69 research outputs found

    FUNGSI WALI TARI REJANG SUTRI

    Get PDF
    Salah satu sarana untuk mempertebal keyakinan dan menghubungkan diri dengan Ida Sanghyang Widi Wasa ( Tuhan Yang Maha Esa) adalah dengan cara berkesenian. Tari Rejang Sutri pada umumnya mempunyai fungsi sebagai sarana upacara dalam rangkaian suatu upacara piodalan ( Dewa Yadnya). Karena agama Hindu dalam menghubungkan diri dengan Tuhan lebih banyak dengan menggunakan simbul-simbul, seperti halnya dengan sarana tulisan aksara suci, upakara/ banten, berkesenian ( tari ) dan lain sebagainya. Berbagai jenis tarian Bali menampakan adanya hubungan yang erat dengan aktivitas keagamaan dan juga berkembang menjadi tari-tarian yang dipentaskan di atas panggung. Baik seni pertunjukan sebagai sarana upacara atau ritual, sebagai hiburan maupun sebatas penyajian estetis semata. Masyarakat Hindu di Bali dalam berkesenian akan dilengkapi pula pelaksanaan ritual dengan upacara sesajen ( banten) sesuai dengan adat daerahnya masing-masing, dimana upacara tersebut akan berpedoman pada filsafat konsep Tri Kona yaitu Desa (tempat), Kala (waktu) dan Patra (kondisi/ keadaan). Seusai pertunjukan diharapkan mendatangkan kedamaian di dunia ini secara lahir bathin, makanya saat-saat tertentu dapat kita jumpai adanya pementasan tari Sanghyang, Rejang, Topeng, Barong, Baris Gede, Barong Ketingkling dan sebagainya. Di Desa Pakraman Batuan tari Rejang Sutri mempunyai fungsi sebagai tari upacara ( ritual ), pada saat sasih kelima ( bulan Nopember ) sampai sasih kesanga ( bulan Maret ) tahun berikutnya yang di barengi dengan upacara Bhuta Yadnya. Kalau dilihat fungsi dari Rejang Sutri dapat dikategorikan sebagai tari sacral atau wali, tinjauan yang lain yaitu sebagai tari tolak bala dirunut dari saat dilaksanakan sampai prosesi upacara/ upakara yang gunakan. Rentetan upacara saat Rejang Sutri dilaksanakan adalah pertama mengadakan upacara Dewa Yadnya yaitu melaksanakan upacara persembahyangan di Pura Desa dan Puseh, Ratu Ngurah Agung, Ratu Saung, Ratu Pase Leb ( matur piuning ) yang diantar oleh pemangku desa Batuan dengan sarana upakara pejati jangkep, canang sari, petabuh dan sebagainya. Sedangkan untuk masing-masing keluarga menghaturkan upakara pejati jangkep ke Pura Desa/ Puseh selanjutnya di upacarai oleh pemangku selanjutnya dibawa pulang untuk di tempatkan di pura keluarga ( sanggah,merajan) di sanggah kemulan. Setiap harinya menghaturkan upakara canang dan di lebar saat Rejang Sutri usai ( nyineb ). Kedua, mengadakan atau melaksanakan upacara mecaru ( bhuta yadnya) yang dilaksanakan di Pura Desa dan Puseh pada siang hari sebelum nanti malamnya dilaksanakan Rejang Sutri, mecaru di tapal batas Desa Batuan yaitu di ujung banjar Dentiyis batas utara, di ujung banjar Jeleka batas barat, di ujung banjar Puaya simbul batas selatan, di ujung banjar Peninjoan sebagai simbul batas timur. Mecaru di masing-masing tapal batas desa Batuan diantaranya menggunakan sarana boki diisi tapak dara, wastra poleng, kayu sakti ( carang dadap ) jeroan babi sebagai symbol pengamer-amer. Dilanjutkan mecaru di masing-masing banjar, kemudian di muka rumah masing-masing anggota masyarakat atau depan pintu masuk ( angkul-angkul) saat senja ( sandikala ), dan pada malam harinya di laksanakan