9 research outputs found

    Potensi Sumberdaya Air Propinsi NTT Sebagai Penunjang Pengembangan Kawasan Cendana

    Full text link
    Kelayakan budidaya cendana (Santalum album L) di Propinsi NTT dibahas dari sisi sumberdaya air. Propinsi NTT merupakan daerah dengan iklim kering dibandingkan dengan propinsi lain di Indonesia. Di Propinsi ini terdapat daerah-daerah yang memiliki neraca air tahunan defisit. Daerah-daerah dengan potensi sumberdaya air yang memadai sangat terbatas. Potensi air tanah relatif sedikit dan mahal sehingga eksploitasinya hanya akan menguntungkan apabila komoditi yang diusahakan memiliki nilai ekonomis tinggi. Cendana merupakan salah satu alternatif karena (1) merupakan tumbuhan endemik daerah NTT, (2) toleran terhadap iklim kering dan (3) memiliki nilai ekonomis tinggi. Cendana laik dikembangkan secara estate di Propinsi NTT pada daerah beriklim kering yang terletak di tepi sungai atau sekitar mata air yang kontinyu, sekitar embung atau diairi oleh air tanah

    APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK MENDUGA KUANTITAS KOMPONEN SUMBERDAYA AIR BULANAN SECARA SPASIAL DENGAN METODA CN-NRCS, TEGANGAN AIRTANAH DAN KONDUKTIVITAS HIDRAULIK DI HULU DAS CITARUM

    Get PDF
    ABSTRAK Keberadaan metodologi pendugaan yang lebih rinci tentang ketersediaan sumberdaya air secara spasial telah menjadi keperluan mendesak. Selama beberapa dekade terakhir terjadi perluasan pesat daerah urban, utamanya di Pulau Jawa, dimana beberapa diantaranya kini mengalami krisis air.  Sistem Informasi Geografi telah dimanfaatkan untuk menduga kuantitas komponen sumberdaya air di hulu DAS Citarum. Data yang digunakan adalah model elevasi digital (DEM), citra satelit, data curah hujan dari 22 stasiun yang tersebar di daerah kajian, peta tanah dan peta geologi. Pendugaan kuantitas komponen sumberdaya air didasarkan pada metoda CN (SCS/NRCS), distribusi tegangan airtanah (pF) dan perbedaan konduktifitas hidraulik. Hasil penelitian menghasilkan basis data spasial kuantitas komponen sumberdaya air yang dapat disajikan baik sebagai data tabular, diagram, maupun peta tematik  untuk keseluruhan daerah penelitian maupun khusus untuk daerah yang dipilih. Validasi dilakukan dengan membandingkan antara hasil pendugaan dengan hasil pengukuran luah aliran Sungai Citarum di Stasiun Nanjung. Model pendugaan memperlihatkan validitas yang baik untuk kuantifikasi air larian bulanan. Untuk air infiltrasi serta total aliran, validitas baik hanya diperoleh untuk waktu kumulatif tahunan. Hasil pendugaan ini memadai untuk disajikan  setara dengan informasi peta pada skala 1: 50 000. Pemahaman tentang keterbatasan model diperlukan untuk meminimalkan kemungkinan kesalahan dalam pengambilan keputusan yang didasarkan atas informasi hasil pendugaan

