2,375 research outputs found

    LAPORAN KEGIATAN INDIVIDU PRAKTIK PENGALAMAN LAPANGAN SMA NEGERI 1 PIYUNGAN KARANGGAYAM, SITIMULYO, PIYUNGAN, BANTUL

    Get PDF
    Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan salah satu program dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang dilaksanakan pada waktu semester khusus tahun akademik 2013/2014 Jurusan Pendidikan Teknik Informatika yang berlokasi di SMA Negeri 1 Piyungan. Praktik pengalaman lapangan (PPL) bertujuan untuk memberi pengalaman kepada mahasiswa dalam menguasai kemampuan keguruan atau keahlian lainnya, sehingga dapat membangun tugas dan tanggung jawab secara profesional. Pelaksanaan praktik pengalaman lapangan (PPL) dilakukan pada tanggal 2 Juli sampai dengan tanggal 14 September 2013 bertempat di SMA Negeri 1 Piyungan, dengan melaksanakan program-program kegiatan mengajar dan hal lain yang dapat mendukung proses pembelajaran di sekolah. Sebelum diterjunkan ke lokasi PPL, mahasiswa terlebih dahulu melakukan observasi untuk memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun program kerja mengajar. Dari hasil observasi diketahui beberapa permasalahan pembelajaran di sekolah menyangkut perangkat pembelajaran, proses pembelajaran, dan perilaku siswa. Mahasiswa dituntut untuk dapat berinteraksi dengan berbagai keadaan pembelajaran untuk menjadikan proses belajar mengajar yang dilaksanakan berjalan dengan baik. Praktik pengalaman lapangan (PPL) sebagai wujud proses pembentukan calon guru atau tenaga kerja kependidikan yang profesional. Berhubungan dengan hal tersebut maka, praktikan memiliki program untuk menuju ke arah tersebut diantaranya praktik mengajar di sekolah. Harapannya praktik pengalaman lapangan (PPL) yang dilaksanakan memberikan manfaat banyak dalam memberikan bekal pengalaman bagi mahasiswa praktikan sekaligus sebagai latihan sebelum nantinya terjun ke lapangan kerja langsung dan melakukan tugasnya secara nyata sesuai dengan bidang kerja yang ditekuni

    Reservoir Characterisation: - Multi-Scales Permeability Data Integration: Lake Albert Basin, Uganda

    No full text
    Imperial Users onl

    NATURAL BIODEGRADATION OF COPROSTANOL IN AN EXPERIMENTAL SYSTEM OF THREE ENVIRONMENTAL CONDITIONS OF JAKARTA WATERS, INDONESIA

    Get PDF
    Constraint of using bio-indicator (coliform bacteria) as an indicator of domestic (sewage) pollution in the environment with high environmental stress encourages the discovering of other alternate indicators. Coprostanol has been proposed as a chemical indicator of domestic waste pollution, but most research on were conducted in the temperate (high latitude) region. The persistence of coprostanol in tropical region, especially in Indonesia, is still very poor. It is very important to understand the persistence of coprostanol in the nature, as one of the requirements to propose coprostanol as an alternate indicator of domestic waste pollution. In order to better understand the natural biodegradation of coprostanol, experimental system on three environmental conditions (river, river mouth, and coastal waters) was conducted. In April 2004, samples of water and surface bottom sediments were collected from each environmental condition in duplicate. Before the samples were put into aerated and non-aerated aquaria, about 35-40 g of surface bottom sediments were taken to analyze the initial concentration (C0) of coprostanol. The sediments were subsequently sampled from each aquarium within a certain interval day to analyze the concentration of coprostanol (C10, C20, and C40). The results showed that aeration plays not an important role in natural biodegradation of coprostanol. In average, the highest rate of coprostanol biodegradation is 0.438 µg/g day-1 in non aerated coastal water environment, where as the lowest was found in the non aerated river mouth environment (0.021 µg/g day-1). Since coprostanol was degraded very slowly, and could be detected in the sediments of three environmental conditions, coprostanol has an excellent potency to be used as an alternate indicator of domestic wastes

    Central Bank Boards around the World: Why does Membership Size Differ?

