24 research outputs found

    KREATIVITAS GURU MENGAJAR SEJARAH DI MASA PANDEMI

    Get PDF
    In the era of globalization it is necessary for humans to adapt from this which can be provided with education as has been implemented in Indonesia in the function of national education in Law Number 20 of 2003 article 3. In addition, there is a need for educators as an important factor in realizing educational goals, but due to the situation the Covid-19 pandemic which created obstacles to the learning process. Therefore, it is necessary for teachers to innovate to develop teaching skills which in this case can arise when teachers have qualified teaching experience as well as PPG teachers by participating in teaching training enabling them to have teaching creativity. But that doesn't mean that Non-PPG teachers don't have teaching creativity because the teacher could have participated in other activities in developing their potential.Therefore, researchers conducted research using qualitative methods and adhered to the theory of trait creativity which is used as a benchmark for teaching creativity and was able to find out the difference between the teaching creativity of PPG and Non-PPG teachers which is possible if each teacher has its own teaching creativity by adjusting the constraints , situations and conditions. The results of the research found by researchers related to teacher creativity in teaching in planning, implementing and evaluating both PPG and Non-PPG history teachers where data can be proven through interviews, observations and questionnaires as a whole school with the theory of creativity (traits) properties of fluency, flexibility , originality in thinking, redefinition, elaboration, and sensitivity to problems when compared between the two, no differences were found which in this case were also reinforced by the results of student questionnaires which produced very good categories so that it could be concluded that creativity theory was valid.Keywords: Creativity, Teacher, History, School, Covid-19 Pandemic

    Kutukan dan berkah dalam cerita Jawa Kuna; Sebuah refleksi sikap arogan para pemilik kekuasaan

    Get PDF
    Old Javanese tales like Adiparwa and Sudamala are full of elements of curse cast by a man or a god. The curses take the form of words uttered full of emotion and anger to the addressee. Curses may result in a physical transformation or a change in the fate of the person cursed. A curse cast by a god demonstrates the power. A curse, however, eventually produces blessing. Curse and blessing are two things that are different from and opposite to one another.KeywordsKutukan, dewa (kekuasaan), arogansi, berkah

    Chinese Indonesians: Remembering, Distorting, Forgetting

    Get PDF

    Seleksi Plasma Nutfah Kedelai Toleran Kekeringan secara In Vitro dan Ex Vitro serta Karakterisasi Mekanisme Toleransinya terhadap Kekeringan

