46 research outputs found

    The Fiqh Paradigm for the Pancasila State: Abdurrahman Wahid’s Thoughts on Islam and the Republic of Indonesia

    Get PDF
    The Republic of Indonesia was not established as a purely secular state as muslims constitute the majority of Indonesians. Indeed, they were divided into three main paradigms: secular, theocratic, and fiqh. The Pancasila state was the result of a gentlemen’s agreement amongst different muslim groups with different paradigms. The regimes of Soekarno and Soeharto considered that the Pancasila state was unique to the Indonesian character and accordingly these leaders tried to unify these different paradigms following Prof Soepomo’s idea of an integralistic state in which the state gives more power to the executive. This idea of an integralistic state is, however, alien to the secular, theocratic, and fiqh paradigms so that this failed to resolve the conflict. In this regard, Abdurrahman Wahid tries to resolve the ideological conflict by incorporating modern sciences into the fiqh paradigm. This fiqh paradigm has supported the establishment of the Republic of Indonesia, but also, according to Wahid, is able to harmonize secular and Islamic aspirations in the national political system.[Republik Indonesia tidak didirikan berdasarkan konsep murni sebuah negara sekuler karena muslim merupakan mayoritas rakyat Indonesia. Muslim Indonesia terbagi dalam tiga paradigma utama: sekular, teokratik, dan fikih. Bentuk negara Pancasila merupakan hasil kesepakatan ketiga kelompok paradigma tersebut. Regime Soekarno dan Soeharto memahami Negara Pancasila sebagai budaya asli bangsa Indonesia dan mereka berusaha menyatukan pendukung ketiga paradigma itu berdasarkan konsep negara integralistic yang diperkenalkan oleh Prof. Soepomo. Namun konsep negara integralistik ini tidak dikenal dalam ketiga paradigm itu, sehingga gagal menyelesaikan konflik. Dalam hal ini Abdurrahman Wahid berusaha menyelesaikan konflik ideologis dengan cara mengadaptasi pengetahuan modern ke dalam paradigma fikih. Paradigma fikih tidak hanya mendukung berdirinya Republik Indonesia, tetapi juga mampu mengharmoniskan aspirasi sekular dan religius dalam sistem politik nasional.

    The Indonesian Clerics Council (MUI) and The Issue of The Freedom of Religion in The Case of Ahmadiyah

    Get PDF
    The Republic of Indonesia does not follow the pure concept of nation state as the national ideology of Pancasila recognizes the role of religion in the national political system. Based on this conception, the government has facilitated the establishment of the ministry of religious affairs which often breaks the principle of religion freedom. In the case of Islamic sect of Ahmadiyah, MUI, established under the auspice of the ministry of religions, has accused the Islamic sect of Ahmadiyah of having done the act of blasphemy. Actually, this will not become a problem if the state consistently applies the separations of power between public and private affairs. In this regard, religious communities take in a role of civil society which would provide checks and balances to the government in the pursuance of democracy. In line with this, the ministry of religious affairs, by means of MUI, should not judge people based on their beliefs. Al-Qur’an also recognizes the existence of different religions as well as some sects within a certain religion. Moreover, it is useful to implement Richard Niebuhr’s theory of denomination. Last but not least, MUI should act following the concept of nation state in order to moderate power which tends to corrupt.Republik Indonesia didirikan berdasarkan dasar negara Pancasila. Sejalan dengan itu, negara memfasilitasi pendirian kementerian agama, yaitu sebuah institusi yang sering melanggar pinsip kebebasan beragama. Sebagai contoh, MUI, yang didirikan di bawah naungan kementerian agama, menuduh Ahmadiyah, salah satu aliran dalam Islam, telah melakukan penistaan agama. Sebenarnya, model negara Pancasila tidak bermasalah bila negara secara konsisten menerapkan pemisahan kekuasaan antara urusan  publik  dan urusan  privat. Dalam hal ini organisasi-organisasi keagamaan, seperti Ahmadiyah dan MUI, memainkan peran sebagai unsur  civil society, dalam arti menjadi penyeimbang bagi negara, demi terciptanya masyarakat yang demokratis. Oleh karena itu, MUI, tidak menilai orang berdasarkan keyakinannya, karena. al-Qur’an mengakui keberadaan beberapa agama dan aliran-alirannya.  MUI perlu menilainya berdasarkan teori denominasi karya  Richard Niebuhr. MUI juga perlu memposisikan diri sebagai bagian dari civil society, mengkritisi penguasa yang cenderung menyalahgunakan kekuasaan

