51 research outputs found

    INTRODUKSI TEKNOLOGI EKSTRAK BAYAM UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS KEPITING LUNAK (SOFT SHEIL CRAB) YANG DIPRODUKSI SECARA KOMERSIAL DI KECAMATAN LAU KABUPATEN MAROS

    Get PDF
    Kepiting lunak adalah kepiting yang baru saja berganti kulit (molting). Saat itu, kepiting akan sangat lunak, karenanya dalam perdagangan internasional dikenal dengan nama soft Sheel crab. Permintaan dunia terhadap produk ini sangat tinggi. Negara-negara yang merupakan pasar terbesar produk ini antara lain : Amerika, Cina, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan sejumlah Negara di kawasan Eropa. Teknologi ekstrak bayam adalah teknologi alternative yang dikembangkan oleh peneliti dari Unhas di bawah koordinasi Prof. Yushinta Fujaya untuk memproduksi kepiting lunak. Bila sebelumnya, kegiatan produksi kepiting lunak menggunakan teknik mutilasi, maka dengan ekstrak bayam, kepiting lunak dapat diproduksi dengan kualitas yang lebih baik tanpa harus melakukan mutilasi. Namun ada beberapa syarat harus dipenuhi agar hasil budidaya optimal, antara lain: a) dibutuhkan wadah budidaya kuhusus agar kepiting mudah dikontrol dan tidak melarikan diri, b) dibutuhkan keterampilan khusus dalam mengaplikasikan ekstrak bayam. Melalui kegiatan IPTEKDA LIPI, Teknologi ini diintroduksikan pada dua kelompok petani di Kabupaten Maros, yakni kelompok petani Dalle Mallomo dan kelompok petani Sikuyu. Kegiatan pertama dilakukan pada tambak kelompok petani Dalle Mallomo, yakni sejak Januari 2011 dengan membangun instalasi budidaya berupa rakit pelampang dan jembatan kontrol yang terbuat dari bambu. Pengadaan crabbox sebayak 5000 pasang untuk wadah budidaya dilakuakn setelah anggaran kegiatan dikucurkan pada 14 April 2011. Persiapan budidaya untuk kelompok petani Sikuyu dilakukan setelah anggaran tahap ke kedua cair pada 16 Agustus 2011. Bertepatan dengan itu, kundisi kualitas air kurang mendukung budidaya kepiting lunak akibat puncak kemarau yangt menyebabkan salinitas mencapai 40 ppt, sedangkan salinitas optimal adalah 15-30 ppt. Karena itu, setelah instalasi budidaya selesai, penebaran kepiting baru dilakukan pada tanggal 6 Oktober 2011. Beberapa perkembangan yang dapat dilaporkan bahwa: 1) kegiatan berjalan relative lancer sesuai perencanaan, 2) petani mitra dapat menadopsi teknologi ini dengan baik, 3) bibit dan pakan tersuplai dengan ncukup, 4) kepiting lunak dengan Grade A diterima olek eksportir (PT.Tonga Tiur Putra) dan Grade B dijual local ke berbagai restoran dan rumah makan di Makassar

    Frekuensi Pemberian Pakan Buatan Berbasis Limbah Untuk Produksi Kepiting Bakau Cangkang Lunak

    Get PDF
    Feed eficiency is largely determined by its availability in suficient quantities and on timefeeding, s o it is necessary to study the frequency of feeding for the best production of soft shell crab. Four feeding frequency (1 time per day, 1 time per 2 days, 1 time per 3 days, and 1 time per 4 days) tested in this study. Feed with nutrient composition of 30.86% protein, 7.2% fat, nitrogen free extract (NFE) 48.89%, crude fiber 5.7% enriched with vitomolt 0.1041 5 mg/g of feed to the standard dose and 0.4166 mg vitomolt/g feed to high doses; or equal to 700 ng vitomolt/g  crab. Test crabsof Scylla  sp. reared in  crabs box and placed in  the pond. The results showed  the frequency of feeding 1 time per 2 days resulted in the highest percentage of molting (66.67%) and the lowest percentage of moulting was found at 1 per 4 times a day of feeding (36.67%). Growth param eters such as weight and carapace width, and feed eficiency did not difer among all treatments. Thus, feeding in the soft shell crab for the maximum production can be done with a frequency of 1 time per 2 days

