20 research outputs found
TARI MAKEPUNG: SEBUAH REFLEKSI TRADISI BUDAYA MASYARAKAT JEMBRANA
Abstract
Makepung is a Balinese term for denoting a buffalo race traditional held by agreecultural community of Jembrana regency. This race has become the characteristics of this regency with the name “Bumi Makepung”. This Makepung tradition has also inspired the local artist to create some dance creations, one of which is the Makepung dance. This is a new creation that reflects the process of the buffalo race, from its preparation and race itself. Makepung dance gets the sympathy of the local people because of its theme that reflects the Makepung traditions that can be seen from; its theme on Makepung; its vocabulary of movement mostly of the symbolic movement of the racers and their buffaloes; the costume worn in the dance are mostly of the assesories used by the racers and their buffaloes during the race; and the accompanying music of Makepung dance is the Jegog music instruments which is always used during the race. Seeing the above factors, it is can say that Makepung dance is a reflection of the Makepung cultural traditions of the local people of Jembrana
Tugek Character in Topeng Carangsari
Purpose: Tugek is one of the characters in the prembon mask dance drama in Carangsari Village, Badung Regency, Bali. Luh Manik or popular as Tugek is a character who becomes the center of attention, because the message to be conveyed is delivered with a fresh joke.
Research methods: This study aimed to examine Tugek character in the performance of Tugek Carangsari prembon mask dance drama. It uses qualitative methods, namely researchers collect data, process data, analyze data and then analyze descriptively interpretively.
Result and discussion: The results shows that the character in Tugek Carangsari prembon dance drama performance used the TAT-SAT-SAT-TAT formula, which means “tatwa e anggo satwa, satwa e apang nyak metatwa” (tatwa/philosophy is used as a story so that the story contains tatwa).
Implications: Tugek character can be seen from the variety of movements, fashion, make-up, musical accompaniment, dialogue, vocals/gending, performance structure and the time and place of the performance
THE AESTHETICS OF RENTENG DANCE
Purpose: The Renteng dance in Saren I Hamlet, Nusa Penida, Klungkung, Bali has a very simple form. As a work of art, this dance does not explicitly show beautiful power, but implicitly, it can create beauty based on the qualities it has. This research aims to reveal, describe and understand the aesthetics of the Renteng dance in Saren I Hamlet, Nusa Penida, Klungkung, Bali.
Research methods: The method used in this research is qualitative utilizing data collection techniques in the form of observation and documentation. The results of this research show that the aesthetics of the Renteng dance in Saren I Hamlet, Nusa Penida, Klungkung, Bali can be seen through unity, diversity, and intensity.
Findings: The aesthetics contained in the Renteng dance through its three beautiful characteristics illustrate that no matter how simple the dance is, it will still create an aesthetic experience. The aesthetic experience of this dance can be seen through the unity of the elements or forming elements which are intertwined as a whole and single, and have a strong detailed effect that is carried out repetitively to create harmony.
Implications: The aesthetics contained in the Renteng dance in Saren I Hamlet, Nusa Penida, Klungkung, Bali, through the three characteristics of beauty that have been discussed, illustrate that no matter how simple or simple the dance is, it will still create an aesthetic experience. The aesthetic experience of the Renteng dance in Saren I Hamlet, Nusa Penida, Klungkung, Bali can be seen through the unity of the elements or forming elements which are woven wholly and singly, and have a strong detailed effect which is carried out repetitively, thus creating harmony
LEGONG DURGA SEBAGAI PENGUAT IDENTITAS TARI ANDIR DI DESA TISTA, KERAMBITAN, TABANAN
