74 research outputs found

    LEAST SQUARE MATCHING 1 TO COMBINE THE TWO IMAGES OF NCU AREA

    Get PDF
    Least square matching technique is included in area-based digital matching method. Conceptually, least square matching is closely related to the correlation method, with the added advantage of being able to obtain the match location to a fraction of a pixel. Least square matching (LS1)1 has merit to minimize the sum of squares for grayscale differences, so the result will be more accurate.The images covering the National Central University (Taiwan) area are aerial images taken from digital camera with sensor ultracam-D. Interior orientation parameter consist of focal length in 101.400000mm, principal point offset (0.000000e+000, 0.000000e+000)mm, and principal point symmetry (-2.110000e-001, 0.000000e+000)mm. The experimental result shows that the best accuracy of x direction is reached when the rotation angle is 9 degree, then those of y direction is reached when the rotation angle is 3 degree. The accuracy of both directions are getting worse when the scale of image is less than 0.8.  The success rate 100% is reached in all of window size except 51 and 101. Then, the best accuracy of x direction is showed in 3x3 window size, those of y direction is employed when the work used the window size 11x11. Based on the experimental result, it can be concluded that using different rotation and scale can get the different result that it will be worse or better. Thus, to get the better result in matching image and better accuracy, the work should use the orthorectified image as base image to do rotation scheme and use small window size to minimize the number iteration, but it will be not significant with RMSe

    SPACE INTERSECTION BY COLLINEARITY

    Get PDF
    Intersection refers to the determination of a point’s position in object space by intersecting the image rays from two or more images. The standard method is application of the collinearity equations, with two equations for each image of the point. Approximate coordinates of the point, calculated by collinearity equations. EOPs are obtained by using space resection.Initial approximations are required for ground coordinate. In this experiment, we use several data types on flat, rugged, and incline terrain. The data has random and systematic error. We create a simulated data of ground coordinate points then we compute the image points using collinearity equations.Finally, we can conclude that the data with systematic error achieves the best precise than data with random error. This is occurred in all of terrain types. The RMS error in data with systematic error achieves constantly after the limitation number 100 control points. Therefore, data with systematic radial lens error can be used in intersection case. The RMSx is more than RMSy in almost all of data types

    Analisa Data Foto Udara untuk DEM dengan Metode TIN, IDW, dan Kriging

    Get PDF
    Digital Elevation Model (DEM) atau Model Ketinggian Dijital merupakan suatu model yang merepresentasikan topografi suatu permukaan. Salah satu sumber data yang digunakan untuk membuat model ketinggian dijital ini adalah menggunakan sebaran titik-titik yang memuat informasi koordinat tiga dimensi yaitu x, y, dan z di permukaan bumi. Pengambilan data sebaran titik ini dapat dilakukan melalui foto udara stereo yaitu foto udara yang saling bertampalan sehingga memberikan efek tiga dimensi yang kemudian dapat diambil informasinya. Proses yang dilakukan untuk membuat sebaran titik ini kemudian disebut stereoplotting yaitu ekstraksi data secara stereoskopis. Sebaran titik-titik yang kemudian disebut dengan mass point ini kemudian diinterpolasi menggunakan metode TIN, IDW, dan Kriging sehingga dapat diketahui perbedaan model DEM dari masing-masing metode yang diproses menggunakan sumber data yang sama. Dari hasil interpolasi tersebut selanjutnya dilakukan analisa hasil dari elevasi setelah dilakukan interpolasi sehingga diketahui presentasenya. Metode TIN dan IDW memiliki kemiripan dengan memberikan presentasi yang hampir sama pada tiap-tiap kelas ketinggian, sedangkan metode Kriging lebih menampilkan hasil korelasi dari titik-titik dengan radius tertentu sehingga permukaannya tidak ada yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah. Elevasi terkecil dan terbesar terdapat pada metode TIN yaitu sebesar 58,674 meter dan 107, 638 meter. Sementara itu, presentase persebaran ketinggian diklasifikasikan dalam 11 kelas dengan masing-masing intervalnya 5 meter. Persebaran terbesar terdapat pada range 72 – 77 meter. Dari hasil pembuatan DEM kemudian dibuat RMSE nya dengan membandingkan antara elevasi pada metode TIN, IDW, dan Kriging dengan DEM dari TerraSAR-X. Nilai yang memenuhi standar perhitungan RMSE adalah TIN dan IDW karena kurang dari sama dengan 1 meter sesuai standar RMSE dari ASPRS. Pembuatan DEM paling baik adalah menggunakan metode TIN karena memiliki RMSE terkecil yaitu 0,477 meter

    Analisis Identifikasi Jaringan Drainase Permukaan Menggunakan Metode Penghalusan DEM LiDAR Feature-Preserving Dan Edge-Preserving Smoothing (Studi Kasus: Sungai Kedungbener, Kecamatan Kebumen)

