17 research outputs found

    PENGUJIAN DAN PENINGKATAN MASA SIMPAN PRODUK MIE INSTAN BERBASIS HANJELI

    Get PDF
    Penelitian ini merupakan bagian dari roadmap penelitian yang lebih besar di Jurusan Teknik Kimia UNPAR untuk memanfaatkan hanjeli (sumber pati lokal Indonesia yang sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan walaupun mudah ditanam dan produktivitasnya cukup tinggi) sebagai bahan baku produk pangan dan non-pangan, yang telah dimulai sejak tahun 2010. Pemanfaatan hanjeli secara khusus terkendala oleh masih kurangnya pengembangan teknik pasca panen yang tepat dan inovasi produk-produk pangan yang berbasis hanjeli. Pada penelitian sebelumnya, salah satu upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan penggunaan hanjeli adalah dengan membuat produk-produk turunan hanjeli (biskuit, mie dan mie instan, serta food thickener).Pada penelitian ini akan dilakukan studi lanjutan dari penelitian terdahulu tentang pembuatan mie instan dari hanjeli. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa mie hanjeli secara umum dapat diterima oleh konsumen, tetapi sebelum dapat diproduksi secara luas masih dibutuhkan pengujian masa simpan (shelf life) dari produk tersebut, mengingat mie instan perlu dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama. Pada penelitian ini, secara khusus akan dilakukan studi tentang masa simpan mie instan dari hanjeli, serta pengaruh penambahan berbagai aditif pengawet pangan untuk memperpanjang masa simpan mie instan hanjeli. Pendugaan waktu simpan produk akan dilakukan menggunakan metode Accelerated Shelf Life Test (ASLT) dengan menyimpan produk pada suhu yang cukup tinggi. Data-data yang diperoleh dari hasil pengukuran kerusakan pangan pada suhu tinggi akan dimodelkan dengan kinetika reaksi orde pertama, dan digunakan untuk memperkirakan masa simpan produk pada suhu penyimpanan normal (suhu kamar).Aditif pangan yang ditambahkan terutama adalah antioksidan yang dapat mengurangi kecenderungan munculnya ketengikan pada minyak nabati yang digunakan untuk menggoreng mie instan, seperti asam askorbat, BHT, dan TBHQ. Penurunan kualitas produk akan diamati menggunakan parameter-parameter sederhana seperti uji organoleptik hingga menggunakan prosedur kimia dengan uji penentuan bilangan peroksida, acid value, dan free fatty acid

    PENGARUH PRETREATMENT SACCHAROMYCES CEREVICEAE DAN SUHU ENKAPSULASI DALAM ENKAPSULASI EKSTRAK TEMULAWAK DENGAN SACCHAROMYCES CEREVICEAE

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi kemungkinan meningkatkan nilai tambah tumbuhan herba lokal Indonesia, yaitu temulawak. Ekstrak temulawak mudah rusak bila terkena paparan sinar matahari, pH dan udara. Untuk memperpanjang waktu penyimpanan ekstrak temulawak, ekstrak dienkapsulasi dalam medium enkapsulasi. Medium enkapsulasi yang dipilih adalah ragi Saccharomyces cereviceae dengan mempertimbangkan proses enkapsulasi dengan ragi relatif sederhana dengan menggunakan bahan yang mudah diperoleh dan murah.Pada penelitian ini akan dipelajari pengaruh pretreatment ragi dalam proses enkapsulasi dan pengaruh suhu enkapsulasi terhadap enkapsulasi ekstrak temulawak. Selain itu parameter enkapsulasi, yaitu konsentrasi yeast dan suhu enkapsulasi akan dipelajari menggunakan kurkumin murni. Efisiensi proses enkapsulasi dan yield proses enkapsulasi diperkirakan dengan mengukur kadar kurkumin yang ada di dalam mikrokapsul ragi.Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak temulawak dan kurkumin murni dapat dienkapsulasi dengan yeast. Adapun % EE dan % EY kurkumin murni ditentukan oleh konsentrasi yeast dan suhu enkapsulasi.Semakin tinggi konsentrasi yeast, semakin tinggi % EE dan % EY. % EE dan % EY ekstrak temulawak bergantung pada suhu enkapsulasi dengan suhu optimum adalah pada 45 °C. Analisis profil pelepasan kurkumin menunjukkan bahwa kurkumin dilepaskan secara bertahap di dalam waktu beberapa jam. Selain itu kelarutan kurkumin dari kurkumin murni dan ekstrak temulawak meningkat setelah dienkapsulasi

