1,333 research outputs found
The AYA box: a patient centered instrument in communication with adolescents and young adults with cancer and their care giving parents
Water harvesting and sediment trapping in exclosures: a gully diversion experiment in the Tigray Highlands, Ethiopia
Scrutinizing the mechanisms underlying the induction of anemia of inflammation through GPI-mediated modulation of macrophage activation in a model of African trypanosomiasis
A review of implant provision for hypodontia patients within a Scottish referral centre
Background: Implant treatment to replace congenitally missing teeth often involves multidisciplinary input in a secondary care environment. High quality patient care requires an in-depth knowledge of treatment requirements.
Aim: This service review aimed to determine treatment needs, efficiency of service and outcomes achieved in hypodontia patients. It also aimed to determine any specific difficulties encountered in service provision, and suggest methods to overcome these.
Methods: Hypodontia patients in the Unit of Periodontics of the Scottish referral centre under consideration, who had implant placement and fixed restoration, or review completed over a 31 month period, were included. A standardised data collection form was developed and completed with reference to the patient's clinical record. Information was collected with regard to: the indication for implant treatment and its extent; the need for, complexity and duration of orthodontic treatment; the need for bone grafting and the techniques employed and indicators of implant success.
Conclusion: Implant survival and success rates were high for those patients reviewed. Incidence of biological complications compared very favourably with the literature
Strongly anisotropic spin relaxation in graphene/transition metal dichalcogenide heterostructures at room temperature
Graphene has emerged as the foremost material for future two-dimensional
spintronics due to its tuneable electronic properties. In graphene, spin
information can be transported over long distances and, in principle, be
manipulated by using magnetic correlations or large spin-orbit coupling (SOC)
induced by proximity effects. In particular, a dramatic SOC enhancement has
been predicted when interfacing graphene with a semiconducting transition metal
dechalcogenide, such as tungsten disulphide (WS). Signatures of such an
enhancement have recently been reported but the nature of the spin relaxation
in these systems remains unknown. Here, we unambiguously demonstrate
anisotropic spin dynamics in bilayer heterostructures comprising graphene and
WS. By using out-of-plane spin precession, we show that the spin lifetime
is largest when the spins point out of the graphene plane. Moreover, we observe
that the spin lifetime varies over one order of magnitude depending on the spin
orientation, indicating that the strong spin-valley coupling in WS is
imprinted in the bilayer and felt by the propagating spins. These findings
provide a rich platform to explore coupled spin-valley phenomena and offer
novel spin manipulation strategies based on spin relaxation anisotropy in
two-dimensional materials
Effectiveness of rotavirus vaccination in prevention of hospital admissions for rotavirus gastroenteritis among young children in Belgium : case-control study
Objective : To evaluate the effectiveness of rotavirus vaccination among young children in Belgium.
Design : Prospective case-control study.
Setting : Random sample of 39 Belgian hospitals, February 2008 to June 2010.
Participants : 215 children admitted to hospital with rotavirus gastroenteritis confirmed by polymerase chain reaction and 276 age and hospital matched controls. All children were of an eligible age to have received rotavirus vaccination (that is, born after 1 October 2006 and aged >= 14 weeks).
Main outcome measure : Vaccination status of children admitted to hospital with rotavirus gastroenteritis and matched controls.
Results : 99 children (48%) admitted with rotavirus gastroenteritis and 244 (91%) controls had received at least one dose of any rotavirus vaccine (P= 12 months. The G2P[4] genotype accounted for 52% of cases confirmed by polymerase chain reaction with eligible matched controls. Vaccine effectiveness was 85% (64% to 94%) against G2P[4] and 95% (78% to 99%) against G1P[8]. In 25% of cases confirmed by polymerase chain reaction with eligible matched controls, there was reported co-infection with adenovirus, astrovirus and/or norovirus. Vaccine effectiveness against co-infected cases was 86% (52% to 96%). Effectiveness of at least one dose of any rotavirus vaccine (intention to vaccinate analysis) was 91% (82% to 95%).