tari Rejang Sutri, yang sebelumnya diawali dengan menghaturkan sesajen berupa Pejati yang dihaturkan di Pura Desa dan di tempat pertunjukan. Pejati yang di haturkan di tempat pertunjukan yaitu di Sanggar Tawang wantilan Pura Desa di sudut timur laut ( Ersanya) yang dilakukan oleh Pemangku Desa. Sanggar Tawang tersebut merupakan tempat upakara sesaji/ banten, untuk setiap harinya sudah ada yang bertugas menghaturkan upacara, tempat berstananya Widyadara-widyadari, Bethara-Bethari, tempat pemujaan masyarakat Batuan saat Rejang Sutri dilaksanakan. Pada Sanggar Tawang tersebut masyarakat menghaturkan sesajen berupa jajan/ kue ( jaje kukus), buah-buahan atau apa saja yang di haturkan oleh masyarakat Batuan, ditaruh juga di lantaran ( sejenis meja ) saat Rejang Sutri berias, bahkan ada beberapa orang dari luar desa Batuan kadang-kadang menghaturkan sesuatu, yang kemungkinan orang tersebut membayar kaul setelah keinginannya terpenuhi atas karunia/ berkah dari sasuhunan desa Batuan. Jajan atau buah-buahan tersebut akan dibagikan kepada penari dan penabuh bahkan sampai pada masyarakat yang masih menonton saat Rejang Sutri masih berlangsung. Sekarang adanya pemberian sebuah buku tulis terhadap anak-anak sekolah dasar dan sekolah menengah pertama setelah mereka selesai menari Rejang Sutri. Dengan adanya pemberian jajan ( jaje kukus ) dan buku tersebut anak-anak kecil khususnya di desa Batuan jadi antusias untuk setiap kali ada acara pementasan Rejang Sutri pasti banyak yang menari ( ngayah mesolah), dan ini merupakan gerakan yang positif agar generasi-generasi penari Rejang Sutri tetap ada dan lestari walau diterjang arus gelombang perubahan yang sewaktu-waktu merubah pola pikir masyarakat Hindu di Bali. Ketiga, mengadakan tabuh rah perang kelapa 2 buah ( kelapa yang sudah dikupas kulitnya lalu diadu, yang mana pecah itu yang kalah ), perang tipat gandu dan perang telur ayam atau bebek, dan melaksanakan gocekan ( sabungan ayam kecil-kecil) mulai pukul 15:00 sampai pukul 18:00 Wita. Mengenai gocekan/ tabuh rah tersebut dapat dipetik dari prasasti Batuan berangka tahun 944 saka yang mencatat adanya tabuh rah diantaranya berbunyi :”........kunang yan manawunga ing pangudwan makantang tlung parahatan, tan pamwita ring nayaka saksi mwang sawung tunggur, tan knana minta pamli.....” yang berarti adapun bila mengadu ayam di tempat suci dilakukan 3 sehet, tidak meminta ijin kepada sang berwenang, dan juga kepada pengawas sabungan, tidak dikenakan cukai. Acara gocekan tersebut merupakan usaha untuk mengalihkan perhatian I Gede Mecaling beserta pengikutnya sekiranya berkehendak menggangu ketentraman masyarakat Batuan, namun sekitar tahun 2005-2009 gocekan yang melibatkan masyarakat umum ditiadakan. Gocekan hanya dilakukan beberapa orang perangkat desa dengan ketentuan telung saet ( 3 kali sabung ayam ). Ditiadakan karena kebijakan dari prajuru desa pakraman, hal ini dilakukan agar masyarakat desa Batuan khususnya terhindar dari hal-hal yang bersifat negatif. Keempat, malamnya pada pukul 19:00 Wita - sampai selesai melaksanakan pertunjukan tari Rejang Sutri dan seluruh masyarakat mendapatkan makanan nasi laban yang bermakna agar terhindar dari bahaya. Penari Rejang Sutri merupakan penari wanita yang tidak sedang haid ( kotor badan )/ cuntaka. Upacara Dewa Yadnya saat ini dilaksanakan di wantilan menghadap ke timur dengan mempersembahkan upakara di Sanggar Tawang berupa pejati jangkep, canang pamendak jangkep, canang sari, petabuh, segaan dan lainnya. Untuk mengiringi tarian Rejang Sutri digunakan barungan gong kebyar menggunakan lagu pangawak legong keraton lasem. Kalu sebelum gong kebyar berkembang pesat di Bali gambelan yang digunakan adalah barungan gong semarapagulingan. Dengan demikian tari Rejang Sutri memiliki fungsi sebagai tari Wali ( upacara), tari tolak bala atau tari sacral yang wajib dipertunjukan menjelang sasih kelima sampai sasih kesanga tahun berikutnya, dengan pertunjukan setiap hari mulai pukul 19:00 Wita sampai selesai. Ini menandakan bahwa masyarakat desa Batuan menghendaki dengan dipertunjukannya Rejang Sutri, keharmonisan, keselamatan dunia tetap terjaga yaitu dunia atas, tengah dan bawah yang berpijak terhadap konsep tiga kerangka kehidupan masyarakat agama Hindu di Bali. Konsep tersebut adalah Tri Hita Karana yaitu “Pahryangan” maksudnya tetap menjaga hubungan harmonis terhadap Tuhan sebagai sang pencipta dunia beserta isinya, “Pawongan” maksudnya adalah menjaga hubungan yang harmonis sesama manusia dan “Palemahan” maksudnya adalah menjaga hubungan tetap harmonis dengan alam lingkungan sekitar/ bawah. Alam lingkungan/ bawah adalah kekuatan atau energi/ ruh yang tidak kasad mata namun di yakini kekuatan tersebut akan membantu kehidupan manusia sepanjang kekuatan tersebut digunakan secara baik. Dari adanya pertunjukan Rejang Sutri mengisyaratkan bagaimana manusia haus ingin dapat menghubungkan diri terhadap Tuhan dengan rasa bhakti yang tulus, karenanya berkesenian manusia telah menerapkan apa yang tersurat dalam sastra Hindu yaitu ajaran Catur Marga. Kata “Catur” artinya empat dan “Marga” artinya jalan, yakni empat jalan/ cara manusia untuk memuja Ida sanghyang Widhi Wasa, diantaranya Raja Marga yaitu berhubungan langsung dengan jalan yoga, Jnana Marga yaitu dengan cara mempelajari kitab suci Weda dan ilmu pengetahuan, Bhakti Marga yakni dengan jalan persembahan suatu upakara, ritual dengan hati hening dan tulus iklas tanpa pamrih, Karma Marga yaitu melakukan suatu pekerjaan berdasarkan ajaran dharma. Jadi bhakti terhadap Tuhan masyarakat Batuan mengaplikasikannya melalui pertunjukan tari Rejang Sutri dalam kerangka Bhakti Marga. Karena apa yang terkandung dalam menari adalah mesolah, mesolah adalah tindakan atau tingkah laku, perbuatan yang membuat orang lain senang “ amerih sukaning wong len”. Orang mesolah harus mampu mengekang panca indria agar tetap menjadi panutan masyarakat. Menari adalah korban suci/ yadnya yang tulus bhakti, dan merupakan pengabdian yang luhur terhadap Tuhan, leluhur serta energi yang ada di sekitar kehidupan kita. Dari tindakan tersebut kita diarahkan agar memiliki suatu tujuan, karena kehidupan selalu akan mencapai tujuan, orang-orang berkeyakinan dari berbagai agama, menganut suatu pedoman hidupnya agar mendapat apa yang mereka inginkan melalui suatu usaha, pengorbanan yang berdasarkan atas kebaikan dan hal tersebut tentunya akan melalui proses yang panjang. Agama Hindu mempunyai lima penggolongan tentang Yadnya/ korban suci yaitu : Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Resi Yadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya. Kelima macam Yadnya ( Panca Yadnya ) itu merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Hindu. Begitu juga halnya dengan agama lain yang melakukan korban suci dengan cara yang berbeda-beda, namun sebenarnya tujuan manusia melakukan Yadnya adalah untuk keselamatan alam semesta beserta isinya. Dalam masyarakat Hindu di Bali, untuk mencapai tujuan keselamatan tersebut adalah dengan cara mempergunakan bermacam-macam upacara yang disesuaikan dengan tempat ( desa ), waktu ( kala ) dan keadaan ( patra ). Jadi pada prinsifnya suatu kegiatan upacara keagamaan dilaksanakan pada umumnya bertujuan untuk keselamatan dunia beserta isinya walau dengan cara yang berbeda-beda. Rejang Sutri merupakan perlambang widyadara widyadari, ini tercermin dari bagaimana Sutri sebagai lambang widyadari dan para penabuh dan penari yang dilakukan oleh para laki-laki di lambangkan sebagai widyadara. Sebagaimana kepercayaan agama Hindu memandang kehidupan harus tetap menjaga keseimbangan, kedamaian, keharmonisan, dan itu akan tercipta melalui perwujudan konsep purusha predhana, lingga yoni, alam atas dan bawah, akasa pertiwi dan symbol lainnya. Penyatuan dan tujuannya akan menghasilkan suatu tindakan yadnya yaitu korban suci yang dilakukan secara tulus iklas yang dipersembahkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga yadnya sujud bhakti berakibat “ mokshartam jagadhita ya ca iti dharma “ kedamaian, kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Alangkah dalamnya makna dari kegiatan kita dalam persembahan suatu kesenian. Rejang Sutri juga dipertunjukan saat masyarakat Desa Pakraman Batuan telah melaksanakan upacara besar yaitu Karya Mamungkah, Tawur Agung, Ngenteg Linggih, dan Ngusaba Desa dan Ngusaba Nini yang puncak upacaranya pada tanggal 19 September 2009. Makna dari upacara ini adalah mengembalikan kesucian Parahyangan dan Palemahan kembali ke saat awal mula Pura dan lingkungan Desa Batuan ini ada atau kembali ketitik nol. Ning. Memohon keselamatan bersama, keharmonisan manusia dan alam. Harmonisasi adalah salah satu inti sari ajaran Hindhu , bagaimana kita mencintai sesama mahkluk ciptaan Tuhan dan memeliharanya sehingga lestari. Serangkaian upakara ini lazimnya diselenggarakan setiap 50 tahun sekali. Upakara terakhir di Pura Desa dan Puseh Batuan diselenggarakan pada 17 Desember 1954. Atas kesepakatan bersama masyarakat desa Batuan, karunia Ida Betara Sesuhunan serta restu Ida Sanghyang Widhi Wasa, maka upakara tahun ini bisa dilakukan kembali. ( Panitya Karya ). Dalam kegiatan upacara tersebut tari rejang sutri selalu ditarikan di setiap susunan acara upacaranya. Rejang Sutri dipertunjukan dalam rangka upacara besar di Pura Desa dan Puseh Batuan dalam rentetan kegiatan upacara keagamaan sehingga pantaslah dikategorikan kedalam fungsi tari Wali atau Bebali. Setelah upacara besar tersebut usai masyarakat desa Batuan kembali lagi melaksanakan kewajiban mempertunjukan Rejang Sutri pada tanggal 24 Oktober 2009 dan akan berakhir pada tanggal 17 Maret 2010. Pada waktu berakhir/ nyineb akan mempersembahkan upakara pejati jangkep, atur linggih, jaje kukus, maecan-ecan, serta mengembalikan/ menstanakan Rejang Sutri kembali ke kahyangan Pura Desa dan Puseh