    Growth and molting of mud crab administered by different doses of vitomolt

    Get PDF
    Vitomolt is a molting stimulant made from spinach (Amaranthus spp.) extracts.  The objective of this study was to optimize the dose of vitomolt injection on the growth and molting of mud crab (Scylla spp). The research was conducted in April to June 2010.  There were three doses of vitomolt tested, i.e. 9 mg/g crab, 15 mg/g, and 21 mg/g crab. The results showed that the dose of vitomolt injection had great influence on the growth and molting of mud crab.  Higher dose of vitomolt gave higher growth but its molting percentage was different.  Vitomolt dose of 15 mg/g crab was the optimal dose to induce molting of mud crab while the dose of 21 mg/g crab gave the highest growth which reached 53.6%.  However, in terms of productivity, dose of 15 mg/g crab gave the highest production of soft crab. Key words: dose, vitomolt, growth, molting, mud crab   ABSTRAK Vitomolt adalah stimulan molting yang terbuat dari ekstrak bayam (Amaranthus spp.).  Tujuan penelitian ini adalah optimalisasi dosis penyuntikan vitomolt terhadap pertumbuhan dan molting kepiting bakau (Scylla spp).  Penelitian dilakukan pada bulan April hingga Juni 2010.  Ada tiga dosis vitomolt yang diuji, yakni: 9 mg/g, 15 mg/g, dan 21 mg/g kepiting. Hasilnya menunjukkan bahwa penyuntikan vitomolt sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan molting kepiting bakau. Semakin tinggi dosis vitomolt memberikan pertumbuhan yang semakin tinggi pula namun tidak demikian terhadap persentase molting. Dosis vitomolt 15 mg/g kepiting adalah dosis optimal menginduksi molting kepiting bakau, sedangkan dosis 21 mg/g kepiting memberikan pertumbuhan tertinggi hingga 53,6%. Bila ditinjau dari produktivitas, dosis 15 mg/g kepiting memberikan produksi kepiting lunak tertinggi. Kata kunci: dosis, vitomolt, pertumbuhan, molting, kepiting baka

    Laju Pengosongan Lambung, Komposisi Kimia Tubuh, Glikogen Hati dan Otot, Molting, dan Pertumbuhan Kepiting bakau pada Berbagai Persentase Pemberian Pakan dalam Budidaya Kepiting Cangkang Lunak

    Get PDF
    Abstrak\ud Efisiensi dalam budidaya kepiting cangkang lunak sangat ditentukan oleh jumlah pakan yang tepat. Penelitian ini bertujuan menentukan persentase pakan buatan yang tepat dalam budidaya kepiting cangkang lunak berdasarkan laju pengosongan lambung, komposisi kimia tubuh, kadar glikogen hati dan otot, persentase molting dan pertumbuhan kepiting bakau. Desain penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga perlakuan persentase pemberian pakan (2, 4, dan 6% bobot badan per hari). Pakan diberikan dengan komposisi protein 30,86%, lemak 7,2%, BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen) 48,89%, serat kasar 5,7% diperkaya dengan 0,10415 mg vitomolt/g pakan untuk dosis standar dan 0,4166 mg vitomolt/g pakan untuk dosis tinggi atau setara dengan 700 ng vitomolt/g kepiting. Kepiting uji Scylla sp. dipelihara dalam crabs box secara individu dan diletakkan di tambak. Berdasarkan parameter laju pengosongan lambung, komposisi kimia tubuh, meliputi protein, lemak, serat kadar, BETN, abu, dan energi, kadar glikogen hati dan otot, persentase molting, dan pertumbuhan pemberian pakan dalam budidaya kepiting cangkang lunak dapat dilakukan dengan persentase 2-4% bobot badan perhari.\ud \ud \ud Abstract\ud Efficiency in the soft shell crabs cultivation is determined by the number of correct feed. This study aims to determine the exact percentage of artificial feeding in the soft shell crabs cultivation based on the rate of gastric evacuation, chemical body composition, liver and muscle glycogen levels, the percentage of molting and growth of mud crabs. Research design using a completely randomized design with three treatments percentage feeding (2, 4, and 6% of body weight per day) feed is given to the composition of 30.86% protein, 7.2% fat, NFE (Nitrogen Free Extract) 48.89%, crude fiber 5,7% enriched with vitomolt 0.10415 mg / g of feed to the standard dose vitomolt and 0.4166 mg / g of feed for high-dose or vitomolt equivalent to 700 ng / g crab. Tests crabs Scylla sp. reared in individual box and placed in the pond. Based on the rate of gastric evacuation parameters, the chemical body composition, including protein, fat, fiber content, NFE, ash, and energy, liver and muscle glycogen levels, the percentage of molting, and growth feeding in soft shell crabs cultivation can done with the percentage of 2-4% of body weight per day

