348 research outputs found

    Hubungan Intensitas Penggunaan Facebook terhadap Intensitas Interaksi Face To Face Remaja dengan Orang Tua

    Full text link
    KARYA ILMIAHPraktek Penelitian KomunikasiHubungan Intensitas Penggunaan Facebook Terhadap Intensitas Interaksi Face ToFace Remaja dengan Orang Tua.PENDAHULUANI.1 LATAR BELAKANGSocial Networking atau Jaringan Sosial merupakan konsep pengembangan yang bisadimanfaatkan didalam dunia pendidikan. Social networking diaplikasikan kedalam bentuksitus jejaring sosial. Selain berguna untuk menjalin silaturrahim juga berguna untukmenunjang didalam meningkatkan efektifitas belajar. . Social Networking merupakan salahsatu layanan yang ada pada Internet (ade gustiann,2010).Internet merupakan teknologi baru yang diciptakan untuk mempermudah orangmencari informasi dengan cepat dan akurat.Fungsi lain dari penggunaan internet adalah untuk memudahkan orang menghubungi kerabatyang berada jauh diluar pulau, diluar negeri, bahkan berbeda benua. Ada e-mail yang bisadigunakan atau chating dengan sarana yahoo messenger atau social networking yangmemudahkan anda mencari teman baru seperti friendster atau facebook.Setelah habis masa jaya friendster yang sudah dianggap tidak canggih. Maka,muncullah facebook yang diciptakan oleh seorang mahasiswa harvard yang tadinyamenciptakan facebook hanya untuk memudahkan komunikasi dengan komunitasnya. Namun,siapa sangka hal ini coba dikembangkan untuk situs pertemanan yang lebih baik darifriendster. Maka, mulailah facebook merambah dunia sebagai situs jejaring sosial yang palingdiminati.Adanya Facebook bukanlah tanpa masalah. Banyak remaja yang terpengaruhfacebook sehingga mengabaikan kualitas hubungan antar manusia. Seperti halnya lupa kapanterakhir kali bicara dengan orang yang diajak chatting di facebook secara langsung ataukapan terakhir kali makan bersama orang tua di meja makan. Bahkan sering kali ketika adawaktu bersama dengan orang tua. Remaja mengabaikannya karena sibuk dengan facebook.Sehingga, waktu berkualitas bersama keluarga tanpa sadar terabaikan akibat kencanduanfacebook.Ditahun-tahun awal beredarnya facebook di amerika banyak anak usia remaja yangmenghilang akibat kopi darat dengan teman barunya yang baru dia kenal lewat facebook. Halini juga sedang banyak terjadi di sini selain, memungkinkan banyak orang menyalahgunakanfacebook untuk tindakan kriminal (okezone.com/seputarindonesia). Orang tua juga kadangkurang awas dalam hal mengawasi apa yang menjadi akses para remaja di dunia maya.Mereka cenderung percaya dan membiarkan mereka mengakses sitis-situs tanpa ada batasandari orang tua. Bahkan, dengan santainya menempatkan komputer pribadi pada kamar anakmereka tanpa khawatir mereka terjerumus dalam pergaulan yang salah melalui internet.Mudahnya remaja mengakses internet dan kelonggaran orang tua dalam mengawasimerupakan celah dimana jarak hubungan antara orang tua dan remaja terjadi yangmengakibatkan terkadang remaja lebih percaya dan nyaman bicara atau chatting denganorang lain melalui Facebook daripada bicara dengan orang tua mereka. Sepanjang tahun 2010Komisi Nasional Perlindungan Anak sudah menerima 36 laporan terkait kasus Anak yangmenjadi korban kejahatan Facebook.Remaja juga rentan mengalami problem adiksi. Ketertarikan yang mendalam dapatberubah menjadi ketergantungan, bahkan berakselerasi dalam pola hidup yang tidakterpisahkan dari keseharian masyarakat, terutama remaja. Remaja dapat menghabiskan waktuberjam-jam untuk mengakses internet dan Facebook, baik di sekolah, di rumah maupun diluar rumah. Secara psikologis, dampak negatif kecanduan Facebook dapat dibagi atas:a. Pribadi yang antisosial, yaitu yang menunjukkan perilaku menjauh dari norma sosial.b. Dualisme kepribadianKetika berinteraksi di dunia maya, banyak orang yang tidak bersikap sebagaimanatampilannya sehari-hari. Secara kognitif, ia memperlihatkan kesan ideal self yangdiidamkannya. Misalnya dengan menunjukkan kelebihan sosial yang sebenarnya tidakdimilikinya.c. Lingkungan paranoidFacebook membuat orang menjadi merasa tidak aman (insecure). Facebook secara tidaklangsung menciptakan masyarakat yang penuh kecemasan karena Kurangnya pengetahuananak muda akan dunia dan praktek norma-norma sosial yang diharapkan dari dirinya. Secaraumum, anak muda memiliki akses terbatas dalam memandang dunia sekitar secara objektif.Komunikasi interpersonal merupakan hal