishery participation and location choice are associated with expected revenue, past behavior, and spatial and temporal closures. Our work suggests that caution must be exercised when modeling fishermen location choice in isolation. Ignoring the multi-species aspect of fisheries may lead to both poor characterization of fishing behavior and poor prediction of the effect of spatial management policies.
Upsurge of Enterovirus D68, the Netherlands, 2016
In June and July 2016, we identified 8 adults and 17 children with respiratory enterovirus D68 infections. Thirteen children required intensive care unit admission because of respiratory insufficiency, and 1 had concomitant acute flaccid myelitis. Phylogenetic analysis showed that all of 20 sequences obtained belong to the recently described clade B3
Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP) Produk Garmen pada PT. PancaPrima EkaBrothers, Tangerang
BRATA LESMANA MEKANIA. 2002. Perencanaan Kebutuhan Kapasitas
(CRP) Produk Garmen pada PT. PancaPrima EkaBrothers, Tangerang.
SYAMSUL MA'ARIF dan SRI HARTOYO.
Industri tekstii mulai berkembang dengan pesat di Indonesia sejak
dikeluarkannya Undang-undang PMA dan PMDN pada tahun 1967 dan 1968.
Membaiknya iklim usaha menjadikan industri baik serat sintetis maupun industri
pertenunan clan pemintalan semakin meningkat. Pa& akhir dasawarsa 1980-an
diieluarkan berbagai paket deregulasi guna meningkatkan ekspor non-migas
namun kebijakan tersebut lebii berorientasi pada sasaran ekspor. Dampak dari
kebijakan tersebut di atas adalah ekspor tekstil dan garmen melonjak terutama
sejak tahun 1987, namun pada tahun 1993 dan 1994 tejadi penurunan. Kemudian
pada tahun 1996 sedikit derni sedikit mengalami kenaikan lagi, akhirnya menurun
lagi pada tahun 1997 hingga sekarang ini.
Kunci sukses industri garmen dalam menembus pasar ekspor yaitu terletak
pada produk yang bermutu tinggi, produktivitas yang tinggi, penman barang
tepat waktu dan harga yang bersaing. Untuk mendukung hal tersebut, suatu
produk yang bennutu dan produktivitas yang tinggi, tidak cukup mengandallcan
mutu bahan baku saja tetapi juga akurasi penjahitan, kecepatan produksi dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu diperlukan
perencanaan produksi produk garment yang terpadu.
Berproduksi secata tepat waktu dan tepat jumlah merupakan tujuan yang
hams dicapai oleh PT PEB terutama pada bagian cutting dan embroidery. Oleh
karena itu diperlukan suatu perencanaan kebutuhan kapasitas (Cupcity
Requirements Planning = CRP) yang baik dan tepat sehingga &pat dijadiian
panduan dalam proses pengambilan keputusan manajemen. PT PEB dalam
melakukan proses produksinya dihadapkan pada kendala-kendala antara lain :
Waktu pelaksanaan operasi (run time) yang tidak merniliki standar yang baku dan
kapasitas produksi pada bagian cutting dan embroidery yang belum tepat
perencanaannya sehingga penjadwalan pada kedua pusat kerja (work station =
WSMQ tidak tepat mengikut jadwal bagian produksi (sewing). Selanjutnya
dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas maka rumusan pennasalahan
yang dianalisa yaitu bagaimana faktor-faktor produksi mempengaruhi perhitungan
perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP) dan bagaimana membuat laporan
perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP) pada sentra keja cutting dan bordir
sesuai dengan sumber daya yang dirniliki perusahaan.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengidenmasi variabel-variabel yang
berpengaruh terhadap pengukuran perencanaan kebutuhan kapasitas pada bagian
cutting dan embroidery/printing. menentukan rencana kebutuhan kaoasitas vada
sentra- keja cutting dan embr~~dery/printingbagi PT PEB yang*disesu&an
dengan order yang diterima dan memberikan rekomendasi perencanaan
kebutuhan kapasitas berupa laporan CRP pada bagian cutting dan
embroideiylprinting untuk order yang diterima perusahaan.