    NILAI PENDIDIKAN DALAM TARI KREASI DOLANAN ANAK – ANAK KATAK NONGKANG

    Get PDF
    Bali terkenal karena budayanya yang memiliki karisma magis ,dengan adanya perpaduan dua unsur dunia yaitu sekala dan niskala dalam bahasa gerak tari Bali sangat kental terasa melalui aura taksu .Taksu merupakan daya magis ,sakti ,atau kekuatan ,yang tidak bisa di lepaskan dari kesatuan wiraga ,wirasa, dan wirama dalam tari. Pelestarian dan perkembangan tari Bali telah di lakukan oleh seniman – seniwati Bali dari sejak dulu , baik secara perseorangan maupun kelompok (sekaa) sehingga keberadan seni dan budaya Bali khususnya dan Indonesia umumnya tidak akan pernah di telan jaman .Dalam menuamgkan ilmunya, para empu seni akan selalu menyelipkan himbauan atau sambil mengajarkan etika moral (tatwa susila ) yang baik kepada muridnya (tingkat formal maupun non formal), sehingga setelah mandiri memiliki budi pekerti yang baik .Budi pekerti mencerminkan identitas seseorang dan bangsanya .Bali sebagai tujuan pariwisata dunia yang menghandalkan seni dan budaya tak sebatas wacana saja.Keajegan seni dan budaya perlu dijaga walau digerus oleh perubahan .Garapan ini dipentaskan dalam rangka Pesta Kesenian Bali Tahun 2007, pada Gong Kebyar Anak-anak Desa Pekraman Batuan , Duta Kabupaten Gianyar

    DIVERSITAS GENETIK BURUNG MALEO (MACROCEPHALON MALEO) BERDASARKAN INTRON SATU GEN RHODOPSIN NUKLEUS (RDP1)

    Get PDF
    Burung maleo (Macrocephalon maleo) merupakan burung endemik Sulawesi yang jumlah populasinya mengalami penurunan yang tajam, sehingga IUCN menggolongkan burung ini ke dalam Endengered Species. Fenomena ini menggambarkan bahwa burung maleo memiliki resiko kepunahan yang tinggi sehingga tindakan penyelamatan perlu dilakukan, yaitu melalui tindakan konservasi. Data dan informasi diversitas genetik merupakan aspek yang sangat penting untuk diketahui karena informasi tersebut dapat digunakan sebagai landasan penentuan tujuan dan arah konservasi. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap diversitas genetik burung maleo berdasar sekuen intron satu gen rhodopsin nukleus dalam rangka menyiapkan data molekular/data base untuk membantu konservasi burung maleo dan anggota Megapoda yang lain bagi kepentingan penelitian atau pertimbangan pelestarian satwa langka dimasa yang akan datang. Sampel darah burung diperoleh dari habitat yang berbeda yaitu habitat pantai (coastal nesting grounds) dan habitat hutan (in land nesting grounds). DNA darah diisolasi dan dipakai sebagai cetakan untuk amplifikasi intron satu gen RDP dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Produk PCR selanjutnya disekuensing untuk mendapatkan sekuen DNA kemudian digunakan sebagai dasar untuk mengungkap diversitas genetik maleo. Alignment (multiple alignment) dilakukan dengan menggunakan program Clustal-X, identifikasi haplotipe dan diversitas nukleotida dilakukan dengan program MEGA versi 2.1 dan DnaSP versi 3.51. Hasil analisis menunjukkan adanya 7 haplotipe pada 12 daerah variabel dengan nilai diversitas nukleotida antara 0,0037-0,013 dan komposisi basa 29,6% G, 26,9% C, 25,3% T dan 18,2% A

    RAW WATER QUALITY ANALYSIS TO DISCOVER THE CAUSE OF PIPELINE SCALLING PROBLEM IN PT. X (ICE PRODUCTION COMPANY)

    Get PDF
    PT. X is one of the ice companies in which its largest company is located in Bali, more precisely in the Pidada area, North Denpasar. Based on field observations the area is an area that has a calcareous soil structure. The water source of PT. X was extracted from the groundwater. From the field observation, it was found that the pipeline network, that connected the inlet water to water treatment system and ice production units, was severely covered by faint white scale. In order to discover the origin of this scale, water quality testing need to be carried out.  From the results, it was found that the total hardness in the inlet water, taken from the groundwater tap, was 162.85 mg/l with calcium concentration of 2.15 mg/l and iron 3.83 mg/l. Water quality testing was also carried out in the water treatment unit consisting of resin softener where the total hardness surprisingly increased into 279.81 mg/l, calcium concentration was 2.96 mg/l, iron concentration was 0.55 mg/l. Even after being treated in softener resin, the total hardness increased sharply to 483 mg/l, which categorized as extreme hardness. The increase in total hardness indicates that there was a failure in the operation of the water treatment system, even it also contributed to the higher hardness and calcium concentration. This over-year’s treatment failure has been causing accumulation of hardness and calcium concentration in the compartment of both water treatment system and ice production unit that inflicts a higher hardness level in the effluent