    Get PDF
    This paper analyzes empirically differences in the size of central bank boards across countries. Defining a board as the body that changes monetary instruments to achieve a specified target, we discuss the possible determinants of a board’s size. The empirical relevance of these factors is examined using a new dataset that covers the de jure membership size of 84 central bank boards at the end of 2003. We find that larger and more heterogeneous countries, countries with stronger democratic institutions, countries with floating exchange rate regimes, and independent central banks with more staff tend to have larger boards.committee, council, governance, decision making, monetary policy

    Rumahku Tidak Menapak Bumi: Rumah Susun Penjaringan Sari

    Get PDF
    Rumah Susun (walk-up flats) Penjaringan Sari is one of the Surabaya City Government’s solutions to resolve housing issues. The rusun is intended for the people who were removed from some ilegal housing areas in Surabaya. It was developed to provide housing for a large number of people with minimal basic daily facilities. This is a phenomenological research to understand how the inhabitants interpret their experience of living in the rusun. This study is a modification of a previous study conducted by Evi Lina Sutrisno (2009). This study did not measure the participants’ satisfaction of living in the rusun. Instead, it analyzed the participants’ subjective meaning. Participants of this study are 15 families in the rusun. Data were collected using rapid ethnography; thus researcher was able to capture the expressed and implied meaning of the participants’ experience. Theories of environmental psychology and community psychology are used as a framework and as the basic of data interpretation. Objectively, living in the rusun might be a better situation than living in illegal housing. However, the participants interpret it differently. Meaning is related to the experience and culture in previous residence, the history of living in rusun, the changes in livelihoods and the social structures in and around the flats

    An Evaluation Of A Village Health Worker Program In Indonesia

    Get PDF
    This research has attempted to evaluate the function of village health workers in health promotion, prevention, and curative services provided for rural children under five years of age.;A survey was conducted to determine maternal knowledge of childhood infectious diseases and childhood immunization, and to compare the immunization status of children aged 6-23 months in villages with and without a village health worker. A cohort study was carried out to compare the medical care provided for diarrhea, fever, and cough to children aged 6-59 months in villages with and without a village health worker.;It was expected that the DPT immunization coverage (2-doses) of children in villages with a village health worker would be 10 percentage points higher than that of children in villages without a village health worker. It was also expected that the medical care provided by the village health worker would not be substantially inferior to that provided by health centre personnel (i.e. the frequency of poor outcome of illness would not be more than 10 percentage points higher among the former).;A multivariate analysis showed that DPT immunization coverage in village with and without a village health worker was not statistically significantly different. Coverage of BCG immunization was better in villages with village health workers, but coverage of polio immunization was better in villages without village health worker.;In the univariate analysis, the health care system with village health workers showed a better outcome for diarrhea, fever, and cough than the health care system without village health workers. After adjustment for potential confounding variables the differences were not significant.;The results suggest that the village health worker provide adequate care for common childhood illnesses but do not enhance immunization coverage of the child population. Definitive studies need to be carried out to determine the best means of training of the village health worker to provide promotion and prevention services as well as therapeutic services for common illnesses

    KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM TENTANG MENURUNNYA KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP HUKUM DAN APARAT PENEGAK HUKUM DI SULAWESI UTARA

