52 research outputs found

    Peranan Kebijakan Obat dalam Memperbaiki Keterjangkauan Obat

    Get PDF
    Medicine is a pharmaceutical product that has imperfect market characteristics. This affects affordability to the community, and therefore it is necessary for the government to regulate medicine prices. Medicine prices can be regulated in the medicine supply chain by the industry, importers, distributors and health facilities such as pharmacies, hospitals and medicine sellers. Developed and high income countries generally regulate the prices of medicines and are part of a health insurance system. In contrast with the situation in developed countries, medicine pricing regulation in developing countries and Lower Middle Income Countries is not well established. The regulation of mark-ups in distribution channels is the most common strategy used by LMIC. Small country with only a few pharmaceutical facilities has a weak bargaining position, generally the government cannot set prices. The application of cost-plus pricing is quite effective if it is implemented in a small country. In developing countries with a large market segment and adequate pharmaceutical industry facilities the price competition method is an effective strategy option to get lower prices. In practice, the application of  medicine pricing policy is dynamic. The medicine pricing system in a country can be changed or combined with other methods if the evaluation does not provide optimal results or generates unintended impacts

    Medicine Pricing Policies: The Impact On Availability And Affordability In Four Provinces In Indonesia

    Get PDF
    The government of Indonesia has established a commitment to the provision of affordable medicines. The retail price of unbranded generic cannot exceed the maximum retail price set by the Ministry of Health. The generic medicine pricing policy that has been implemented by the Indonesian government must be evaluated. The objectives of this study were to evaluate the impact on the price, availability and affordability of selected medicines and to evaluate the context, process, evidence and links of generic medicine pricing policies development in Indonesia. The first part of the study was conducted using a standardized methodology developed by the World Health Organization and Health Action International. The prices, availability and affordability of 50 medicines were measured at public, private and NGO facilities in four provinces in Indonesia (Sumatera Selatan, Jakarta, Yogyakarta and Sulawesi Selatan). The type of medicines selected were Lowest Price Generics (LPGs) and Innovator Brands (IBs). The 2009 International Reference Price (IRP) was used to calculate the median price ratio (MPR). The second part of the study was conducted using the following methods: a review of medicine pricing policies documents, in-depth interviews with 10 key informants and 10 observations of meetings about medicine prices. Transcripts were generated and analyzed using qualitative content analysis. Triangulation was applied to the comparative information obtained from document reviews, in-depth interviews, and meeting observations. The results showed that the public sector procurement price was still inefficient (MPRs=1.36). Public sector procurement price is efficient if the MPR ≤ 1

    ANALISIS SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET-TAMPAK PENTAGAMAVUNON-1 DAN HEKSAGAMA\u27VUNON- ULTRA VIOLET-VISIBLE SPECTROPHOTOMETRIC ANALYSIS OF PEIVTAGAMAVUNON-1 AND HEXAGAMAVUNON-I