ïżœ
Ruang lingkup penelitian manajemen produksi dan operasi ini difokuskan
kepada pengkajian kegiatan perencanaan kebutuhan kapasitas khususnya pada
bagian cutting dan embroidery/printing yang mendukung kebutuhan dari bagian
produksi (sewing), dimulai dengan penentuan time study sampai dengan konsep
perhitungan kebutuhan kapasitas yang mampu menunjang kelancaran produksi
dari bagian cutting dan embroidery/printing. Penelitian ini hanya sarnpai pada
tahap pengajuan alternatif sedanghn tahap selanjutnya berupa implementasi
merupakan kewenangan manajemen PT PancaPrima EkaBrothers (PEB).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
yang bersifat studi kasus. Studi kasus ini secara khusus membahas perhitungan
perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP) yang akan dilakukan oleh PT PEB.
Sementara data-data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh melalui
mdode pengamatan langsung di lapangan berupa standar pengukuran
produktivitas yaitu time study, diskusi lapangan dengan operator, foreman,
supervisor, dan manajer produksiiteknis, serta manajemen PT PEB. Data-data
yang telah diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisa dengan rumus/formula baku
Time Siudy, Productivity Emboidev (TAW), utilisasi, effisiensi, dan kapasitas
terpasang (Rated Capacity).
Variabel yang sangat mempengamhi dalam perhitungan CRP ini yaitu time
study dengan memandang pentingnya lead time, pada hasil pengamatan ada Lima
elemen lead time yang semestinya diiangkum dalam proses produksi di WC-1 dan
WC-2 untuk menentukan waktu standarlactual, routing atau alur penugasan pada
kedua WC ini haws lebii jelas sehingga kelima elemen ini dapat diperhatikan.
Kelima elemen tersebut adalah : (1) Waktu antrian (queue time), merupakan
waktu menunggu sebelum operasi diiulai. (2) Waktu Setup (setup time),
merupakan waktu setup mesin agar siap beroperasi. (3) Waktu pelaksanaan (run
time), merupakan waktu melaksanakan operasi. (4) waktu menunggu (wait t~me),
merupakan waktu menunggu setelah operasi berakhir. (5) Waktu Bergerak (move
time), merupakan waktu bergerak secara fisik diantara operasi yang satu dan
operasi lain.
Waktu pelaksanaan (run time) rnerupakan elemen yang saat ini digunakan,
karena manajemen melihat saat ini dan dari pengalaman terdahulu para operator,
alat pernbantu, helper (operator pembantu) telah melakukan gerakan atau kerja
proses yang cepat sehingga keempat elemen lainnya untuk saat ini diabaikan.
Selain variabel time study ada variabel lain yang penting pula diperhatikan
yaitu bahan baku dan proses pembuatan produk gmen itu sendiri yang tidak
seragam, artinya setiap produk garmen yang dihasilkan berbeda komponen bahan
bakunya. Komponen yang berbeda ini bukan dari jenis bahan baku atau material
pendukung lainya, tetapi susunan komponen setiap order garmen yang diterima
berbeda bahkan jurnlahnya juga berbeda, baik berdasarkan order per season
ataupun style.
