8 research outputs found

    Qualitative Study of Correspondence Between Patient Perception of Service Advertisement and Service Provided From Traditional Health Facilities

    Full text link
    Background: Attractive adses of traditional health services often promises such as certainty of healing, treatment without side effect, experience personnel, exclusive recipes, and testimony of patients who recovered. Ads that this unsubstantiated allegedly played a role in the tendency of people turn to traditional medicine. The aim of the study is to describe the perception of patients about the correspondence between the advertisement and the services provided qualitatively. Methods: The study was conducted in Surabaya for 5 months in 2012. Informants were selected purposively. results: The result shows that most of the information about traditional health services obtained from either advertisement local and national television. Health complaints predominanly degenerative diseases, and most have been treated to modern medicine but because they do not heal, switch to traditional medicine. conclusion: Informants judge ad featuring attractive because advanced equipment, herbal remedies as well as testimonials of patients who have recovered. Much of the promise of the ads is not evident when patients seek treatment, so they seek other traditional treatments. Most of them are less satisfied, but there is a fraction that satisfied because being cured. Traditional health services responsiveness associated with the non-medical aspects assessed either by informants. recomendation:Competent authorities should enforce and socialize media literacy to encourage community

    PENGARUH KOMBINASI DZIKIR DAN RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA IBU PRE OPERASI SECTIO CAESAREA DI RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING YOGYAKARTA

    Get PDF
    Latar Belakang: Melahirkan merupakan proses akhir dari serangkaian kehamilan. Ada dua cara persalinan yaitu persalinan lewat vagina, lebih dikenal dengan persalinan normal atau alami dan persalinan dengan operasi caesarea, yaitu bayi dikeluarkan lewat pembedahan perut. Tindakan pembedahan sering menimbulkan rasa takut yang berdampak pada cemas. Manajemen kecemasan ada farmakologi dan non farmakologi. Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan adalah dzikir dan relaksasi nafas dalam. Tujuan: Diketahuinya pengaruh kombinasi dzikir dan relaksasi nafas dalam terhadap tingkat kecemasan pada ibu pre operasi section caesarea di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta. Metode: Pre eksperimen dengan desain one group pretest dan posttest. Teknik pengambilan sampel accidental sampling dengan analisis non parametrik (Wilcoxon dan mann whitney). Responden penelitian sebanyak 27 orang. Hasil: Pengaruh dzikir dan relaksasi nafas dalam p-value >0,05, tingkat kecemasan sebelum dilakukan intervensi normal sebanyak 11 orang (40,7%) dan sesudah dilakukan intervensi normal sebanyak 25 orang (92,6%). Perbedaan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah intervensi p-value <0,05. Diagnosa sectio caesarea disebebkan karena DKP sebanyak 2 pasien (7,4%), HDK sebanyak 2 pasien (7,4%), Janin besar sebanyak 1 pasien (3,7%), KPD sebanyak 10 pasien (37,0%), Oligohidramnios sebanyak 2 pasien (7,4%), Riwayat SC sebanyak 10 pasien (37,0%). Dan status pembayaran subjek penelitian terbesar adalah menggunakan BPJS Non PBI sebanyak 22 pasien (77,8%) serta BPJS PBI sebanyak 6 pasien (22,2%). Simpulan dan Saran: Ada pengaruh kombinasi dzikir dan relaksasi nafas dalam terhadap tingkat kecemasan pada ibu pre operasi section caesarea di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta. Responden dapat menjadikan dzikir dan relaksasi nafas dalam sebagai terapi pendamping non farmakologi dan sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT

    MOTIVASI MENJALANI KEMOTERAPI PADA PASIEN KANKER SERVIKS

    Get PDF
    Latar belakang: Kanker serviks merupakan penyakit keganasan ginekologi yang beresiko terhadap kematian. Salah satu pengobatan kanker serviks adalah kemoterapi. Pemberian kemoterapi yang bersifat sistemik dan dalam jangka waktu lama memerlukan motivasi. Motivasi berfungsi untuk mendorong pasien menjalankan kemoterapi sesuai program sehingga tujuan kemoterapi dapat tercapai. Tujuan penelitian: Tujuan penelitian mengetahui motivasi menjalani kemoterapi pada pasien kanker serviks melalui studi literature. Metode: Penelusuran melalui dua database Google Scholar dan Science Direct rentang tahun 2015-2020. Seleksi literature menggunakan PRISMA dengan dilakukan skrining inklusi dan eksklusi dan dilakukan uji kelayakan mengunakan JBI Critical Apraisal Tools: cross sectional study dan kualitatif studi fenomenologi dengan hasil skor kelayakan jurnal adalah 50,7% sampai dengan 90%. Hasil: Motivasi menjalani kemoterapi pada kanker serviks disebutkan dalam 3 jurnal yaitu dukungan keluarga, penerimaan dan harapan serta spiritual. Dua jurnal yang lain menyebutkan bahwa kualitas hidup sebagai tujuan dilakukannya kemoterapi sehingga menempati fungsi sebagai bagian dari komponen motivasi yaitu tujuan. Tiga jurnal memiliki subjek pasien yang menjalani kemoterapi dan dua jurnal merupakan penerima kemoterapi dan pengobatan yang lain. Kemoterapi dan pengobatan lain merupakan salah satu komponen motivasi yaitu kebutuhan. Kesimpulan dan saran: Dukungan keluarga, harapan dan penerimaan serta spiritual merupakan motivasi menjalani kemoterapi sedangkan kualitas hidup dan pengobatan merupakan bagian dari komponen motivasi menjalani kemoterapi. Saran bagi keluarga pasien dengan kanker serviks diharapkan dapat memberikadukungan kepada pasien berupa pendampingan selama menjalani kemoterapi. Bagi profesi keperawatan dapat memberikan asuhan keperawatan dengan berfokus pada keterlibatan keluarga dan pendekatan spiritual

