8 research outputs found

    Penentuan Diagnostik Lymphadenopathy Colli dengan Metode Biopsi pada Penderita HIV-TB di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso

    Full text link
    Mycobaterium tuberculosis (M.tuberculosis) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Salah satu manifestasi klinis yang terinfeksi M.tuberculosis adalah pembesaran kelenjar getah Bening pada regio colli, axilla, inguinal, abdominal yang sering di sebut tuberkulosis kelenjar. Tuberkulosis kelenjar masih sering menimbulkan permasalahan baik dari segi diagnostik, pengobatan dan pemantauan hasil pengobatannya teristimewa di daerah endemis TB, ditambah lagi gejala tuberkulosis pada penderita HIV sering tidak jelas manifestasi yang sering timbul adalah pembesaran kelenjar getah Bening.Telah dilakukan penelitian pada 11 pasien HIV dengan pembesaran kelenjar getah Bening leher yang diduga karena infeksi M.tb serta bersedia secara tertulis mengikuti penelitian ini. Pada semua subjek dilakukan biopsi jarum halus dan biopsi dengan pembedahan. Hasil biopsi tersebut dilakukan pemeriksaan pewarnaan langsung BTA; sitologi dan PCR. Hasil yang didapat adalah preparat BTA langsung dari BJH 36,4%; Sitologi dari BJH positif tuberkulosis 36,4%; PCR tuberkulosis positif 45,5%; Hasil pemeriksaan Patologi Anatomi (PA) yang positif tuberkulosis adalah 72,7%.Berdasarkan penelitian perbandingan pemeriksaan Mycobaterium tuberculosis pada pembesaran KGB pada pasien HIV dianjurkan melakukan pemeriksaan PA dari bahan spesimen ekstirpasi dari kelenjar getah Bening leher, pertimbangankan PCR tuberkulosis yang non invasif

    A Comparison of Clinical and Epidemiological Characteristics of Fatal Human Infections with H5N1 and Human Influenza Viruses in Thailand, 2004–2006

    Get PDF
    BACKGROUND: The National Avian Influenza Surveillance (NAIS) system detected human H5N1 cases in Thailand from 2004-2006. Using NAIS data, we identified risk factors for death among H5N1 cases and described differences between H5N1 and human (seasonal) influenza cases. METHODS AND FINDINGS: NAIS identified 11,641 suspect H5N1 cases (e.g. persons with fever and respiratory symptoms or pneumonia, and exposure to sick or dead poultry). All suspect H5N1 cases were tested with polymerase chain reaction (PCR) assays for influenza A(H5N1) and human influenza viruses. NAIS detected 25 H5N1 and 2074 human influenza cases; 17 (68%) and 22 (1%) were fatal, respectively. We collected detailed information from medical records on all H5N1 cases, all fatal human influenza cases, and a sampled subset of 230 hospitalized non-fatal human influenza cases drawn from provinces with ≥1 H5N1 case or human influenza fatality. Fatal versus non-fatal H5N1 cases were more likely to present with low white blood cell (p = 0.05), lymphocyte (p<0.02), and platelet counts (p<0.01); have elevated liver enzymes (p = 0.05); and progress to circulatory (p<0.001) and respiratory failure (p<0.001). There were no differences in age, medical conditions, or antiviral treatment between fatal and non-fatal H5N1 cases. Compared to a sample of human influenza cases, all H5N1 cases had direct exposure to sick or dead birds (60% vs. 100%, p<0.05). Fatal H5N1 and fatal human influenza cases were similar clinically except that fatal H5N1 cases more commonly: had fever (p<0.001), vomiting (p<0.01), low white blood cell counts (p<0.01), received oseltamivir (71% vs. 23%, p<.001), but less often had ≥1 chronic medical conditions (p<0.001). CONCLUSIONS: In the absence of diagnostic testing during an influenza A(H5N1) epizootic, a few epidemiologic, clinical, and laboratory findings might provide clues to help target H5N1 control efforts. Severe human influenza and H5N1 cases were clinically similar, and both would benefit from early antiviral treatment

    Manfaat Oseltamivir Terhadap Perbaikan Klinis Kasus Pandemi Influenza Baru A (H1N1) 2009 Anak