    President Abdurrahman Wahid’s Efforts to Consolidate the Democratic Transition from the Soeharto Authoritarian Regime

    Get PDF
    Abdurrahman  Wahid  was  appointed  by  MPR  (the  Indonesian  People’s  Representative  Assembly) as  the  President  of  the  Republic  of  Indonesia  because  of  his  idea  of  democracy,  convincing  the prevailing  two  opposing  groups,  namely  the  nationalist  groups  and  Islamist  groups  (it  is  well- known as Poros Tengah/ the Central Axis). Indeed, he was able to adapt democracy to the Islamic tradition by employing the fiqh-plus paradigm to the relationship between Islam and the state. He made uses of the presidential office to consolidate the democratic transition such as by supporting civil society, establishing civil supremacy and establishing law enforcement. From beginning it was not  easy  for  him  to  socialise  his  fiqh-plus  paradigm  to  other  Islamic  groups.  Moreover,  Central Axis, the determining force contributing to the win of Wahid’s presidential election, felt upset with Wahid’s policies which did not align with their interests. The nationalist groups were also anxious about  occupying  the  presidential  office  for  themself.  Last  but  not  the  least,  the  military  also agreed with the idea of impeachment of President Wahid in order to save their political interests.DOI: 10.15408/insaniyat.v1i2.547

    Abdurrahman Wahidas Efforts at Consolidating Democracy in Indonesia at Soeharto Authoritarian Regime Era (1990-1998)

    Get PDF
    Abdurrahman Wahid former President of Republic Indonesia was the first president at the Reformation Era which toppled down the authoritarian Soeharto regime His success on becoming president because of his idea of democracy as well as his tract records of his efforts to consolidate democracy was able to convince both the secular nationalists and Islamist Muslims His thought of democracy had justification from the fiqh paradigm employed by the traditionalist Muslims mean while his efforts at consolidating democracy was not partisan involving different social political groups He was also able to convince the supporters of Soeharto as he was not reluctantly to accommodate them as long as having commitments to establish democracy It was due to his non-revolutionary approach to progress at the Soeharto regime era but his zigzag strategies often confused both his supporters and his opponents He had made a counter discourse both to Soeharto regime and the Islamist Muslims besides his commitment to develop religious organization groups to play a role of civil societ

    Pandangan KH Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Negara Pancasila

    Get PDF
    KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berusaha menempatkan Islam dalam konteks modern di Indonesia dalam wajah politik yang tidak monolitik, yang tidak menghadapkan strategi perjuangan umat dengan strategi pembangunan nasional. Artikel ini berusaha meneliti pemikirannya tentang hubungan Islam dengan Negara Pancasila. Peneriman Nahdatul Ulama (NU) terhadap asas tunggal Pancasila pada tahun 1984 dibawah kepemimpinan duet KH Ahmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid merupakan kelanjutan historis dalam sejarah NU. Pada tahun 1936 NU menjustifikasi Hindia Belanda sebagai dar al-Islam (negeri muslim) karena adanya Lembaga Kepenghuluan (Het Kantoor voor Inlandsche zaken), suatu lembaga yang secara khusus mengurus kepentingan umat Islam, dan umat Islam memiliki kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya sebagai condition sine qua non bagi esksistensi negara. Islam melihat negara sangat penting untuk menghindari terjadinya anarkhi, tetapi Islam tidak mempunyai konsep kenegaraan. Karena itu umat Islam tidak bersikeras mendirikan negara Islam. Ada tiga alasan penerimaan umat Islam pada Negara Pancasila, yaitu alasan pluralitas bangsa Indonesia, justifikasi fiqih NU, dan tradisi keilmuan NU.KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berusaha menempatkan Islam dalam konteks modern di Indonesia dalam wajah politik yang tidak monolitik, yang tidak menghadapkan strategi perjuangan umat dengan strategi pembangunan nasional. Artikel ini berusaha meneliti pemikirannya tentang hubungan Islam dengan Negara Pancasila. Peneriman Nahdatul Ulama (NU) terhadap asas tunggal Pancasila pada tahun 1984 dibawah kepemimpinan duet KH Ahmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid merupakan kelanjutan historis dalam sejarah NU. Pada tahun 1936 NU menjustifikasi Hindia Belanda sebagai dar al-Islam (negeri muslim) karena adanya Lembaga Kepenghuluan (Het Kantoor voor Inlandsche zaken), suatu lembaga yang secara khusus mengurus kepentingan umat Islam, dan umat Islam memiliki kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya sebagai condition sine qua non bagi esksistensi negara. Islam melihat negara sangat penting untuk menghindari terjadinya anarkhi, tetapi Islam tidak mempunyai konsep kenegaraan. Karena itu umat Islam tidak bersikeras mendirikan negara Islam. Ada tiga alasan penerimaan umat Islam pada Negara Pancasila, yaitu alasan pluralitas bangsa Indonesia, justifikasi fiqih NU, dan tradisi keilmuan NU