yang paling mendasar dalam berinteraksidan bersosialisasi dengan orang lain. Melalui komunikasi interpersonal kita dapat mengenalorang lain secara lebih mendalam, sehingga pada akhirnya muncul saling keterbukaan diriyang jika dilakukan dengan baik secara berkesinambungan bisa meningkatkan hubunganmenuju tingkatan yang lebih akrab. Seperti hubungan remaja dengan orang tua dalam sebuahkeluarga. Saat anak masih kecil mungkin orang tua mengenal kepribadiannya. Namun, ketikaia beranjak remaja komunikasi yang lebih intense perlu dilakukan karena remaja merupakanfase yang paling harus diperhatikan oleh orang tua belum tentu anak yang beranjak remajadapat dikenal dengan baik oleh orang tuanya. Semakin sering melakukan pembicaraandengan anak yangtumbuh remaja maka diharapkan anak dapat menaruh kepercayaan padaorang tuanya begitu pula sebaliknya.Salah satu manfaat komunikasi interpersonal adalah mengatasi adanyaketidakpercayaan remaja dan orang tua dalam sebuah keluarga. Ketidakpercayaan orang tuapada anak remajanya terjadi karena kurangnya intensitas komunikasi face to face antarakeduanya. Komunikasi interpersonal saat ini banyak dimanfaatkan dalam segala aspekkehidupan tak terkecuali dalam hubungan keluarga antara remaja dan orang tuanya. Salahsatu wujud pemanfaatan komunikasi interpersonal dalam keluarga adalah adanya interaksiface to face antara remaja dan orang tua dalam keluarga.Begitu pula dengan komunikasi antara anak dan orang tua dalam penelitian ini objekutamanya adalah hubungan orangtua dan anak khususnya remaja. Dalam hal ini facebookmengambil porsi yang cukup besar karena dianggap sebagai penyebab utama berkurangnyaintensitas komunikasi antara orang tua dan remaja. Bagaimana tidak ketika situasi dirumahyang seharusnya mengutamakan quality time dalam keluarga harus tergerus dengan intensitassang remaja dengan komputer di rumah demi mengakses facebook padahal, orang tua hanyamemiliki waktu yang sedikit untuk berada di rumah karena kesibukan mereka bekerja. Hal inimenghambat proses komunikasi yang seharusnya terjadi di rumah dan pada masa remaja halini dianggap sangat penting guna mengetahui pergaulan sang remaja dalam kehidupankesehariannya.I.2 PERUMUSAN MASALAHMerebaknya kasus-kasus negatif yang berhubungan dengan penggunaan facebook inimenimbulkan kekhawatiran orang tua. Peran orang tua sangat penting untuk ikut terlibatbersama anak-anak mereka dalam penggunaan internet guna membentuk pemikiran kritis.Terlebih dalam berhubungan dengan orang-orang yang mereka jumpai saat online. Olehkarena itu, penelitian ini digunakan untuk mempertanyakan bagaimana intensitas interaksiface to face yang dilakukan oleh orang tua dan remaja mereka dalam memberikanpemahaman mengenai penggunaan situs jejaring sosial facebook.I.3 TUJUAN PEMBUATAN PENELITIANUntuk mengetahui hubungan intensitas penggunaan facebook terhadap interaksi faceto face remaja dengan orang tua.I.4 KEGUNAAN PENELITIANa). Kegunaan AkademisPenelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan bidang ilmu komunikasi, khususnyakomunikasi massa baru dalam kajian hubungan media maya dengan komunikasi antarpribadi. Selain itu hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan atau referensi untuk penelitianselanjutnya.b). Kegunaan PraktisPenelitian ini memuat saran untuk pengguna facebook agar dapat menggunakan mediajejaring sosial dengan lebih bijak dan bagi orang tua yang mempunyai anak remaja lebihdapat meluangkan waktu untuk mengawasi remaja agar komunikasi yang terjalin antaraorang tua dan remaja tetap dekat.I.5 KERANGKA TEORITeori New Media (Digital Theory)Pada tahun 1990, Mark Poster meluncurkan buku besarnya, The Second Media Age,yang menandai periode baru di mana teknologi interaktif dan komunikasi jaringan, khususnyadunia maya akan mengubah masyarakat. Gagasan tentang era media kedua yang sebenarnyatelah dikembangkan sejak tahun 1980-an hingga saat ini menandai Perubahan yang pentingdalam teori media. Bagi seseorang, hal ini melonggarkan konsep “media” dari komunikasi“massa” hingga berbagai media yang berkisar dari jangkauan yang sangat luas hingga yangsangat pribadi. Kedua, konsep tersebut menarik perhatian kita pada bentuk-bentukpenggunaan media yang baru yang dapat berkisar dari informasi individu dan kepemilikanpengetahuan hingga interaksi. Ketiga, tesis tentang era media kedua membawa teori mediadari kesamaran yang relatif pada tahun 