    KARAKTERISTIK CURAH HUJAN DI WILAYAH PENGALIRAN SUNGAI (WPS) CILIWUNG - CISADANE

    Get PDF
    ABSTRAK Studi karakteristik curah hujan di WPS Ciliwung-Cisadane dilakukan untuk menyediakan informasi dasar bagi mitigasi bencana yang berhubungan dengan air. Karakteristik hujan yang dipelajari meliputi distribusi spasial dan temporal curah hujan bulanan, lama dan intensitas hujan. Distribusi hujan disusun dengan menggunakan metode isohyet. Data dasar yang digunakan adalah data curah hujan harian dari 13 stasiun hujan di daerah kajian untuk periode 1997 – 2006. Variabilitas fenomena iklim global (ENSO dan Dipole Mode) ternyata mempengaruhi jumlah curah dan distribusi temporal hujan di WPS Ciliwung-Cisadane. Interaksi anomali ENSO dan IOD yang kuat dapat menjadi penyebab terjadinya banjir di Jakarta. Tetapi banjir juga terjadi ketika indeks ENSO dan Dipole Mode menunjukkan keadaan normal, yang menunjukkan adanya faktor-faktor lain yang dapat menjadi penyebab banjir di Jakarta. Hujan intensitas rendah dengan waktu panjang yang sering terjadi pada bulan basah perlu diwaspadai karena hujan dengan karakter ini berpotensi menjadi penyebab bencana banjir dan longsor. Pada bulan kering, dominan terjadi hujan dengan intensitas yang lebih tinggi dengan durasi lebih singkat

    PENCEMARAN AIR PERMUKAAN DAN AIRTANAH DANGKAL DI HILIR KOTA CIANJUR

    Get PDF
    ABSTRAK Air permukaan dan airtanah dangkal pada sumur-sumur gali di sepanjang ruas-ruas sungai yang melintasi kota Cianjur ke arah hilir telah dianalisis untuk mengetahui tingkat pencemarannya.  Air Permukaan dan Airtanah dangkal di Hilir kota Cianjur telah mengalami pencemaran pada tingkat yang berbeda. Pada air permukaan pencemaran ditandai dengan kandungan BOD tinggi sehingga  air tidak dapat langsung dimanfaatkan sebagai bahan baku air minum, tetapi masih dapat dimanfaatkan sebagai air irigasi dan perikanan. Proses pemurnian kembali air di daerah studi tampaknya tidak akan terjadi karena jumlah rata-rata limbah yang masuk secara acak lebih besar daripada daya pulih aliran di daerah tersebut.  Gejala pencemaran Nitrogen telah tampak pada air tanah dangkal, tetapi air masih dapat digunakan sebagai sumber air minum. Untuk mengantisipasi memburuknya keadaan di masa mendatang, perlu mulai difikirkan untuk mengelola sumberdaya air daerah ini dengan pendekatan hidrologi urban

    Mineralogical and geochemical influences on sediment color of Amazon wetlands analyzed by visible spectrophotometry

    No full text
    Based on sedimentological and geochemical data, this work relates spectrophotometric measurements with sediment composition and its application in palaeoecological studies of Amazon wetlands. The CIELAB values are directly related to mineralogical and chemical composition, mostly involving quartz, iron oxyhydroxides and sulfides (e.g. pyrite), and total organic carbon. Total organic carbon contents between 0.4-1%, 1-2%, 3-5% and 15-40% were related to L* (lightness) data of 27, 26-15, 7-10 and 7 or less, respectively. The CIELAB values of a deposit in Marabá, Pará, were proportional to variations in quartz and total organic carbon contents, but changes in zones of similar color, mainly in the +a* (red) and +b* (yellow) values of deposits in Calçoene, Amapá and Soure, Pará, indicate a close relationship between total organic carbon content and iron oxyhydroxides and sulfides. Furthermore, the Q7/4 diagram (ratio between the % re?ectance value at 700 nm to that at 400 nm, coupled with L*) indicated iron-rich sediments in the bioturbated mud facies of the Amapá deposit, bioturbated mud and bioturbated sand facies of Soure deposit, and cross-laminated sand and massive sand facies of the Marabá core. Also, organic-rich sediments were found in the bioturbated mud facies of the Amapá deposit, lenticular heterolithic and bioturbated mud facies of the Soure deposit, and laminated mud and peat facies of the Marabá deposit. At the Marabá site, the data suggest an autochthonous influence with peat formation. The coastal wetland sites at Marajó and Amapá represent the development of a typical tidal flat setting with sulfide and iron oxyhydroxides formation during alternated flooding and drying
    corecore