    Get PDF
    ABSTRAK Pentagamavunon-1 (PGV-1) dan heksagamavunon-1 (1-IGV-1) adalah senyawa [unman siklovalon dengan variasi gugus fungsional (metil) pada cincin aromatis. PGV-1 maupun HGV-1 memiliki sistem kromofor yang berupa inti benzen yang terkonjugasi dengan c4/3 keton talc jenuh, serta memiliki auksokrom pada struktur moIelculnya. Kedua senyawa itu merupalcan senyawa barn hasil sintesis, sehingga belum ada metode analisisnya. Tujuan penelitian adalah mengetahui kondisi optimum untuk penetapan kuantitatif kedua senyawa tersebut secara spektrofotometri ultraviolet-tampak. Penelitian dilakukan dalam pelarut metanol, etanol, 2-propanol, etil asetat, H2SO4 0,1 N, HC1 0,1 N dan NaOH 0,1 N. Pengukuran dilakukan pada X,ââks dari masing-masing pelarut. Hasil penelitian dianalisis regresi tinier dan menghasilkan kurva balm, absorptivitas molar, batas deteksi dan interval konsentrasi senyawa uji yang masih dapat digunakan untuk analisis kuantitatif secara spektrofotometri ultraviolet-tampak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PGV-1 meiniliki & dan absorptivitas molar besar serta batas deteksi lebih kecil dibanding HGV-1, sehingga sensitivitas terhadap PGV-1 lebih besar dibanding HGV-1. Harga X, dan absorptivitas molar Xina,, HGV-1 atau PGV-1 paling besar pada pelarut NaOH 0,1 N dan paling kecil pada pelarut etil asetat. Batas deteksi PGV-1 atau HGV-1 paling kecil pada pelarut NaOH 0,1 N. Analisis kuantitatif HGV-1 dan PGV-1 dalam pelarut H2SO4 0,1 N dan HCI 0,1 N tidak dapat dilakukan. Pada pelarut alkohol PGV-1 atau HGV-1 tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Absorptivitas molar PGV-1 pada pelarut metanol, etanol dan propanol tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P = 95%), sedangkan absorptivitas molar HGV-1 pada pelarut tersebut menunjukkan perbedaan yang signifikan (P = 95%). Penetapan kadar PGV-1 atau HGV-1 dengan bahan tambalian amilum 50%, amprotab 50% dan musilago amili dilakukan dalam pelarut NaOH 0,1 N dan etanol. Hasil recovery test HGV-1 dalam pelarut NaOH 0,1 N sebesar (95,81 ± 1,59)% dan dalam pelarut etanol (94,53 ± 3,40)%. Hasil recover)) test PGV-1 dalam pelarut NaOH 0,1 N sebesar (96,33± 0,55)% dan dalam pelarut etanol (91,86 ± 2,40)%. Key words: HGV-1, PGV-1, molar absorptivit

    Clinical Outcomes among Type 2 Diabetes Mellitus Patients: Before and after Universal Health Coverage in Indonesia

    Get PDF
    Objective: This study was carried out to analyze the impact of universal health coverage in Indonesia, known as Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) on percentage of patients who did fasting blood glucose (FBG) tests each hospital visit and clinical outcomes (CO) in type 2 diabetes mellitus (T2DM) patients.Methods: We conducted a longitudinal retrospective study to collect the data from 6-month before JKN and 1-year after JKN at 3 hospitals in Jakarta Province. All T2DM outpatients' services using Asuransi Kesehatan (ASKES) with at least 6 hospital visits were included. The subject with double insurances and died before implementation of JKN were excluded. The clinical outcome before and after JKN were compared with Wilcoxon test.Results: Total samples that collected were 296 patients divided to predominance female with 166(56%) and male 125(44%). From the data, it seemed that there were no all patients who did FBG test. We founded 50% of patients had FBG test before JKN.  Meanwhile, the percentage at the beginning of JKN tended to be lower about 37% than before JKN. Number of patiens decreased associate with JKN but number of hospital visit increased. Based on FBG level, 17(9.19%) patients had better CO and this number increased slightly after JKN to 22(11.89%). In contrast, patients with worse FBG level decreased about 9%. More patients had bad stable and less patients had good stable FBG level. Statistical analysis showed that CO between before and after JKN had P value 0.404 among T2DM outpatients in Type A Hospitals and P value 0.877 in Type B Hospital.Conclusion: Implementation of JKN had impact to decrease percentage of patients who did FBG tests and number of patients but raised hospital visit. CO was different significantly between before and after JKN among T2DM outpatients in Type A Hospitals but was no different in Type B Hospital. Â