1960-an pada populeritas yang baru pada tahun 1990-an dan seterusnya.Kekuatan media dalam dan dari media itu sendiri kembali menjadi fokus, termasuksebuah minat baru dalam karakteristik penyebaran dan penyiaran media.Era media yang pertama digambarkan oleh :1. Sentralisasi produksi (satu menjadi banyak).2. Komunikasi satu arah.3. Kendali situasi, untuk sebagian besar.4. Reproduksi stratifikasi sosial dan perbedaan melalui media.5. Audiens massa yang terpecah, dan6. Pembentukan kesadaran sosial.Era media kedua, sebaliknya, dapat digambarkan sebagai:1. Desentralisasi2. Dua arah.3. Di luar kendali situasi.4. Demokratisasi.5. Mengangkat kesadaran individu, dan6. Orientasi individu.Mungkin ada dua pandangan yang dominan tentang perbedaan antara era mediapertama, dengan penekanannya pada penyiaran, dan era media kedua, dengan penekanannyapada jaringan. Kedua pandangan tersebut adalah pendekatan interaksi sosial (socialinteraction) dan pendekatan integrasi sosial (social integration).Pendekatan interaksi sosial membedakan media menurut seberapa dekat mediadengan model interaksi tatap muka. Bentuk media penyiaran yang lebih lama dikatakan lebihmenekankan pada penyebaran informasi yang mengurangi peluang adanya interaksi. Mediatersebut dianggap sebagai media informasional dan karenanya menjadi mediasi realitas bagikonsumen. Sebaliknya, media baru lebih interaktif dan menciptakan sebuah pemahaman barutentang komunikasi pribadi. Mungkin pendukung pandangan ini yang paling terkemukaadalah Pierre Levy yang menulis buku terkenal berjudul Cyberculture. Levy memandangWorld Wide Web sebagai sebuah lingkungan informasi yang terbuka, fleksibel dan dinamis,yang memungkinkan manusia mengembangkan orientasi pengetahuan yang baru dan jugaterlibat dalam dunia demokratis tentang pembagian kuasa yang lebih interaktif danberdasarkan pada masyarakat.Dunia maya memberikan tempat pertemuan semu yang memperluas dunia sosial,menciptakan peluang pengetahuan baru, dan menyediakan tempat untuk berbagi pandangansecara luas.Tentu saja, media baru tidak seperti interaksi tatap muka, tetapi memberikan bentukinteraksi baru yang membawa kita kembali pada hubungan pribadi dalam cara yang tidak bisadilakukan oleh media sebelumnya. Ada beberapa masalah dalam membuat perbandingan ini,dan beberapa orang yakin bahwa media yang baru lebih “termediasi” daripada yang akandiyakini oleh para pendukungnya. Media baru juga mengandung kekuasaan dan batasan,kerugian dan keuntungan, dan kebimbangan. Sebagai contoh, media baru mungkinmemberikan penggunaan yang terbuka dan fleksibel, tetapi dapat juga menyebabkanterjadinya kebingungan dan kekacauan.Media yang baru memang pilihan yang sangat luas, tetapi pilihan tidak selalu tepatketika kita membutuhkan panduan dan susunan. Perbedaan adalah salah satu nilai besardalam media baru, tetapi perbedaan juga dapat menyebabkan adanya perpecahan danpemisahan. Media baru mungkin memberikan keluwesan waktu dalam penggunaan, tetapijuga menciptakan tuntunan yang baru.Media yang lebih baru menciptakan sesuatu yang terlihat seperti interaksi, tetapi tidakmirip dengan interaksi tatap muka yang sebenarnya. Malahan, media yang lebih barumenciptakan interaksi dengan simulasi komputer. Ada tingkat interaksi yang tinggi, tetapidengan komputer, tidak dengan individu tertentu. Gagasan ini didukung oleh teori persamaanmedia (media-equation theory), yang menyatakan bahwa kita memperlakukan media sepertima Cara kedua yang membedakan media adalah integrasi sosial. Pendekatan inimenggambarkan media bukan dalam bentuk informasi, interaksi, atau penyebarannya, tetapidalam bentuk ritual, atau bagaimana manusia menggunakan media sebagai cara menciptakanmasyarakat. Media bukan hanya sebuah instrumen informasi atau cara untuk mencapaiketertarikan diri, tetapi menyatukan kita dalam beberapa bentuk masyarakat dan memberikankita rasa saling memiliki dan berinteraksi dengan media seolah-olah mereka nyata.CMC (Computer Mediated Communication)Adapun komunikasi dengan menggunakan komputer lazim disebut sebagaiKomunikasi Media Komputer (Computer-Mediated Communication). Dampak KMK kedalam dua bagian. Pertama, dampaknya bagi perkembangan bahasa dan kedua dampaknyabagi struktur komunikasi bahasa Indonesia. Berbagai istilah baru bermunculan. Istilah-istilahtersebut mayoritas berasal dari bahasa Inggris. Dampak bagi perkembangan bahasa. Makabeberapa dari kita