Conclusions : Rotavirus vaccination is effective for the prevention of admission to hospital for rotavirus gastroenteritis among young children in Belgium, despite the high prevalence of G2P[4] and viral co-infection
Back-translation for discovering distant protein homologies
Frameshift mutations in protein-coding DNA sequences produce a drastic change
in the resulting protein sequence, which prevents classic protein alignment
methods from revealing the proteins' common origin. Moreover, when a large
number of substitutions are additionally involved in the divergence, the
homology detection becomes difficult even at the DNA level. To cope with this
situation, we propose a novel method to infer distant homology relations of two
proteins, that accounts for frameshift and point mutations that may have
affected the coding sequences. We design a dynamic programming alignment
algorithm over memory-efficient graph representations of the complete set of
putative DNA sequences of each protein, with the goal of determining the two
putative DNA sequences which have the best scoring alignment under a powerful
scoring system designed to reflect the most probable evolutionary process. This
allows us to uncover evolutionary information that is not captured by
traditional alignment methods, which is confirmed by biologically significant
examples.Comment: The 9th International Workshop in Algorithms in Bioinformatics
(WABI), Philadelphia : \'Etats-Unis d'Am\'erique (2009
PEMBINAAN NARAPIDANA YANG MENGALAMI GANGGUAN JIWA DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN
PEMBINAAN NARAPIDANA YANG MENGALAMI GANGGUAN JIWADI LEMBAGA PEMASYARAKATAN Agusriadi Dahlan Ali Suhaimi ABSTRAKLembaga Pemasyarakatan sebelumnya disebut Penjara adalah tempat orang-orang yang melakukan kriminalitas dan pelanggaran hukum lainnya agar mereka dapat menyadari kesalahannya dan mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka perbuat. Hukuman yang mereka terima sebagai balasan yang setimpal terhadap perbuatan mereka, meskipun nilai-nilai kemanusiaan beserta hak asasinya kurang diperhatikan. Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat yang stressfull atau menekan yang dapat berpengaruh terhadap fisik dan kejiwaan (psikologi) seseorang ditambah kecemasan yang berlebihan sehingga muncul depresi yang mengakibatkan seseorang melakukan bunuh diri. Akibat stress melahirkan depresi dan depresi biasanya akan terjadi kegoncangan kejiwaan yang luar biasa yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi tidak waras (gila). Undang-Undang No.12/1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan maupun Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan tidak menjelaskan ketentuan terhadap narapidana yang gila di dalam lapas sebagaimana yang pernah terjadi di Lapas Kelas II-A Lambaro, Aceh Besar dan Rutan Klas I Tanjung Gusta, Medan. Selanjutnya yang bersangkutan dikirim ke Lapas Kelas Klass II-B Meulaboh tanggal 27 Januari 2014. Selama tujuh hari di Lapas Klass II-B Meulaboh Zabir bin Ilyas kemudian di titipkan di Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh karena penyakitnya sudah mencapai stadium empat untuk mendapatkan perawatan dan penyembuhan kejiwaannya. Bagaimanakah pengaturan dan pembinaan terhadap narapidana yang mengalami gangguan kejiwaan dalam Lembaga Pemasyarakatan. Kemudian bagaimanakah kepastian hukum bagi narapidana yang sedang mengalami gangguan kejiwaan, dan bagaimana status hukum bagi narapidana yang sembuh dari gangguan kejiwaan. Penelitian dan pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan dan pembinaan terhadap narapidana yang mengalami gangguan kejiwaan dalam Lapas dan mengidentifikasi kepastian hukum bagi narapidana yang sedang mengalami gangguan kejiwaan serta mengetahui status hukum bagi narapidana yang sembuh dari gangguan kejiwaan.Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan jenis penelitian deskriptis analisis dalam rangka untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, norma maupun doktrin-doktrin hukum dengan pendekatan undang-undang, kasus. Sumber data adalah data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengaturan tentang perawatan narapidana yang mengalami gangguan kejiwaan dalam Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia belum diatur, baik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan maupun PP No. 99 Tahun 2012 tentang PP No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP No.32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun bila narapidana sakit atau gangguan kesehatan lainnya yang tidak termasuk gangguan kejiwaan ada aturan tentang perawatan medis. Adapun mengenai narapidana yang mengalami gangguan kejiwaan di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia hingga kini belum ada kepastian hukum karena kasus seperti ini sangat langka terjadi di Indonesia. Pihak otoritas hanya menggunakan hak diskresi yang dimilikinya untuk menyelesaikan kasus tersebut sebagaimana terjadi di Lapas Porong Surabaya. Tetapi di Aceh kasus ini baru pertama kali terjadi yang dialami Zabir bin Ilyas pada tahun 2014. Pimpinan Lapas memutuskan memasukkan Zabir bin Ilyas ke Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh. Terkait status hukum narapidana yang sembuh dari gangguan kejiwaan masih tetap sebagai tersangka (ditahan). Tidak ada keringanan hukuman apalagi sampai dibebaskan sebelum masa hukuman habis dijalankan. Hingga kini tidak ada satupun aturan yang mengatur baik secara implisit maupun ekplisit yang mengatur tentang narapidana yang sembuh dari penyakit kejiwaan (gila).Disarankan kepada Pemerintah agar merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan dan memasukkan salah satu pasal yang mengatur mengenai narapidana yang mengalami gangguan kejiwaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Agar terwujudnya kepastian hukum di Indonesia mengenai narapidana yang mengalami gangguan kejiwaan dalam lebaga pemasyarakatan untuk membuat regulasi legal baik berupa undang-undang khusus atau melalui Peraturan Pemerintah. Kemudian disarankan agar narapidana yang mengalami gangguan kejiwaan dalam Lembaga Pemasyarakatan dapat dibebaskan dan dikembalikan ke keluarganya atau dimasukkan ke rumah sakit jiwa hingga sembuh.Kata Kunci : Pembinaan, Narapidana, Gangguan Jiwa, Lembaga Pemasyarakatan.Banda Ace
- …
