8 research outputs found

    Wawasan Kebangsaan dan Karakteristik Bangsa Masyarakat Daerah Bali Berdasarkan Nilai Kearifan Lokal

    Get PDF
    Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat yang majemuk dan memiliki berbagai macam keunikan di setiap daerah. Keunikan tersebut melekat dalam diri masyarakat sejak lama hingga saat ini. Keunikan yang dimiliki tidah hanya berupa fisik seperti bentuk alam, tradisi, maupun budaya. Melainkan juga nilai-nilai kearifan lokal daerah yang masih dijalankan hingga saat ini. Salah satu wilayah yang ada di Indonesia yang masih kental akan kearifan lokal yaitu Bali. Daerah yang banyak sekali spot pariwisata ini memiliki berbagai macam nilai kearifan lokal yang berdasarkan pada ajaran Agama Hindu. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut tidak hanya sebagai identitas atau simbol suatu daerah tetapi juga sebagai sumber tindakan bagi penduduknya. Kearifan lokal tersebut juga mengandung unsur-unsur yang sama akan wawasan serta karakteristik Bangsa Indonesia. Maka dari itu, tulisan ini dibuat untuk menganalisa lebih dalam mengenai wawasan kebangsaan serta karakteristik bangsa Indonesia yang terdapat dalam suatu nilai-nilai kearifan lokal penduduk Bali. Adanya kearifan lokal tersebut senantiasa mempertahankan keseimbangan antara Skala maupun Niskala yang terdiri dari Tri  Hita  Karana,  Panca Sradha, Tri Kona, Vasudhaiva Kutumbakam, Tri  Kaya Parisudha,  Catur Purusa  Artha, Loka Samasta Sukhina Bhavantu, Bhinneka Tunggal Ika, Tat Twam Asi, Yadnya, Ngayah, Sangkep, dan berbagai nilai-nilai kearifan lokal yang ada. Nilai-nilai tersebut memberikan suatu petunjuk hidup untuk berperilaku sesuai dengan wawasan kebangsaan serta memiliki pribadi yang baik sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia

    Multikulturalisme Desa Di Bali Dalam Kontrol Negara: Implementasi Dana Desa bagi Kegiatan Lintas Budaya di Badung dan Buleleng

    Get PDF
    This study examines the implementation of village funds related to the development of cross-cultural activities in Badung and Buleleng. Whether the pattern is instructive translation of sloganitic deconcentration tasks or participatory institutionalization that sets out the need for cross-cultural issues in the village. The Tamatea Study (2006), Parker (2017), and Gottowick (2010) discuss multiculturalism as the nature of local wisdom which is described as responding to people's daily problems. Another study, Kwon (2018) and Selenica (2018) looked at multiculturalism in the perspective of intercultural conflict. This research takes a different position from previous research by criticizing the construction of state control over multiculturalism that runs at the grassroots. Control construction is seen from the management of village funds for cross-cultural activities that are operationalized through guaranteed equality of ethnic and religious groups. The research paradigm is non-positive with case studies. Data collection methods utilize observation, interviews and documentation. The perspective used is interpretive with the theory of discourse. Research results show that state control is firmly embedded in the development of multiculturalism in villages. The nature of control is meaningfully driven, administrative control of budgeting has the potential to have an inhibiting effect on the development of the potential of the village concerned, including the development of multiculturalism activities in the village. Such as overlapping regulations on financial accountability, lack of socialization of regulations and assume that village human resources have understood every multicultural development program (especially the deconcentration program), injustice attitude views the potential of the village and bias behavior rules that are biased. Various attitudes are often shown by vertical government officials, such as sub-districts, offices (OPD), and ministries, which are counterproductive to oversee the development of the attitude of the development of multiculturalism in the village. Villages are forced to translate multicultural development programs that are trapped in administrative accountability which in reality compartmentalize the potential of the resources within