akan merasa akrab dengan istilah, seperti unduh, unggah, tetikus, daring,dan sebagainya. Kebanyakan merasa lebih nyaman menggunakan kata download, up-load,mouse, dan on-line. Dampak bagi struktur komunikasi. Sampai awal 2000-an, Internet RelayChat masih menjadi sarana komunikasi yang relatif populer. Setelah itu, Instant Messengersemacam Yahoo! Messenger menjadi salah satu yang relatif umum. Meskipun demikian,prinsip dasarnya tetap sama. Sehingga dampaknya bagi struktur komunikasi bahasa Indonesia(termasuk juga bahasa lainnya) secara umum tetap sama. Black et al sebagaimanadiungkapkan Lewis Hassel, menyebutkan bahwa setiap jenis media yang digunakan untukberkomunikasi akan mempengaruhi struktur interaksi komunikasi. Namun, itu bukan berartibahwa komunikasi yang dilakukan tidak berlangsung dengan baik. Bahkan bila dilihat darisudut pandang wacana, rangkaian komunikasi tersebut merupakan wacana yang memilikikesatupaduan.I.6. HipotesisAdapun hipotesa dari pemaparan diatas adalah terdapatnya hubungan penggunaanfacebook terhadap intensitas interaksi face to face remaja dengan orang tua. Artinyasemakin tinggi tingkat penggunaan facebook berarti semakin berkurang tingkat intensitasinteraksi face to face antara remaja dengan orang tua.I.7. Definisi Konseptual1) Intensitas menggunakan FacebookAdalah kualitas penggunaan Facebook .2) Interaksi face to face remaja dengan orang tuaAdalah Interaksi face to face terhadap remaja dan orang tua dalam keluarga.I.8. Definisi Operasional1) Intensitas menggunakan Facebooka) Frekuensi menggunakan Facebook per hari.b) Pengetahuan tentang fitur Facebook.c) Durasi menggunakan Facebook.2) Interaksi face to face terhadap remaja dan orang tuaa) Frekuensi interaksi antara remaja dengan orang tua.b) Aktivitas yang dilakukan remaja dengan orang tua.c) Durasi interaksi antara remaja dengan orang tua.1.9.Metoda Penelitian1.9.1. Tipe PenelitianTipe yang dipakai dalam penelitian ini adalah eksplanatori, yaitu tipe penelitian yangmenjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis(Singarimbun dan Effendi, 1989: 5).Variabel bebas dalam penelitian ini adalah hubungan penggunaan Facebook (X) yangberpengaruh terhadap variabel terikat, yaitu Intensitas interaksi face to face terhadapremaja dengan orang tua (Y).1.9.2. Populasi dan Sampel1.9.2.1.PopulasiPopulasi adalah obyek penelitian sebagai sasaran untuk mendapatkan danmengumpulkan data. (Subagyo, 1997: 23).Berdasarkan ensiklopedi Indonesia, Edisi Khusus,1992. Remaja dapat diartikantahap pertumbuhan anak menuju dewasa sejak masa pubertas usia 11-20 tahunbagi perempuan dan 12-21 tahun bagi laki-laki. Sementara itu Facebookmembatasi pengguna jejaring sosialnya berada diatas usia 17 tahun.1.9.2.2.SampelSampel adalah sebagian anggota populasi yang diambil dengan menggunakanteknik tertentu yang disebut teknik sampling. Penelitian ini menggunakanStratified Sampling. Teknik ini digunakan oleh peneliti apabila terdapatkelompok-kelompok subjek, yang di antara kelompok satu dengan lainnya adatingkatan yang membedakan. Peneliti mengambil wakil dari unit-unit populasitersebut dengan sistem perwakilan yang berimbang (Bungin, 2006, h.114).Berdasarkan teknik ini, populasi yang digunakan adalah Siswa-Siswi SMA N 4Semarang Kelas XI. Sampel ini diambil dengan pertimbangan siswa-siswi SMA N4 Semarang kelas XI adalah anak-anak dengan rentang usia 17-18 tahun yangdianggap oleh peneliti sebagai usia yang cocok untuk penelitian ini. Karena dimasa-masa ini banyak anak mengalami proses pencarian jati diri yang seringmengalami ketidakcocokan dengan pandangan orang tua dan cenderung sukamencoba hal-hal baru yang terkadang membahayakan dirinya sendiri.Sampel yang digunakan dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakanrumus Frank Lynch:. (1 ). . ( 1 )2 22N d z p pN z p p pn Keterangan:n = besar sampelN = besar kerangka sampelZ = nilai formal untuk tingkat kepercayaan 95%=1,96P = harga patokan tertinggi= 0,5d = sampling error = 0,1219.(0,1) (1,96) (0,5)(0,5)219.(1,96) .