42 research outputs found

    Bentuk Tari Kreasi Baru Siwa Nataraja Karya I Gusti Agung Ngurah Supartha

    Get PDF
    Penelitian berparadigma budaya yang dalam realitas pendekatannya menekankan konsep bentuk (Bagus, 1988 : 55) menyatakan bahwa konsep bentuk menyoroti dan membatasi (aspek ontologi) yang ingin diketahui. Dalam kaitan ini, keterwujudan atau bentuk menandai keberadaan sesuatu yang fenomenal dapat digapai dan dicapai secara indrawi sehingga dapat diperoleh fakta-fak-ta empirik. Fakta-fakta emprik seperti peristiwa dan gejala kealaman yang terlihat dengan manusia, masyarakat, dan kebudayaan itu dihubungkan dan diangkat saripatinya. Dengan demikian, maka pengetahuan kebenaran obyektif tentang sesuatu apa yang terbentuk itu menjadi lebih menyeluruh dan tuntas

    Elemen-Elemen Pertunjukan Tari Siwa Nataraja Karya I Gusti Agung Ngurah Supartha

    Get PDF
    1. Bentuk gerak tari Bentuk gerak tari kreasi baru Siwa Nataraja sangat variatif. Bentuk geraknya di samping gerak dasar dari petopengan, mudra banyak juga diambil dari tari kekebyaran (gerak tari Bali). Gerak-gerak tersebut meliputi, gerak agem kanan, agem kiri, Nyambir (gerakan mengambil saput), malpal, nyeledet (gerakan mata), ngegol oleg (gerakan pantat), ngumbang (gerakan berjalan), ngeliput (gerak kipas), gegirahan (gerak jari-jari tangan keras), jeriring, ngrajeg, nelik (gerakan mata mendelik), dan berputar. Namun pada sisi lain khusus untuk gerak berjalan dan berputar banyak mengalami perubahan baik dari teknik maupun penjiwaannya. Gerak berjalan meniru gerak berjalan tari Jawa yang disebut dengan gerak lumaksono yaitu berjalan dengan meluruskan lutut kemudian ditaruh dilantai kemudian posisi agem (posisi berdiri). Gerak berputar menurut aturan yang baku dalam tari Bali secara teknik adalah digerakkan berputar ke kanan atau ke kiri hanya satu kali, tetapi tekniknya dirubah menjadi gerakan berputar sebanyak-banyaknya antara lima sampai enam kali putaran sampai dengan tariannya selesai. Gerakan berputar ini mengambil ide gerakan berputar yang ada pada tarian sufi dari Turki. Tariannya dari awal sampai akhir gerakannya hanya berputar. Gerakan ini mencerminkan adanya nilai lokal yang dipengaruhi oleh globalisasi. Menyitir pendapat Piliang (2005:157), globalisasi itu ada wujud tradisi dikembangkan karena adanya globalisasi. Bentuk gerakan berputar itu adalah sebuah bentuk inovasi dalam gerakan tari kreasi baru Siwa Nataraja yang mencirikan perpaduan antara budaya lokal dan budaya global itu, akan menghindari globalisasi yang homogen

    I Gusti Agung Ngurah Supartha dan Karya-karyanya

    Get PDF
    Salah seorang koreografer tari yang namanya cukup tenar di kalangan masyarakat Bali adalah I Gusti Agung Ngurah Supartha. I Gusti Agung Ngurah Supartha adalah seorang pria berperawakan sedang, kulit putih, rambut sosoh, selalu tampil rapi dan berwibawa. Ia tampak sangat energik dan ulet dalam berkarya. Ia lahir di Puri Agung Buluh Kenana Abiantuwung Kediri Tabanan pada tanggal 22 Januari 1943. Mas Roro Suhestiningtyas adalah istri dari Ngurah Supartha. Dari perkawinannya mempunyai empat orang anak dua orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan yaitu I Gusti Agung Ngurah Kihasta Kenana Jenggala, I Gusti Agung Ngurah Anom Utara Pratimawan, I Gusti Ayu Istri Utari Budayawati, dan I Gusti Ayu Mas Ari Kencanawati. Dalam menempuh pendidikan formal Ngurah Supartha sangat sukses dan tidak pernah ketinggalan. Pada tahun 1956 lulus Sekolah Dasar Abiantuwung, tahun 1960 lulus Sekolah Menengah Pertama Tabanan, tahun 1964 lulus Konservatori Karawitan Bali, lulus Sarjana Muda Akademi Seni tari Indonesia Yogyakarta tahun 1967, dan lulus Sarjana Seni di Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 1975. Ngurah Supartha adalah seniman yang sangat kreatif dan produktif (lihat lampiran 2 gambar 2.9 dan 2.10)