    Get PDF
    Stres kekeringan merupakan salah satu faktor lingkungan yang membatasi produksi kedelai. Tanaman mengembangkan mekanisme morfologi, fisiologi dan biokimia yang berbeda untuk mengatasi stress kekeringan. Kemampuan bertahan hidup di dalam kondisi stress tergantung pada kemampuan tanaman untuk menerima stimulus, menghasilkan dan meneruskan sinyal dan menginisiasi berbagai macam perubahan fisiologis dan biokimia. Akumulasi prolin dan gula pada tanaman tinggi merupakan respon fisiologis terhadap stress kekeringan. Prolin dan gula dianggap memegang peran penting dalam mekanisme pertahanan sel yang mengalami stress kekeringan. Stres kekeringan tidak hanya menginduksi akumulasi prolin dan gula, tetapi juga dapat menyebabkan peningkatan produksi reactive oxygen species (ROS) yang dapat menyebabkan kerusakan pada lipid membran, protein dan asam nukleat yang dapat dapat menyebabkan kematian sel. Tanaman mengembangkan mekanisme proteksi enzimatis yang dapat memulung (scavenge) ROS dan mencegah pengaruh merusak dari radikal bebas. Enzim antioksidan seperti superoksid dismutase (SOD), katalase (CAT) dan peroksidase (POX) merupakan enzim yang berperan penting dalam memulung ROS. Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan dari penelitian hibah bersaing pada tahun ke tiga ini adalah: (1) mengamati pengaruh stress kekeringan pada fase pertumbuhan vegetatif kedelai pada kandungan prolin dan gula total terlarut serta aktivitas enzim antioksidan (SOD, CAT dan POX), (2) mempelajari perubahan aktivitas enzim oksidatif pada kecambah kedelai yang mengalami stress kekeringan, (3) mengamati apakah aktivitas enzim antioksidan tertentu merupakan indikator untuk toleransi kekeringan dari tanaman kedelai. Studi ini juga dapat memberikan informasi yang bermanfaat terhadap pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme toleransi kekeringan. Pemahaman tentang mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan akan dapat membantu program pemuliaan kedelai untuk toleransi terhadap cekaman kekeringan. Karakterisasi mekanisme untuk toleransi terhadap stres kekeringan dilakukan dengan analisis karakter fisiologis (prolin dan gula total terlarut) dan biokimia (aktivitas SOD, CAT dan POX). Analisis fisiologis (prolin dan gula total terlarut) dan biokimia (aktifitas SOD, katalase dan peroksidase) untuk toleransi terhadap cekaman kekeringan akan dilakukan pada populasi tanaman kedelai yang ditanam dalam kondisi stres PEG dan non-stres PEG pada fase perkecambahan atau fase vegetatif. Analisis dilakukan pada genotipe kelompok toleran dan peka kekeringan. Analisis dilakukan menggunakan berbagai metode standar untuk melakukan analisis terhadap berbagai karakter fisiologis dan biokimia tanaman. Penurunan potensial air pada fase pertumbuhan vegetatif kedelai mampu meningkatkan akumulasi prolin dan gula total terlarut. Peningkatan akumulasi prolin dan gula total terlarut dalam kondisi stres kekeringan bervariasi diantara genotip kedelai yang diuji. Akumulasi prolin dapat digunakan sebagai indikator toleransi kekeringan, sedangkan peningkatan akumulasi gula total terlarut dalam kondisi stres kekeringan tidak berkorelasi dengan tingkat toleransi varietas kedelai terhadap stres kekeringan. Varietas toleran mengalami peningkatan akumulasi prolin lebih tinggi dengan kecenderungan memiliki pola yang teratur, dibandingkan dengan varietas peka. Penurunan potensial air selama fase pertumbuhan vegetatif kedelai juga menyebabkan perubahan aktivitas enzim SOD dan POX pada jaringan daun dan akar. Perubahan aktifitas SOD dan POX di bawah kondisi stres kekeringan sangat dipengaruhi oleh varietas kedelai yang diuji dan besarnya penurunan potensial air. Perubahan aktivitas SOD dan POX pada jaringan daun di bawah kondisi stres kekeringan berkorelasi dengan tingkat toleransi varietas terhadap stres kekeringan. Penurunan potensial air menyebabkan peningkatan aktifitas SOD pada jaringan daun dari varietas toleran Dieng dan Tidar tetapi menurunkan aktifitas SOD pada varietas peka. Sebaliknya penurunan potensial air menurunkan aktivitas POX pada jaringan daun dari verietas toleran dan meningkatkan aktivitas POX pada varietas peka. Perubahan aktifitas SOD, CAT dan POX di bawah kondisi stres kekeringan pada fase perkecambahan juga dipengaruhi oleh varietas kedelai yang diuji dan besarnya penurunan potensial air. Pada potensial -0,67 Mps, penurunan aktivitas SOD pada jaringan daun dan aktivitas peroksidase pada jaringan akar dari varietas toleran lebih rendah dibandingkan dengan varietas peka. Sedangkan aktivitas CAT pada jaringan hipokotil dan akar antara varietas toleran dan peka tidak menunjukkan pola yang jelas

    Genetic variability of porang populations (Amorphophallus muelleri) in West Java and Central Java based on trnL intron sequences

    Get PDF
    Porang (A. muelleri) is herbaceous plant which is included in the family of Araceae. Previous studies showed morphological and genetic variation in A. muelleri. The suitable molecular marker used to indicate genetic variation is trnL intron. It is based on, trnL intron is non-coding regions of chloroplast genome which evolved more rapidly than coding region. The present study is aimed to find out genetic variability and phylogenetic relationship among A. muelleri populations in Central Java and West Java which is based on trnL intron sequences. Porang samples are obtained from central Java (Karangtengah, Wonogiri, Grobogan and Brebes) and West Java (Cisompet Garut). trnL sequences were analyzed by maximum parsimony and neighbor joining method. trnL intron has singletone variation as many as 13 sites, i.e on the order of squences: 49, 109, 144, 145, 159, 253, 297, 298, 300, 302, 379, 461, 463. In addition, trnL intron has 9 parsimony informative sites, i.e on the order of squences: 160, 184, 299, 409, 452, 454, 513, 527, 534. The highest number of haplotypes came from Grobogan populations with values diversity of haplotype is 1, while the least number of haplotypes came from Karangtengah and Wonogiri populations with diversity of haplotype is 0.000. phylogenetic tree shows the clustering of populations into three clade, first clade is A. variabilis and second clade are A. ochroleucus, A. longituberosus and A. sumawongii as outgroup and thirth clade divided into two subclade porang are clustered based on their population in Central Java and West Jav