Hasil dari perhitungan CRP dan pengamatan untuk kedua produk garmen
yaitu pant (5569 pcs) dan short (27986 pcs) pada WC-1 dan WC-2 terjadi
ketidakseimbangan antara kapasitas dan beban kerja. Pada laporan CRP
dinyatakan bahwa kapasitas terpasang untuk WC-1 1350.63 rne~t@ant) dan
3792.27 rne~t(short) sedangkan kapasitas aktual 1740.32 menit (pant) dan
4206.16 menit (short) , tejadi over capacity 389.69 menit (pant) dan 413.89
menit (short). Pada WC-2 juga terjadi hal yang sama yaitu over capacity sebesar
ïżœ
258.13 menit @ant) dan 1297.19 menit (short). Pada distribusi beban keja untuk
kedua WC tersebut juga diketahui adanya kelebiian beban keja. Penentuan beban
kerja dilakukan dengan menggunakan in$nite loading (tanpa pemabatasan beban
kerja) bersamaan diiakukan penjadwalan ke belakang. Hal ini mengakibatkan
ketidakseimbangan antara kapasitas dan beban.
Hasil lain yang didapat dengan melakukan pengukuran time study pada
kedua WC tersebut yaitu pada WC-2 belum mencapai tingkat produktivitas yang
diinginkan oleh manajemen. Hasii perhitungan produktivitas yang digunakan
untuk mengukur kapasitas pada WC-2 menyatakan WC-2 hanya mampu
mencapai 67.11% (tertinggi) dan 27.59% (terendah) produktivitas yang dicapai
pada WC-2, saat ini produktivitas yang diinginkan oleh manajemen idealnya
adalah 80%.
Implikasi dari temuan di atas mengharuskan manajemen untuk
menyeimbangkan kapasitas dengan beban kerja pada tiap WC. Ada beberapa
tindakan yang mungkin dapat diambii akibat dari ketidakseimbangan atau
perbedaan antara kapasitas yang ada dan beban yang dibutuhkan.
Tidakan-tindakan ini dapat diiakukan secara sendiri atau dalam berbagai
bentuk kombiiasi yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi aktual dari PT
PEB, yaitu dengan : (1) Meningkatkan Kapasitas (Increasing Capacity) dengan
cara : (a) menambah ekstra shift, (b) menjadwalkan lernbur (over trme) atau
bekerja di akhir pekan (work weekend), (c) menambah peralatan bordii, alat bantu
seperti meja gelar danlatau personel, (d) melakukan subkontrak satu atau lebii
dari shop order. (2) Mengurangi Beban (Reducing Load), dengan cara (a)
melakukan subkontrak pekejaan ke pernasok luar, (b) Mengurangi ukuran lot, (c)
melakukan penjadwalan ulang seluruh order yang diterima, (d) menahan
pekejaan dalam pengendalian produksi atau mengeluakan pesanan lebii lambat
(karena setiap pesanan yang ada telah memiliki waktu jatuh tempo yang sama
yaitu 90 hari), (3) mendistribusikan Kemabali Beban (Redistrzbuting Load),
dengan cara (a) menggunakan alternatif work center artinya WC-1 proses pada
bagian cutting yaitu dengan membuat parthagian yang akan diianjutkan pada
WC-2 bordii jadi bagian lainnya menunggu dalam antrian, (b) menggunakan
alternatif routinglalur penugasan, (c) menyesuaikan tanggal mulai operasi ke
belakang (lebii awal atau lebii lambat, dikombimsikan sesuai kondisi aktual).
Sedangkan tindakan yang perlu dilakukan oleh manajernen untuk
meningkatkan produktivitas dari hasil bordir, dapat dilakukan dengan
mempersimgkat waktu proses bordii, Cara yang palimg mudah yaitu dengan
merubah metode keja dari bagian bordir baik itu dengan scheduling yang lebih
baik, dan yang paling penting memberikan pengertian kepada operator mengenai
pentingnya ketepatan dan kecepatan dari proses pra bordir yaitu set up,
pemasangan fiame dan kecepatan menghadapi hambatan pada saat proses bordir
seperti penaganan secara cepat dan tepat jiia jarum patah, benang lepas dan
kendala lainnya. Peningkatan produktivitas tidak dapat dilakukan dengan
melakukan perbaikan pada mesin bordir, namun dapat diianipulasi dengan
perbaikan kinerja dari bagian bordir secara keseluruhan.
