5 research outputs found
Building capacity to provide innovative interventions for early psychosis in mental health professionals
Abstract
Despite international guidelines, cognitive behavioural therapy for early psychosis (CBTep) is still under-used in daily clinical practice, mainly due to the lack of specific skills among mental health professionals. The aim of the study was to evaluate the feasibility and efficacy of a CBTep training course and to investigate the impact of trainees' variables on the level of skills acquisition. An intensive and graded CBTep training programme consisting of 112 hours of plenary lectures, 30 hours of group supervision and 3 months of practical training was offered to mental health professionals of 65 Italian community Mental Health Centers (CMHCs). CBT expert psychologists were used as the comparison group. Participants underwent pre-planned exams to test the level of skills acquisition and were requested to complete a satisfaction survey. The vast majority of participants (93%) completed the training with medium–high evaluation scores and reported to be highly satisfied with the course. CMHCs staff members achieved high scores in the examinations and no major differences between them and CBT expert psychologists were found in most of the final exam scores. Our results support the feasibility and the efficacy of the training to build specific CBTep capacity in a large cohort of professionals working in Italian Generalist Mental Health Services.
Key learning aims
(1)
To understand the capacity building of a short training programme in CBT for early psychosis dedicated to community mental health professionals.
(2)
To consider the optimal characteristics of a CBT training programme for early psychosis.
(3)
To reflect on the feasibility of a CBT training programme for early psychosis in the context of Italian Community Mental Health Services
Studi Fenomenologi Pengalaman Psikologis Lansia Dengan Komorbid Di Masa Pandemi Covid-19
Corona virus 2019 adalah kasus epidemi dengan infeksi pernapasan
yang terjadi di Wuhan yang pertama kali dilaporkan oleh WHO pada tanggal 31
Desember 2019. Penyakit Corona virus 2019 (COVID-19) merupakan penyakit
sistemik dan pernapasan akut yang dapat berkembang menjadi hipoksemia berat
dan memerlukan perawatan intensif. Virus COVID-19 dapat menyebar pada siapa
saja namun ada beberapa kelompok yang memiliki tingkat resiko tinggi terjangkit
virus corona diantaranya kelompok lansia. Penelitian yang dilakukan T. Chen et
al, melaporkan 799 orang pertama dengan penyakit yang dirawat di bangsal isolasi
rumah sakit di Wuhan, Cina. Kematian yang terjadi diantara mereka yang berusia
(40-60) tahun yang lebih cenderung memiliki komorbiditas seperti hipertensi,
diabetes, penyakit kardiovaskular, atau paru-paru kronis penyakit.
Pada kelompok lansia, kemampuan kognitif mengalami penurunan dan
kurangnya pemahaman terkait penyebaran virus COVID-19 sehingga kelompok
lansia menjadi lebih rentan terinfeksi. Lansia yang memiliki komorbid seperti
hipertensi, diabetes, penyakit jantung coroner, penyakit paru obstruktif dan
penyakit serebrovaskular akan memperparah keadaan lansia selama pandemi.
Wabah COVID-19 tidak hanya berdampak pada fisik melainkan juga berdampak
pada psikologis individu itu sendiri. Masalah psikologis yang sering muncul pada
lansia di masa pandemi yaitu stres, cemas dan depresi. Dukungan keluarga
sangat berperan penting dalam mengatasi gangguan psikologis pada lansia.
Lansia yang memiliki dukungan keluarga lebih mudah untuk mematuhi
pengobatan, sebaliknya lansia dengan penyakit bawaan tanpa dukungan keluarga
cenderung tidak mematuhi pengobatan. Oleh karena itu, sangat penting untuk
menanyakan tentang dukungan keluarga selama pengobatan pada lansia karena
hal ini dapat meningkatkan mekanisme coping dan kepatuhan pengobatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman psikologis
lansia dengan komorbid selama pandemi COVID-19. Tujuan khusus dari penelitian
ini adalah mengekplorasi perasaan lansia dengan komorbid di masa pandemi
COVID-19, mengekplorasi dukungan keluarga pada lansia dengan komorbid di
masa pandemi COVID-19, mengekplorasi dampak pandemi pada kehidupan
lansia dengan komorbid di masa pandemi COVID-19 dan mengekplorasi harapan
lansia dengan komorbid di masa pandemi COVID-19. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi interpretif untuk memahami
secara mendalam tentang fenomenologi pengalaman psikologis lansia denganix
komorbid di masa pandemi covid-19. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 10
orang yang berada wilayah kerja puskesmas Karang Rejo Kota Tarakan. Kriteria
inklusi pada penelitian ini yaitu (1) Kelompok usia >50 tahun dimasa pandemi
COVID-19; (2) Memiliki Komorbid Hipertensi, DM, Penyakit Jantung dan
Gangguan Pernapasan; (3) Bersedia menjadi partisipan.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam
secara langsung oleh peneliti dengan menggunakan pedoman wawancara
sebagai acuan. Proses wawancara dilakukan secara langsung kepada partisipan,
peneliti memastikan partisipan dan peneliti aman dan tidak terpapar virus COVID-
19. Sebelum penelitii melakukan pengumpulan data, peneliti melakukan tes rapid
antigen terlebih dahulu, menggunakan masker, face shield dan handscoon selama
pengumpulan data berlangsung. Hasil wawancara yang telah didapatkan
kemudian ditranskripsikan oleh peneliti untuk dianalisis. Analisis hasil penelitian ini
menggunakan metode Interpretative Psychological Analysis.
