10 research outputs found

    Problematika Pengelolaan Mata Kuliah Berpraktek dalam Sistem Pendidikan dan Pengajaran Jarak Jauh

    Get PDF
    AbstrakMata kuliah berpraktek dalam di Universitas Terbuka merupakan salah satu syarat mutlak yang harus diterapkan. Mata kuliah berpraktek tersebut diantaranya adalah Pemantapan Kemampuan Profesional (PKP) dan Pemantapan Kemampuan Mengajar (PKM). Permasalahan yang muncul dari pelaksanaan matakuliah berraktek ini adalah belum terpenuhinya target kualitatif atau kualitas nya. Lemahnya standar ketaatan dan integritas Kelompok Belajar/Pokjar dan Pembimbing/Supervisor-1/ Supervisor-2 pada sistem dan prosedur merupakan faktor utama penyebab permasalahan ini. Hal ini terjadi karena lemahnya sistem recruitment supervisor dan tidak dimilikinya sistem pengelolaan mata kuliah berpraktek yang berkelanjutan.  Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan berbagai persoalan dan problematika pengelolaan mata kuliah berpraktek meliputi: (1) faktor-faktor determinan yang mempengaruhi kinerja efektif pengelolaan program mata kuliah berpraktek;  dan (2)  model  pengelolaan mata kuliah berpraktek yang mampu memberikan dampak positif bagi pencapaian tujuan pengelolaannya. Kajian ini dilakukan di UPBJJ-UT Malang melalui rancangan penelitian dan pengembangan. Tahap pertama yaitu penelitian analisis kinerja pengelolaan program dan kedua adalah pemodelan (modelling) mata kuliah berpraktek. Pada tahap penelitian kinerja, metode yang digunakan adalah evaluasi sistematis, sedangkan tahap kedua digunakan metode modelling system. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa kinerja pengelolaan mata kuliah berpraktek menghasilkan capaian target kuantitatif yang memuaskan, namun capaian target kualitatif atau kualitas substantif hasil proses belajar-mengajar mata kuliah berpraktek sangat tidak memuaskan. Temuan penting dalam kajian ini bahwa faktor integritas mitra kerja, profesionalitas para pembimbing dan desain pengelolaan yang berperspektif sustainable-managerial-model memberi pengaruh signifikan terhadap  keberhasilan pengelolaan mata kuliah berpraktek dan terhadap hasil belajar. Sekalipun pembenahan cara kerja lama pengelolaan mata kuliah berpraktek ke model sustainable-managerial-model berimplikasi pada meningkatnya komponen pembiayaan, namun peningkatan tersebut masih justifiable sebagai bentuk peningkatan layanan jaminan kualitas program. AbstractPracticing courses at the Open University are one of the absolute requirements that must be applied. These practical courses include Strengthening Professional Ability (PKP) and Strengthening Teaching Ability (PKM). The problem that arises from the implementation of this practical course is that the qualitative or quality targets have not been met. Weak standards of compliance and integrity of the Study Group / Pokjar and Supervisor / Supervisor-1 / Supervisor-2 in systems and procedures are the main factors causing this problem. This occurs due to the weakness of the recruitment system for supervisors and the lack of a management system for sustainable practice courses. The purpose of this study is to explain various problems and problems in the management of practicing courses, including: (1) determinant factors that affect the effective performance of the practice course program management; and (2) a practice course management model capable of having a positive impact on the achievement of its management objectives. This study was conducted at UPBJJ-UT Malang through a research and development design. The first stage is research on analysis of program management performance and the second is modeling (modeling) courses in practice. In the performance research stage, the method used is systematic evaluation, while the second stage uses the modeling system method.The results of this study indicate that the management performance of practice subjects produces satisfactory quantitative target achievements, but the qualitative target achievements or the substantive quality of the results of the teaching and learning process of practice subjects are very unsatisfactory. The important finding in this study is that the factors of work partner integrity, professionalism of the supervisors and management design with a sustainable-managerial-model perspective have a significant influence on the success of managing practical courses and on learning outcomes. Even though reforming the old way of working in practicing course management to a sustainable-managerial-model has implications for an increase in the financing component, this increase is still justifiable as a form of improving program quality assurance services

