8,635 research outputs found

    Occurrence of <i>Shorea</i> Roxburgh ex C. F. Gaertner (Dipterocarpaceae) in the Neogene Siwalik forests of eastern Himalaya and its biogeography during the Cenozoic of Southeast Asia

    Get PDF
    We report the occurrence of two leaf impressions and one leaf compression along with one winged fruit and two fruiting calyx lobes, resembling those of Shorea Roxburgh ex C. F. Gaertner, in the lower Siwalik (Dafla Formation, middle to upper Miocene), middle Siwalik (Subansiri Formation, Pliocene) and upper Siwalik (Kimin Formation, upper Pliocene to lower Pleistocene) sediments exposed in Arunachal Pradesh, eastern Himalaya. We determine their taxonomic positions based on morphological comparison with similar extant and fossil specimens and discuss their phytogeographic and paleoclimatic implications in terms of the distribution and habitat of fossil and modern populations. The Miocene winged fruit is recognized as Shorea pinjoliensis Khan, R.A. Spicer et Bera, sp. nov. while the Pliocene and Plio-Pleistocene fruiting calyx lobes are recognized as Shorea bhalukpongensis Khan, R.A. Spicer et Bera, sp. nov. and Shorea chandernagarensis Khan, R.A. Spicer et Bera, sp. nov. respectively. Based on leaf architecture the Miocene, Pliocene and Plio-Pleistocene leaves are recognized as Shorea mioobtusa Khan, R.A. Spicer et Bera, sp. nov., Shorea pliotumbuggaia Khan, R.A. Spicer et Bera, sp. nov. and Shorea nepalensis Konomatsu et Awasthi respectively. The discovery of members of Shorea indicates that they had arrived in a tropical, warm and humid eastern Himalaya by the Mio-Pleistocene. Present and earlier records of Shorea suggest that this genus was a common forest element during Neogene (Miocene time) as well as in the Siwalik forests including Arunachal sub-Himalaya. In this paper, we also review in detail the biogeographic history and suggest possible migration routes of the genus

    PENERAPAN NILAI NILAI KORUPSI PADA ORGANISASI SOSIAL KEMASYARAKATAN SEBAGAI BAGIAN DARI PENDIDIKAN ANTI KORUPSI DI KELURAHAN KARANG ANYAR KOTA SAMARINDA