    Frekuensi Pemberian Pakan Buatan Berbasis Limbah untuk Produksi Kepiting Bakau Cangkang Lunak

    Full text link
    Feed eficiency is largely determined by its availability in suficient quantities and on timefeeding, s o it is necessary to study the frequency of feeding for the best production of soft shell crab. Four feeding frequency (1 time per day, 1 time per 2 days, 1 time per 3 days, and 1 time per 4 days) tested in this study. Feed with nutrient composition of 30.86% protein, 7.2% fat, nitrogen free extract (NFE) 48.89%, crude fiber 5.7% enriched with vitomolt 0.1041 5 mg/g of feed to the standard dose and 0.4166 mg vitomolt/g feed to high doses; or equal to 700 ng vitomolt/g crab. Test crabsof Scylla sp. reared in crabs box and placed in the pond. The results showed the frequency of feeding 1 time per 2 days resulted in the highest percentage of molting (66.67%) and the lowest percentage of moulting was found at 1 per 4 times a day of feeding (36.67%). Growth param eters such as weight and carapace width, and feed eficiency did not difer among all treatments. Thus, feeding in the soft shell crab for the maximum production can be done with a frequency of 1 time per 2 days

    Pengaruh Siklus Bulan Terhadap Dinamika Hormon Ecdysteroid Kaitannya dengan Aktivitas Molting Kepiting Bakau (Scylla olivacea) pada Budidaya Kepiting Cangkang Lunak

    Get PDF
    Produksi kepiting cangkang lunak pada industry budidaya berfluktuasi berdasarkan fase bulan.\ud Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan bahwa bulan mempengaruhi siklus molting melalui\ud pengaruhnya terhadap pelepasan hormon ekdisteroid. Penelitian dilakukan di lokasi budidaya\ud kepiting cangkang lunak yang terletak di desa Bojo, Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten Barru,\ud Provinsi Sulawesi Selatan. Lima puluh kepiting bakau (Scylla olivacea Herbst, 1979) dengan berat\ud masing-masing sekitar 90-100 g digunakan untuk mempelajari kandungan hormon ekdisteroid dalam\ud cairan tubuh (hemolimph) kepiting. Kepiting dipelihara secara individu dalam kolam air payau.\ud Koleksi Hemolimph dilakukan pada delapan fase bulan (bulan baru, sabit baru, kuartal pertama,\ud cembung pertama, bulan purnama, cembung akhir, kuartal terakhir, sabit tua). Pengukuran\ud kandungan ekdisteroid dilakukan menggunakan Ultra Fast Liquid Chromatography (UFLC). Pada\ud saat yang sama, pengamatan aktivitas molting dilakukan di kolam budidaya kepiting cangkang lunak.\ud Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar hormon ekdisteroid tertinggi dicapai pada fase bulan baru\ud dan bulan purnama. Puncak molting tidak terjadi pada saat kandungan hormone ekdisteroid mencapai\ud puncak, melainkan saat kandungan hormone ekdisteroid menurun setelah mencapai puncak, yakni,\ud pada fase bulan sabit dan cembung

    Stimulasi Molting dan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla sp.) Melalui Aplikasi Pakan Buatan Berbahan Dasar Limbah Pangan yang Diperkaya dengan Ekstrak Bayam