    Restorative Justice Tindak Pidana “Elopement” Hukum Adat dalam Konstruksi Hukum Pidana Positif Indonesia

    Get PDF
    This study examines the applicability of “elopement” customary law (“elopement”) in the construction of criminal law in Indonesia. This legal-system study uses a socio-legal methodology with the research locus in Mataram Marga Village, Sukadana District, East Lampung; Sade Village, Central Lombok, NTB; and Tenganan Karangasem Bali, with three findings. First, customary law (legal-culture) in determining the meaning and meaning of adult (legal and legitimate) is different from the meaning of adult according to positive law (Civil Code, Criminal Code and Law 1/1974). Second, the legal-structure of positive criminal law is superior to customary law or living-law (tradition) in the construction of restorative-justice through "elopement" legal events. Third, the norms of positive criminal law substance (legal-substance) Article 322 paragraph (1) number 2 of the Criminal Code which provides sanctions for imprisonment are more legitimate than customary law norms that provide social sanctions through traditional ceremonies. Article 322 paragraph (1) number 2 of the Criminal Code and Law 1/1974 have basically fulfilled the principles of establishing laws and regulations although they have not fully translated the principles of restorative justice. The ratio-legal restorative justice “elopement” of Indonesian customary law in the construction of the Criminal Code and Law 1/1974 is different but the legal relationship is quite harmonious. The main obstacle to the application of the principle of restorative justice in the settlement of criminal acts of "elopement" according to the construction of national law is the difficulty of mapping the standards of restorative justice benchmarks for customary law which are very diverse. Future arrangements for restorative justice "elopement" in the construction of national criminal law must follow the principle of receptio in complexio as legal politics in the regulation of national legal pluralism.Studi ini mengkaji keberlakuan hukum adat “elopement” (“kawin lari”) dalam konstruksi hukum pidana di Indonesia. Kajian legal-system ini menggunakan metodologi socio-legal dengan lokus penelitian di Desa Mataram Marga Kec Sukadana, Lampung Timur; Desa Sade-Lombok Tengah NTB; dan Tenganan Karangasem Bali, dengan tiga temuan. Pertama, hukum adat (legal-culture) dalam menentukan arti dan makna dewasa (legal and legitimate) berbeda dengan arti dewasa menurut hukum positif (KUH Perdata, KUHP dan UU 1/1974). Kedua, legal-structure hukum pidana positif adalah lebih supreme terhadap hukum adat ataupun living-law (tradisi) dalam konstruksi restorative-justice melalui peristiwa hukum “elopement”. Ketiga, norma substansi hukum pidana positif (legal-substance) Pasal 322 ayat (1) angka 2 KUHP yang memberi sanksi pidana penjara adalah lebih legitimate dibandingkan norma hukum adat yang memberi sanksi sosial melalui upacara adat. Pasal 322 ayat (1) angka 2 KUHP dan UU 1/1974 pada dasarnya telah memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan walaupun belum sepenuhnya menerjemahkan prinsip restorative justice. Ratio-legal restorative justice “elopement” hukum adat Indonesia dalam konstruksi KUHP maupun UU 1/1974 berbeda namun cukup harmonis hubungan hukumnya. Kendala utama penerapan asas restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana “elopement” menurut konstruksi hukum nasional adalah sulitnya dilakukan pemetaan standar tolak ukur restorative justice hukum adat yang sangat beragam. Pengaturan ke depan restorative justice “elopement” dalam konstruksi hukum pidana nasional harus mengikuti prinsip receptio in complexio sebagai politik hukum dalam pengaturan pluralisme hukum nasional