    Get PDF
    Seperti kita ketahui bersama bahwa korupsi yang terjadi di negara Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Bahwa sudah pada taraf menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang seharusnya sejahtera dengan kekayaan alam yang melimpah. Pada tingkat internasional, bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia mempunyai citra buruk terkait korupsi. Berdasarkan indeks persepsi Korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency International, Indonesia pada tahun 2017 memiliki Indeks sebesar 37 dari 100 dan menempati posisi 96 dari 180 negara yang disurvei. Sementara itu, World Economic Forum dalam The Global Competitivness Report 2017 – 2018 menyampaikan bahwa faktor terbesar yang menghambat dalam melakukan bisnis di Indonesia adalah korupsi dengan nilai 15,4. Keadaan tersebut akan mengakibatkan investor luar negeri ke negara-negara lain yang dianggap memiliki iklim lebih baik. Kondisi seperti ini akhirnya memperburuk perekonomian dengan segala aspeknya di negara ini. Pemerintah Indonesia telah berusaha keras untuk memerangi korupsi dengan berbagai cara. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independent yang secara khusus menangani tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dan pihak-pihak lain melakukan upaya kuratif tindak korupsi. Upaya penindakan ini membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Belum lagi jika dihitung dari dampak yang ditimbulkan bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Upaya memberantas korupsi yang paling murah dan efektif adalah dengan tindakan pencegahan (prenventif), seperti Pendidikan anti-korupsi dan penanaman nilai-nilai integritas kepada anak-anak sejak dini. Pendidikan Anti Korupsi (PAK) adalah sebuah gerakan budaya dalam menumbuhkan nilai antikorupsi sejak dini. Muara dari persoalan korupsi adalah hilangnya nilai-nilai antikorupsi (jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung- jawab, kerja keras, sederhana, berani, adil) dari dalam diri individu. Sementara di sisi lain, dunia pendidikan yang diharapkan menjadi penguat budaya antikorupsi makin dirasakan tidak konsisten dalam menjalankan fungsinya. Proses pendidikan seperti mementingkan penguasaan pengetahuan semata ketimbang membiasakan perilaku baik. Sekalipun sekolah mengimplementasikan berbagai kegiatan sejenis, akan tetapi hal tersebut dilaksanakan seolah terpisah dari proses pembelajaran yang utuh. Oleh karena itu, inilah saatnya untuk mengembalikan sekolah sebagai lokomotif penguatan budaya antikorupsi untuk jangka panjang. Kita awali dengan melakukan Pendidikan Antikorupsi yang dimotori oleh satuan pendidikan. Sangat diharapkan bahwa seluruh lapisan masyarakat ikut berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi. Hal ini karena kita adalah korban utama korupsi, menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap sistem yang korup, mendorong tata kelola pemerintah yang akuntabel, dan meningkatkan mutu demokrasi.Pengabdian kepada Masyarakat ini bertujuan untuk memberikan edukasi tentang nilai-nilai anti korupsi bagi organisasi sosial kemasyarakatan dan sekaligus memberikan advokasi kepada masyarakat umum kota Samarinda khususnya masyarakat di lingkungan Kelurahan Karang Anyar yang memiliki berbagai organisasi sosial kemasyarkatan. Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat ini dilakukan dalam tahapan bentuk metode penyuluhan dengan terjun langsung pada masyarakat sasaran guna meningkatkan edukasi dan advokasi kepada masyarakat anggota organisasi sosial kemasyarakatan. kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat ini diharapkan dapat menjadi gambaran bagi seluruh elemen masyarakat berkaitan tentang nilai-nilai anti korupsi yang dapat menjadi salah satu cara upaya preventif di era komunikasi digital tentang pentingnya Pendidikan Anti Korupsi bagi masyarakat umum

    Variability In The Ecoraces Of Tropical Tasar Sillkworm Antheraea Mylitta Drury

    Get PDF
    Tropical tasar silkworm, Antheraea mylitta Drury is exploited in countries for commercial silk production and improved varieties of these silkworms can be evolved by employing various breeding techniques. As the insect has established itself in various forms of ecological populations (Commonly called as ecoraces) in different geographical niches of the country depending on food plants and micro-environmental conditions available to them, the species exists in the form of nearly 44 ecoraces (Singh and Srivastava,1997, Srivastava,2002 and Srivastava et at. 2007) distributed over different states. However, due to free interbreeding in nature for centuries, the fauna is highly heterogeneous.&#xd;&#xa;&#xd;&#xa;Tasar culture is a forest based industry being practiced as tradition, since time immemorial by the tribes of Central India, extending from West Bengal in the East to Karnataka in South. The species A. mylitta D. is polyphagous in nature. The present study comprises the ecoraces of tropical tasar silkworm of A. mylitta D. These ecoraces are mainly restricted in the tropical moist deciduous forest area where the average rainfall varies between 1200-2000 mm and the deciduous zone of the dry tropical forest area where the average rainfall has been observed to be about 1000 mm. The Primary food plants of the insects are Terminalia tomentosa, Terminalia arjuna and Shorea robusta and secondary food plants are Terminalia chebula, T. bellerica, T. peniculata, Zizyphus jujuba etc. The phenotypic and genotypic variability is very much prominent. The present review paper comprises the extent and degree of natural variation in tropical tasar silkworm A. mylitta D

    Analisa Pertumbuhan Tegakan Muda Meranti (Shorea SP.) dengan Teknik Silvikultur Intensif (SILIN) di PT. Triwiraasta Bharata Kabupaten Kutai Barat