    GELIAT REVITALISAI BAHASA DAN BUDAYA DI DESA BALI AGA PEDAWA

    Get PDF
    Dialek Bali Aga (DBA) merupakan salah satu dialek bahasa Bali yang umumnya tersebar di daerah pegunungan di Bali dan di Kecamatan Nusa Penida. Pada masa lalu penutur DBA, yang sering menganggap diri sebagai penduduk asli pulau Bali ini, bersikap divergen secara sosial dan linguistik terhadap msyarakat tutur bahasa Bali Dialek Bali Dataran (DBD). Sikap divergen ini menyebabkan DBA berkembang secara berbeda dengan DBD sehingga menjadi dialek tersendiri. Modernisasi dan kemajuan di berbagai bidang membuat masyarakat tutur DBA semakin dinamis dan dalam dinamikanya mereka banyak berinteraksi dengan masyarakat tutur DBD. Dalam interaksi ini sikap divergen mereka, baik secara sosial maupun linguistic, mulai mencair. Mereka menguasai DBD dan bahkan ada fenomena DBA di beberapa wilayah mulai terdesak oleh DBD. Di desa Bali Aga Pedawa, keterdesakan DBA Pedawa (DBAP) menimbulkan keprihatinan di kalangan pemuka masyarakat karena desa Pedawa memiliki kekhasan budaya yang merupakan bagian dari identitas masyarakat Pedawa. Jika transmisi antargenerasi DBAP, yang merupakan bahasa ibu masyarakat Pedawa, terputus, maka dikahawatirkan generasi mendatang tidak dapat mengenali budaya yang merupakan jati dirinya. Berdasarkan hasil penelitian yang menerapkan metode simak dan cakap ini dapat diketahui bahwa beberapa penelitian kebahasaan yang dilakukan di desa Pedawa, baik oleh peneliti Indonesia mau pun asing, ternyata memiliki dampak penting bagi masyarakat di desa itu, yakni menumbuhkan kesadaran masyarakat akan peran penting bahasa ibu mereka. Dalam beberapa periode belakangan mulai ada geliat revitalisasi bahasa di desa ini, yang ditandai dengan munculnya rasa bangga dan sikap positif terhadap DBAP, meluasnya ranah pakai DBAP, misalnya acara rapat yang dahulu sempat menggunakan DBD atau bahasa Indonesia, mulai beralih kembali ke DBAP. Di kalangan generasi muda dan usia dewasa muda, DBAP bahkan mewarnai percakapan mereka di media sosial. Pengenalan budayabudaya tradisional asli, seperti upacara mesangih massal, ngangkid massal, rumah adat tradisional Pedawa dan lain-lain, melalui berbagai media, menyebabkan kosakata DBAP yang menyangkut budaya, rumah, dan perundagian makin dikenal secara luas. Geliat kebahasaan yang beriringan dengan geliat revitalisasi budaya ini sangat menunjang pengembangan desa Pedawa dalam sebagai objek pariwisata. Meningkatnya vitalitas DBAP ini, sekaligus dapat menunjang pendidikan di tingkat sekolah dasar dan menunjang layanan kesehatan, utamanya di kalangan lansia, yang umumnya monolingual, bahkan monolektal. Sebagai sebuah dialek dengan kekhasannya dan kekhasan budaya yang diwahanainya, DBAP ikut menunjang program pendidikan multikultural di Indonesia