    Pola Legitimasi “Criminal-Policy” Pada Pembentukan Peraturan Daerah

    Get PDF
    In the absence of standards regarding the establishment of existing regional regulations in Indonesia related to public order by local governments which contain criminal sanctions, this creates deviations in terms of the principles of legal certainty for the community. This scientific article discusses the formation of criminal policies by regional governments that have the same cultural similarities and have the same basis for legitimacy. The research approach used is socio-legal, the related issue is regarding the study of criminal-policy legal issues and the locus of government of the Special Region of Yogyakarta. With the same cultural group, namely Mataraman in the formation of criminal policies. Based on the results of the research, it was found that the formation of the Tibum Regional Regulation in Yogyakarta shows the use of different legitimacy bases in the formation of its criminal policy. Differences in the determination of criminal sanctions for the object of the same regulation, for selling in prohibited areas, environmental pollution, erection of illegal buildings and others, the threat of administrative fines and imprisonment varies, with fines ranging from IDR 50,000,000 to imprisonment for around 6 month. The acceptance in complexiu of the living-law values ​​with their local wisdom in the formation of regional regulations in the field of public order was apparently nowhere to be found, so that the basis for the legitimacy of criminal-policy norms was built only on technocratic uptake. Abstrak Dengan tidak adanya standar mengenai pembentukan peraturan daerah yang ada di Indonesia terkait dengan tertib umum oleh pemerintah daerah yang bermuatan sanksi pidana, menimbulkan penyimpangan dalam hal asas-asa kepastian hukum bagi masyarakat. Artikel ilmiah ini membahas mengenai pembentukan criminal policy oleh pemerintahan daerah yang memiliki keserupaan kultur budaya yang sama memiliki dasar ukuran legitimasi yang sama. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah socio-legal, isu terkai adalah mengenai kajian isu hukum criminal-policy dan lokus pemeritahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan keserumpunan  budaya yang sama yaitu Mataraman dalam pembentukan criminal-policy.  Berdasarkan kepada hasil penelitian didapat data bahwa pembentukan Peraturan Daerah Tibum di Yogyakarta menunjukkan penggunaan dasar legitimasi berbeda-beda dalam pembentukan criminal policy-nya. Perbedaan penetapan sanksi pidana pada obyek pengaturan yang sama, terhadap berjualan pada area terlarang, pencemaran lingkungan, pendirian bangunan liar dan lain-lainnya, ancaman denda administrasi maupun pidana kurungannya ternyata berbeda-beda dengan denda berkisar Rp50.000.000,- dengan pidana kurungan sekitar 6 bulan. Receptio in complexiu atas nilai-nilai the living-law dengan local wisdom-nya dalam pembentukan peraturan daerah bidang ketertiban umum ternyata tidak ada ditemukan, sehingga dasar legitimasi norma criminal-policy dibangun berdasarkan serapan teknokratis saja