    SEPUTAR TARI KREASI

    Get PDF
    Penciptaan tari kreasi Wisa Wiguna ini di garap dengan pertimbangan bahwa cerita ini mengandung nilai –nilai kehidupan seperti nilai estetis, etika dan moral yang perlu di ketahui oleh masyarakat .Tari kreasi ini akan lebih bersifat imajinatif dan lebih menonjolkan tarinya bukan alur cerita, sehingga gerak-gerak yang di tampilkan di upayakan dapat menimbulkan rangsangan emosif yang sekaligus mampu berkomunikasi dengan penonton .Tari Wisa Wiguna terwujut melalui suatu proses atau beberapa tahap penggarapan, yaitu tahap Eksplorasi ,Improvisasi dan Forming.Penata iringan tari ini adalah I Wayan Wendra ,SSKar

    KONSEP RWA BHINEDHA DALAM TARI REJANG SAKRAL LANANG DI DESA MAYONG BULELENG BALI

    Get PDF
    ABSTRAKPola lantai Tari Rejang Sakral Lanang di Desa Mayong berkonsep rwa bhinedha yang terlihat dari garis lurus satu banjar lalu membentuk garis melengkung. Kedua garis tersebut merupakan simbol purusa dan pradana untuk mencapai suatu kehidupan atau keseimbangan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui konsep rwa bhinedha dalam pola lantai tarian tersebut. Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah metode observasi tidak berstruktur, metode wawancara, studi dokumentasi, dan studi kepustakaan. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa pola lantai Tari Rejang Sakral Lanang di Desa Mayong pada saat pementasan menggunakan konsep rwa bhinedha yang dilakukan di Jaba Tengah berbentuk kalangan pada setiap pura (Kahyangan Desa) yang terdapat di Desa Mayong. Pola lantai hanya terdiri dari satu banjar panjang yang membentuk garis lurus dan melengkung di dalamnya. Penelitian ini menggunakan Teori Semiotika dari Ferdinand de Saussure yaitu penanda dan petanda. Garis lurus dan garis melengkung yang membentuk lingkaran pada pola lantai sebagai penanda dan petanda adalah garis lurus tersebut merupakan simbol purusa dan garis lengkung merupakan simbol pradana. Kedua garis tersebut merupakan bagian dari konsep rwa bhinedha. ABSTRACT The floor pattern of the Rejang Sakral Lanang Dance in Mayong Village has a rwa bhinedha concept which is seen from a straight line and forms a curved line. Both of these lines are purusa and pradana symbols to achieve a life or balance. The purpose of this study was to determine the concept of rwa bhinedha in the dance floor pattern. The research data collection techniques are unstructured observation methods, interview methods, documentation studies, and library studies. Based on the data analysis, the results showed that the floor pattern of the Lanang Sacred Rejang Dance in Mayong Village during the staging used the concept of rwa bhinedha which was carried out in Jaba Tengah in the form of circles in each temple (Kahyangan Desa) located in Mayong Village. The floor pattern consists of only one long line that forms a straight and curved line in it. This study uses the Semiotics Theory of Ferdinand de Saussure namely markers and markers. Straight lines and curved lines that form a circle on the floor pattern as markers and markers are straight lines are symbols of the purusa and curved lines are symbols pradana. These two lines are part of the concept of rwa bhinedha

    Estetika Adegan Bondres Wayang Tantri oleh Dalang I Wayan Wija

    Get PDF
    ABSTRACTBebondresan is a scene that is raised in order to entertain the audience. The scene of the bonding on theTantri puppet play Bhagawan Kundala Nangun Yadnya by Dalang Wija was brought up with a varietyof creativity that no other Dalang had ever done. This gave rise to appreciation in the form of applausefrom the audience who indicated the fulfillment of the wonderful taste of the aesthetic values that emerged.The main purpose of this research is to find out the aesthetics of the bebondresan scene. The researchmethod in the form of observation, interviews and documentation is the source of data acquisition by theauthor, which is then reduced and analyzed using instrumental aesthetic theory and aesthetic theoriesof aesthetics. The results of this study later found that the form of the bondres scene was formed visuallyin the form of three puppet Bondres namely, men holding drums, sexy women and agile old women,the structure consisted of three two-dimensional leather puppets, a drum and tambourine combinedthrough puppet play patterns, musical instruments and vocal wayang dialogues. The aesthetics of theBondres scene lies in, (1) ‘interrelations’, namely wholeness which is seen from the interrelationship,integration and harmony in the elements forming the scene; (2) ‘complexity’ that is interwoven betweenthe elements in the structure that are staged through complex playing patterns; (3) ‘prominence’ whichis the presentation of the results of the achievement of creativity by Dalang Wija which is seen from thecharacteristics of the artwork, the background of the mastermind’s abilities and his motivation.Keywords: Bondres Scene, Wayang Tantri, I Wayan WijaABSTRAKAdegan bondres merupakan sebuah adegan yang dimunculkan dengan tujuan untukmenghibur penonton. Adegan bondres pada wayang Tantri lakon Bhagawan Kundala NangunYadnya oleh Dalang Wija dimunculkan dengan beragam kreativitas yang tidak pernahdilakuakn Dalang lain. Hal ini memunculkan apresiasi berupa tepuk tangan dari penoton yangmengindikasikan terpenuhinya rasa nikmat indah atas nilai estetis yang muncul. Tujuan utamapenelitian ini ialah untuk mengetahui estetika dari adegan bebondresan. Metode penelitianberupa observasi, wawancara dan dokumentasi menjadi sumber perolehan data oleh penulisyang selanjunya direduksi dan dianlisis menggunakan teori estetika instrumental dan teoriestetika sifat estetis. Hasil penelitian ini selajutnya menemukan bahwa wujud adegan bondresini terbentuk secara visual berupa tiga wayang bondres yaitu, pria memegang kendang, wanitasexy dan wanita tua lincah, strukturnya terdiri atas tiga buah wayang kulit dua dimensi, sebuahkendang dan tamborin yang dikombinasi melalui pola bermain wayang, alat musik dan vokaldialog wayang. Estetika adegan bondres ini terletak pada, (1) ‘keterkaitan’ yaitu keutuhan yangdilihat dari keterkaitan, keterpaduan dan harmoni pada elemen-elemen pembentuk adegan;(2) ‘kerumitan’ yang terjalin di antara elemen-elemen pada struktur yang dipentaskan melaluipola bermain yang kompleks; (3) ‘penonjolan’ yaitu presentasi hasil pencapaian kreativitasoleh Dalang Wija yang dilihat dari ciri-ciri karya seni, latar belakang kemampuan dalang danmotivasinya.Kata Kunci: Adegan Bondres, Wayang Tantri, I Wayan Wij