    Get PDF
    Berkembangnya usaha budidaya kepiting,\ud baik kepiting cangkang keras maupun cangkang\ud lunak menuntut inovasi teknologi yang sifatnya\ud aplikatif, sehingga dapat mengatasi berbagai\ud permasalahan yang muncul dalam usaha\ud pembudidayaannya. Salah satu terobosan penting\ud yang telah dilakukan oleh Fujaya et al. (2007) adalah\ud ditemukannya stimulan molting yang berasal dari\ud ILMU KELAUTAN September 2010. vol. 15 (3) 170-178\ud ekstrak bayam. Penemuan ini sangat menjanjikan\ud untuk teknologi produksi kepiting cangkang lunak\ud (soft shell) yang telah ada sebelumnya dengan cara\ud mutilasi (Karim, 2007). Dijelaskan bahwa produksi\ud soft shell atau kepiting cangkang lunak dengan\ud mutilasi atau induksi autotomi dilakukan dengan\ud pelepasan organ capit dan kaki jalan, kecuali kaki\ud renang. Fujaya et al. (2007) menyatakan bahwa\ud proses produksi secara mutilasi dinilai tidak begitu\ud layak dan efektif untuk diterapkan karena selain\ud mortalitas yang sangat tinggi juga adanya penolakan\ud oleh negara konsumen.\ud Penggunaan ekstrak bayam yang diberikan\ud dengan cara penyuntikan dirasakan kurang efisien\ud dilakukan dalam skala besar (Fujaya et al., 2008).\ud Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan\ud menggunakan pakan buatan sebagai media aplikasi\ud ekstrak bayam. Berdasarkan uji yang telah dilakukan\ud terbukti bahwa ekstrak bayam dapat diberikan\ud melalui pakan buatan, dan efektif mempercepat\ud molting dan meningkatkan pertumbuhan (Fujaya et\ud al., 2009).\ud Berdasarkan uraian diatas, perlu dikaji\ud produksi pakan buatan yang berkualitas, yaitu\ud memenuhi kualitas fisik, organoliptik dan nutrisi untuk\ud pakan kepiting bakau, tapi murah dan ramah\ud lingkungan. Pakan yang dihasilkan apabila diperkaya\ud ekstrak bayam diharapkan memberikan respon\ud molting dan pertumbuhan yang terbaik, serta efisien\ud kalau diproduksi dalam skala besar.\ud Kegiatan ini memerlukan adanya dukungan\ud inovasi teknologi pakan buatan khusus kepiting yang\ud dapat mendukung produksi kepiting cangkang lunak\ud khususnya dan budidaya kepiting pada umumnya.\ud Penelitian pendahuluan yang telah dilakukan berhasil\ud memformulasi pakan buatan dengan tingkat water\ud stability tinggi yang dicirikan dengan tekstur pakan\ud yang kompak dan tidak mudah terdispersi, tahan\ud terendam 24 jam dalam air, dan yang terpenting\ud adalah disukai kepiting. Walaupun demikian, pakan\ud buatan tersebut berbahan dasar ikan dengan\ud kandungan protein yang tinggi, yaitu 51% serta belum\ud efisien dalam proses pembuatannya. Aslamyah &\ud Fujaya (2009) memodifikasi formulasi pakan dengan\ud substitusi bahan baku nabati, yaitu tepung kedelai,\ud tepung jagung, dan ubi kayu sebagai binder. Pakan\ud yang dihasilkan dengan kadar protein 47% dan\ud karbohidrat 34% efektif menstimulasi molting\ud keptiting bakau lebih tinggi dibandingkan pakan\ud dengan bahan dasar ikan dan kontrol ikan rucah.\ud Protein merupakan zat terpenting dari semua\ud zat gizi yang diperlukan ikan karena merupakan zat\ud penyusun dan sumber energi utama bagi ikan (NRC,\ud 1988). Namun, protein merupakan sumber energi\ud yang mahal dalam pakan, terutama protein yang\ud berasal dari ikan. Disamping itu, penggunaan protein\ud yang tinggi sebagai sumber energi menyebabkan\ud kelebihan nitrogen akan dibuang dalam bentuk\ud amoniak melalui sistem ekskresi (Cho & Kaushik,\ud 1985). Optimalisasi kadar protein dan meningkatkan\ud kadar karbohidrat dalam komposisi pakan buatan\ud dapat menurunkan harga pakan. Menurut Anderson\ud et al. (2004) digestibility (kecernaan) kepiting pada\ud serat dan semua bahan baku pakan sumber nabati\ud sangat tinggi, yaitu berkisar 94,4???96,1%. Hal ini\ud mengindikasikan bahwa kepiting mempunyai\ud kapasitas untuk mencerna serat atau bahan baku\ud pakan sumber nabati sebagai sumber energi, sehingga\ud memungkinkan untuk memproduksi pakan buatan\ud yang lebih murah. Dijelaskan pula bahwa kisaran\ud kadar protein untuk pakan kepiting adalah 34-54%.