    No full text
    Latar belakang. Indonesia termasuk salah satu negara yang ikut mengalami pandemi influenza baru A(H1N1)2009 (selanjutnya disebut p(H1N1)2009).Sampai saat ini belum banyak laporan kasus atau penelitian tentang p(H1N1)2009anak di Indonesia. Tujuan. Mengetahui manfaat pemberian oseltamivir pada kasus p(H1N1)2009 anak. Metode. Studi retrospektif dari kasus konfirmasi p(H1N1)2009anakyang dirawatdi RS Penyakit Infeksi Prof DR Sulianti Saroso, Jakartaberdasarkan data konfirmasi Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI. Data disajikan secara deskriptif. Hasil. Diperoleh 67 (53,17%) anak kasus konfirmasi p(H1N1)2009dari 126 kasus dewasa dan anak, 19 kasus rawat di antaranya disertakan dalam penelitian. Kasus terbanyak pada kelompok umur 12 sampai 18 tahun, dengan ratio laki-laki dan perempuan sebanding (1,1:1). Mayoritas kasus (11/19 kasus) memiliki riwayat paparan dengan sumber infeksi, 5 kasus di antaranya bepergian keluar negeri. Gejala klinis dominan adalah batuk (19) dan demam (16). Manfaat oseltamivir segera terlihat dengan demam mereda secara cepat diikuti dengan gejala lain, tetapi gejala batuk paling lambat mereda. Pada pemeriksaan darah tepi terutama dengan limfofenia (15 ), leukopeni (6 ) dan monositosis (5) kasus. Mayoritas kasus sembuh (18) tanpa komplikasi, baik pada kelompok dengan jarak awitan sampai dosis pertama oseltamivir kurang atau lebih dari 2 hari. Satu kasus meninggal karena penyakit telah lanjut dengan berbagai komplikasi serta terlambat mendapat oseltamivir. Kesimpulan.Pandemi virus p(H1N1)2009 pada anak berlangsung ringan dengan angka kematian yang rendah. Oseltamivir bermanfaat pada perbaikan klinis, mencegah komplikasi berat dan kematian serta tetap bermanfaat walaupun diberikan pada kasus dengan jarakawitan dengan dosis pertama oseltamivir >2 hari

    Karakteristik Klinis dan Epidemiologis Avian Influenza A (H5N1) Anak Di Indonesia, Tahun 2005-2007

    No full text
    Latar belakang. Indonesia merupakan negara tertinggi di dunia yang melaporkan kasus avian influenza A(H5N1) dengan proporsi kematian yang tinggi (83%). Sampai saat ini belum banyak penelitian kasus avian influenza A(H5N1) anak di Indonesia. Tujuan. Mengetahui pola epidemiologis, klinis, laboratoris, dan radiologis dalam hubungannya dengan kesembuhan atau kematian kasus avian influenza A (H5N1) anak. Metode. Studi retrospektif dari 37 kasus konfirmasi avian influenza anak di Indonesia berdasarkan data Badan Litbangkes dan Dirjen P2PL, Depkes RI serta WHO Indonesia dan disajikan secara deskriptif. Hasil. Riwayat kontak secara langsung dan tidak langsung dengan unggas (37,84%) sebanding dengan kontak pada kasus konfirmasi avian influenza (35,14%), 12 kasus diantaranya merupakan anggota kluster keluarga. Kasus terbanyak pada kelompok umur 5-<12 tahun (50,62%). Domisili kasus anak terutama di tiga propinsi Indonesia yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Proporsi kematian avian influenza anak Indonesia lebih rendah (67,57%) dibanding proporsi kematian nasional (82,8%) tetapi masih sedikit lebih tinggi dari proporsi kematian global (59,45%). Gejala klinis utama yaitu demam (100%), batuk (86,49%), sesak (81,08%), serta penurunan kesadaran (62,16%). Pneumonia terjadi pada 59,46% kasus dengan proporsi kematian 68,18%. Kelompok yang mendapat oseltamivir (37%) mempunyai peluang hidup lebih besar dari pada kelompok yang tidak mendapat oseltamivir (20%), demikian pula lama awitan sakit dan dosis awal oseltamivir pada kelompok nonfatal lebih pendek (median 5,5 hari dengan rentang waktu 2-10 hari) dibanding kelompok yang fatal (median 8,5 hari, rentang 3-22 hari) menunjukkan makin cepat mendapat terapi oseltamivir memberi peluang hidup lebih baik. Kesimpulan. Spektrum klinis avian influenza yang luas menempatkan penyakit ini sebagai diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan termasuk kematian yang tidak jelas penyakitnya pada kluster keluarga atau sakit berat lainnya. Terapi oseltamivir memberi peluang hidup lebih baik disamping penemuan kasus dini serta perawatan secepatnya

    Practical management of avian influenza in humans

    No full text
    Singapore Medical Journal476471-47

    Avian influenza--a review for doctors in travel medicine.

    No full text
    First identified in humans in Hong Kong, influenza A/H5N1, known commonly as avian influenza, has caused human disease in 15 countries around the world. Although the current number of confirmed patients is tiny compared to seasonal and the recently emerged H1N1 'swine' influenza, H5N1 remains a candidate for the next highly pathogenic influenza pandemic. Currently, H5N1 has very limited ability to spread from person-to-person but this may change because of mutation or reassortment with other influenza viruses leading to an influenza pandemic with high mortality. If this occurs travellers are likely to be affected and travel medicine doctors will need to consider avian influenza in returning febrile travellers. The early clinical features may be dismissed easily as 'the flu' resulting in delayed treatment. Treatment options are limited. Oral oseltamivir alone has been the most commonly used drug but mortality remains substantial, up to 80% in Indonesia. Intravenous peramivir has been filed for registration and IV zanamivir is being developed. This review will focus on the epidemiological and clinical features of influenza A/H5N1 avian influenza and will highlight aspects relevant to travel medicine doctors

    Effect of double dose oseltamivir on clinical and virological outcomes in children and adults admitted to hospital with severe influenza: Double blind randomised controlled trial

    No full text
    10.1136/bmj.f3039BMJ (Online)3467911-BMJO
    corecore