    Prosiding: PEWARISAN INSTRUMEN SARONEN DI SUMENEP, MADURA

    Get PDF
    Artikel ini bertujuan untuk membahas kedudukan dan fungsi Saronen di Sumenep Madura dan strategi pewarisannya dari generasi tua ke generasi muda. Hingga kini belum ada yang membahas tentang kedudukan dan fungsi instrumen tersebut serta strategi pewarisannya di Sumenep Madura. Sebagai salah satu warisan budaya masyarakat Madura, hingga kini Saronen masih tetap lestari. Pertanyaannya adalah: (1) bagaimanakah kedudukan Saronen dalam budaya masyarakat Madura?; (2) bagaimanakah strategi pewarisan instrumen tersebut dilakukan masyarakat Sumenep Madura? Penelitian yang berlokasi di Sumenep, Madura ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah Saronen itu sendiri, para informan terpilih, pustaka, jurnal, dan hasil-hasil penelitian yang telah dihasilkan para peneliti sebelumnya. Proses pengumpulan data dilakukan melalui teknik observasi, studi kepustakaan, dan wawancara mendalam dengan 10 orang informan, yakni para pemerhati dan para pemain instrumen Saronen. Analisis data dilakukan secara kualitatif deskriptif dengan mengunakan teori semiotika dan teori fungsional struktural. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) sebagai salah satu bentuk warisan budaya masyarakat Madura, Saronen memiliki kedudukan penting dalam budaya masyarakat Madura, antara lain sebagai identitas ethnis Madura, sebagai media public relation, dan branding Kota Sumenep sebagai destinasi wisata di Jawa Timur. Saronen yang semula sebagai media dakwah, kini telah berkembang sebagai musik pengiring kegiatan kontes sapi sono dan karapan sapi, serta sebagai media hiburan rakyat Madura dalam acara hajatan (sunatan, perkawinan) dan acara-cara pemerintah; (2) Strategi pewarisan Saronen dilakukan masyarakat setempat melalui sistem vertikal, yakni sistem pewarisan melalui mekanisme genetik yang diturunkan dari waktu ke waktu secara lintas generasi dan sistem horizontal, yakni pewarisan melalui lembagalembaga, termasuk lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah dan sanggar-sanggar kesenian. Kata kunci: pewarisan budaya, instrumen Saronen, ethnis Madura, Sumene

    E-Proceeding: STORY OF EPOS SUTASOMA AS DANCE ORATORIUM IDEA CREATION IN IMPROVING UNITY AND HARMONY OF NATION

    Get PDF
    The Majapahit kingdom has a vast territory covering Nusantara archipelago and Malay peninsula. In addition to greatness and glory, the Majapahit kingdom also has great writers at that time, one of them is Mpu Tantular. One of his literary work is Kakawin Sutasoma which is taken as motto of the Republic of Indonesia "Bhinneka Tunggal Ika". Kakawin Sutasoma tells a sacrifice of a King Prabu Mahaketu's son of the Astina kingdom named Sutasoma. This research is using a qualitative methodology with participative observation method by observing various performing art activities which is related to Sutasoma epics. The result obtained is the determination of character becoming an important part because it becomes a supporting element of dance. In addition, an artist involves intellectual potential, the emotional potential, and the spiritual potential proportionally to acquire aesthetic forms and open for a value understanding. Communication of symbols are created through dance movements that are expected to be interpreted by the audience and can be implemented in daily life. If this is realized, violence can be avoided and unity and harmony can be realized. Keywords: Sutasoma, Dance Oratorium, Character, Aesthetics, Communication Ar
    corecore