    Get PDF
    Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan diameter dan tinggi tegakan muda Meranti (Shorea sp.) pada jalur tanam yang diusahakan dengan teknik Silvikultur Intensif (SILIN) dan untuk mengetahui perbandingan antara pertumbuhan tegakan teknik Silvikultur Intensif (SILIN) yang dilaksanakan di PT. Triwiraasta Bharata dengan standar pertumbuhan yang sudah ditetapkan oleh tim pakar Silvikultur Intensif (SILIN).Lokasi penelitian ini dilaksanakan di PT. Triwiraasta Bharata Base Camp Senduru Km 31, Kecamatan Mook Manaar Bulatn, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur.Data yang dikumpulkan di dalam penelitian ini adalah data tentang diameter dan tinggi masing-masing jenis tanaman yaitu Shorea leprosula, Shorea parvifolia, Shorea ovalis dan Shorea smithiana.Dari hasil analisis yang dilakukan, diperoleh rata-rata diameter dan tinggi pada tanaman yang berumur 4 tahun dari jenis Shorea leprosula adalah 4,80 cm dan 5,67 m, Shorea parvifolia adalah 4,18 cm dan 5,61 m, Shorea ovalis adalah 3,96 cm dan 5,91 m dan Shorea smithiana adalah 3,43 cm dan 5,05 m. Sedangkan riap diameter dan tinggi pada tanaman jenis Shorea leprosula adalah 1,20 cm/tahun dan 1,42 m/tahun, Shorea parvifolia adalah 1,05 cm/tahun dan 1,40 m/tahun, Shorea ovalis adalah 0,99 cm/tahun dan 1,48 m/tahun dan Shorea smithiana adalah 0,86 cm/tahun dan 1,26 m/tahun

    Are patterns of fine-scale spatial genetic structure consistent between sites within tropical tree species?

    Get PDF
    JRS was funded by the Swiss National Science Foundation (SNF) (http://www.snf.ch/en/Pages/default.aspx) grant number PDFMP3_132479 / 1 awarded to JG. The funder had no role in study design, data collection and analysis, decision to publish, or preparation of the manuscript.Peer reviewedPublisher PD

    Long- and short-term induction of defences in seedlings of Shorea leprosula (Dipterocarpaceae): support for the carbon: nutrient balance hypothesis

    Get PDF
    The induction of carbon-based secondary metabolites in leaves following damage has been proposed to be a result of a shift in the carbon:nutrient balance, when growth is limited by nutrients in relation to carbon. Here we test this hypothesis using seedlings of a tropical tree, Shorea leprosula (Dipterocarpaceae). In the short term, we analysed the phenolic content of leaves 7 d after damage on seedlings grown under differing light and nutrient treatments. In the long term, we examined the effect of nutrients, over 12 mo, on leaf phenolic concentration and seedling growth. In both the long and short term, levels of phenolics increased in damaged leaves under low nutrient treatments. No changes in leaf phenolics were detected under high nutrient regimes, or in the short term under low light. In addition, it was found that defoliation of seedlings in high-nutrient environments led to greater rates of leaf production than in undamaged seedlings, suggesting compensation

    The effect of geometric structure on stiffness and damping factor of wood applicable to machine tool structure

    Get PDF
    Stiffness and vibration damping capability are important criteria in design of machine tool structure. In other sides, the weight of machine tool structure must be reduced to increase the handling capability. This paper presents an analysis of the effect of geometric structure on stiffness and vibration damping of wood structure. The stiffness was analysed using numerical method, so called finite element method (FEM), while the vibration damping capability was experimentally tested. Vibration testing was also performed to wood structures with sand powder filled into its rectangular hole to observe the its effect on damping factor. Simulation results show that the cross ribs structure yielded minimum mass reduction ratio compared to the three square holes as well as the single rectangular hole structures. While the vibration test results explained that the damping factor of Shorea laevis wood was higher than that Hevea braziiensis wood. The use of sand powder as vibrating mass in closed-box structure effectively increased the damping capability, for single rectangular hole structure the damping factor was increased from 0.048 to 0.07
    • …
    corecore