Penggunaan CRP memberikan penilaian secara terperinci dari sumber-
sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan order manufakturing.
Pengukuran yang dilakukan dari konsep CRP ini telah membuka wawasan bagi
para foreman, supervisor, dan pihak manajemen di WC terkait akan pentingnya
ïżœ
melakukan perhitungan CRP, karena CRP mampu memberikan time-phased
visibiliy dari ketidakseimbangan kapasitas dan beban sehingga manajemen hams
mulai mengambii keputusan dengan menyiapkan sistem pengukuran dan alat
bantu lainnya untuk melakukan tahap awd dari komponen CRP yaitu Time Study.
CRP juga mampu mengkonfirmasi bahwa kapasitas cukup, dan ada pada basis
kumulatif sepanjang horizon perencanaan. Manajemen dapat mempertimbangkan
ukuran lot spesifik dan ratings atau alur penugasan serta alternatif WC jika
terjadi unbalancing antara kapasitas dan beban. Manajemen manpu
memperkirakan lead time yang lebih tepat dan mengehnhirlmenghilangkan
erratic lead times (waktu tunggu yang tidak menentu) dengan cara memberikan
data untuk memuluskan beban seoaniana sentra-sentra keria (WO.
.<-
Dari berbagai alternatif yang a& dalam rangka mknieimbangkan kapasitas
dan beban, maka dengan mempertimbangkan biaya produksi maka pelatihan
internal SDM untuk meningkatkan produktivitas, peningkatan performance kerja
dan rescheduling adalah alternatif solusi yang lebih baik untuk mengatasi ketidak
seimbangan antara kapasitas dan beban pada setiap sentra kerja (WC).
Dari hasil pengamatan dan analisa yang dilakukan di PT PEB, maka
disarankan bagi manajemen perusahaan untuk dapat mempertimbangkan
Penggunaan CRP dengan mengikuti tahapan MRP 11secara keseluruhan karena
CRP tidak dapat berdiri sendii, CRP merupakan satu kesatuan yang terintegrasi
dalam MRP 11dan untuk pembebanan dauat dicoba oenagunan metode lain seoerti
. --
program finite loading, sijdan dengan pinggunam konsep-konsep yang telah ada
sekarang. Selain itu untuk menyeimbangkan kapasitas dan beban kerja,
manajeien lebih disarankan untuk helakukan penjadwalan ulang untuk jadwd
induk utama dengan pertimbangan akan meminimalkan biaya produksi jika
dibandingkan dengan penambahan shift, panjadwalan lembur, menambah
peralatan/personel. Namun pada special case hal-ha1 terebut dapat diiakukan atau
dengan subkontrak. Perusahaan juga disarankan untuk mengembangkan program-
program pelatihan dasar-dasar manufaktur, kepemimpinan, dan pelatihan
mengenai proses berkelanjutan yang diperlukan guna meningkatkan kerja sama
antara tiap-tiap work center, dan untuk mendukung implementasi dari perbaikan-
perbaikan yang dilakukan oleh perusahaan
High quality of SARS-CoV-2 molecular diagnostics in a diverse laboratory landscape through supported benchmark testing and External Quality Assessment
A two-step strategy combining assisted benchmark testing (entry controls) and External Quality Assessments (EQAs) with blinded simulated clinical specimens to enhance and maintain the quality of nucleic acid amplification testing was developed. This strategy was successfully applied to 71 diagnostic laboratories in The Netherlands when upscaling the national diagnostic capacity during the SARS-CoV-2 pandemic. The availability of benchmark testing in combination with advice for improvement substantially enhanced the quality of the laboratory testing procedures for SARS-CoV-2 detection. The three subsequent EQA rounds demonstrated high quality testing with regard to specificity (99.6% correctly identified) and sensitivity (93.3% correctly identified). Even with the implementation of novel assays, changing workflows using diverse equipment and a high degree of assay heterogeneity, the overall high quality was maintained using this two-step strategy. We show that in contrast to the limited value of Cq value for absolute proxies of viral load, these Cq values can, in combination with metadata on strategies and techniques, provide valuable information for laboratories to improve their procedures. In conclusion, our two-step strategy (preparation phase followed by a series of EQAs) is a rapid and flexible system capable of scaling, improving, and maintaining high quality diagnostics even in a rapidly evolving (e.g. pandemic) situation.</p