    Model Pengelolaan Program Abdimas-Bansos Universitas Terbuka

    Get PDF
    Persoalan krusial yang hendak dijawab melalui penelitian ini adalah apakah pengelolaan program Abdimas-Bansos UT telah dikerjakan sesuai prinsip CO-CD? Sedangkan sasaran penelitian ini adalah gambaran utuh profil kinerja pengelolaan program Abdimas-Bansos UT Th 2011-2013 yang diukur melalui tolok ukur CO-CD (Ife J. 1995) dengan integrasi teknik Analisis Kinerja (AK, Irawan P. 2003) dan CIPP (Context-Input-Process-Product (Poerwanto., 2003). Asumsi bahwa keberhasilan penyelenggaraan program pengembangan masyarakat sangat berkorelasi dengan keberhasilan penciptaan kondisi self-help masyarakat penerima manfaat (Ife, J. 1995). Penelitian ini meliputi identifikasi permasalahan kinerja pengelolaan program Abdimas-Bansos UT Th 2011-2013. Populasi penelitian ini meliputi seluruh anggota pengelola UT, mitra kerja sebagai penyelenggara, dan naskah dokumen pengelolaan program Abdimas-Bansos. Metode yang telah digunakan adalah Survey, dengan teknik pengumpulan Sensus, yang dikenakan pada seluruh jenis program pengembangan Abdimas UT, para pengelola program UT, dan mitra kerja penyelenggara program. Untuk teknik analisis telah digunakan metode kombinasi antara teknik Analisis Kinerja (Irawan P., 2003), CIPP (Poerwanto., 2003), dan Hubermann Interactive model of analysis (Bogdan, R. C., & Biglen, S. K., 1998). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa target kuantitatif capaian kinerja pengelolaan program Abdimas-Bansos UT Th 2011-2013 telah dapat dilaksanakan sebesar 85% pada seluruh kelompok pemberdayan masyarakat. Sedangkan target kualitatif capaian kinerja pengelolaan program, baik dari segi ketepatan waktu dan capaian tujuan pengelolaan diindikasikan masih jauh dari memadai. Kesenjangan utama dalam pelaksanaan pengelolaan program adalah tidak adanya Master-Plan Abdimas-Bansos UT dan prosedur tetap dalam pengelolaan program yang berbasis CO-CD. Sedangkan penyebab utama permasalahan adalah belum diadopsinya prinsip-prinsip CO-CD dalam kebijakan pemberdayaan masyarakat (Abdimas-Bansos-UT) ke dalam bentuk Renstra-Renop Abdimas maupun Protap Pengelolaannya. Faktor penyebab lainnya adalah diindikasikan oleh persoalan penguasaan teknis pengelolaan program pemberdayaan masyarakat berbasis CO-CD dari para pengelola UT. Kesimpulan yang dapat dirumuskan dari perspektif CO-CD adalah bahwa kurang memadainya pengelolaan program Abdimas Bansos UT Th 2011-2013 disebabkan tidak diadopsinya prinsip-prinsip CO-CD dalam pengelolaan program Abdimas UT. Faktor sosialisasi, Analisis Kebutuhan, Pemeliharaan, dan Pelepasan tidak dirancang secara khusus dalam pengelolaan program. Demikian pula persoalan sistem penganggaran dan jadwal pelaksanaan program juga merupakan salah satu faktor utama permasalahan pengelolaan program Abdimas-Bansos UT. Ke depan system pengelolaan program Abdimas UT baik program pemberdayaan masyarakat dan penghijauan perlu dibenahi dengan basis CO-CD, agar efisiensi dan efektivitas dapat dioptimalkan

    Legal Literacy Strengthening for Indonesian Migrant Workers: Self-Help Ability to Survive the Life

    Get PDF
    Indonesian migrant workers are foreign exchange heroes, and their presence can get better welfare for their families and surrounding communities. However, the state's contribution to Indonesian migrant workers is still not maximized. It can be seen in several cases faced by Indonesian migrant workers in destination countries. One of the main factors causing various legal problems faced by migrant workers is the lack of knowledge and skills in the practical field of law related to their work and work environment. This paper will discuss legal literacy as the determinant factor to be mastered by Indonesian migrant workers to survive working in other countries. This socio-legal research uses a qualitative approach; the data used are primary that have been collected for the last three years (2020-2022, and secondary data. Primary data is based on survey results (2020) and FGDs with experts conducted in the previous three years. The secondary data comes from journals, books, reports, and other related articles. This paper concludes that the distance education and learning platform with continuing education (non-degree) service format is the most suitable and efficient design for providing access to education for migrant workers to survive their life in overseas

    Chronic Disease of State Corporatism in Indonesian Village Government

    Get PDF
    The institutional regulation of the Indonesian village government from the Dutch colonial era (1906) until the Reform Era has practically shown controversy of pros and cons. Through correct regulation, the village should be able to prosper. However, the applied regulation as a tool of social engineering during the inter-period has failed to bring the village to prosper. The legal gaps are whether the applied state-corporatism norms on Indonesia village regulation have met the principles of good local governance. This study aims to provide corrections to the heresy of legal construction of the village regulations. This legal method of study was a nomological type with a statute approach. The technical analysis used was content analysis. The results showed that the legality of the village government status, which is state-corporatism containing in norms of the provision of Number 1, Number 2, Number 7, Article 6 paragraph (1), Article 6 paragraph (1) of the Law 6/2014 is not synchronous vertically to the 1945 Constitution. The results of the legitimacy study also revealed that Articles 12, 19, 19 (b)(c)(d), 69 of Law 6/2014 concerning the Authority and Changes of the Status of Urban Villages (Gesellschaft) into Common-Village (gemeinschaft) implies horizontal disharmony to the Law 30/2014 concerning Government Administration. Therefore Law 6/2014 needs to be revoked and replaced with an organic law derived from Articles 18, 18A and 18B of the 1945 Indonesia Constitution