(0,5)(0,5)2 22n n = 67,75 dibulatkan menjadi 68Berdasarkan perhitungan di atas, besarnya sampel adalah 68 siswa.1.9.3. Teknik Pengambilan SampelMetode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah StratifiedSampling.1.9.4. Jenis dan Sumber Data1.9.4.1.Jenis DataJenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif.1.9.4.2.Sumber Data1) Data PrimerData primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat,baik yang dilakukan dalam wawancara, observasi, dan alat lainnya. (Subagyo,1997: 87).Data primer diperoleh melalui hasil kuesioner dari responden dan checklistyang dilakukan terhadap responden.2) Data SekunderData sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari obyekpenelitian, yaitu sumber-sumber tertulis yang terdapat dalam dokumendokumen,data statistik dan referensi lainnya yang berhubungan denganpersoalan yang diteliti (Subagyo, 1997: 88).1.9.5. Skala PengukuranMenurut Sekaran dalam Zulganef (2008: 163), skala pengukuran adalah alat ataumekanisme membedakan individu atau unit analisis berdasarkan variabel-variabeldalam penelitian.a) Variabel bebasVariabel bebas dalam penelitian ini adalah intensitas penggunaanFacebook yang diukur menggunakan skala nominal, yaitu skala yangdigunakan untuk membedakan subjek berdasarkan klasifikasi saja(Zulganef, 2008: 98). Variabel bebas ini diklasifikasikan:i. Rendahii. Kurangiii. Cukupiv. Tinggib) Variabel terikatVariabel terikat dalam penelitian ini adalah interaksi face to face remajadengan orang tua yang diukur menggunakan skala ordinal, yaitu skalayang digunakan untuk membedakan subjek berdasarkan klasifikasi saja(Zulganef, 2008: 98).Variabel terikat ini diklasifikasikan:i. Tinggiii. Tidak tinggi1.9.6. Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah surveimelalui kuesioner yang diberikan kepada responden.Penelitian survei merupakan suatu penelitian kuantitatif dengan menggunakanpertanyaan terstruktur atau sistematis yang sama kepada banyak orang kemudianjawaban yang diperoleh peneliti dicatat, diolah, dan dianalisis. (Prasetyo danJannah, 2005: 141).1.9.7. Instrumen PenelitianAlat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.Kuesioner merupakan pertanyaan-pertanyan yang telah tersusun secara kronologisdari yang umum mengarah pada khusus untuk diberikan kepada responden yangumumnya merupakan daftar pertanyaan. (Subagyo, 1997: 55).1.9.8. Teknik AnalisisAnalisa kuantitatif, merupakan analisis data yang ditujukan pada data-data berupaangka-angka. Setelah data terkumpul kemudian diklasifikasikan dalam kategorikategorimaka dihitung dengan analisa kuantitatif yang dilakukan denganmenggunakan uji statistik berupa uji korelasi (Kriyantono, 2006: 163).BAB IIPENJABARAN TENTANG FACEBOOKDANKOMUNIKASI ORANG TUA DAN REMAJAII.1. ASAL-USUL JEJARING SOSIAL FACEBOOKMichael zuchkerberg yang mengawali adanya jejaring sosial ini. Michael yang padaawal mulanya membuat jaringan sosial ini hanya untuk memudahkan hubungan komunikasilewat dunia maya antar anggota organisasi di harvard tidak pernah terpikir untukmengkomersialkan jaringan komunikasi kampusnya menjadi pesaing friendster yang telahmendunia. Berawal dari keisengan membuat blog yang menyebarkan seluruh data pribadipenghuni kampus. Michael yang dicap sebagai mahasiswa gagal di universitas harvardmemulai pemberontakannya pada pihak kawan seangkatan hingga kawan satu kampusdengan menyebarkan data-data pribadi milik mahasiswa harvard dan di publikasikan seanterokampus. Akibat perbuatannya banyak mahasiswa yang keberatan dan ada pula yang merasasangat diuntungkan karena bisa lebih kenal atau mengetahui bahwa kenalannya ada juga dijaringan maya tersebut. Kemudian atas saran dari para sahabatnya maka michael mengubahblog kampus menjadi The facebook yang merupakan awal mula dari bentuk facebook.Facebook diluncurkan pertama kali pada tanggal 4 Februari 2004 oleh MarkZuckerberg sebagai media untuk saling mengenal bagi para mahasiswa Harvard. Dalamwaktu dua minggu setelah diluncurkan, separuh dari semua mahasiswa Harvard telahmendaftar dan memiliki account di Facebook. Tak hanya itu, beberapa kampus lain di sekitarHarvard pun meminta untuk dimasukkan dalam jaringan Facebook. Dalam waktu 4 bulansemenjak diluncurkan, Facebook telah memiliki 30 kampus dalam jaringannya(http://publishedmind.blogspot.com/).Tidak ada situs jejaring sosial lain yang mampu menandingi daya tarik Facebookterhadap user. Pada tahun 2007, terdapat penambahan 200 ribu account baru perharinyaLebih dari 25 juta user aktif menggunakan Facebook setiap hari dan rata-rata penggunamenghabiskan waktu sekitar 19 menit perhari untuk melakukan berbagai aktifitas diFacebook (http://www.crunchbase.com/company/Facebook).Menurut Alexa.com (2010) yang memonitor arus internet, hampir 4 % daripengunjung harian Facebook berasal dar