Tari Legong Durga di Desa Tista adalah salah satu tari klasik Bali di dalam Sekaa Andir Usana Budaya yang menggambarkan tentang representasi mitologi Hindu kisah Dewi Durga, sosok dewi yang berkarakter tegas, berwibawa dan agung dalam melawan kejahatan dan melindungi kebaikan. Kata Durga yang umumnya identik dengan tema Bapang yang ada di daerah lain, namun di Desa Tista Bapang dan Durga merupakan tema yang berbeda sehingga penting bagi penulis untuk meneliti Tari Legong Durga di Desa Tista. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana Tari Legong Durga di Desa Tista, dengan menggunakan metode kualitatif dengan memperoleh data dari hasil observasi, wawancara, studi dokumentasi, dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) Bentuk Tari Legong Durga di Desa Tista memiliki ciri khas klasik yang masih dipertahankan dalam Sekaa Andir Usana Budaya. (2) Tari Legong Durga di Desa Tista merupakan suatu sajian tari yang disakralkan oleh masyarakat di Desa Tista serta mempunyai fungsi sebagai penolak bala, tarian ini juga dapat difungsikan sebagai tari balih-balihan untuk hiburan dan kepentingan pariwisata, maka dari itu Tari Legong Durga memiliki dua fungsi yaitu, fungsi religi dan fungsi profan; (3) Makna yang terkandung dalam tari Legong Durga mengungkapkan makna yang mendalam yaitu denotasi, konotasi dan mitos. Denotasi mengacu pada makna langsung dari gerakan-gerakan tari, seperti nyalud ngombak, ngigelang lamak, ulap-ulap, ngepik khas andir,pangipuk Legong Durga. Di sisi lain, konotasi menafsirkan simbolisme yang lebih dalam, terkait dengan sistem religi dan ideologi masyarakat Bali, serta pesan moral yang terdapat dalam tari Legong Durga. Pesan moral dan ideologi yang tersemat dalam tari ini tidak hanya mencerminkan keberanian dan keadilan, tetapi juga mewakili pelestarian budaya dan representasi mitologi Hindu
Symbolic Meaning Relationship between the Condong Character and the Putri in the Gambuh Batuan Dance Drama
Gambuh is the oldest Balinese theatrical dance drama, with a rich repertoire of dance movements, music, dramaturgy, and costume design, making it the source of Balinese performing arts that emerged later. The main story is about the journey of Prince Panji to find his lover, Princess Candra Kirana. There are two important female characters, namely Condong (servant) and Putri (Princess), who have different social statuses but have a close relationship and play a key role at the beginning of the drama, making them the determinant of the success of the performance. The research aims to reinterpret the meanings contained in the Gambuh dance drama, especially the relationship between Condong and Putri, to offer a living interpretation of local wisdom, pass them on to the next generations, and contribute to building the character of the nation that has nobility and refinement of character. The research was conducted using a qualitative research method, including a literature review, participatory observation, and in-depth interviews in Batuan Village, Gianyar Regency, Bali. The research process begins with a formal description of the characters, dance movements, costumes, and antawacana (dialogue), then the symbolic meaning analysis is carried out using Aesthetic Theory and HG Gadamer and Paul Ricoeur's Hermeneutics approach. The results of the study show that the relationship between the two characters, Condong and Putri, carries the meanings of dedication, sincerity, ethics, and the strength of women - values that are local wisdom but very relevant to women today. The elements of Rwa Bhineda, which are two opposing forces, Trihita Karana, which is harmony with nature, God, and humans, and the Hindu concept of Satyam Sivam Shundaram, which embodies ethical and pure values wrapped in beauty in the Gambuh dance drama - are the essence of Gambuh that is relevant to the present day, making it universal, transcending time and distance
EH HO-CITTAKRAMA-ABYUDAYA DESA SWABUDAYA GADUNGAN
Om Swastyastu, Namobudaya,
Salam Kebajikan, Rahayu,
Terima kasih dihaturkan ke hadapan Hyang Widi Wasa atas asung kertha
wara nugraha-Nya, pelaksanaan Nata Citta Swabudaya (NCS) Desa
Gadungan dapat terlaksana dengan lancar, sukses, dan bermakna.
NCS merupakan pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat yang
diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat, dan
Pengembangan Pendidikan (LP2MPP) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar
bermitra dengan Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten
Tabanan. Desa Gadungan dipilih sebagai mitra NCS karena potensi desa
yang layak dikembangkan dalam bidang seni budaya. Adapun kegiatan NCS di
Desa Gadungan terdiri atas penciptaan tari dan iringan (Murdha Nata Sekar
Gadung), video profil Desa Gadungan, peletakan prasasti NCS ISI Denpasar
dan buku monografi Desa Gadungan. Kegiatan NCS dilaksanakan dengan
saling bersinergi dan bekerja sama dengan seluruh elemen masyarakat yang
ada di Desa Gadungan.