    PENGARUH DOSIS DEMULSIFIER DAN TEMPERATUR TERHADAP PROSES PEMISAHAN EMULSI MINYAK/AIR

    Get PDF
    Minyak merupakan salah satu komponen yang umum dijumpai dalam limbah cair  berbagai proses industrial. Minyak tersebut seringkali dijumpai dalam bentuk emulsi dalam air, sehingga dibutuhkan metode pengolahan untuk memecah kestabilan emulsi agar minyak dapat dipisahkan. Pada penelitian ini, pemisahan dilakukan menggunakan demulsifier polialuminium klorida (PAC), yang juga merupakan salah satu jenis flokulan yang umum dijumpai dan digunakan dalam industri. Secara khusus, pengaruh dosis PAC (0 – 250 mg/L) dan temperatur (25 – 45°C) terhadap efektifitas demulsifikasi emulsi sintetis minyak/air menjadi fokus utama penelitian ini. Hasil riset menunjukkan bahwa dosis PAC, temperatur, dan interaksinya berpengaruh siginifikan terhadap proses demulsifikasi. Peningkatan dosis PAC hingga dosis 200 mg/L menghasilkan penurunan turbiditas dan pemisahan minyak, sementara penambahan dosis lebih lanjut tidak meyebabkan perubahan yang signifikan. Pada sisi lain, peningkatan temperatur membantu proses destabilisasi emulsi. Pada suhu yang lebih tinggi, frekuensi tumbukan droplet minyak akan meningkat, sedangkan ikatan hidrogen antara minyak dan surfaktan akan melemah. Hal tersebut akan mendorong terjadinya lebih banyak coalescence sehingga destabilisasi dan pemisahan minyak dari air. Penurunan turbiditas tertinggi (99,4%) dan pemisahan minyak terbanyak (97,45%) diperoleh pada dosis PAC 250 mg/L dan temperature 35°C. &nbsp

    Potensi Polisakarida dari Limbah Buah-buahan sebagai Koagulan Alami dalam Pengolahan Air dan Limbah Cair: Review