Breakpoint mapping of 13 large parkin deletions/duplications reveals an exon 4 deletion and an exon 7 duplication as founder mutations
Early-onset Parkinsonâs disease (EOPD) has been associated with recessive mutations in parkin (PARK2). About half of the mutations found in parkin are genomic rearrangements, i.e., large deletions or duplications. Although many different rearrangements have been found in parkin before, the exact breakpoints involving these rearrangements are rarely mapped. In the present study, the exact breakpoints of 13 different parkin deletions/duplications, detected in 13 patients out of a total screened sample of 116 EOPD patients using Multiple Ligation Probe Amplification (MLPA) analysis, were mapped using real time quantitative polymerase chain reaction (PCR), long-range PCR and sequence analysis. Deletion/duplication-specific PCR tests were developed as a rapid and low cost tool to confirm MLPA results and to test family members or patients with similar parkin deletions/duplications. Besides several different deletions, an exon 3 deletion, an exon 4 deletion and an exon 7 duplication were found in multiple families. Haplotype analysis in four families showed that a common haplotype of 1.2Â Mb could be distinguished for the exon 7 duplication and a common haplotype of 6.3Â Mb for the deletion of exon 4. These findings suggest common founder effects for distinct large rearrangements in parkin
High quality of SARS-CoV-2 molecular diagnostics in a diverse laboratory landscape through supported benchmark testing and External Quality Assessment
A two-step strategy combining assisted benchmark testing (entry controls) and External Quality Assessments (EQAs) with blinded simulated clinical specimens to enhance and maintain the quality of nucleic acid amplification testing was developed. This strategy was successfully applied to 71 diagnostic laboratories in The Netherlands when upscaling the national diagnostic capacity during the SARS-CoV-2 pandemic. The availability of benchmark testing in combination with advice for improvement substantially enhanced the quality of the laboratory testing procedures for SARS-CoV-2 detection. The three subsequent EQA rounds demonstrated high quality testing with regard to specificity (99.6% correctly identified) and sensitivity (93.3% correctly identified). Even with the implementation of novel assays, changing workflows using diverse equipment and a high degree of assay heterogeneity, the overall high quality was maintained using this two-step strategy. We show that in contrast to the limited value of Cq value for absolute proxies of viral load, these Cq values can, in combination with metadata on strategies and techniques, provide valuable information for laboratories to improve their procedures. In conclusion, our two-step strategy (preparation phase followed by a series of EQAs) is a rapid and flexible system capable of scaling, improving, and maintaining high quality diagnostics even in a rapidly evolving (e.g. pandemic) situation.</p
Women and ARVĂą based prevention: opportunities and challenges
Peer Reviewedhttps://deepblue.lib.umich.edu/bitstream/2027.42/138349/1/jia29419.pd
Clinical and cost-effectiveness of computerised cognitive behavioural therapy for depression in primary care: Design of a randomised trial
<p>Abstract</p> <p>Background</p> <p>Major depression is a common mental health problem in the general population, associated with a substantial impact on quality of life and societal costs. However, many depressed patients in primary care do not receive the care they need. Reason for this is that pharmacotherapy is only effective in severely depressed patients and psychological treatments in primary care are scarce and costly. A more feasible treatment in primary care might be computerised cognitive behavioural therapy. This can be a self-help computer program based on the principles of cognitive behavioural therapy. Although previous studies suggest that computerised cognitive behavioural therapy is effective, more research is necessary. Therefore, the objective of the current study is to evaluate the (cost-) effectiveness of online computerised cognitive behavioural therapy for depression in primary care.