Buku monografi Desa Gadungan dengan judul Yeh Ho-CittakramaAbyudaya
memberikan gambaran mengenai Desa Gadungan dengan
potensi sumber daya alam yang dilintasi sungai Yeh Ho sebagai sumber
kehidupan bagi masyarakat Desa Gadungan. Sungai Yeh Ho memberikan
manfaat bagi lahan pertanian dan perkebunan warga sehingga potensi agro
di Desa Gadungan menjadi potensi terbesar. Cittakrama berkaitan dengan
latar belakang sejarah perjuangan kemerdekaan RI 1945. Desa Gadungan
menjadi basis perjuangan dengan menghadirkan pejuang-pejuang tangguh yang membela persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Hal ini dibuktikan dengan adanya monumen perjuangan. Abyudaya
terkait dengan kemakmuran dan semangat hidup masyarakat. Potensi Desa
Gadungan dikembangkan melalui program NCS sebagai upaya mendorong
pemajuan perekonomian masyarakat setempat sejalan visi NCS, yakni
mewujudkan ekosistem seni budaya berkelanjutan
Seluruh tim NCS Desa Gadungan menghaturkan terima kasih kepada
seluruh elemen masyarakat Desa Gadungan yang telah berkontribusi dalam
pelaksanaan NCS ini.
Om Santih, Santih, Santih Om
SEJARAH SENI PERTUNJUKAN KABUPATEN GIANYAR
KATA PENGNATAR
Kabupaten Gianyar telah dikenal oleh masyarakat dunia baik
dalam maupun luar negeri sebagai daerah seni, termasuk di dalamnya
seni lukis, seni pertunjukan, seni patung, seni kria maupun seni tenun.
Gianyar juga memilki berbagai macam makan tradisional (kulimer)
dan yang paling khas aalah Babi Guling. Untuk membangkitkan dan
mengembangkan potensi seni yang ada, maka Pemerintah Kabupaten
Gianyar telah menjalin kerjasama dengan Insititut Seni Indonesia (ISI)
Denpasar. Salah satu realisasi dari kerjasama itu dilakukan penulisan
buku dengan judul Sejarah Seni Pertunjukan Kabupaten Gianyar.
Penulisan buku ini dicanangkan dalam untuk menyongsong
ditetapkannya kota Gianyar sebagai Word Craf City (WCC). Untuk
menulis buku ini, semula kami sebagai tim penulis merasa sangat sulit
menyelasaikanya. Kesulitan utama adalah sumber karena, landasan
utama penulisan sejarah adalah sumber. Sumber tentang seni
pertunjukkan sangat langka, biasanya penulis sejarah seni pertunjukan
berpegang pada prasasti dan artefak. Sumber prasasti bisanya
mencantumkan secara singkat tentang jenis kesenian dan kebijakan
raja, sedangkan artefak hanya memberikan ilustrasi keberadaan seni
pertunjukan pada jaman Bali Kuna.
Kenyataanya seni pertunjukan hidup dan diwarisi di daerah
Gianyar mengandung makna sebagai pedoman prilaku, yang dapat
diliterasi melalui gerak simbolik yang ditampilkan dan cerita yang
digunakan. Melalui gerak dan cerita serta perubahan jiwa jaman sejarah
seni pertunjukan di Gianyar dapat jelaskan yang akhirnya penulisan
buku ini dapat diselesaikan. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan
ini masih banyak yang perlu disempurnakan tetapi dapat dijadikan
petunjuk untuk menuliskan sejarah seni pertunjukan berikutnya. Oleh
karena itu, rasa bakti dan puji syukur kami aturkan kepada Ida
Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan jalan yang tak dapat dijelaskan untuk menyelesaikan buku
ini.
Penulisan bisa berjalan sesuai dengan harapan karena dibiaya
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar, karena itu ucapan terima
kasih yang dari lubuk hati yang terdalam kami aturkan kepada Bapak
Bupati Gianyar, I Made Mahayastra, SST. Par. MAP. Ucapan terima
kasih juga kami aturkan kepada Bapak Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr.