\ud Menurut Aslamyah (2000) salah satu upaya\ud penurunan komposisi protein dalam pakan, tanpa\ud mengganggu pertumbuhan organisme budidaya\ud adalah dengan menggunakan hormon steroid. Hal ini\ud terjadi, karena hormon steroid merupakan reseptor\ud yang membawa protein masuk ke dalam sel, sehingga\ud dapat menggiatkan metabolisme protein. Ekstrak\ud bayam yang merupakan fitoekdisteroid termasuk\ud golongan steroid, apabila ditambahkan ke dalam\ud pakan, di samping dapat mempercepat molting dan\ud pertumbuhan, juga diharapkan meningkatkan efisiensi\ud pemanfaatan protein pakan.\ud Berdasarkan uraian diatas, perlu dikaji\ud produksi pakan buatan yang berkualitas, yaitu\ud memenuhi kualitas fisik, organoliptik dan nutrisi untuk\ud pakan kepiting bakau, tapi murah dan ramah\ud lingkungan. Pakan yang dihasilkan apabila diperkaya\ud ekstrak bayam diharapkan memberikan respon\ud molting dan pertumbuhan yang terbaik, serta efisien\ud kalau diproduksi dalam skala besar.Ekstrak bayam mengandung fitoekdisteroid yang dikenal sebagai stimulan molting pada kepiting. Selain melalui\ud injeksi, aplikasi ekstrak bayam melalui pakan buatan juga terbukti mampu mempercepat molting dan\ud pertumbuhan kepiting bakau. Kendala yang dihadapi pakan buatan yang digunakan masih mahal karena\ud berbahan dasar ikan dengan kandungan protein yang tinggi, sehingga perlu diformulasi pakan buatan khusus\ud kepiting yang berkualitas, murah dan ramah lingkungan, serta disukai oleh kepiting. Tujuan dari penelitian ini\ud untuk mengevaluasi pakan buatan berbahan dasar limbah pangan yang diperkaya ekstrak bayam yang dapat\ud memberikan respon molting dan pertumbuhan terbaik pada kepiting, serta efisien di produksi dalam skala\ud besar. Empat pakan buatan dengan berbagai kadar protein (P) dan karbohidrat (K) digunakan pada penelitian\ud ini, yaitu pakan A (46,84% P; 33,33% K), B (41,57% P; 38,29% K), C (35,62% P; 44,32% K), dan D (30,62% P;\ud 49,13% K), sebagai kontrol pakan berbahan dasar non limbah. Selama penelitian, kepiting dipelihara secara\ud individu dalam karamba yang di letakkan di tambak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan D dengan\ud kadar protein 30,62% dan karbohidrat 49,13% serta diperkaya dengan ekstrak bayam (700 ng/g kepiting)\ud memberikan hasil terbaik dalam menginduksi molting kepiting bakau. Dapat disimpulkan, pakan buatan yang\ud digunakan sebaiknya mempunyai kadar nutrien yang seimbang dan merupakan campuran berbagai bahan baku\ud pakan agar kandungan nutriennya saling melengkapi. Spinach extracts contains phytoecdysteroid, a substance which is well known to stimulante molting in crabs. In\ud addition through injection, artificial feed that contains spinach extract had been proven to accelerate molting and\ud growth on mud crabs. The problem faced in utilizing the artificial feed is related to its expensive cost, since it???s\ud mainly produced from fish based materials with a very high protein concentration. Thus, it is essential to\ud formulate a special artificial feed for crabs which have a quality, inexpensive, environmentally friendly, and liked\ud by the crabs. The purpose of this study was to evaluate artificial feed made from food waste enriched with\ud spinach extracts, which can provide the best growth response and molting in crabs, as well as efficient to be\ud produced in large scale. Four artificial diets with different protein levels (P) and carbohydrates (K) used in this\ud study were feed A (P: 46,84%; K: 33,33%), B (P: 41,57%; K: 38,29%), C (P: 35,62%; K: 44,32%) and D (P:\ud 30,62%; K: 49,13%), and as control is feed derived from non-waste materials. During the test, crab was culture\ud individually in cages placed in ponds. The results showed that the feed D with 30,62% of protein and 49,13% of\ud carbohydrates and enriched with spinach extract (700 ng/g crab), gives the best results in inducing molting of\ud mud crabs. In conclusion, artificial feed should consist of a mixture of various raw materials, so that their\ud nutrients can be balanced and complementary