    A Comparative Study of Two Prediction Models for Brain Tumor Progression

    Get PDF
    MR diffusion tensor imaging (DTI) technique together with traditional T1 or T2 weighted MRI scans supplies rich information sources for brain cancer diagnoses. These images form large-scale, high-dimensional data sets. Due to the fact that significant correlations exist among these images, we assume low-dimensional geometry data structures (manifolds) are embedded in the high-dimensional space. Those manifolds might be hidden from radiologists because it is challenging for human experts to interpret high-dimensional data. Identification of the manifold is a critical step for successfully analyzing multimodal MR images. We have developed various manifold learning algorithms (Tran et al. 2011; Tran et al. 2013) for medical image analysis. This paper presents a comparative study of an incremental manifold learning scheme (Tran. et al. 2013) versus the deep learning model (Hinton et al. 2006) in the application of brain tumor progression prediction. The incremental manifold learning is a variant of manifold learning algorithm to handle large-scale datasets in which a representative subset of original data is sampled first to construct a manifold skeleton and remaining data points are then inserted into the skeleton by following their local geometry. The incremental manifold learning algorithm aims at mitigating the computational burden associated with traditional manifold learning methods for large-scale datasets. Deep learning is a recently developed multilayer perceptron model that has achieved start-of-the-art performances in many applications. A recent technique named Dropout can further boost the deep model by preventing weight coadaptation to avoid over-fitting (Hinton et al. 2012). We applied the two models on multiple MRI scans from four brain tumor patients to predict tumor progression and compared the performances of the two models in terms of average prediction accuracy, sensitivity, specificity and precision. The quantitative performance metrics were calculated as average over the four patients. Experimental results show that both the manifold learning and deep neural network models produced better results compared to using raw data and principle component analysis (PCA), and the deep learning model is a better method than manifold learning on this data set. The averaged sensitivity and specificity by deep learning are comparable with these by the manifold learning approach while its precision is considerably higher. This means that the predicted abnormal points by deep learning are more likely to correspond to the actual progression region