    Get PDF
    Nowadays, various studies related to utilization of biobased materials as natural coagulants have been explored. Based on the source, natural coagulants can be classified as animal, vegetable, or microbial based. Furthermore, based on the active ingredients, it can be classified as protein, polyphenols, and polysaccharides. Polysaccharides are abundant natural ingredients and are often found in plants or animals. In this study, we focused on polysaccharides, especially those from fruit waste, such as seeds and fruit peels. It is known that around 25-30% of the total weight of fruit is generally wasted, even though it contains phytochemicals and various active ingredients that can be utilized, especially as a natural coagulant. This review will focus on the use of pectin and starch from fruit waste as natural coagulants for water- wastewater treatment. Generally, pectin is commonly found in the skin of fruits as part of the cell wall structure, while starch is found in fruit seeds as food reserves. To be used as a natural coagulant, pectin or starch need to be extracted first. In particular, starch needs to be modified either physically or chemically. The coagulation mechanism of pectin and starch usually follows the interparticle bridging mechanism. The use of pectin and starch from fruit waste needs to be explored and further investigated, to substitute the use of chemical coagulants.Keywords: coagulation; fruit waste; natural coagulant; polysaccharidesA B S T R A KDewasa ini berbagai studi terkait pemanfaatan bahan alam sebagai koagulan alami telah banyak dieksplorasi. Berdasarkan sumbernya, koagulan alami dapat digolongkan berbasis hewani, nabati, maupun mikrobial, sementara berdasarkan bahan aktifnya dapat digolongkan sebagai protein, polifenol, dan polisakarida. Polisakarida merupakan bahan alam yang berlimpah dan seringkali dijumpai pada tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pada kajian ini difokuskan pada polisakarida terutama yang berasal dari limbah buah-buahan yang tidak termanfaatkan, seperti biji dan kulit buah. Diketahui sekitar 25-30% dari total berat buah pada umumnya terbuang, padahal memiliki kandungan fitokimia dan berbagai bahan aktif yang dapat dimanfaatkan, salah satunya sebagai koagulan alami. Pada tinjauan ini akan difokuskan pada pemanfaatan pektin dan pati dari limbah buah-buahan sebagai koagulan alami untuk pengolahan air dan limbah cair. Secara umum pektin umum dijumpai pada bagian kulit buah-buahan sebagai bagian dari struktur dinding sel, sementara pati umum dijumpai pada biji buah-buahan sebagai cadangan makanan. Untuk dapat dimanfaatkan sebagai koagulan alami, pektin ataupun pati perlu diekstrak terlebih dahulu, dan pati secara khusus perlu dimodifikasi baik secara fisika maupun kimia. Secara umum mekanisme koagulasi oleh pektin dan pati mengikuti mekanisme interparticle bridging. Pemanfaatan pektin dan pati dari limbah buah-buahan perlu dieksplorasi dan diteliti lebih lanjut, agar dapat mensubstitusi penggunaan koagulan kimia secara komersial.Kata kunci: koagulasi; koagulan alami; limbah buah-buahan; polisakarid

    Pemanfaatan Ekstrak Protein dari Kacang-kacangan sebagai Koagulan Alami: Review

    Get PDF
    Coagulation and flocculation are commonly used in water and wastewater treatment. Inorganic coagulant such as alum (Al2(SO4)3), ferrous sulphate (FeSO4), and polyaluminium chloride (PAC) are commonly used. These coagulants are known for its effectiveness and simple operation procedure. However, there are some drawbacks such as reduction in pH, potential negative health effect when the treated water is consumed, and large sludge volume. To overcome these problems, utilization of natural coagulants has been proposed. Based on its active coagulating agent, natural coagulant could be divided as polyphenolic, polysaccharides, and protein. Protein from beans and seeds is commonly used as the source of active coagulating agent, due to its effectiveness, availability, and relatively simple pretreatment is needed. Usually the protein is extracted by using 0.5-1 M NaCl solution as globulin is the major protein fraction in beans.The extracted protein could act as cationic polymer to neutralize negatively charged colloids through adsorption-charge neutralization mechanism. Extracted protein could work effectively to treat turbid and waste water with lower cost compared to alum. However, most of existing studies are still focused on small – pilot scale utilization thus further explorations are still needed.A B S T R A KKoagulasi dan flokulasi merupakan proses yang umum digunakan dalam pengolahan air dan limbah cair. Pada umumnya digunakan koagulan seperti alum (Al2(SO4)3), ferro sulfat (FeSO4), dan polialuminium klorida (PAC). Selain efektif, koagulasi merupakan proses yang relatif sederhana dan mudah diterapkan. Akan tetapi koagulasi dengan koagulan anorganik memiliki beberapa kekurangan seperti menurunnya pH menjadi asam saat digunakan, potensi gangguan kesehatan jika air hasil pengolahan terkonsumsi, serta volume sludge yang dihasilkan relatif tinggi. Penggunaan koagulan alami menjadi alternatif dalam pengolahan air untuk mengatasi berbagai kekurangan tersebut. Berdasarkan bahan aktif koagulannya, koagulan alami dapat dibagi menjadi polifenol, polisakarida, dan protein. Protein dari kacang-kacangan merupakan salah satu sumber koagulan alami yang umum digunakan, karena selain efektif, kacang-kacangan mudah didapat, serta membutuhkan perlakuan yang relatif sederhana, meliputi pengeringan, pengecilan ukuran, ekstraksi, serta purifikasi. Proses ekstraksi kacang-kacangan pada umumnya menggunakan larutan garam NaCl dengan konsentrasi 0,5-1 M, dikarenakan fraksi protein dominan pada protein kacang-kacangan pada umumnya berupa globulin. Protein yang terekstrak berfungsi sebagai polimer kationik yang cocok digunakan untuk mengolah koloid yang bermuatan negatif melalui mekanisme adsorpsi-netralisasi muatan. Pemanfaatan ekstrak protein dapat bekerja efektif untuk mengolah kekeruhan dan air limbah, dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan alum. Akan tetapi pemanfaatannya masih pada skala laboratorium-pilot, sehingga diperlukan pengembangan lebih lanjut untuk isolasi ekstrak serta aplikasinya pada skala industri