    Analisis Dampak Program Abdimas-Bansos Universitas Terbuka Tahun 2011-2013 terhadap Komunitas Masyarakat dan Wilayah Sasaran

    Get PDF
    Persoalan krusial yang hendak dijawab melalui penelitian ini adalah apakah program Abdimas-Bansos UT ditinjau dari perspektif CO-CD telah mampu memberi dampak positif terhadap komunitas masyarakat penerima manfaat? Sasaran penelitian ini adalah gambaran profil dampak psikologis dan fisiologis pelaksanaan program Abdimas-Bansos UT Th 2011-2013 terhadap komunitas masyarakat penerima manfaat; Asumsi bahwa keberhasilan penyelenggaraan program pengembangan masyarakat sangat berkorelasi dengan keberhasilan penciptaan self-help masyarakat penerima manfaat (Ife, J. 1995). Penelitian ini dirancang meliputi dampak pengelolaan program Abdimas-Bansos UT terhadap komunitas masyarakat penerima manfaat. Populasi penelitian ini meliputi seluruh anggota mitra kerja LSM sebagai penyelenggara, naskah dokumen pengelolaan, dan anggota kelompok komunitas masyarakat penerima manfaat. Metode yang digunakan adalah Survey, dengan teknik Purposive Judgment Sampling pada pengumpulan data yang dikenakan pada pemilihan jenis program pengembangan dari kelompok pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Sedangkan teknik ‘Sensus’ dikenakan pada para mitra kerja LSM dan anggota masyarakat penerima manfaat yang telah teripilih jenis program bantuannya. Untuk teknik analisis telah digunakan metode kombinasi antara teknik Analisis Kinerja (Irawan P., 2003), CO-CD (Efendi K,. 2008), dan Hubermann Interactive model of analysis (Bogdan, R. C., & Biglen, S. K., 1998). Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa: Dampak program Abdimas-Bansos terhadap komunitas masyarakat penerima manfaat secara keseluruhan (2011-2013) dalam jangka pendek diindikasikan cukup berhasil baik (52%) sebagaimana dirasakan langsung oleh komunitas masyarakat penerima manfaat. Permasalahan utama adalah dampak program Abdimas UT masih belum mampu meciptakan kondisi Self-help bagi komunitas penerima manfaat. Berdasarkan tolok ukur CO-CD, desain program Abdimas UT pada bidang pemberdayaan masyarakat tidak memberikan dampak sosialisasi, analisis kebutuhan, pemeliharaan, dan pelepasan. Jadwal realisasi program Abdimas sangat pendek (+ 3 bulan), ini disebabkan karena tidak diadopsinya prinsip-prinsip ‘CO-CD’ termasuk pengelolaan sistem anggaran dalam desain program. Faktor penyebab lainnya adalah diindikasikan oleh persoalan pengendalian oleh para pengelola UT dalam penguasaan teknis pengelolaan dampak program pemberdayaan masyarakat berbasis CO-CD. Kesimpulan yang dapat dirumuskan adalah bahwa secara umum terdapat dampak jangka pendek yang cukup baik dari pengelolaan program Abdimas Bansos UT Th 2011-2013 terhadap komunitas masyarakat penerima manfaat maupun wilayah sasaran penghijauan. Sedangkan dampak jangka panjang terbukti belum mampu memberikan manfaat self-help bagi masyarakat penerima manfaat dan wilayah sasaran penghijauan. Dengan demikian apabila inefisiensi dan inefektivitas hendak dihindari, maka para pengelola UT dituntut untuk membenahi sistem pengelolaan dampak program Abdimas Bansosnya yang berbasis CO-CD,