    Pandangan Abdurrahman WAHID Tentang Relasi Islam Dan Negara: Pendekatan Sosio-Kultural

    Full text link
    Abdurrahman Wahid introduces a socio-cultural approach to deal with the issue of the relationship between Islam and state. The approach is a kind of modification to the Fiqh approach advocated by Nahdhatul Ulama (NU) to suit it to the development of modern sciences as well as to understand the latter based on Islamic cosmology. According to him, Islamic identity is Islamic cosmology which views the spirit and the material intermingling in the worldly life. Accordingly Muslim should respond to the issues of modernity based on this Islamic tradition with the hope to direct the modernity discourses. By so doing it will help to mediate the conflict of ideologies based on its belief that “the normative” intermingles with “the particular” and as consequences there is no absolute truth prevailing in this worldly life

    Nahdlatul Ulama: Mencari Kompromi Islam dan Kebangsaan

    Get PDF
    Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahkan jumlah Muslimnya terbesar di dunia. Sebagaimana di negara-negara yang semisal, Indonesia mengalami kendala dalam masalah hubungan Islam dan negara (kebangsaan). Sebagian Muslim beranggapan Islam sebagai agama yang komprehensif jelas-jelas mengatur masalah negara ini. Mereka yakin kalau Nabi Muhammad SAW. sebagai pembawa risalah Islam juga memiliki visi untuk mendirikan negara. Kekhalifahan dipandangnya sebagai sistem pemerintahan negara Islam. Pandangan ini sudah mendapat kritik tajam pada abad ke-20. NU berhasil mengembangkan suatu pemikiran agama yang dikemas dalam kerangka negara bangsa. Negara bangsa bukan suatu yang tabu dalam Islam, karena kekhalifahan adalah hasil ijtihad para sahabat Nabi yang tidak tabu terhadap kritik. Yang dipentingkan Islam bukan bentuk negara, tapi suatu negara sebagai suatu alat untuk menjamin adanya tertib sosial, suatu prasyarat bagi tegaknya agama. Tidak heran bila NU berhasil mengembangkan suatu pemikiran yang mendukung eksistensi Pancasila dalam kapasitasnya sebagai dasar negara Indonesia yang sebenar-benarnya. Dan melalui Muktamar 1984, NU mempelopori mencabut Islam sebagai asas organisasi dan menggantinya dengan Pancasila. Pendirian NU tersebut memiliki dasar yang kokoh pada ajaran-ajaran agama yang dianutnya dan dirumuskan dalam Ahlus Sunnah wal Jama\u27ah (Aswaja). Aswaja adalah suatu sistem atau cara yang kembali pada QS al-Hajj 54 bahwa kebenaran harus dicari dengan nalar (logika) dan Abu Hanifah merupakan orang yang merintis cara berpikir Aswaja itu. Aswaja bukan suatu madzhab, tetapi manhaj al-fikr (cara berpikir, yakni suatu cara berpikir meletakkan aspek tawasuth, tasamuh, mengutamakan cara persuasif dan menghindari kekerasan sebagai dasar pijakan dalam memahami ajaran agama dalam rangka mencari jalan tengah, sebagai suatu bentuk kompromi antara idealita dengan kondisi empiris

    Belajar dari Iran: Dialektika Agama dan Politik Pasca Khomeini

    Get PDF
    Ehthesami dan Abrahamian menamakan Iran Pasca Khomeini sebagai the Second Republic dengan alasan yang berbeda. Sedangkan Halliday menamainya dengan post-akhundism. Tulisan ini ingin menampilkan dialektika agama dan politik yang berlangsung secara rasional, agar bisa dijadikan cermin bagi umat Islam di Indonesia. Tulisan ini menggunakan pendekatan sejarah multidimensional agar didapat pandangan yang lebih utuh. Pendekatan ini diharapkan dapat menampung baik pandangan Ehthesami yang lebih menekankan pada aspek ekonomi, dan pandangan Abrahamian yang lebih menekankan pada aspek budaya, maupun pandangan Halliday yang melihat keterlibatan ulama dalam politik. Modifikasi sistem pemerintahan Islam Iran pasca Khomeini tidak dapat dilepaskan dari dasar dasar Perubahan yang telah diletakkan oleh Khomeini
    corecore