    Isolasi Alginat Rumput Laut Coklat (Sargassum sp.) menggunakan Jalur Kalsium Alginat

    Get PDF
    Alginate has been widely used in industrial field because of its natural properties as gelling agent. Brownseaweed, especially Sargassum and Turbinaria as the alginate sources are widely grown in Indonesia; butunfortunately there has yet to be any alginate industry in Indonesia. Alginate content in Sargassum isconsidered quite large, about 35%, whereas alginate content in Turbinaria is only around 20-25%. In thisresearch, sodium alginate was isolated from dried brown seaweed (Sargassum sp.) which first passedthrough the acid treatment using 0,5%-b/v HCl and alkaline treatment using 0,5%-b/v NaOH. Extraction wasdone in batch, using 2%-b/v Na2CO3 solvent. The chosen post-treatment method was through the Ca-alginatepath with experimental design Reponse Surface Methods-Central Composite Design with 5 center point. Thevaried variable was the concentration of CaCl2 (0,11 – 2,09 M) and the ratio of CaCl2 solution/alginateextract (0,48 – 4,02 g/g). The result showed that higher concentration of CaCl2 increased the yield, viscosity,and ash content. As the ratio of CaCl2/alginate extract got higher, the viscosity had the tendency to decreaseand the ash content increased. Yield of the obtained sodium alginate powder was 6,95 -30,7%; 1,48 – 11,85cP viscosity; ash content about 18,46 – 52,65%; and water content around 6,14 – 8,32%. The optimumcondition was obtained at CaCl2 concentration of 1,02 M and the ratio of CaCl2/alginate extract about 2,01g/g with 27,72% yield, 11,38 cP viscosity, 19,56% ash content, and 6,14-8,32% water content of sodiumalginate

    Sintesis polivinil alkohol tersulfonasi sebagai katalis dalam produksi metil ester: review