    Get PDF
    Informasi akurat terkait konektivitas hidrologi akan diperlukan dalam aliran permukaan daratan yang terkena dampak bencana alam. Seperti halnya pada wilayah Kecamatan Kebumen yang merupakan daerah dengan tingkat kerawanan banjir tinggi, termasuk di daerah sekitar Sungai Kedungbener. DEM resolusi tinggi yang dihasilkan dari data LiDAR dapat memetakan kondisi permukaan daratan secara akurat, namun memiliki tingkat kekasaran dan kompleksitas yang tinggi. Metode penghalusan feature-preserving dan edge-preserving secara umum dapat menghasilkan smoothed DEM LiDAR yang optimal pada nilai parameter tertentu dalam algoritmanya. DEM LiDAR optimal untuk kedua metode penghalusan (FPDEM-S dan EPDEM-S) ditentukan berdasarkan konsistensi efek penghalusannya pada tiap-tiap parameter algoritma. DEM optimal didapatkan pada parameter kernel size 25-31 piksel; normal difference threshold 20o-25o; iterasi 10 kali (metode feature preserving) dan sigma spasial 1,7-2,3 piksel; sigma range 2,0-10,0 meter (metode edge-preserving). Jaringan drainase yang dihasilkan dari FPDEM-S dan EPDEM-S dapat mengidentifikasi hingga fitur drainase kecil di sekitar sawah dan pemukiman. FPDEM-S dan EPDEM-S memiliki karakteristik morfometri aliran dan watershed yang hampir sama, dengan rasio panjang aliran pada FPDEM-S memiliki konsistensi 7% lebih baik. Kedua DEM menghasilkan karakteristik bentuk watershed oval mendekati sirkular

    Prediksi Perubahan Tutupan Lahan Menggunakan Metode Markov Chain dan Citra Satelit Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Kota Surabaya)

    Get PDF
    Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu program prioritas pemerintah dalam beberapa tahun ini. Seiring dengan meningkatnya aktifitas pembangunan infrastruktur, kebutuhan lahan juga semakin meningkat, sehingga perubahan tutupan lahan seringkali terjadi untuk mencukupi ketersediaan lahan tersebut. Perubahan tutupan lahan ini berkaitan dengan keseimbangan lingkungan dan ekosistem di suatu wilayah, sehingga perubahan tutupan lahan ini perlu dimodelkan untuk memprediksi kondisi tutupan lahan pada masa yang akan datang. Model perubahan tutupan lahan pada penelitian ini menggunakan data klasifikasi citra satelit Landsat 5 TM tahun 1995 dan Landsat 7 ETM+ tahun 2005 dan ditambah dengan faktor pendorong perubahan tutupan lahan yang meliputi jaringan jalan, CBD (Central Business District) dan jaringan sungai. Ketiga faktor ini dipilih karena merupakan faktor penentu dalam model perkembangan kota. Model perubahan tutupan lahan di Kota Surabaya didominasi dengan perubahan tutupan lahan dari kelas Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi bangunan dengan luas total perubahan sebesar 3.428,01 hektar. Pola perubahan tutupan lahan menunjukkan bahwa perkembangan wilayah di Kota Surabaya bersifat monosentrik dengan satu titik pusat yang berada di wilayah Kecamatan Wonokromo dan cenderung mengarah ke selatan. Prediksi perubahan tutupan lahan menggunakan metode Markov Chain menghasilkan tiga skenario, dan didapatkan dua skenario yang memenuhi nilai Area Under Curve (AUC) minimum sebesar 0,800 yaitu skenario kedua dengan nilai AUC 0,809 dan skenario ketiga dengan nilai AUC sebesar 0,807. Pada skenario kedua menghasilkan peluang perubahan tutupan lahan pada tahun 2025 untuk kelas RTH menjadi bangunan sebesar 0,599. Pada skenario ketiga besarnya peluang perubahan tutupan lahan pada tahun 2025 untuk kelas sawah menjadi bangunan sebesar 0,399 dan peluang kelas tambak untuk mengalami perubahan menjadi bangunan sebesar 0,106

    潜在的都市公園の立地的適正評価:インドネシア・スラバヤの事例研究

    Get PDF
    筑波大学 (University of Tsukuba)201

    Digital Terrain Model LiDAR untuk Perhitungan Volume dan Analisis Kerawanan Banjir di Wilayah Lumpur Sidoarjo