Hasil analisa penelitian ini didapatkan 10 tema yaitu: 1) Semakin lelah
dengan penyakit komorbid yang dialami; 2) Tegar menghadapi pandemi dengan
penyakit komorbidnya; 3) Merasa rentan terpapar virus COVID-19; 4) Takut mati
saat terkonfirm COVID-19; 5) Khawatir terhadap kesehatan keluarga; 6) Khawatir
dirinya terjangkit virus COVID-19; 7) Tenang karena keluarga melindungi agar
tidak tertular COVID-19 dan mendapatkan dukungan keluarga; 8) Pandemi
mempengaruhi ekonomi lansia; 9) Merasa pengobatan alternatif lebih efektif; dan
10) Berharap pandemi berakhir dan tidak memperburuk penyakit komorbidnya.
Berdasarkan hasil penelitian lansia yang merasa penyakitnya sudah
kronis dan berlangsung lama mulai merasa lelah dengan penyakit komorbid yang
di alami, serta belum ada kesiapan dari diri lansia untuk menghadapi pandemi
yang terjadi saat ini, lansia yang memiliki mekanisme koping yang positif akan
merasa tegar dalam menghadapi penyakit komorbinya karena memiliki respon
diri yang positif terhadap dirinya sendiri selama masa pengobatan. Pada
lansia yang memiliki tingkat pengetahuan yang rendah, mereka lebih cenderung
merasa rentan, informasi yang beredar di kalangan masyarakat terkait virus
COVID-19 dapat menimbulkan dampak yang negatif pada psikologis lansia,
menurut teori recreancy kerentanan terhadap penyakit yang dirasakan tergantung
pada nilai-nilai kepercayaan diri dan keyakinan, teori ini mengemukakan mereka
yang merasa lebih rentan akan menganggap penyakit itu sebagai ancaman., takut
menghadapi kematian akibat terkonfirmasi COVID-19 dimana lansia yang merasa
takut mati saat mengetahui dirinya terkonfirm COVID-19 mengangap keadaannya
tidak baik-baik saja, hal ini menciptakan rasa tekanan yang membuat lansia
semakin khawatir dengan kondisi kesehatannya. Selain itu lansia juga merasa
khawatir pada kesehatan keluarga dan khawatir dirinya terinfeksi virus covid-19,
rasa khawatir menjadi salah satu karakteristik penyakit menular yang bersama
dengan komorbid dapat menganggu kesehatan psikologis lansia selama pandemi.
Sedangkan lansia yang merasa tenang karena keluarga melindungi agar
tidak tertular COVID-19 dan mendapatkan dukungan keluarga dapat merasakan
kesejahteraan dan kepuasan hidup. Pentingnya dukungan keluarga menjadi
komponen dalam kesejahteraan dan kesehatan lansia, mendapatkan dukunganx
material saat terkonfirm covid 19 dari keluarga baik itu dukungan berupa fisik,
material dan psikologis sangat diperlukan untuk kualitas hidup dan kesehatan
lansia agar tetap terjaga selama masa pandemi Covid-19, selain itu
keluarga perlu memperhatikan dan memastikan bahwa lansia tidak terpapar virus
Covid-19. Peran keluarga dibutuhkan sebagai pencegahan preventif dalam
menghadapi COVID-19, jika keluarga paham dan memainkan perannya dengan
baik, akan sangat membantu dalam penanggulangan dan pencegahan
penyebaran COVID-19. Dampak yang terjadi pada lansia yang berasal dari
ekonomi kurang mampu mengalami penurunan ekonomi dan kehilangan
pekerjaan mereka. Selain itu lansia juga mengatakan bahwa mereka lebih memilih
untuk melakukan pengobatan alternatif atau obat herbal seperti meminum rebusan
sereh atau jahe karena menganggap pengobatan alternatif lebih efektif serta lansia
berharap agar pandemi COVID-19 segera berakhir dan tidak memperburuk kondisi
komorbidnya
Visual and Hearing Impairment Are Associated With Delirium in Hospitalized Patients: Results of a Multisite Prevalence Study
Sensory deficits are important risk factors for delirium but have been investigated in single-center studies and single clinical settings. This multicenter study aims to evaluate the association between hearing and visual impairment or bi-sensory impairment (visual and hearing impairment) and delirium
The association between low skeletal muscle mass and delirium: results from the nationwide multi-centre Italian Delirium Day 2017
Introduction Delirium and sarcopenia are common, although underdiagnosed, geriatric syndromes. Several pathological mechanisms can link delirium and low skeletal muscle mass, but few studies have investigated their association. We aimed to investigate (1) the association between delirium and low skeletal muscle mass and (2) the possible role of calf circumference mass in finding cases with delirium. Methods The analyses were conducted employing the cross-sectional "Delirium Day" initiative, on patient 65 years and older admitted to acute hospital medical wards, emergency departments, rehabilitation wards, nursing homes and hospices in Italy in 2017. Delirium was diagnosed as a 4 + score at the 4-AT scale. Low skeletal muscle mass was operationally defined as calf circumference <= 34 cm in males and <= 33 cm in females. Logistic regression models were used to investigate the association between low skeletal muscle mass and delirium. The discriminative ability of calf circumference was evaluated using non-parametric ROC analyses. Results A sample of 1675 patients was analyzed. In total, 73.6% of participants had low skeletal muscle mass and 24.1% exhibited delirium. Low skeletal muscle mass and delirium showed an independent association (OR: 1.50; 95% CI 1.09-2.08). In the subsample of patients without a diagnosis of dementia, the inclusion of calf circumference in a model based on age and sex significantly improved its discriminative accuracy [area under the curve (AUC) 0.69 vs 0.57, p < 0.001]. Discussion and conclusion Low muscle mass is independently associated with delirium. In patients without a previous diagnosis of dementia, calf circumference may help to better identify those who develop delirium