    Studi Kasus Pengaturan Hubungan Kelembagaan Pemerintahan Desa-Birokrasi dengan Desa-Adat di Wilayah Provinsi Bali

    Get PDF
    Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur 2 (dua) materi pokok yaitu Desa-Birokrasi (DB) dan Desa-Adat (DA). Namun UUD NRI 1945, UU 6/2014, PP No. 43 Tahun 2014 jo PP 11 Tahun 2019 bahkan Perdprov No. 4 Tahun 2019 tidak mengatur hubungan antara DB dengan DA, padahal pada satu wilayah desa bisa ada terdapat keduanya. Implikasinya adalah menimbulkan kerancuan dalam pemahaman pengaturan hubungan kelembagaan dua jenis desa berbeda tersebut. Perdaprov No. 4 Tahun 2019 hanya mengatur DA namun juga tidak mengatur hubungan kelembagaan dengan DB. Pola hubungan kelembagaan kedua desa itu penting diketahui, agar dapat diperoleh pelajaran perbaikan pengaturannya bagi Undang-Undang Desa dan materi pembelajaran bagi mahasiswa. Penelitian hukum ini bersifat socio-legal case study dengan lokus 2 desa pakraman utama dan 1 lembaga penelitian Universitas Warmadewa, menggunakan metode studi kasus dengan teknik pengumpulan data document-review dan FGD, dan konsep MPFAA (Meaning-Positioning-Functioning-Authorizing-Actuating) untuk menganalisa hubungan kelembagaan DB-DA sebagai landasan analisa hubungan DB dan DA di Bali. Hasil penelitian menunjukan bahwa kerancuan pengaturan hubungan kedua kelembagaan DB dengan DA adalah Pasal 1-95 (DB) dan Pasal 96-111 (DA) UU 6/2014 yang tidak mengatur pola hubungan antar mereka, padahal faktanya kedua jenis desa tersebut bukan kelembagaan yang saling terpisah samasekali. Temuan menunjukkan bahwa hubungan kelembagaan desa di Bali, masyarakatnya memandang hubungan antara kedua kelembagaan desa tersebut adalah ibarat hubungan antara “suami-isteri” atau “satu mata uang dengan 2 sisi”. Ratio-legis pembentukan Perda Provinsi Bali 4/2019 tidak berlandas pada UU 6/1014 namun UU 23/2014 oleh karena masyarakat di Bali memandang DB dan DA adalah bukan suatu kelembagaan yang terpisah sebagaimana diatur DB-DA oleh UU 6/2014. Perdaprov 4/2019 menunjukkan tidak relevannya DA diatur melalui UU 4/2016, karena DA tidak perlu diatur namun cukup direkognisi.Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur 2 (dua) materi pokok yaitu Desa-Birokrasi (DB) dan Desa-Adat (DA). Namun UUD NRI 1945, UU 6/2014, PP No. 43 Tahun 2014 jo PP 11 Tahun 2019 bahkan Perdprov No. 4 Tahun 2019 tidak mengatur hubungan antara DB dengan DA, padahal pada satu wilayah desa bisa ada terdapat keduanya. Implikasinya adalah menimbulkan kerancuan dalam pemahaman pengaturan hubungan kelembagaan dua jenis desa berbeda tersebut. Perdaprov No. 4 Tahun 2019 hanya mengatur DA namun juga tidak mengatur hubungan kelembagaan dengan DB. Pola hubungan kelembagaan kedua desa itu penting diketahui, agar dapat diperoleh pelajaran perbaikan pengaturannya bagi Undang-Undang Desa dan materi pembelajaran bagi mahasiswa. Penelitian hukum ini bersifat socio-legal case study dengan lokus 2 desa pakraman utama dan 1 lembaga penelitian Universitas Warmadewa, menggunakan metode studi kasus dengan teknik pengumpulan data document-review dan FGD, dan konsep MPFAA (Meaning-Positioning-Functioning-Authorizing-Actuating) untuk menganalisa hubungan kelembagaan DB-DA sebagai landasan analisa hubungan DB dan DA di Bali. Hasil penelitian menunjukan bahwa kerancuan pengaturan hubungan kedua kelembagaan DB dengan DA adalah Pasal 1-95 (DB) dan Pasal 96-111 (DA) UU 6/2014 yang tidak mengatur pola hubungan antar mereka, padahal faktanya kedua jenis desa tersebut bukan kelembagaan yang saling terpisah samasekali. Temuan menunjukkan bahwa hubungan kelembagaan desa di Bali, masyarakatnya memandang hubungan antara kedua kelembagaan desa tersebut adalah ibarat hubungan antara “suami-isteri” atau “satu mata uang dengan 2 sisi”. Ratio-legis pembentukan Perda Provinsi Bali 4/2019 tidak berlandas pada UU 6/1014 namun UU 23/2014 oleh karena masyarakat di Bali memandang DB dan DA adalah bukan suatu kelembagaan yang terpisah sebagaimana diatur DB-DA oleh UU 6/2014. Perdaprov 4/2019 menunjukkan tidak relevannya DA diatur melalui UU 4/2016, karena DA tidak perlu diatur namun cukup direkognisi

