485 research outputs found
THE EFFECT OF SURPLUS FREE CASH FLOW AND AUDIT QUALITY ON EARNINGS MANAGEMENT (Empirical Study on Manufacturing Companies Listed on The Indonesia Stock Exchange from 2013-2016)
This study aims to investigate the influence of surplus free cash flow on earnings management, as well as the interaction between audit quality and surplus free cash flow. The dependent variable of this study is earnings management, with surplus free cash flow and audit quality as the independent variables. Audit quality is measured using two measurements, audit firm size and auditor’s industry specialization. This study also uses a control variable which is cash flows from operations.
The data used in this study is secondary data obtained from financial statements of 500 manufacturing companies listed on the Indonesia Stock Exchange from 2013-2016 as the sample. This study uses purposive sampling as the sampling method. The method used in this study to examine the interactions between the variables is multiple regression analysis.
The findings in this study indicate that surplus free cash flow has positive significant influence on earnings management. Audit firm size is found to have positive significant effect on earnings management, while auditor’s industry specialization do not have a significant effect on earnings management. However, the interactions between both audit quality measurements and surplus free cash flow have significant effect on earnings management
Pengaruh Pemberian Pupuk Pada Posisi Vertikal Batang Terhadap Sifat Fisik Dan Mekanik Bambu Petung (Dendrocalamus Asper (Schult. F.) Backer Ex Heyne)
Penelitian ini bertujuan menganalisa pengaruh pemberian pupuk kompos plus mikoriza dan posisi vertikal batang terhadap sifat fisik dan mekanik bambu petung (Dendrocalamus asper (Schult. F.) Backer ex Heyne). Respon yang diamati adalah kerapatan, kadar air, modulus elastisitas (MOE) dan modulus patah (MOR). Pemupukan dilakukan pada awal penanaman dengan pupuk kompos plus mikoriza sebanyak 5 kg/lubang tanam dengan ukuran setiap rumpun 5 x 5 m2. Bambu percobaan diambil 20 batang dari 3 rumpun untuk penelitian sifat fisik dan mekanik. Contoh uji diambil pada ruas ke-3 (40-50 cm) dari Penelitian Hasil Hutan Vol. 27 No. 4, Desember 2009: 323-336 bagian pangkal batang sepanjang lebih kurang 7 m. Kemudian dibagi 3 menurut ketinggian batang (pangkal, tengah dan ujung). Hasil penelitian menunjukkan, diameter dan tebal bambu yang diberi perlakuan jauh lebih besar dibandingkan dengan bambu petung yang tidak diberi perlakuan. Nilai rata-rata kerapatan dan kadar air tidak menunjukkan konsistensi antara perlakuan dengan kontrol pada posisi vertikal batang. Nilai rata- rata MOE hasil pemupukan pada bagian pangkal menurun 46% dan bagian tengah 44%, namun pada bagian ujung meningkat sebesar 10%. Demikian pula MOR, pada bagian pangkal menurun 44%, bagian tengah 44% dan bagian ujung meningkat sebesar 2%
Karakteristik Ekstrak Kulit Kayu Mahoni Sebagai Bahan Perekat Kayu
Sebagian kebutuhan bahan baku dan bahan pembantu untuk industri perekat seperti NaOH, NH4OH, dan metanol saat ini sudah tersedia di pasaran dalam negeri, sementara bahan baku seperti fenol dan resorsinol yang bersumber dari minyak bumi semakin terbatas, dengan demikian sudah selayaknya untuk menggunakan bahan baku dari sumber daya alam lain, misalnya tanin yang berasal dari kulit pohon. Tulisan ini menyajikan hasil eksplorasi dan karakterisasi bahan baku perekat dari kulit kayu mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.) sebagai sumber senyawa fenolik dan tapioka sebagai sumber karbohidrat. Tulisan ini juga menguraikan hasil reaksi kopolimerisasi ekstrak tanin mahoni dengan formaldehida, dan peramuannya dengan tepung tapioka untuk aplikasi perekat kayu komposit, serta uji kualitas produk perekatannya. Kulit kayu mahoni dipotong-potong menjadi serpih berukuran 2 cm x 1cm x 0,1 cm, kemudian direndam di dalam ekstraktor berisi air panas (70-80oC) dengan perbandingan bahan : air = 1 : 3. Ekstraksi dilakukan selama tiga jam dan selama proses campuran itu selalu diaduk, kemudian campuran didinginkan dan disaring. Residu diekstraksi kembali seperti sebelumnya sampai 2 kali, filtrat yang diperoleh kemudian digabung dan dibagi 2, sebagian dikristalkan dalam penangas air dan sebagian lagi digunakan untuk pembuatan perekat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara visual, ekstrak tanin dari kulit mahoni ini berupa cairan berwarna gelap cokelat kemerahan mirip dengan warna senyawaan fenolik dengan kekentalan 1,04 poise, bobot jenis 1,02 serta nilai derajat keasaman (pH) 4. Ekstraksi kulit kayu mahoni memiliki rendemen 8,1 %, dengan kadar padatan (solid content) rata-rata 2,01%, kadar senyawa fenolik 6,9%, dan distribusi bobot molekul antara 44 – 658. Formula optimum perekat dari ekstrak kulit kayu mahoni adalah yang menggunakan campuran 0,25 mol resorsinol teknis dengan tapioka 15% dan formalin teknis 1 mol, serta katalis (NaOH 40%) sebanyak 4% dari total bobot perekat