    A Novel Latin Square Image Cipher

    Full text link
    In this paper, we introduce a symmetric-key Latin square image cipher (LSIC) for grayscale and color images. Our contributions to the image encryption community include 1) we develop new Latin square image encryption primitives including Latin Square Whitening, Latin Square S-box and Latin Square P-box ; 2) we provide a new way of integrating probabilistic encryption in image encryption by embedding random noise in the least significant image bit-plane; and 3) we construct LSIC with these Latin square image encryption primitives all on one keyed Latin square in a new loom-like substitution-permutation network. Consequently, the proposed LSIC achieve many desired properties of a secure cipher including a large key space, high key sensitivities, uniformly distributed ciphertext, excellent confusion and diffusion properties, semantically secure, and robustness against channel noise. Theoretical analysis show that the LSIC has good resistance to many attack models including brute-force attacks, ciphertext-only attacks, known-plaintext attacks and chosen-plaintext attacks. Experimental analysis under extensive simulation results using the complete USC-SIPI Miscellaneous image dataset demonstrate that LSIC outperforms or reach state of the art suggested by many peer algorithms. All these analysis and results demonstrate that the LSIC is very suitable for digital image encryption. Finally, we open source the LSIC MATLAB code under webpage https://sites.google.com/site/tuftsyuewu/source-code.Comment: 26 pages, 17 figures, and 7 table

    Analysis of gene expression data from non-small celllung carcinoma cell lines reveals distinct sub-classesfrom those identified at the phenotype level

    Get PDF
    Microarray data from cell lines of Non-Small Cell Lung Carcinoma (NSCLC) can be used to look for differences in gene expression between the cell lines derived from different tumour samples, and to investigate if these differences can be used to cluster the cell lines into distinct groups. Dividing the cell lines into classes can help to improve diagnosis and the development of screens for new drug candidates. The micro-array data is first subjected to quality control analysis and then subsequently normalised using three alternate methods to reduce the chances of differences being artefacts resulting from the normalisation process. The final clustering into sub-classes was carried out in a conservative manner such that subclasses were consistent across all three normalisation methods. If there is structure in the cell line population it was expected that this would agree with histological classifications, but this was not found to be the case. To check the biological consistency of the sub-classes the set of most strongly differentially expressed genes was be identified for each pair of clusters to check if the genes that most strongly define sub-classes have biological functions consistent with NSCLC

    The school environment and adolescent physical activity and sedentary behaviour : A mixed-studies systematic review

    Get PDF
    There is increasing academic and policy interest in interventions aiming to promote young people's health by ensuring that the school environment supports healthy behaviours. The purpose of this review was to summarize the current evidence on school-based policy, physical and social-environmental influences on adolescent physical activity and sedentary behaviour. Electronic databases were searched to identify studies that (1) involved healthy adolescents (11-18years old), (2) investigated school-environmental influences and (3) reported a physical activity and/or sedentary behaviour outcome or theme. Findings were synthesized using a non-quantitative synthesis and thematic analysis. Ninety-three papers of mixed methodological quality were included. A range of school-based policy (e.g. break time length), physical (e.g. facilities) and social-environmental (e.g. teacher behaviours) factors were associated with adolescent physical activity, with limited research on sedentary behaviour. The mixed-studies synthesis revealed the importance of specific activity settings (type and location) and intramural sport opportunities for all students. Important physical education-related factors were a mastery-oriented motivational climate and autonomy supportive teaching behaviours. Qualitative evidence highlighted the influence of the wider school climate and shed light on complexities of the associations observed in the quantitative literature. This review identifies future research needs and discusses potential intervention approaches to be considered

    Mechanistic insight into RET kinase inhibitors targeting the DFG-out conformation in RET-rearranged cancer