    Pengaturan Kelembagaan Pemerintahan Desa Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 6 Tahun 2014 Tentang Desa

    Get PDF
    UU RI 6/2014 tentang Desa mengatur 2 materi utama yaitu Desa Adat dan Desa-Biasa/Dinas/Formal/Birokrasi. Namun Desa-Biasa tidak dilahirkan dari ‘Rahim Desentralisasi’, Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945 yang diacu tidak mengatur Desa-Biasa bahkan Desa-Adat sekalipun. Sehingga posisi hukum kelembagaan pemerintahan Desa-Biasa berada di luar sistem pemerintahan daerah formal dan menjadi ‘Tidak Harmonis’ baik vertikal terhadap UUD NRI 1945 maupun horizontal terhadap UU 5/2014 Ttg ASN dan UU 17/2003 Ttg Keuangan Negara. Akibatnya Desa-Biasa menjadi tidak memiliki kewenangan formal atas atribusi yang diberikan, olehkarena legal-statusnya menjadi ‘Quasy-Government’. Persoalannya, Mengapa terjadi ketidakharmonisan dalam pengaturan kelembagaan pemerintahan desa ini, baik vertikal antara UU RI 6/2014 dengan UUD NRI 1945, dan horizontal dengan UU RI 5/2014 dan UU RI 17/2003; Apa implikasi hukum dari pengaturan kelembagaan desa yang tidak harmonis itu terhadap sistem administrasi pemerintahan desa?; dan Bagaimana pengaturan kelembagaan desa ke depan dalam sistem hukum pemerintahan desa? Studi disertasi ini bersifat preskriptif normatif, konsep MPFAA (Meaning-Positioning-Functioning-Authorizing-Actuating) telah diterapkankan sebagai guide-line analysis bahan hukum, yang ditopang State-Law-Theory; Law-History-Theory; Authority-Theory; Responsive Law Theory; Teori Perundang-Undangan, Teori Politik Hukum; Konsep Keharmonian Hukum; Konsep Pemerintahan Daerah; dan Konsep Kelembagaan Pemerintahan. Tujuan studi ini adalah menjawab ketiga pertanyaan penelitian melalui pengujian atas legality dan legitimacy UU 6/2014 serta mempreskripsi ius-constituendum pengaturan kelembagaan pemerintahan desa berdasar tata kelola pemerintahan yang baik. Hasil kajian mengindikasikan, bahwa pengaturan kelembagaan pemerintahan desa selain menyimpang dari prinsip-prinsip keharmonian adalah juga ‘ambigu’ atas status hukumnya sebagai “Pemerintahan Semu”. Model gabungan sistem pemerintahan local-self government dan self-governing community yang dianut UU x 6/2014 adalah bentuk State-Corporatism yang niet rechtstreek bestuur gabied di luar rezim desentralisasi. Ratio-legis UU 6/2014 yang sebenarnya berakar pada Pasal 18 B ayat (1), ayat (2) dan ayat (7) UUD NRI 1945, namun ternyata belum juga memperjelas kedudukan, hak dan kewenangan kelembagaan pemerintahan desa dalam sistem pemerintahan daerah Indonesia. Implikasi disharmoni hukum UU 6/2014 terhadap sistem pemerintahan desa dari hasil analisis M-P-F-A-A-C adalah sangat contra productive atas asas good-governance, sehingga tidak memenuhi prinsip-prinsip het beginsel van duidelijk doelstelling, het beginsel van juiste organ, het beginsel van uitvoerbaarheid, het beginsel van duidelijk terminologie en sistematiek, dan het beginsel van de individuele rechbedelling dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Penyebab ketidakharmonisan norma ini diindikasikan karena pengaturan kelembagaan pemerintahan desa (UU 6/2014) tidak diturunkan dari sistem tata kelola pemerintahan yang benar dan baik. Ketidakharmonisan norma vertikal adalah karena UUD NRI 1945 tidak mengatur kelembagaan pemerintahan desa. Rujukan atas Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945 hanya agak tepat untuk norma Desa-Adat Pasal 86-111 UU 6/2014, sekalipun sebenarnya bukan Desa-Adat yang dimaksudkan. Sedangkan ketidakharmonisan norma horizontal adalah disebabkan karena ditempatkannya kelembagaan pemerintahan desa sebagai niet rechstreek bestuured gabied, sehingga berimplikasi contra-productive terhadap sistem administrasi pemerintahan desa. Penyebab lain dari ketidakharmonisan hukum ini adalah diindikasikan karena kuatnya dominasi politik hukum yang berorientasi Lokalis-Eksistensialisme (rival Orientalis-Modernisme) pada pembentukan UU 6/2014. Ius-contituendum pengaturan kelembagaan pemerintahan desa harus mampu menyajikan desain kelembagaan pemerintahan desa menurut sistem tata kelola pemerintahan daerah yang benar dan baik. Kelembagaan pemerintahan desa ke depan semestinya dapat ditempatkan sebagai lembaga pemerintahan daerah terbawah-terdepan dalam sistem pemerintahan menurut asas desentralisasi simetris ataupun asimetris. Sehingga pengaturan kelembagaan pemerintahan desa tidak lagi diposisikan sebagai niet rechtstreek bestureed gabied, sebagaimana diamanahkan Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 B ayat (1), ayat (2), ayat (7) UUD NRI 1945 dan Keputusan MPR (Majelis Rakyat Indonesia) No. IV/2000, Angka [3.10.1] - [3.10.4] Putusan MK No. 128/PUU-XIII/2015