VARIOUS FACTORS AFFECT THE QUALITY OF FERMENTED CASSAVA STARCH
Fermented cassava starch is one of modified cassava starch products and used in many countries in several food products. The fresh extracted cassava starch is modified by a process of fermentation and sun drying by means the traditional methods. Several works have shown that fermentative process alters the starch granule, giving fermented starch its characteristics are different from those of the native cassava starch. The main difference between fermented cassava starch and native starch reside in the expansion property. Understanding the transformation of physico-chemical properties of cassava starch during fermentation is important for controlling the production processes. This discourse refers to the several works that intend to chemically show the expansion property of fermented cassava starch, considered a chemically and enzymatically modified product, with acidic characteristics, perforated granules and high expansion capacity. Expansion is a natural characteristic of fermented cassava starch, defined as the growth rate of the dough during oven cooking, also referred to as expansion rate. The main aim of this discourse is to get a better understanding how to manage the production processes in order to achieve greater consistency in the quality of sour cassava starch.Fermented cassava starch is one of modified cassava starch products and used in many countries in several food products. The fresh extracted cassava starch is modified by a process of fermentation and sun drying by means the traditional methods. Several works have shown that fermentative process alters the starch granule, giving fermented starch its characteristics are different from those of the native cassava starch. The main difference between fermented cassava starch[A1] and native cassava starch reside in the expansion property. Understanding the transformation of physico-chemical properties of cassava starch during fermentation is important for controlling the production processes. This discourse refers to the several works that intend to chemically show the expansion property of fermented cassava starch, considered a chemically and enzymatically modified product, with acidic characteristics, perforated granules and high expansion capacity. Expansion is a natural characteristic of fermented cassava starch, defined as the growth rate of the dough during oven cooking, also referred to as expansion rate. The main aim of this discourse is to get a better understanding how to manage the production processes in order to achieve greater consistency in the quality of sour cassava starch.Â
Anatomical and Physical Propertiesof Bisbul Wood (Diospyros Blancoi A.dc.)
Ebony (Diospyros sp.) is a heavy hardwood that is popularly known as blackwood. Diospyros consists of over 300 species spread throughout tropics area and about 100 species occur in Indonesia. Bisbul wood (Diospyros btancoi A.DC.) is one species of streaked ebony that is locally known as 'buah mentega'. The anatomical and physical properties of bisbul were studied to collect information for wood identification and to support appropriate use of the timber. Anatomical properties were studied from microtome sectioned samples, which have been coloured by safranin and mounted by entellan, while fiber dimensions were studied from macerated samples. Physical properties of bisbul wood studied include moisture content, density and percentage of volumetric shrinkage. Moisture content and density were studied from 20 x 20 x 20 mm samples based on wet and oven dry condition. Volumetric shrinkage was measured from dimension changes in radial, tangential and longitudinal shrinkage of 20 x 20 x 40 mm samples. The samples were measured in wet and oven dry conditions. The main anatomical characteristics to identify bisbul wood were black wood with pinkish streaked, heavy and very hard, very fine texture, even, lustrous surface and glossy, distinct growth ring, small size of vessels, apotracheal parenchyma forming reticulate pattern. The average moisture content was 59.86 ± 2.84%, the density average was 0.74 ± 0.04 gr/cm3 and volumetric shrinkage was 10.41±0.70%. The higher the stem, the more moisture content and the lower the density will be. Sapwood density was lower and had more moisture content than heartwood. The black pinkish heavy wood, bisbul was recommended to be used for carvings, sculpture, souvenir and luxuryinterior products
Sifat Papan Partikel Dari Kayu Kulit Manis (Cinnamomum Burmanii Bl)