I Gede Arya Sugiartha, S.SKar., M.Hum yang telah memberikan
semangat dan dorongan yang sangat kuat untuk menyelesaikan
penulisan ini. Kepada Ibu Ida Ayu Surya Mahayastra juga saya
ucapkan banyak terima kasih selaku Dewan Kerajinan Nasional
Kabupaten Gianyar yang telah memberikan semangat dan doringan
yang kuat dalam menyelesaikan penulisan buku ini. Kepada Bapak
Kepala BAPEDA daerah Kabupaten Gianyar, Kepala Dinas
Perindustrian dan Perdagangan kami ucapkan banyak terima kasih
karena telah berjuang dan bersusah payah memperlancar perjalanan
penulisan buku ini. Kepada berbagai pihak terutama rekan-rekan di ISI
Denpasar yang telah mendukung secara moral maupun tenaga juga
kami ucapkan banyak terima kasih.
Dalam kata pengantar ini perlu kami sampaikan bahwa
penulisan ini berpedoman pada asumsi sejarah berdasarkan perubahan
jiwa jaman. Setiap jaman akan menawarkan sistem budaya sebagai
landasan normatif dalam kehidupan bermasyarakat. Landasan normatif
akan mengalami perubahan sesuai dengan perubahan jiwa jaman yang
berimplikasi pada munculnya seni pertunjukan. Perubahan landasan
normatif itulah dapat dijadikan landasan untuk menjelaskan
perkembangan seni pertunjukan dari masa lampau sampai ke masa kini.
Perubahan jiwa jaman akan merubah sistem budaya yang berimplikasi
pada perubahan kreavitas manusia dalam bidang seni pertunjukan.
Ketika keyakinan masyarakat Gianyar yang sangat kuat
terhadap roh gaib dapat mengganggu ketentraman masyarakat,
berimplikasi pada munculnya berbagai jenis seni pertunjukan sebagai
media pemujaan pada roh gaib. Jenis-jenis seni pertunjukan itu dapat
diasumsikan dengan munculnya berbagai jenis tari Sanghyang. Tari
Sanghyang merupakan tari kesurupan, dimana penarinya di rasuki
kekuatan gaib, sehingga dalam kitidak sadarnya mereka menari. Kata
hyang dalam masyarakat Bali dianalogikan dengan roh gaib, sehingga
tari Sanghyang adalah tari yang dimasuki roh gaib. Sebutan tari
Sanghyang dikaitan dengan roh yang memasukinya, sehingga ada tari
Sanghyang Dedari, Sanghyang Jaran, Sanghyang Kambing,
Sanghyang Celeng, Sanghyang Bojog, dll.
Dengan munculnya sistem kerajaan di Gianyar, maka sistem
budaya yang dilembagakan juga mengalami perubahan, sehingga
muncul dikotomi budaya yaitu budaya kerajaan dan budaya
kerakyatan. Sistem budaya ini berimplikasi pada ratu dan panjak (kaulagusti) yang pada prinsipnya bertujuan untuk menguatkan (legitimasi)
kekuasaan raja. Sistem budaya yang dilembagakan ini juga
berimplikasi pada munculnya berbagai jenis seni pertunjukan dengan
mengambil sumber cerita tentang kerajaan dan nilai moral keagamaan.
Seni pertunjukan itu dapat diasumsikan antara lain, Dramatari
Gambuh, Wayang Wong, Parwa, Arja dan Legong Keraton.
Perubahan jiwa jaman dari jaman kerajaan kejaman demokrasi,
muncul berbagai kreativitas seni pertunjukan yang mengarah pada
kebebasan berekpresi dan berinovasi. Dengan demikian maka muncul
berbagai jenis seni kreasi baru dan seni pertunjukan kontemporer,
sebagai hasil kemasan terhadap seni tradisi atau perpaduan antara
berbagai unsur seni yang datang dari luar.
Dengan selesainya penulisan buku ini akan dapat disadari
bahwa daerah Kabupaten Gianyar memiliki berbagai jenis seni
pertunjukan yang diwarisi dari jaman Bali Kuna sampai sekarang.
Pewarisan itu tidak hanya dalam bentuk pertunjukan tetapi fungsi dan
maknanya sebagai pembentuk karakter bangsa. Berbagai nilai
ditawarkan oleh seni pertunjukan yang dapat digunakan sebagai
pedoman prilaku dalam kehidupan masyarakat.
Gianyar, …………2019
Tim Penulis