    Get PDF
    Oncogenic fusion events have been identified in a broad range of tumors. Among them, RET rearrangements represent distinct and potentially druggable targets that are recurrently found in lung adenocarcinomas. Here, we provide further evidence that current anti-RET drugs may not be potent enough to induce durable responses in such tumors. We report that potent inhibitors such as AD80 or ponatinib that stably bind in the DFG-out conformation of RET may overcome these limitations and selectively kill RET-rearranged tumors. Using chemical genomics in conjunction with phosphoproteomic analyses in RET-rearranged cells we identify the CCDC6-RETI788N mutation and drug-induced MAPK pathway reactivation as possible mechanisms, by which tumors may escape the activity of RET inhibitors. Our data provide mechanistic insight into the druggability of RET kinase fusions that may be of help for the development of effective therapies targeting such tumors

    Early Detection of Erlotinib Treatment Response in NSCLC by 3′-Deoxy-3′-[18F]-Fluoro-L-Thymidine ([18F]FLT) Positron Emission Tomography (PET)

    Get PDF
    Background: Inhibition of the epidermal growth factor receptor (EGFR) has shown clinical success in patients with advanced non-small cell lung cancer (NSCLC). Somatic mutations of EGFR were found in lung adenocarcinoma that lead to exquisite dependency on EGFR signaling; thus patients with EGFR-mutant tumors are at high chance of response to EGFR inhibitors. However, imaging approaches affording early identification of tumor response in EGFR-dependent carcinomas have so far been lacking. Methodology/Principal Findings: We performed a systematic comparison of 3′-Deoxy-3′-[18F^{18}F]-fluoro-L-thymidine ([18F^{18}F]FLT) and 2-[18F^{18}F]-fluoro-2-deoxy-D-glucose ([18F^{18}F]FDG) positron emission tomography (PET) for their potential to identify response to EGFR inhibitors in a model of EGFR-dependent lung cancer early after treatment initiation. While erlotinib-sensitive tumors exhibited a striking and reproducible decrease in [18F^{18}F]FLT uptake after only two days of treatment, [18F^{18}F]FDG PET based imaging revealed no consistent reduction in tumor glucose uptake. In sensitive tumors, a decrease in [18F^{18}F]FLT PET but not [18F^{18}F]FDG PET uptake correlated with cell cycle arrest and induction of apoptosis. The reduction in [18F^{18}F]FLT PET signal at day 2 translated into dramatic tumor shrinkage four days later. Furthermore, the specificity of our results is confirmed by the complete lack of [18F^{18}F]FLT PET response of tumors expressing the T790M erlotinib resistance mutation of EGFR. Conclusions: [18F^{18}F]FLT PET enables robust identification of erlotinib response in EGFR-dependent tumors at a very early stage. [18F^{18}F]FLT PET imaging may represent an appropriate method for early prediction of response to EGFR TKI treatment in patients with NSCLC

    Practical examination of bystanders performing Basic Life Support in Germany: a prospective manikin study

    Get PDF
    <p>Abstract</p> <p>Background</p> <p>In an out-of-hospital emergency situation bystander intervention is essential for a sufficient functioning of the chain of rescue. The basic measures of cardiopulmonary resuscitation (Basic Life Support – BLS) by lay people are therefore definitely part of an effective emergency service of a patient needing resuscitation. Relevant knowledge is provided to the public by various course conceptions. The learning success concerning a one day first aid course ("LSM" course in Germany) has not been much investigated in the past. We investigated to what extent lay people could perform BLS correctly in a standardised manikin scenario. An aim of this study was to show how course repetitions affected success in performing BLS.</p> <p>Methods</p> <p>The "LSM course" was carried out in a standardised manner. We tested prospectively 100 participants in two groups (<b>Group 1: </b>Participants with previous attendance of a BLS course; <b>Group 2: </b>Participants with no previous attendance of a BLS course) in their practical abilities in BLS after the course. Success parameter was the correct performance of BLS in accordance with the current ERC guidelines.</p> <p>Results</p> <p>Twenty-two (22%) of the 100 investigated participants obtained satisfactory results in the practical performance of BLS. Participants with repeated participation in BLS obtained significantly better results (<b>Group 1: </b>32.7% vs. <b>Group 2: </b>10.4%; p < 0.01) than course participants with no relevant previous knowledge.</p> <p>Conclusion</p> <p>Only 22% of the investigated participants at the end of a "LSM course" were able to perform BLS satisfactorily according to the ERC guidelines. Participants who had previously attended comparable courses obtained significantly better results in the practical test. Through regular repetitions it seems to be possible to achieve, at least on the manikin, an improvement of the results in bystander resuscitation and, consequently, a better patient outcome. To validate this hypothesis further investigations are recommended by specialised societies.</p
    corecore