    MEMS Gradiometers for Attitude Determination on CubeSats

    Get PDF
    This paper presents the design, fabrication and testing of a new high sensitivity gravity sensor for attitude determination in CubeSats. The project is a collaboration between the Institute for Gravitational Research at the University of Glasgow and ÅAC-Clyde. The gravitational gradiometer takes advantages of the technology of microelectromechanical systems (MEMS) and determines the attitude of the satellite by a differential gravity measurement, the principle at the base of gravitational gradiometry. The capacitive readout allows to measure the rotation of the MEMS gradiometer and consequently evaluate the angle changes of the CubeSat. The developed geometry consists of two symmetrical masses connected to a fixed support by four thin flexure hinges. The all-Silicon sensor resonates at a frequency of 6 Hz, and has a total mass of less than 2 g. It is expected that the sensor geometry and the readout demonstrated would be suitable to achieve the performances required from CubeSat systems and detect a rotation of the small satellite of 1 degree, in order to offer performance comparable to other state-of-the-art sensors currently available on the market

    The Dilemma of Local Democracy in Bali: Two Sides of Power in the Election of Perbekel

    Get PDF
    This article discusses the dilemma of selecting perbekel in Bali. There is an opportunity to break down the kinship system among the masses of voters, who are in the two realms of customary and official power. In this position, there is an interest bias. The bet on the mass of voters positions the two in a potential division. This article starts with the basic problem of how the two sides of power work in selecting equipment in Bali. This article departs from an analysis of the institutional rational choice theoretical frame, one of the approaches in political science. This article shows the perceptional aspect related to the potential dilemma of the working of local democracy in Bali, which is considered to include the polarization of power between traditional villages and service villages. This research is descriptive-qualitative in nature and involves conducting interviews with traditional village figures, elites, and government agencies. The results obtained only guarantee electoral accountability. The village dilemma is between two powers: domination power on the one hand and hegemonic power, as well as power relations in building patron-client relationships in the essence of selecting village heads, or perbekel. In reality, the practice of exercising power in villages in their original autonomous capacity is more hegemonic in nature. This condition then allows for such a strong network to exist between residents. On the one hand, psychologically, the development of this network is also colored by calculations of economic interests. It is this calculation of interests that often disrupts relationships between citizens. Both in the capacity of official villages and traditional villages, including the presence of vertical government

    PENGGUNAAN INSTRUMEN IDENTITAS ETNIK DAN AGAMA OLEH ELITE POLlTIK DAN ELITE BIROKRASI DALAM PERSAINGAN MERAIH KEKUASAAN D1 KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR

    Get PDF
    Penelitian ini difokuskan pada perkembangan politik lokal dalam memahami kompleksitas elite politik dan elite birokrasi menggunakan instrumen identitas etnik dan agama dalam persaingan mencapai kekuasaan. Masalah penelitian ini, pertama, bagaimanakah jenis-jenis persaingan elite politik dan elite birokrasi dalam penggunaan identitas etnik dan agama sebagai instrumen mencapai kekuasaan? Kedua, jabatan atau asal pejabat elite politik dan elite birokrasi yang terlibat dalam persaingan untuk mencapai kekuasaan? ketiga, bagaimanakah caranya identitas etnik dan agama atau yang lainnya dipakai untuk mencapai kekuasaan, dan bagaimana pola penggunaannya oleh elite birokrasi dan apa alasan-alasan penggunaan pola-pola tersebut ? dan keempat, bagaimanakah implikasi dari penggunaan tiap pola persaingan terhadap masyarakat baik di kalangan pendukung dan bukan pendukung serta hubungan antara pendukung dan bukan pendukung di Kupang NTT. Studi kualitatif dan analisis deskriptif dengan mengambil unit pemerintah provinsi dan Kota di Kupang Nusa Tenggara Timur, yang sejak zaman kolonial provinsi ini telah dibagi dalam domain politik atas dasar etnik dan agama, setelah memasuki perkembangan modem dan otonomisasi terjadilah dominasi kekuasaan politik dan birokrasi oleh kelompok tertentu ditengah-tengah pertumbuhan kota menjadi keberagaman budaya serta pluralisme etnik dan agama yang mengakibatkan meningkatnya persaingan elite ditengah-tengah menguatnya sentimen kedua makro struktur di Kupang. Hasil penelitan ini yakni pertama, elite politik dan birokrasi benar-benar telah memobilisasi dukungan etnik dan agama untuk mempertahankan kekuasaan. Kedua, elite yang terlibat dalam kekuasaan baik politik dan birokrasi harus mempertimbangkan perimbangan etnik dan agama. Alasannya dilihat dari teori Michels untuk elite politik, Mosca untuk elite birokrasi. Michels lebih menekankan kekuasaan berakar dalam kepentingan elite dan Kelompok, elite ini muncul diakibatkan dari struktur social dan kelanggengan jabatan karena mereka bisa mengendalikan pengaruh politik dari partai dan massa. Mosca lebih condong pada tipe suatu masyarakat birokrasi ditentukan oleh sifat-sifat kelas yang menguasainya, untuk primordialisme etnik dan agama, Geertz melalui pendekatan primordialis dan instrumentalis. bahwa primordialisme tidak dapat dihilangkan tetapi harus diakomodir dalam ruang publik dan menghormatinya dalam kerangka multikultural di Kupang NTT, sedangkan situasi politik di Kupang lebih mengedepankan kategori instrumentalis. Studi ini menghasilkan pemahaman teoritik mempertahankan kekuasaan oleh elite politik dan elite birokrasi dengan menggunakan simbol identitas dari etnik serta agama, perilaku ini dalam studi kompetisi elite, etnik dan agama merupakan tinjaun dari perspektif elite dan primordiallinstrumentalis dengan asumsi elite telah menerima dukungan pembagian kekuasaan atas wilayah etnik dan agama. Dengan demikian identitas etnik pada era multikultural ini dianggap telah mulai mencair dengan menghargai derajat serta martabat etnik yang lain. Kajian elite, etnik dan agama menghasilakan temuan yakni para elite selalu menggolongkan perbedaan etnik dan agama berdasarkan dominasi yang telah tertanam dalam pikiran mereka, sentimen ini sebagai salah satu cara menyisiati munculnya prilaku yang lebih menonjolkan identitas diatas segala kepentingan kekuasaan. Sementara itu, jika ditempatkan dalam ranah politik maka disertasi ini memperlihatkan implikasi dari kajian-kajian mempertahankan kekuasaan melalui symbol identitas sebagai alat membedakan kepentingan etnik dan instrumen pengikat solidaritas hubungan sesama etnik dan agama tidak hanya pada ranah individu tetapi semata-mata merupakan ranah kelompok. Dengan merujuk pada hasil penelitian Bahar dan Uliweri, Jelas Bahar melihat hubungan elite dan etnik dapat manimbulkan loyalitas, sedangkan Uliweri melihat kegagalan komunikasi mengakibatkan kegagalan kinerja birokrasi, sehingga munculah berbagai streotipe antara etnik di Kupang. Kesamaan dan perbedaan serta tidak tersiratnya beberapa elemen primordial yang dimunculkan dari sentimen etnik dan agama di Kupang inilah yang menjadi pelengkap dari tuntutan primordialisme masyarakat majemuk karena kemajemukan juga ditimbulkan oleh ikatan-ikatan selain etnik dan agama juga kekerabatan kekeluargaan serta penyanggah bagi semua kelompok yang merasa memiliki satu kesamaan dari banyak perbedaan, tetapi kesamaan ini menjadikan mereka dapat exist jika dukungan primordial tetap kuat, karena apa yang dikemukan Geertz merupakan penyempuman penyatuan dalam pola dasar kekuasaan yang ditumbuhkan dari rasa budaya keetnik-an dan ke-agama-an pada akhimya bisa disepakati bersama untuk menjadikan pembagian kekuasaan tetap kuat dalam kerangka primordial

    Literaturverzeichnis

    No full text
    corecore