    ANALISIS FAKTOR RISIKO PADA PASIEN HEMODIALISIS DI RS-X di JAKARTA

    Get PDF
    Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi dan biaya yang tinggi. Beberapa faktor pemicu PGK bersifat dapat dirubah, dengan harapan untuk menurunkan risiko terjadinya PGK, dan menurunkan tingkat keparahan PGK yang dialami pasien. Kebanyakan PGK akan mengacu pada kegagalan ginjal, sehingga membutuhkan pembiayaan yang akan semakin tinggi. Salah satu cara untuk mengatasi masalah pembiayaan yang tinggi ini tentunya dengan melakukan penanganan dini dan untuk itu perlu mengidentifikasi faktor risiko dari penyakit tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko gagal ginjal, dimana mengidentifikasi faktor risiko gagal ginjal merupakan salah satu cara untuk mengurangi beban ekonomi yang muncul karena penyakit gagal ginjal. Beberapa faktor risiko dapat diubah, akan tetapi faktor risiko dipengaruhi oleh banyak faktor, dimana faktor risiko pada suatu populasi akan berbeda dari populasi lainnya. Penelitian menggunaan metoda case control dengan perbandingan 1:1, dimana data primer diperoleh melalui wawancara langsung deng pasien dan/atau keluarga pasien. Berdasarkan analisis regresi logistik diperoleh hasil faktor yang berkaitan dengan hemodialisis adalah  umur (OR=17,175, p-value=0,006), riwayat penyakit (OR=1248,87, p-value=0,000), konsumsi obat/jamu dengan efek cespleng (OR=23,2, p-value=0,001), konsumsi air dalam sehari (OR=10,6, p-value=0,004), kebiasaan minum berisiko (OR=19,1, p-value=0,029), sumber air minum (OR=6,24, p-value=0,036), dan konsumsi makanan tinggi garam (OR=0,056, p-value=0,033). Kesimpulan: faktor utama pencetus hemodialisis di RS-X adalah pasien dengan riwayat penyakit seperti diabetes, hipertensi dan kelainan jantung

    ANALISA KESESUAIAN PERESEPAN OBAT PASIEN BPJS KESEHATAN DENGAN FORMULARIUM NASIONAL DI PUSKESMAS KABUPATEN TANGERANG TAHUN 2016

    Get PDF
    lJaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Salah satu tempat pelayanan kesehatan tingkat pertama melalui sistem jaminan kesehatan adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS). Pemenuhan kebutuhan pasien berupa jenis obat yang harus tersedia pada peresepan dan pemesanan perlu disusun suatu daftar (formularium) dari semua obat yang ada di stok atau sudah tersedia. Dalam penggunaan obat di Puskesmas untuk pasien BPJS Kesehatan berpedoman pada standar terapi yang dikeluarkan oleh kementrian kesehatan yaitu formularium nasional (fornas) agar penggunaan obat pada pasien lebih rasional. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesesuaian peresepan obat pasien BPJS Kesehatan dengan Formularium Nasional berdasarkan kelas terapi dan kesesuaian ketersediaan item obat formularium nasional dengan daftar item obat formularium nasional di Puskesmas Kabupaten Tangerang Tahun 2016. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif non eksperimental yang bersifat deskriptif. Hasil penelitian Kesesuaian peresepan Obat dengan Formularium Nasional Berdasarkan Kelas Terapi dari 10 besar tertinggi sudah mencapai 100%, pada kesesuaian total peresepean yang di resepkan di puskesmas kabupaten Tangerang baru mencapai > 80%. Sedangkan rata-rata proprosi item obat formularium nasional dengan daftar item obat formularium nasional maish sangat rendah >50%. Kesimpulan penelitian ini adalah peresepan obat pasien BPJS Kesehatan dengan Formularium Nasional berdasarkan kelas terapi di puskesmas kabupaten Tangerang tahun 2016 sudah sesuai sedangkan ketersediaan item obat formularium nasional dengan daftar item obat formularium nasional masih belum sesuai. Kata kunci : BPJS Kesehatan, Peresepan, Formularium nasiona

    Evaluasi Perencanaan dan Pengadaan Obat di Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Puskesmas Kabupaten Cianjur