    PERLINDUNGAN ANAK DARI ORANG TUA YANG BERCERAI

    No full text
    Penelitian bertujuan mendeskripsi bentuk perlindungan anak dari orang tua yang bercerai pada kalangan Suku Lembak di desa Renah Lebar, Kecamatan Karang Tinggi, Kabupaten Bengkulu Tengah. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif. Data dikumpulkan melalui proses wawancara, dan observasi, serta didapat dari artikel, buku-buku, hasil laporan penelitian dan monografi desa. Penelitian menghasilkan 10 orang informan bercerai mengakhiri perkawinan secara perceraian adat. Setelah bercerai anak dari hasil perkawinan informan seluruhnya tinggal dan diasuh oleh ibunya. Alasan anak tinggal bersama ibu karena: masih sangat singkatnya umur rumah tangga pasangan sementara umur anak masih balita, dan suami mendahului perceraian dengan pergi meninggalkan rumah terlebih dahulu tanpa meninggalkan uang sepeserpun serta tanpa pembicaraan mengenai pengasuhan anak. Bentuk perlindungan yang diberikan orang tua terhadap anak setelah bercerai berbeda antara orang tua laki-laki dengan orang tua perempuan. Bagi orang tua perempuan (ibu), anak adalah segala-galanya. Mereka tetap mengasuh, merawat, membesarkan, dan menafkahi anak walau tanpa bantuan dari mantan suami. Berbagai cara yang ditempuh dalam menafkahi anak yakni dengan bekerja di kebun, memotong karet, menjadi tenaga upahan, dan berdagang di rumah. Sementara orang tua laki-laki (ayah) yang tidak mengasuh anak, pada waktu anak umur balita sebagian besar dari mereka melalaikan tanggung jawabnya dalam memberikan nafkah anak, pada umumnya orang tua laki-laki bertanggung jawab dalam memberikan nafkah ketika anak sudah memasuki usia sekolah dan memerlukan banyak biaya, dan hanya bersifat insidentil. Adapun nilai lokal masyarakat Suku Lembak dalam melihat masalah perlindungan anak adalah, ada keterkaitan antara sistem perkawinan ”semendo isteri” yakni setelah menikah suami tinggal di rumah isteri, segala urusan diselesaikan di dalam keluarga isteri, termasuk setelah kedua pasangan bercerai, anak beserta rumah menjadi hak dan tanggung jawab bagi isteri. Nilai lainnya adalah terdapat pergeseran terhadap nilai perceraian yang tidak lagi menganggap bahwa perceraian adalah hal yang memalukan, bahkan dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan biasa terajadi dalam suatu masyarakat. Sedangkan norma adat lokal yang berlaku di masyarakat masih tetap mengatur tentang perwalian anak yakni seteleh orang tua bercerai anak berada di bawah pengasuhan ibunya, sementara dalam masalah tanggung jawab dalam menafkahi anak adalah merupakan tanggung jawab berdua dari kedua orang tua, hanya saja saksi adat yang mengatur masalah tanggung jawab orang tua ini seringkali tidak dijalankan. Saksi yang ada hanya berupa sanksi sosial yakni dengan cemoohan dan gunjingan bahwa ibu atau ayah tersebut dianggap tidak beres dan tidak normal karena telah meninggalkan anaknya. Pihak lembaga adat berhak ikut memutuskan tentang pengasuhan anak setelah orang tua bercerai, jika perceraian pasangan diakhiri dengan konflik keluarga. Adapun impilikasi perceraian secara adat adalah, anak seringkali menjadi korban dari kelalaian orang tua laki-laki dalam memberikan nafkah terhadap anak

    A Chronicle of Indonesia’s Forest Management: A Long Step towards Environmental Sustainability and Community Welfare

    No full text
    Indonesia is the largest archipelagic country in the world, with 17,000 islands of varying sizes and elevations, from lowlands to very high mountains, stretching more than 5000 km eastward from Sabang in Aceh to Merauke in Papua. Although occupying only 1.3% of the world’s land area, Indonesia possesses the third-largest rainforest and the second-highest level of biodiversity, with very high species diversity and endemism. However, during the last two decades, Indonesia has been known as a country with a high level of deforestation, a producer of smoke from burning forests and land, and a producer of carbon emissions. The aim of this paper is to review the environmental history and the long process of Indonesian forest management towards achieving environmental sustainability and community welfare. To do this, we analyze the milestones of Indonesian forest management history, present and future challenges, and provide strategic recommendations toward a viable Sustainable Forest Management (SFM) system. Our review showed that the history of forestry management in Indonesia has evolved through a long process, especially related to contestation over the control of natural resources and supporting policies and regulations. During the process, many efforts have been applied to reduce the deforestation rate, such as a moratorium on permitting primary natural forest and peat land, land rehabilitation and soil conservation, environmental protection, and other significant regulations. Therefore, these efforts should be maintained and improved continuously in the future due to their significant positive impacts on a variety of forest areas toward the achievement of viable SFM. Finally, we conclude that the Indonesian government has struggled to formulate sustainable forest management policies that balance economic, ecological, and social needs, among others, through developing and implementing social forestry instruments, developing and implementing human resource capacity, increasing community literacy, strengthening forest governance by eliminating ambiguity and overlapping regulations, simplification of bureaucracy, revitalization of traditional wisdom, and fair law enforcement
    corecore