    Get PDF
    A B S T R A C TSulfonated polyvinyl alcohol (PVA) can be used as a heterogeneous catalyst in esterification or transesterification reactions during methyl ester production. This catalyst with PVA support has the potential to be used commercially like Amberlyst 46. However, there are several drawbacks in the conventional methods to produce sulfonated PVA compared to Amberlyst 46. In this paper, various processes of sulfonated PVA synthesis will be discussed including the advantages and disadvantages compared to Amberlyst 46. The synthesis of sulfonated PVA catalysts can be carried out using sulfosuccinate acid reagents or other acid reagents that have sulfonic groups that act as the active sites of the catalysts. The use of sulfosuccinate acid as the reagent produces catalysts with better catalytic activity, but the resulting product is not in granule form like Amberlyst 46 and can only be used continuously for seven times. The use of chlorosulfonic acid as the reagent resulted in granular catalysts. However, the catalyst has less catalytic activity and stability, and the reagent has a relatively high environmental impact. For the synthesis performed using sulfuric acid as the reagent, no result regarding catalytic activity has been reported elsewhere. The blending of the catalyst with other polymers resulted in improvements in the thermal stability and mechanical strength of the sulfonated polyvinyl alcohol. After a careful review of the procedures, we propose blending or double cross-linking processes combined with sulfonated PVA synthesis as a promising method to increase the thermal stability and mechanical strength of the catalysts. However, it is necessary to perform further laboratory validations on the catalytic activity of the catalysts produced from the combined method because blending may reduce the acid capacity of the catalyst.Keywords: esterification catalyst, polyvinyl alcohol, sulfonation A B S T R A KPolivinil alkohol (PVA) tersulfonasi dapat digunakan sebagai katalis heterogen dalam reaksi esterifikasi atau transesterifikasi dalam produksi metil ester. Katalis dengan support polivinil alkohol ini berpotensi untuk digunakan secara komersial seperti Amberlyst 46. Akan tetapi, PVA tersulfonasi yang disintesis secara konvensional masih memiliki banyak kekurangan dibandingkan dengan Amberlyst 46. Pada kajian ini akan dibahas mengenai berbagai alternatif proses sintesis PVA tersulfonasi termasuk kelebihan dan kekurangannya jika dibandingkan dengan Amberlyst 46. Sintesis katalis PVA tersulfonasi dapat dilakukan menggunakan reagen asam sulfosuksinat (SSA) maupun reagen asam lainnya yang memiliki gugus sulfonat yang berperan sebagai situs aktif katalis. Penggunaan reagen SSA menghasilkan katalis dengan aktivitas katalitik yang baik namun produk yang dihasilkan tidak berbentuk granula seperti Amberlyst 46 dan hanya dapat digunakan ulang sebanyak tujuh kali. Penggunaan reagen asam klorosulfonat dapat menghasilkan katalis berbentuk granula, namun memiliki aktivitas katalitik dan kestabilan kurang baik, serta reagen yang digunakan cukup berbahaya. Untuk proses sintesis menggunakan reagen asam sulfat belum ada hasil mengenai aktivitas katalitik, tetapi dengan adanya blending dengan polimer lain dapat memperbaiki kestabilan termal dan kekuatan mekanik PVA tersulfonasi yang dihasilkan. Proses blending atau double cross-linking yang digabung dengan sintesis PVA tersulfonasi dapat meningkatkan kestabilan termal dan kekuatan mekanik sehingga metode gabungan ini diyakini sebagai metode yang paling potensial dilakukan untuk menghasilkan PVA tersulfonasi dengan karakteristik terbaik. Meskipun demikian, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut disertai tahapan pengujian aktivitas katalitik pada katalis yang dihasilkan dari metode gabungan karena kemungkinan proses blending dapat mengurangi kapasitas asam pada katalis.Kata kunci: katalis esterifikasi; polivinil alkohol; sulfonas

    Sintesis Katalis Asam Heterogen Berbasis Polivinil Alkohol (PVA) dan Pemanfaatannya dalam Produksi Metil Ester Asam Lemak

    Get PDF
    Sulfonated polyvinyl alcohol is a potential heterogeneous acid catalyst for fatty acid methyl esters (FAME) production. The catalyst (PVA/SSA) was synthesized via an esterification reaction between polyvinyl alcohol (PVA) and sulfosuccinic acid (SSA). This research aimed to study the effect of several process variables, such as the molecular weight (MW) of PVA, washing step with methanol, annealing conditions (time, temperature, and annealing pressure), and drying temperature on the performance of the PVA/SSA catalyst in methanol and free fatty acid (FFA) esterification. The sulfonated PVA catalyst was successfully synthesized, as indicated by the presence of the sulfonate group (SO3) at an absorption band of 1267 cm-1 and the carbonyl group (C=O) at an absorption band of 1628 cm-1 in the FT-IR spectra. The resulting PVA/SSA catalyst shows a good performance, where maximum conversion of the fatty acid esterification reaction can reach 81.9%. In addition, the catalyst can be used for at least four repetitions with a decrease in FAME conversion from the first to the second stage of 28.2% and has relatively stable performance in the second and subsequent reactions (conversion range 49, 1% - 58.8%). The resulting catalyst also has good thermal stability with a first-stage degradation range of 200oC to 290oC, allowing it to be applied in a temperature range suitable to the FAME manufacturing industries requirement
    corecore