    Get PDF
    Perencanaan diperlukan untuk menentukan jenis dan jumlah obat yang sesuai dengan kebutuhan. Pengadaan merupakan tahapan selanjutnya untuk merealisasikan kebutuhan obat, sehingga obat dapat tersedia dengan efektif dan efisien. Tujuan penelitian untuk mengetahui kesesuaian perencanaan dan pengadaan obat dengan rencana kebutuhan obat, e-catalogue dan Fornas di Puskesmas Kabupaten Cianjur. di Puskesmas Kabupaten Cianjur. Desain penelitian kuantitatif non eksperimental observasional. Data kuantitatif diambil secara retrospektif dari dokumen perenacanan, pengadaaan, dan laporan penggunaan obat di Puskesmas obat tahun 2019. Penelitian dilakukan di 23 Puskesmas yang disampling berdasarkan wilayah secara proporsional, dipilih berdasarkan tipe puskesmas dan jumlah kapitasi pertahun Hasil dari penelitian menunjukkan; rata-rata kesesuaian jenis obat di RKO dengan pengadaan obat sebesar 85,90%, kesesuaian jumlah obat di RKO dengan pengadaan sebesar 70,55%, kesesuaian antara pengadaan obat dengan Fornas  sebesar 77,01%. Kesesuaian dana obat yang terdapat dalam RKO dengan pengadaan obat sebesar 95,77%, alokasi dana pengadaan yang terserap sebesar 93,86%, alokasi dana obat sebesar 20,35% dari total dana pelayanan Kesehatan di Puskesmas. Pengadaan obat berdasarkan e-catalogue sistem sebesar 32,44%. Pengadaan obat di Puskesmas Kabupaten Cianjur belum sesuai dengan perencanaan, penggunaan dana JKN yang belum optimal, dan pengadaan obat berdasarkan e-catalogue masih perlu ditingkatkan

    ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA ARIPRIPRAZOL DENGAN OLANZAPIN PADA PASIEN RAWAT INAP SKIZOFRENIA DI RUANG TENANG RSKD DUREN SAWIT

    Get PDF
    Masalah kesehatan jiwa di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang sangat penting dan harus mendapatkan perhatian yang serius.  Terapi pasien skizofrenia di ruang tenang dapat diberikan obat Olanzapin (generik), Aririprazol (Abilify®) dan Olanzapin (Sopavel®). Harga Aripriprazol (Abilify®) lebih mahal dari Olanzapin generik dan Olanzapin (Sopavel®). Penelitian ini bertujuan melihat efektivitas biaya. Desain penelitian adalah kohort, pengambilan sampel dilakukan dengan total sampling  dan dilaksanakan pada bulan Juni – September 2019 di ruang tenang RSKD  Duren Sawit.  Data diambil dari rekam medis yang meliputi skor PANSS awal dan akhir, biaya total medis langsung. Total sampel yang diperoleh dari penelitian ini adalah 206 pasien yang terdiri dari 30 pasien kelompok aripriprazol  (abilify®), 62 pasien kelompok olanzapin generik dan  114 pasien kelompok olanzapin (sopavel®). Rerata biaya total medis langsung aripriprazol (abilify®) adalah Rp 1.748.652,07 lebih tinggi dibandingkan olanzapin generik seharga Rp 1.430.129,79 dan olanzapin (sopavel®) Rp 1.718.436,68. Hasil uji pre dan post terapi menunjukkan perbedaan bermakna untuk penurunan skor PANSS. Uji beda ketiga terapi dengan uji statistik Kruiskall Wallis menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,006,P<0,05) untuk rerata penurunan skor PANSS, aripriprazol(abilify®)  45,43, Olanzapin  26,48 dan Sopavel® 44,55.  Akan tetapi tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p>0,005)terhadap lama hari rawat (LOS

    ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA TERAPI OLANZAPIN DAN KOMBINASI HALOPERIDOL DENGAN DIAZEPAM SECARA INTRAMUSKULAR PADA PASIEN RAWAT INAP SKIZOFRENIA FASE AKUT DI RSKD DUREN SAWIT