    Get PDF
    Rechtstaat (di negara Eropa Kontinental) dan rule of law (di negara Anglo Saxon) merupakan penamaan yang diberikan oleh para pakar hukum pada permulaan abad ke-20 terhadap gagasan konstitualisme dalam sebuah negara yang menganut suatu cita negara hukum[1]. Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut cita negara hukum sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945),  sehingga seluruh kegiatan negara dalam menyelenggarakan pemerintahan atau di dalam melaksanakan pembangunan harus berdasarkan pada ketentuan hukum namun yang menjadi fenomena adalah masyarakat main hakim sendiri (eigenrichting) atau self help dalam menyelesaikan masalah karena ketidakpercayaan lembaga peradilan.[2] Penegakan hukum di suatu negara menurut Satjipto Rahardjo idealnya dilihat sebagai suatu proses yang interaktif, apa yang dipertontonkan kepada masyarakat sebagai hasil penegakan hukum itu tidak dapat diterima sebagai hasil karya penegak hukum sendiri, melainkan suatu hasil bekerjanya proses saling mempengaruhi di antara berbagai komponen yang terlibat di dalam proses itu[3] . Selanjutnya dikemukakan pula oleh Satjipto Rahardjo bahwa proses interaktif tiap-tiap komponen yang terlihat di dalam proses penegakan hukum, dapat berlangsung dengan baik, jika kesiapan dan tiap-tiap komponen tersebut cukup memadai, jika tidak demikian maka peranan hukum baik di dalam mempertahankan kestabilan maupun di dalam menunjang atau mengarahkan pembangunan tidak akan efektif. Oleh karena itu, jika menuntut peranan penegak hukum di dalam pembangunan, maka juga harus menuntut perhatian terhadap pembinaan atau pembangunan di  dalam bidang hukum secara terpadu dan konsisten termasuk putusan hakim yang progresif dan berdasarkan hati nurani.[4] Di negara Republik Indonesia dikenal institusi penegak hukum adalah kepolisian, kejaksaan, kehakiman, keadvokatan dan lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga hukum.  Kelima unsur penegak hukum ini memegang peranan dan fungsi yang vital dalam penyelenggaraan negara hukum khususnya di bidang peradilan. Masyarakat Indonesia mendambakan terciptanya suatu negara hukum yang baik, di mana salah satu indikatornya adalah penyelenggaraan peradilan yang benar dan berkeadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Fungsi penegak hukum bersinergi dan setaraf di dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya berdasarkan undang-undang sehingga dalam melaksanakan visi dan misinya tidak saling bersinggungan tetapi sebaliknya dapat bersinergi optimal dan kerjasama yang apik di antara penegak hukum tersebut. Hal yang perlu dibina dan dikembangkan adalah selain menghormati dan menjunjung tinggi eksistensi setiap unsur penegak hukum juga berupaya membina dan mengembangkan rasa kesadaran hukum masyarakat, budaya hukum yang positif harus diciptakan  koordinasi dan pengawasan terhadap penegak hukum harus efektif dalam menciptakan kondisi yang realistis dalam penegakan hukum di Indonesia.  rakyat membutuhkan perlindungan hukum baik dari perbuatan pemerintah maupun perbuatan antara mereka sebagai warga negara. Oleh karena itu kesadaran hukum masyarakat dan penegak hukum merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan cita-cita negara hukum dalam praktek[5] . Guna mewujudkan kinerja penegak hukum yang dapat menjawab tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat dalam era reformasi di segala bidang maka tuntutan terbesar yang utama dan terutama yang dihadapi adalah sumber daya manusia dan profesionalisme yang mampu menampung dan merealisasikan tuntutan aspirasi masyarakat sehingga penegak hukum dapat berwibawa dan dicintai masyarakat, semakin melekat dan kental dengan nilai-nilai pemenuhan harapan masyarakat. Keterkaitan antara penegak hukum dengan masyarakat itu sangat erat oleh karena itu sering didengar adanya pemeo yang menyatakan bahwa di mana ada masyarakat di situ ada hukum (ubi ius ubi societas). Penurunan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dan penegakan hukum merupakan salah satu fenomena yang sangat banyak terjadi  dan penurunan kepercayaan tersebut justru banyak terjadi ketika saat ini telah banyak peraturan perundang-undangan yang dibentuk untuk ditegakkan. Keterlibatan aparat penegak hukum dalam kejahatan-kejahatan yang terjadi menjadi realitas yang sangat memprihatinkan seperti yag terjadi di Kota Manado sebagaimana dimuat dalam Republika tanggal 1 April 2015 mengenai keterlibatan aparat Kepolisian dalam pencurian kendaraan bermotor, kasus pencurian ATM  yang kemudian melibatkan pihak penyidik dalam penggelapan barang bukti berupa uang sejumlah milyaran dari tangan pihak tersngka serta terjadinya proses-proses penegakan hukum yang dianggap menciderai rasa keadilan masyarakat seperti yang dimuat dalam Beritakawanua edisi tanggal 8 Juli 2014 yang menyebutkan penjatuhan vonis lepas dari segala tuntutan atas kasus penggelapan dan pemalsuan yang dilakukan Melia Handoko, penjatuhan vonis yang dianggap ringan terhadap pelaku tindak pidana mall praktek kedokteran yang menyebabkan meninggalnya pasien bernama Julia Fransiska Makatey. Realitas-realitas ini  menunjukkan bahwa  terdapat suatu kesenjangan antara peraturan perundang-undangan dengan reaalitas di tengah masyarakat yang menimbulkan krisis kepercayaan dari masyarakat . [1] Riduan Syahrani. 1991. Himpunan Peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia. Alumni :  Bandung. Hlm. 43 [2] Ibid. Hlm. 45 [3] Satjipto Rahardjo dan Anton Tabah. 1993. Polisi, Pelaku dan Pemikir. Gramedia Pustaka Utama :  Jakarta. Hlm. 146 [4] Ibid. [5] Sudargo Gautama. 1983. Pengertian Tentang Negara Hukum.Alumni. Bandung: Hlm. 1
    corecore