    Effectiveness of Addition Papain Enzyme in Artificial Diet on the Metamorphosis Rate and Glycogen Content of Mangrove Crab Larvae (Scylla olivacea)

    Get PDF
    In the rearing of fish larvae, artificial feed can be given when digestive enzymes have been produced. To improve the ability of fish larvae to utilize artificial feeds can be done with the addition of exogenous enzyme into the artificial feeds. The aim of this study was to determine the dose of papain enzyme and the correct predigest artificial feeding stadium on metamorphosis rate and glycogen content of mangrove larvae (Scylla olivacea). The experimental design used was a factorial pattern with a complete randomized baseline design, the first factor being the dose of papain enzyme (0%, 1.5%, 3.0% and 4.5%), while the second factor was the predigest artificial feeding stage (zoea 2 and 3).  The results showed that the difference of dose of papain enzyme and predigest artificial feeding stages had significant effect (p <0.05) on the metamorphosis rate of  7, 9, 10, 12, 13, 16 and 17 day larvae, but the interaction between them was not significant (p>0,05). The rate of metamorphosis at doses of enzyme papain was 0% and 1.5% longer and significantly different (p <0.05) compared to 3% and 4.5% doses. The rate of metamorphosis at doses of 3.0% and 4.5% was not significantly different (p> 0.05). The content of glycogen larvae in dose of enzyme papain 4,5% not different than dose 1,5% and 3,0% but higher and significantly different than dose 0%. Glycogen content at dose 0%, 1,5% and 3,0%. was not significantly different (p> 0.05). Based on the results of these studies to hydrolyze feed proteins can be used papain enzyme with a dose of 4.5%.Keywords: papain enzyme, metamorphosis rate, mangrove crab larvae (Scylla olivacea), glycogen conten

    KADAR KOLESTEROL MENCIT (MUS MUSCULUS) SETELAH PEMBERIAN KEPITING CANGKANG LUNAK (SCYLLA OLIVACEAE)

    Get PDF
    Kepiting cangkang lunak dikonsumsi bersama kulitnya yang mengandung kitosan.  Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pemberian kepiting cangkang lunak (scylla olivaceae) terhadap kadar kolesterol total mencit (Mus musculus). Penelitian ini terdiri atas empat perlakuan, yakni: I pemberian kulit kepiting cangkang lunak, II pemberian kepiting cangkang lunak utuh, III pemberian daging kepiting cangkang lunak dan IV pemberian daging kepiting cangkang keras. Dosis perlakuan adalah 1.67 mg/g berat diberikan selama tiga hari.   Kadar kolesterol diukur dari sampel darah menggunakan alat serial meter. Data hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa mencit dari kelompok I mengalami  penurunan kolesterol total sebesar 8,019 %, kelompok II,III,IV masing-masing mengalami peningkatan kadar kolesterol total sebesar 5,027 %, 7,723 %, dan 32,608 %. Hasil analisis data menunjukkan bahwa kulit kepiting cangkang lunak dapat menurunkan kolesterol dan bila dimakan bersama dagingnya akan meningkatkan kadar kolesterol jauh lebih rendah dibandingkan bila memakan daging dari kepiting berkulit keras. Disarankan memakan kepiting dengan cangkangnya untuk mengurangi kadar kolestero
    corecore