    Get PDF
    Pada 29 Mei 2006, terjadi semburan lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang terus meluas hingga saat ini. Hal ini mengancam keselamatan penduduk di sekitar wilayah tersebut karena potensi lumpur meluap melebihi batas tanggul penahan. Untuk mencegah situasi tersebut, diperlukan analisis volume dan tingkat kerawanan lumpur Sidoarjo. Analisis dilakukan menggunakan data Digital Terrain Model (DTM) dari hasil pengolahan data Light Detection and Ranging (LiDAR) wilayah lumpur Sidoarjo yang memiliki akurasi Root Mean Square Error (RMSE) sebesar 0,195 m dan tingkat kepercayaan LE90 0,322 m untuk standar BIG, serta akurasi vertikal kelas 20 cm dengan tingkat kepercayaan 95% untuk standar ASPRS. Volume lumpur dihitung berdasarkan jenisnya menggunakan metode prismoidal, didapatkan total volume lumpur di dalam tanggul penahan adalah 29.633.305,17 m3, dengan volume Air Berlumpur sebesar 9.987.931,57 m3, Lumpur Mulai Mengering sebesar 4.719.359,92 m3, Lumpur Kering sebesar 6.993.143,74 m3, dan Lumpur Basah sebesar 7.932.869,94m3. Dalam analisis kerawanan, dua parameter yang digunakan adalah kemiringan lereng dan tutupan lahan. Berdasarkan parameter kemiringan lereng, wilayah lumpur Sidoarjo memiliki kelas Datar sebesar 7.672.441 m2 yang memenuhi 59,291% dari luasan total wilayah penelitian. Sedangkan berdasarkan parameter tutupan lahan, wilayah lumpur Sidoarjo dengan kelas Tinggi untuk klasifikasi Lahan Terbangun, Jalan, Jalur Kereta, Sungai, Danau, dan Lumpur memiliki luas 7.648.611 m2, serta kelas Sedang untuk klasifikasi Pertanian, Sawah, Tambak, Kebun, Rawa, dan Lahan Kosong memiliki luas 5.320.286 m2. Hasil analisis kerawanan menunjukkan adanya dua kelas kerawanan, yaitu kelas Sedang dengan luas 1.371.472 m2 atau 10,599% dari total luas wilayah penelitian, dan kelas Tinggi dengan luas 11.568.748 m2 atau 89,401% dari total luas wilayah penelitian. Berdasarkan informasi dari DTM, volume lumpur, dan Peta Kerawanan ini, dapat diprediksi bahwa arah aliran banjir lumpur Sidoarjo kemungkinan besar menuju ke arah timur laut dari tanggul pembatas lumpur, terutama menuju Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo

    Visualisasi 3D Objek Menggunakan Teknik Fotogrametri Jarak Dekat

    Get PDF
    Fotogrametri Jarak Dekat (Close Range Photogrammetry) adalah teknik fotogrametri dengan menggunakan prinsip kesegarisan atau kolinearitas, namun dalam pengambilan data dilakukan pada jarak dekat yakni 100 mm sampai dengan 300 m. Seiring perkembangan Perkembangan teknologi era digital semakin memudahkan manusia dalam menyelesaikan masalah. Perhitungan CRP dapat digunakan dengan metode image matching, Image matching ini memiliki kegunaan antara lain : melakukan proses orientasi relatif, pembentukan 3D model, pembentukan DEM (Digital Elevation Model), serta pembuatan ortofoto. Dalam penelitian ini melakukan visualisasi 3D model objek dengan memanfaatkan teknologi komputer dalam melakukan pengukuran 3D Teknik Fotogrametri jarak dekat pada objek kontainer (beraturan). Bentuk objek tersebut memiliki ukuran kecil sehingga pengukuran GCP (Ground Control Point menggunakan alat pita ukur. Visualisasi 3D Objek dapat dibentuk dari point cloud dan data DEM (Digital Elevation Model). Kalibrasi dikalukan dengan dua cara yaitu kalibrasi secara otomatis (image maching) pada objek grid dan kalibrasi analitik (manual) pada objek kontainer. Hasil kedua kalibrasi dapat dilihat bahwa nilai panjang fokus memiliki perbedaan yang relatif kecil sebesar 0,142 mm. Nilai koordinat pusat kamera memiliki perbedaan selisih sebesar 0,503 mm untuk sumbu x dan 0,117 mm untuk sumbu y. Selisih nilai K1, K2, dan K3 pada kedua kalibrasi sebesar 0,0000169; 0,000 dan 0,000. Sedangkan nilai koefisien P1 dan P1 memiliki selisih sebesar 0,000498 ; 0,000. Perbedaan nilai kalibrasi kamera diatas dapat dipengaruhi oleh kondisi objek kalibrasi. Dan ketelitian koordinat 3D objek kalibrasi otomatis lebih akurat terhadap koordinat ICP pita ukur, yaitu 80% kordinat X, Y, dan Z dapat diterima, sedangkan hasil koordinat 3D model kalibrasi analitik yaitu 60 % titik koordinat Y dapat diterima dan 80% titik koordinat X dan Z dapat diterima
    corecore