    The Characteristics of Indonesian Legal Language in Notarial Documents

    Get PDF
    This study is aimed at  finding out the characteristics of Indonesian Legal Language in notarial documents. This study is theoretically based on Cao's theory (2007) in her book entitled “Translating Law”, and supported by Djatmika in his book entitled “Prilaku Bahasa Indonesia, dalam Teks Kontrak”. The data of this study were collected from 6 ( six) legal documents in the form of lease agreement, sale agreement, prenuptial agreement, deed of company establishment, employment agreement and conciliation agreement. From the results and analysis,  two (2) characteristics were found in the ILL of notarial documents: (1) general characteristics (boilerplate) and (2) specific characteristics. There are fifteen (15) specific characteristics of ILL found in the notarial documents in this research. The fifteen characteristics consist of eight (8) lexical characteristics and seven (7) syntactical characteristics. The lexical characteristics found in the notarials documents are  (a) the use of legal terminologies, (b) the use of repetitive words (tautology), (c) the use of words dan/atau “and/or”, (d) the use of synonymous words, (e) the use of foreign terms, (f) the use of sebagaimana word, (g) the use of the word mana as demontrastrative adjective, and (h)the use of formal address; while the syntactical characteristics consist of (a) the use of long and complex sentences, (b) the use bahwa clause, (c) the use of passive sentences, (d) object fronting, (e) declarative sentence beginning with verb, (f) the use of reference system and (g) pre-supposation

    Performative Speech Acts in the Translation of Indonesian Legal Documents into English

    Get PDF
    The aim of this research is to find out speech acts used in legal documents. To discuss the problems of this research, two theories are applied, namely, the translation theory of Newmark completed by the concept of pragmatic (for what purpose, to whom, when and where the legal documents are used), while for speech acts typology, Searle's theory is applied. The data used for this research were taken from 6 (six) legal documents in the form of employment contract, conciliation agreement, lease agreement, sales agreement, lease of resident and business place and lease of villa agreement. Based on the results of the analysis, it was found that from the five specific types of speech acts put forward by Searle and Cruse, only 4 (four) speech acts were found, namely, (1) representative, (2) directive, (3) comisive, and (4) declarative speech acts.  While expressive speech act was not found in this research

    Analisis Filogenetik Burung Maleo (Macrocephalon maleo) Berdasarkan Sekuen Intron Satu Gen Rhodopsin (RDP1) Nukleus

    Get PDF
    The phylogenetic relationships of the maleo (Macrocephalon maleo) were analyzed based on thefirst intron of rhodopsin nuclear gene sequence data obtained from 15 individuals, along withthose of 22 individuals taken from GenBank. The phylogenetic trees were reconstructed byNeighbor-Joining (NJ) method. Results indicated that 956 bp of RDP1 sequence, 414 (43.4%)sites were variable and 317 (33.2%) sites were phylogenetically-informative. The basecomposition for all species analyzed in this research were as follows: T 25.3%, C 26.3%, A18.5%, and G 29.9%. Analysis of RDP1 sequence produced trees that were remarkably wellresolved and had topologies at the marga level. The phylogenetic analysis showed that maleowas monophyly of Macrocephalon and closely related to Aepypodius, Talegalla, Leipoa andAlectura

    VARIASI PRONOMINA PERSONA BAHASA BALI DALAM LAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT

    Get PDF
    Abstract: Balinese language is divided into two dialects, namely Bali Dataran(DBD), and Bali Aga (DBA) dialect. The DBD variation happens vertically, but not in DBA. Some vocabularies in DBD that are classified into low(Tak-Alus/TA) are classified as common variants in DBA. This research aims to explore the Balinese personal pronoun variations in DBD  which  DBA in  Sembiran(DS), and Seraya Timur(DST). The results, by applying the dialectology theory and correlation method or metode padan, showed that the personal pronouns of DS and DST varied lexically and phonologically. Lexically, the personal pronoun of first person singular in DBD /(ti)tiyaŋ/(A), /(i)–caŋ/ and /yaŋ/(TA) was realized as /oke/ and /kaka/ in DS also /(b)–iba/, /uke/, and /wane/ in DST. The second person singular /ragane/(A), /cai/ /ɲai/, and /ibə/(TA) in DBD, were realized as /cai/, /ɲai/, and /ŋko/ in DS also /cai/ and /ɲai/ in DST; and the third person singular /idə/, /dane/(A) and /(i) –yə/(TA) in DBD, were realized as /ya/, in DS and DST. Meanwhile phonologically, the realization of phoneme /a/ at the end of the word in DBD was realized as /ə/, in DS and DST was /a/.  permalink/DOI: dx.doi.org/10.17977/um015v46i12018p073  
    • …
    corecore