    Revitalisasi Taman Bacaan Anak-Anak Dan Remaja (Akar) Arjowinangun Malang

    No full text
    Kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh Tim PkM UT Malang di wilayah Rukun Warga (RW) 05 Kelurahan Arjowinangun, Kota Malang, dalam rangka revitalisasi taman bacaan anak-anak dan remaja.Tujuan kegiatan PkM ini adalah untuk meluaskan diseminasi pengetahuan-pengetahuan baru yang mendidik, berdayaguna untuk ketahanan mental dan tumbuhkembang anak-anak dan remaja dengan interaksi yang sehat dan positif, sehingga mengurangi ketergantungan pada gagdet seperti yang saat ini dirasakan para orangtua di lingkungan RW 05 Kelurahan Arjowinangun. Metode kegiatan yang dilakukan mengacu pada langkah-langkah pemberdayaan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip community organization-community development (CO-CD), yakni sosialisasi, pengorganisasian, analisis kebutuhan, pelaksanaan, pemeliharaan, dan peluncuran program. Hasil kegiatan berupa revitalisasi taman bacaan sekaligus pengembangan kapabilitas pengelolaan taman bacaan, berujud bantuan sarana dan prasarana taman bacaan serta pelatihan pengelolaan taman bacaan. Untuk menjaga keberlanjutan dan kemanfaatan program maka ada beberapa program lanjutan dengan berkolaborasi dengan pengurus lingkungan, Posyandu, PAUD dan Karang Taruna setempat
    corecore