    The Dynamic of Calcium Oxalate (CaOx) in Porang Corms (Amorphophallus muelleri Blume) at Different Harvest Time

    Get PDF
    The research aims toobserve the influence of harvestingtime onthe change of calcium oxalate (CaOx) content and crystal density in Porangcorms. The corms were harvested at different times, i.e.,(1) two weeks before the plants shed (R0-1), (2) when the plants shed (R0),and (3) two weeks after the plants shed (R0+1). CaOx was obtained using the modified extracting method. Microscopic observa-tions were obtained from the slices of the edge and centerpart of porangcorms. Parameter observed includingCaOx content, corm weight,shape,and density of CaOx crystal. CaOx content and crystal density in corms were analyzed using One way ANOVA. If the results are significant,it will be followed by Tukey Test α 0.05. In the meantime, the relation between CaOx content and corm weight was analyzed using Correlation Test Bivariate. The results showed that CaOx content was relatively higher in porangcorms, i.e.,15.98 ± 0.60g/100g.On the other hand, the increasing of CaOx content might improve corm weight. The total densi-ty of druse, styloid,and prism crystal was pretty high in corms obtained when the plants shed compared toanother harvest time, i.e.,1,494 ± 286; 31,280 ± 17,406 and 6,256 ± 1,533 crystals/cm2. Raphide crystal density, by contrast,increased in corms obtained after the plants shed, i.e.,1,656 ± 368 crystals/cm2. Total CaOx crystal density in the edge parts of corms harvested when the plants shed was pro-portionately higher than in the other harvest times, i.e.,12,292 ± 4,687.89 crys-tals/cm2.In contrast, CaOx crystal densities in the centerparts of corms werenot much different at three harvesting times. The density of druse and prism crystals was somewhat higher in the centerpart of corms thanin the edge parts. In opposi-tion to, the density of raphide and styloid crystals was fairly higher in the edge part of corms than it was in the centerparts. However, only raphide crystal density found in the edge and centerpart of corms was significantly affected by harvest time from all these results

    Genetic Diversity Study Among Six Genera of Amaranth Family Found in Malang Based on RAPD Marker

    Get PDF
    Genera of amaranth family tend to have phenotypic variation partly caused by environmental factor. Phenotypic variation was the result of interaction between genetic and environmental factors. One of molecular markers that is widely used for detecting genetic variation is RAPD. RAPD is used for polymorphism detections and is now possible for identifiying a large number of loci and ascribes unambiguous taxonomic and genetic relationships among different taxa. Members of amaranth family found in Indonesia are Amaranthus, Celosia, Aerva, Alternanthera, Achyranthes, Gomphrena, Salsola, and Iresine. Six genera of which (Amaranthus, Celosia, Aerva, Alternanthera, Achyranthes, and Gomphrena) were observed in this study. DNA was extracted from fresh young leaves using Doyle and Doyles method with modification in the extraction buffer used. RAPD analyses were carried out with 20 decamer primers from Kit A of Operon Technology. DNA was amplified using master cycler gradient Eppendorf with 35 cycles. RAPD products were separated on 1,5 % agarose gels and detected by staining with ethidium bromide. There were 374 bands generated in 18 random primers. The number of monomorphic bands, polymorphic bands, and the percentage of polymorphism were 21 bands, 353 bands, and 94,38 % respectively. The high number and percentage of polymorphic bands revealed genomic DNA variation. This variation is in accordance with phenotypic variation detected in this experiment. Therefore, it can be concluded that, based on DNA polymorphism detected by RAPD, Amaranth family can be classified into two sub families namely Amaranthoideae and Gomphrenoideae

    Identifikasi Gen Penyandi Percabangan pada Dua galur Kenaf Hasil Mutasi dengan Ethyl Methane Sulfonate (EMS) dan Mekanismenya dalam Pengontrolan Pembentukan cabang