Kayu kulit manis (Cinnamomum burmannii BL) merupakan salah satu komoditas potensial untuk dikembangkan. Kulit kayunya memiliki bau yang khas, banyak digunakan untuk berbagai keperluan, seperti penyedap rasa makanan atau kue. Bagian batang kulit manis tersebut berupa kayu belum dimanfaatkan optimal selain untuk kayu bakar. Pada proses pengolahan dolok kulit manis menjadi kayu gergajian dihasilkan limbah berupa serbuk dan slab yang dapat dijadikan serpih sebagai bahan baku pembuatan papan partikel. Penelitian untuk mengetahui sifat papan partikel yang dibuat dari limbah tersebut dilakukan dengan cara; partikel kulit manis baik dalam bentuk serbuk gergaji atau serpih, masing-masing dikeringkan dalam oven pada suhu 70 - 90 C sampai mencapai kadar air sekitar 5%, kemudian dicampur dengan serbuk gergaji (sebagai partikel halus) atau terdiri hanya dari partikel saja atau serpih (sebagai partikel kasar), lalu dicetak menjadi lembaran papan partikel menggunakan perekat urea formaldehida (UF), dikempa panas selama 10 menit pada suhu 140 C dengan tekanan 25 kg/cm2. Papan partikel yang dibuat berukuran 30 cm x 30 cmx 1,5 cm dengan kerapatan target masing-masing 0,6, 0,7 dan 0,8 g/cm3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air, kerapatan, pengembangan tebal, keteguhan lentur, keteguhan rekat internal dan kuat memegang sekrup papan partikel yang dihasilkan sudah memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia, kecuali untuk kerapatan 0,6 g/cm3dan 0,7 g/cm3yang dibuat dari campuran serpih dan serbuk gergaji
Penggolongan Performans 25 Jenis Rotan Indonesia Berdasarkan Kerapatan, Kekakuan, Dan Kekuatan
Rotan merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu, dan di Indonesia berperan penting sebab memasok 80% kebutuhan bahan baku rotan dunia. Rotan banyak dimanfaatkan antara lain untuk tali, anyaman, tikar, keranjang, perabot rumah tangga, barang kerajinan, dan produk meubelar. Pemanfaatan rotan menjadi produk berguna ditentukan diantaranya oleh kerapatan, dan kekuatan (MOR) dan kekakuan (MOE), di mana semakin tinggi nilai ketiga sifat tersebut, maka semakin baik pula kualitas rotan tersebut. Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, terdapat 2 dari 8 genera rotan yang bernilai ekonomi tinggi, yaitu Calamus dan Daemonorops. Sebagai kaitannya, telah dilakukan pencermatan 25 jenis rotan Indonesia dan kelasifikasinya berdasarkan kerapatan, MOR, dan MOE. Dua puluh lima jenis tersebut didominasi oleh Calamus spp. dan Daemonorops spp. Penelaahan secara menyeluruh berdasarkan kerapatan, MOR, dan MOE, sebanyak 16% dari 25 jenis rotan dapat dikelompokkan sebagai kelas I (sangat baik); 36% sebagai kelas II (baik); 32% sebagai kelas III (sedang); dan 16% sebagai kelas IV (rendah). Penelahan berdasarkan keseluruhan sifat (Kerapatan, MOR, MOE) mengindikasikan 4 jenis rotan yang paling berprospek untuk dimanfaatkan (mulai dari urutan tertinggi) yaitu Korthlsia rigida Bl, Calamus inops Becc.ex Heyne, dan Calamus koordesianus Becc dan Korthalsia echinometra Becc; sedangkan yang paling tidak berprospek adalah Korthalsia zeppelii Burret, Plectocomiopsis geminiflora(Griff) Becc, dan Calamus ornatus Blume dan Daemonorops malanocaetes BL
Kajian Potensi, Teknologi Pengolahandan Pemanfaatan Onggok untuk Industri Pangan
Industri tapioka berperan penting dalam ekonomi pertanian dan menjadi sektor industri pengolahan pangan terbesar di Propinsi Lampung. Produk samping yang dihasil kan dalam jumlah besar adalah serat ubikayu yang disebut onggok, di industri tapioka skala besar, hanya dimanfaatkan sebagai sumber pakan. Untuk meningkatkan nilai ekonomi onggok, maka dilakukan naratif review mengenai teknologi proses produksi serat pangan menggunakan onggok yang dihasilkan dari industri tapioka modern, dengan merujuk produk komersial thickener dan filler yang digunakan oleh industri pangan yaitu mikrokristalin selulosa. Integrasi industri tapioka modern dengan industri serat pangan berbasis onggok merupakan salah satu upaya untuk melaksanakan hilirisasi industri berbasis ubikayu yang mampu meningkatkan nilai tambah produk bahan mentah, memperkuat struktur industri, menyediakan lapangan kerja dan peluang usaha di Propinsi Lampung.
Kata kunci : Tapioka, Onggok, Serat Panga
Honeycombing and Deformation of Six Wood Species and Their Relationship with Several Physical
It is presumed that the wood susceptibility to drying defects is related to several physical properties. This paper examines the drying defects: honeycombing and deformation of six wood species (trema, fast growing teak, bayur, jabon, angsana and lamtoro) during high temperature drying and analyses their relationship with initial moisture content, T/R shrinkage ratio and density. Terazawa method was used to examine the defect during high temperature drying. Result shows that after high temperature drying, lamtoro suffers the worst honeycombing (level 4-6), and fast growing teak deforms severely (level 4-6). Regression analysis shows multiple regression models using all physical properties as predictors provides better estimation on deformation and honeycombing than single-predictor regression models. The multiple regression model for each defect could explain 57.52% and 39.46% of variation in deformation and honeycombing, respectively
- …