</p> <p>Methods/Design</p> <p>In a randomised trial we will compare (a) computerised cognitive behavioural therapy with (b) treatment as usual by a GP, and (c) computerised cognitive behavioural therapy in combination with usual GP care. Three hundred mild to moderately depressed patients (aged 18â65) will be recruited in the general population by means of a large-scale Internet-based screening (<it>N </it>= 200,000). Patients will be randomly allocated to one of the three treatment groups. Primary outcome measure of the clinical evaluation is the severity of depression. Other outcomes include psychological distress, social functioning, and dysfunctional beliefs. The economic evaluation will be performed from a societal perspective, in which all costs will be related to clinical effectiveness and health-related quality of life. All outcome assessments will take place on the Internet at baseline, two, three, six, nine, and twelve months. Costs are measured on a monthly basis. A time horizon of one year will be used without long-term extrapolation of either costs or quality of life.</p> <p>Discussion</p> <p>Although computerised cognitive behavioural therapy is a promising treatment for depression in primary care, more research is needed. The effectiveness of online computerised cognitive behavioural therapy without support remains to be evaluated as well as the effects of computerised cognitive behavioural therapy in combination with usual GP care. Economic evaluation is also needed. Methodological strengths and weaknesses are discussed.</p> <p>Trial registration</p> <p>The study has been registered at the Netherlands Trial Register, part of the Dutch Cochrane Centre (ISRCTN47481236).</p
Safety and Efficacy of a Dapivirine Vaginal Ring for HIV Prevention in Women.
BACKGROUND: The incidence of human immunodeficiency virus (HIV) infection remains high among women in sub-Saharan Africa. We evaluated the safety and efficacy of extended use of a vaginal ring containing dapivirine for the prevention of HIV infection in 1959 healthy, sexually active women, 18 to 45 years of age, from seven communities in South Africa and Uganda. METHODS: In this randomized, double-blind, placebo-controlled, phase 3 trial, we randomly assigned participants in a 2:1 ratio to receive vaginal rings containing either 25 mg of dapivirine or placebo. Participants inserted the rings themselves every 4 weeks for up to 24 months. The primary efficacy end point was the rate of HIV type 1 (HIV-1) seroconversion. RESULTS: A total of 77 participants in the dapivirine group underwent HIV-1 seroconversion during 1888 person-years of follow-up (4.1 seroconversions per 100 person-years), as compared with 56 in the placebo group who underwent HIV-1 seroconversion during 917 person-years of follow-up (6.1 seroconversions per 100 person-years). The incidence of HIV-1 infection was 31% lower in the dapivirine group than in the placebo group (hazard ratio, 0.69; 95% confidence interval [CI], 0.49 to 0.99; P=0.04). There was no significant difference in efficacy of the dapivirine ring among women older than 21 years of age (hazard ratio for infection, 0.63; 95% CI, 0.41 to 0.97) and those 21 years of age or younger (hazard ratio, 0.85; 95% CI, 0.45 to 1.60; P=0.43 for treatment-by-age interaction). Among participants with HIV-1 infection, nonnucleoside reverse-transcriptase inhibitor resistance mutations were detected in 14 of 77 participants in the dapivirine group (18.2%) and in 9 of 56 (16.1%) in the placebo group. Serious adverse events occurred more often in the dapivirine group (in 38 participants [2.9%]) than in the placebo group (in 6 [0.9%]). However, no clear pattern was identified. CONCLUSIONS: Among women in sub-Saharan Africa, the dapivirine ring was not associated with any safety concerns and was associated with a rate of acquisition of HIV-1 infection that was lower than the rate with placebo. (Funded by the International Partnership for Microbicides; ClinicalTrials.gov number, NCT01539226 .)
- âŠ