    Get PDF
    Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang dapat mempengaruhi pikiran, perasaan dan perilakuindividu, ditandai dengan hilangnya pemahaman terhadap realitas dan daya tilik diri. Pasien skizofrenia padafase akut dapat diberikan olanzapin injeksi dan kombinasi haloperidol injeksi dan diazepam injeksi secara intramuskular. Harga olanzapin injeksi lebih mahal daripada kombinasi haloperidol injeksi dan diazepam injeksi.Penelitian ini bertujuan untuk melihat biaya rerata medis langsung dan membandingkan denganefektivitasnya. Penelitian ini dilakukan secara kohort prospektif di RSKD Duren Sawit dari Juni – Agustus 2019.Data pasien diambil dari rekam medis, data total biaya langsung medis di ruang akut, nilai PANSS EC pre danpost perawatan di ruang akut. Jumlah total sampel dalam penelitian ini adalah 193 pasien, terdiri atas 102pasien kelompok olanzapin injeksi dan 91 pasien kelompok kombinasi haloperidol injeksi dan diazepam injeksi.Rerata total biaya medis langsung yang diperlukan pasien skizofrenia fase akut dengan olanzapin injeksisebesar Rp 2.446.644±814.719 lebih tinggi dari kombinasi haloperidol injeksi dan diazepam injeksi sebesar Rp1.796.962±408.376,. Rerata selisih PANSS EC pre dan post rawat olanzapin injeksi 16,08 lebih tinggi darikombinasi haloperidol injeksi dan diazepam injeksi sebesar 14,62. Uji Mann Whitney menunjukkan terapiolanzapin injeksi menunjukkan perbaikan yang lebih tinggi untuk perbaikan PANSS EC (p<0,05), tetapi tidakterdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05) dalam lama hari rawat (LOS)

    Analisis Dampak Kebijakan E-Catalogue terhadap Profil Pengadaan Obat di Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati

    Get PDF
    Pemerintah Indonesia mengendalikan harga secara langsung melalui LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) dengan menetapkan harga e-catalogue untuk pengadaan obat bagi pasien yang menggunakan sistem pembiayaan JKN-BPJS (Jaminan Kesehatan Nasional-Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak kebijakan e-catalogue pada profil pengadaan obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Fatmawati, baik yang ada dalam daftar e-catalogue dan non e-catalogue. Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional, analitik kuantitatif dengan longitudinal time series. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif menggunakan data harga pengadaan obat dari Sistem Informasi Rumah Sakit pada periode Januari 2011-Desember 2016. Hasil penelitian pada profil pengadaan obat menunjukkan persentase pengadaan obat e-catalogue, setelah penerapan e-catalogue (20,0-29,4%) lebih tinggi dari sebelumnya (10,0-17,2%), dan obat non e-catalogue lebih rendah setelah penerapan e-catalogue (70,6-80,0%) dari sebelumnya (82,8-90,0%). Persentase pengadaan obat setelah penerapan e-catalogue berdasarkan jenisnya: obat e-catalogue generik lebih tinggi (4,5-8,0%) dibandingkan sebelumnya (1,2-4,4%), obat generik non e-catalogue lebih tinggi (12,7-16,2%) daripada sebelumnya (4,4-14,1%), obat dengan nama dagang e-catalogue lebih tinggi (12,3-17,8%) daripada sebelumnya (5,6-12,4%), obat dengan nama dagang non e-catalogue lebih rendah (53,1-65,7%) dari sebelumnya (67,4-79,9%), obat paten e-catalogue lebih tinggi (2,7-4,2%) dari sebelumnya (1,8-3,6%), obat paten non e-catalogue hampir sama (1,4-1,9%) dari sebelumnya (1,1-1,9%). Kesimpulan dari studi ini adalah kebijakan e-catalogue meningkatkan pengadaan obat, baik obat generik, obat nama dagang, maupun obat paten yang ada dalam daftar e-catalogue
    corecore