    Get PDF
    Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan jumlah dan perilaku gen, serta mekanisme dalam mengontrol percabangan mutan kenaf hasil perlakuan Ethyl Methane Sulfonate (EMS) melalui teknik persilangan, fisiologi dan molekuler. Galur murni tipe percabangan basal disilangkan dengan galur murni tipe percabangan apikal. Turunan pertama (Fl) dari persilangan tersebut diamati. Secara garis besar terdapat paling tidak 3 kemungkinan yang terjadi yaitu : 1. Bila ada satu gen (tipe percabangan yang satu adalah merupakan alel tipe yang lainnya) dan hubungan antar alelnya dominan penuh , maka Fl hasil persilangan hanya memunculkan 1 sifat bercabang saja yaitu yang lebih dominan, dan F2 akan terdiri dua tipe cabang tersebut dengan perbandingan 3:1. 2. Bila ada 2 gen dan keduanya dominan penuh maka Fl berfenotip gabungan antara percabangan basal dan apikal, F2 akan bersegregasi dengan rasio 9 tanaman bertipe cabang gabungan: 3 tanaman bertipe cabang basal : 3 tanaman bertipe cabang apikal : 1 tanaman tidak bercabang. 3. Bila kedua tipe percabangan dikontrol oleh 2 alel resesif maka Fl adalah tipe tidak bercabang dan F2 bersegregasi menjadi 9 tidak bercabang : 3 tanaman bertipe cabang basal : 3 tanaman bertipe cabang apikal : 1 tanaman tipe bercabang gabungan. Persilangan antara dua tipe percabangan ini telah dilakukan pada penelitian sebelumnya (Arumingtyas, tidak dipublikasikan), sehingga pada penelitian ini akan dilakukan penanaman Fl yang selanjutnya dibiarkan selfing (penyerbukan sendiri) untuk mendapatkan F2 untuk dilihat pola segregasinya. Identifikasi sekuen gen cabang secara molekuler dilakukan PCR dengan berbagai primer cabang dan dilanjutkan dengan sekuensing untuk menentukan sekuen gen cabang tersebut. Isolasi DNA dilakukan menggunakan metode Doyle dan Doyle (1987), menggunakan bahan tanaman biji dan daun muda. Penggunaan biji dimaksudkan untuk menjajagi kemungkinan deteksi lebih dini terhadap gen percabangan. PCR menggunakan 5 pasang primer, yang terdiri dari 4 primer spesifik yang diturunkan dari sekuen gen percabangan AUX1, AXR1 dari Arabidopsis thaliana, RMS1 dari Pisum sativum, dan Ls dari Lycopersicum esculentum, serta 1 pasang primer degenerate yang diturunkan dari sekuen yang terkonservasi dari gen-gen LAS, Ls dan Moc. Program yang digunakan 1 menit denaturasi pada suhu 93 °C, 30 detik annealing pada 56 °C, 1 menit ekstensi pada suhu 72 °C, sebanyak 35 siklus. Pemanasan awal dilakukan selama 1 menit pada suhu 93 °C, dan fase pemanjangan terakhir dilakukan selama 10 menit pada suhu 72 °C. Sekuensing dilakukan dengan prosedur Big Dye Terminator mix pada mesin ABI 377A sequencer. Identifikasi fisiologi dilakukan dengan mengukur konsentrasi auksin pada bagian pucuk, batang (cabang apikal, tengah dan basal), dan akar untuk menduga mekanisme pengontrolan cabang. Keturunan pertama dari persilangan kontrol dengan galur bercabang basal maupun bercabang apikal menghasilkan keturunan yang hampir 100% bercabang baik basal atau apikal. Hal ini menunjukkan bahwa alel yang mengontrol sifat bercabang basal maupun apikal adalah alel resesif. Sementara keturunan pertama (Fl) persilangan antara galur bercabang basal dengan galur bercabang apikal terdiri dari 7 tanaman tidak bercabang, 7 tanaman bercabang apikal dan 1 tanaman bercabang basal apikal. Hal ini mengindikasikan adanya 2 gen yang mengontrol sifat bercabang. Akan tetapi konfirmasi melalui penelusuran penurunan sifat bercabang serta segregasi alel-alel bercabang dan tidak bercabang pada keturunan kedua (F2) menunjukkan bahwa tipe percabangan basal merupakan hasil fenomena epigenetik, yang tidak lagi bersegregasi pada keturunan ketiga (F3). Sedangkan tipe percabangan apikal memang benar merupakan hasil ekspresi suatu gen percabangan dan masih terkonservasi sampai ke F3. Hasil identifikasi gen percabangan melalui teknik PCR dan sekuensing menunjukkan bahwa gen percabangan pada kenaf dapat diamplifikasi dengan primer AUX1 dan AXR1 tetapi tidak dapat diamplifikasi oleh primer Ls, RMS1, dan Llm. Hal ini menunjukkan bahwa gen percabangan pada kenaf homolog dengan gen percabangan pada Arabidopsis thaliana. Analisis molekuler mengindikasikan adanya gen yang berperanan dalam signaling auksin tetapi untuk tipe percabangan berbeda mungkin dikontrol oleh alel yang berbeda untuk lokus gen yang berkaitan dengan signaling auksin. Gen tersebut merupakan anggota dari famili gen pengontrol percabangan dan beraksi pada fase akhir pemunculan cabang melalui pengontrolan signaling auksin untuk menentukan apakah cabang akan berkembang atau tidak. PCR untuk DNA biji menghasilkan pita yang sangat tipis dan berukuran kecil (200 bp) berbeda dengan hasil PCR dengan menggunakan template DNA yang diisolasi dari daun. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan susunan gen dalam biji dengan tanaman dewasa. Pengamatan fisiologi melalui pengukuran kandungar auksin menunjukkan bahwa tanaman bercabang mempunyai kandungan auksin di cabang yang lebih rendah dibanding pada ujung batang. Pemunculan cabang dipengaruhi oleh kandungan auksin pada ujung batang dan ujung cabang. Kandungan auksin yang lebih tinggi pada ujung cabang dibandingkan dengan pada ujung batang tampaknya mendorong pemunculan cabang. Sementara kandungan auksin yang rendah pada akar mungkin berhubungan dengan keberadaan sitokinin. Hal ini mengindikasikan bahwa gen AUX1 mengontrol pembentukan cabang dengan cara mengontrol kandungan auksin pada ujung b

    Studi Perbedaan Efektifitas Antara. Metode Manajemen Kelas Good Behavior Game Dengan Metode Manajemen Kelas Yang Selama Ini Diterapkan

    Get PDF
    Dalam proses belajar mengajar yang dida]amnya terdapat tranfer pengetahuan dari guru kepada murid diperlukan situasi dan kondisi kelas yang kondusif. Yaitu situasi dan kondisi kelas yang tenang, teratur, tertib, ada hubungan positif antara guru dan murid namun tidak kaku dimana siswa-siswanya tampak aktit: partisipatif, produktif dan tidak menunjukkan perilaku negatif yang mengganggu jalannya pelajaran. Keadaan lni bisa dicapai melalui penerapan manajemen kelas yang tepat yang sesuai dengan permasaJahan yang sedang dihadapi. Jika hal tersebut dilaksanakan dengan benar, maka kehidupan kelas akan menjadi menyenangkan sebagai arena belajar sehingga transfer pengetahllan dapat berjalan dengan lancar. Namun ironisnya selama ini dikelas-kelas terutama pada sistem pendidikan di Indonesia hanya menggunakan manajemen kelas yang relatif konvensional dan kurang menarik perhatian siswa-siswanya

    Intervensi Terhadap Perilaku Bermasalah Siswa Selama Proses Belajar Mengajar Melalui Penerapan Metode Classroom Management

    Get PDF
    Kegiatan pengabdian kepada masyarakat kali ini dapat dilaksanakan dengan lancar dan baik, sehingga bisa memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan bagi peserta. Bagi guru , materi dan metode yang diberikan dirasakan sudah bisa diterima dan dipahami dengan maksimaJ, walaupun latar belakang disiplin i1mu yang mereka miliki beragam dan mata ajaran yang mereka berikan juga bermacam-macam. Akan tetapi mereka merasa bahwa metode manajemen kelas Token Economy dan Good Behavior Game ini dapat digunakan untuk semua mata pelajaran, sehingga latar belakang pendidikan yang beragam ini tidaklah menjadi hambatan
    corecore