25 research outputs found

    TYPOLOGY OF VILLAGE GOVERNANCE ASSESSED BASED ON SOCIOLOGICAL PERSPECTIVE

    Get PDF
    Along with modern developments that exist today, various polemics have emerged in determining the typology of village governance that is in accordance with the principles of legal policy (legal policy) related to the sociological foundation in the form of understanding village conditions is absolutely necessary. Therefore, a stronger State institution is needed in dealing with the rational division of tasks and authorities between the State and regions (villages). In its preparation, it is necessary to describe a sociological condition of an intact village, which is viewed from the village elements which include the village area, village life system and village administration. The method and approach used was empirical (sociological research). There were several arguments for the need to understand the condition of the village sociologically where various villages throughout Indonesia have always been the basis of community livelihoods that have autonomy in managing the governance of the population, local institutions and economic resources with all the local wisdom possessed by local Indonesian communities. Furthermore, the regulation on village governance is intended to respond to the globalization process marked by the liberalization process of information, economy, technology, culture, etc

    DAMPAK PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA SELAMA PANDEMI COVID-19 PERSPEKTIF HUKUM KETENAGAKERJAAN

    Get PDF
    Research shows a wave of layoffs and a decrease in labor/employee/employee income during the COVID-19 pandemic. The percentage of dismissed workers/employees/employees in Indonesia at the end of April 2020 was 15.6%. Based on data obtained by the South Sumatra Regional Office of Manpower and Transmigration on April 29, 2020, as many as 612 workers in South Sumatra experienced layoffs due to the COVID-19 pandemic. A total of 7,020 workers were laid off and received no wages during the pandemic. The research method used is socio legal research, namely research that examines the social symptoms that exist in society and then correlates them with statutory regulations. The impact of layoffs during this pandemic, many of these companies often use force majeure reasons. On the other hand, to tackle the Covid-19 problem, one of the efforts made by the Government is the Circular of the Minister of Manpower Number M/3/HK04/II/2020 concerning Protection of Workers/Laborers and Business Continuity in the Context of Preventing and Overcoming Covid-19. Some companies that cut off work relations during the COVID-19 pandemic often use force majeure reasons, to avoid wages and severance pay that should be the rights of workers/laborers.Penelitian menunjukan terjadinya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja dan penurunan pendapatan buruh/karyawan/pegawai selama masa pandemi COVID-19. Persentase pemberhentian buruh/pegawai/karyawan di Indonesia pada akhir April 2020 sebesar 15,6 %. Berdasarkan data yang diperoleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Wilayah Sumatera Selatan tanggal 29 April 2020, sebanyak 612 pekerja di Sumatera Selatan mengalami pemutusan hubungan kerja akibat pandemi COVID-19. Sejumlah 7.020 pekerja dirumahkan dan tidak menerima upah selama masa pandemi. Metode penelitian yang digunakan socio legal research yakni penelitian yang mengkaji gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat kemudian dikorelasikan dengan peraturan perundang-undangan. Dampak dari pemutusan hubungan kerja di masa pandemi ini, banyak perusahaan ini seringkali menggunakan alasan force majeure. Di lain sisi, Untuk menanggulangi masalah Covid-19, salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah adalah Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/H.K.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Keberlangsungan Usaha dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Beberapa perusahaan yang memutus hubungan kerja di masa pandemi COVID-19 ini seringkali menggunakan alasan force majeure, untuk menghindari upah dan pesangon yang seharusnya menjadi hak pekerja/buruh

    SINKRONISASI PENGATURAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN KEHUTANAN DI DAERAH (Studi Penerapan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Juncto Pasal 66 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan)

    Get PDF
    Penelitian tesis ini membahas tentang sinkronisasi kewenangan Pmerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan kehutanan di daerah (Studi Penerapan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah) Juncto Pasal 66 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan)).Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pengaturan kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan kehutanan di daerah terjadi dualisme norma dikarenakan ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU Kehutanan menyatakan Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah terhadap penyelenggaraan kehutanan dalam rangka pengembangan otonomi daerah, sedangkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemerintahan Daerah merumuskan bahwa kewenangan penyelenggaraan hutan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi, sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota hanya berwenang mengelola Taman Hutan Raya. Dampak terhadap perbedaan tersebut adalah : terhadap struktur kelembagaan, Gubernur, Bupati/Walikota harus berkoordinasi dengan DPRD dan kementerian/lembaga terkait yang membidangi urusan pemerintahan konkuren meliputi bidang kehutanan, dan melaporkan pelaksanaannya kepada Menteri Dalam Negeri; terhadap hubungan antara Pemerintah Kabupaten dengan Pemerintah Provinsi, apabila tidak cermat dan tidak memperhatikan asas keadilan dan pemerataan dalampengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kehutanan yang secara kewilayahan pada umumnya berada pada wilayah kabupaten/kota, bukan provinsi, maka berpotensi timbulnya sentimen kedaerahan yang berlebihan dan terjadi konflik kepentingan; dan terhadap peraturan perundang-undangan, adalah terdapat dilema dasar peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan pemerintah mana yang berwenang dalam penyelenggaraan kehutanan di daerah, mana yang specialis mana yang generalis. Sinkronisasi dilakukan dengan dua cara, pertama, sinkronisasi vertikal melalui permohonan judicial review Pasal 14 UU Pemerintahan Daerah terhadap Pasal 18 ayat (2) UUD 1945. Kedua, sinkronisasi horizontal antara ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah, melalui pembentukan peraturan pelaksana misalnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pendelegasian Pemerintah Pusat (Presiden) kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Bupati/Walikota) terkait distribusi urusan kehutanan otoritet dan operasional dengan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan

    KEWENANGAN PEMAKZULAN TERHADAP KEPALA DAERAH OLEH MENTERI DALAM NEGERI

    Get PDF
    ABSTRAK:  Wabah pandemi virus covid-19 yang saat ini terjadi tidak hanya mempengaruhi aspek kesehatan masyarakat dibelahan dunia, melainkan juga menembus pula kehidupan sosial, ekonomi, politik dan bahkan hukum. Untuk meminimalisir kasus penularan covid-19 diberbagai daerah di Indonesia, pemerintah lewat Kemendagri membuat produk hukum yang berupa “Instruksi  Nomor 6  Tahun  2020  tentang  Penegakan  Protokol  Kesehatan Untuk  Pengendalian  Penyebaran  Corona Virus  Disease   2019”  yang dalam hal ini  menginstruksikan kepada seluruh Kepala Daerah  agar dapat menegakkan secara konsisten protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran covid-19 yang semakin meningkat. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini ialah Bagaimanakah pengaturan yang seharusnya terkait Pemakzulan Kepala Daerah di masa Pandemi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan Pendekatan filosofis, Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach), Pendekatan Penafsiran dan Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach). Berdasarkan hasil penelitian pengaturan yang ideal terkait Pemakzulan Kepala Daerah pada saat pandemi covid-19 saat ini ialah dengan cara merevisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah menambahkan sanksi berupa pemakzulan bagi Kepala Daerah yang melanggar dan tidak menegakkan protokol kesehatan dimasa pandemi

    PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK PEKERJA PEREMPUAN DI BIDANG KETENAGAKERJAAN

    Get PDF
    Asas yang mendasari hak bagi perempuan diantaranya hak perspektif gender dan anti diskriminasi dalam artian bahwa perempuan memiliki hak yang seperti kaum laki-laki dalam bidang pendidikan, hukum, pekerjaan, politik, kewarganegaraan dan hak dalam perkawinan serta kewajibannya. Perempuan mempunyai atas perlindungan yang khusus sesuai dengan fungsi reproduksinya sebagaimana diatur pada pasal 11 ayat (1) CEDAW huruf f bahwa hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi reproduksi. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri maupun bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah ataupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat dan sopan, selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya. Pada umumnya pemberian hak bagi perempuan sama dengan hak-hak lain seperti yang telah disebutkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Hak-Hak Asasi Manusia namun dengan alasan tadi maka lebih dipertegas lagi. Perlindungan buruh diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 67 sampai dengan Pasal 101 meliputi perlindungan buruh penyandang cacat, anak, perempuan, waktu kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, pengupahan dan kesejahteraan. Namun demikian, perempuan sendiri masih belum banyak yang sadar bahwa hak-haknya dilindungi dan bahwa hal tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan perempuan. CEDAW memerintahkan kepada seluruh negara di dunia untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Dasar hukum atas hak tersebut dalam instrumen internasional dapat ditemukan dalam Pasal 23 DUHAM, Pasal 6 ayat (1), 7 dan Pasal 8 ayat 1 butir (a) dan (b) Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, dimana didalamnya diatur hak-hak seseorang atas suatu profesi dan pekerjaan yang berlaku bagi semua orang. Dan pada Pasal 11 CEDAW, Pasal 3 Konvensi tentang Hak-Hak Politik Perempuan, dapat ditemukan adanya perlindungan hak tersebut yang diberlakukan lebih khusus kepada semua perempuan. Dalam instrumen nasional mengenai hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 49 (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam Pasal 49 (1) UU HAM disebutkan bahwa ”Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan”

    SOSIALISASI PRINSIP AKUNTABILITAS PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DESA DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DESA MENURUT UU NOMOR 6 TAHUN 2014 DI DESA SERIKEMBANG KECAMATAN PAYARAMAN KABUPATEN OGAN ILIR

    Get PDF
    Desa merupakan suatu wilayah yang didiami oleh sejumlah penduduk yang saling mengenal satu sama lain atas dasar hubungan kekerabatan dan/ atau kepentingan politik, sosial, ekonomi, dan keamanan. Dimana pertumbuhannya menjadi suatu kesatuan masyarakat hukum berdasarkan adat sehingga tercipta ikatan lahir dan batin antara masing-masing warganya yang pada umumnya warga tersebut hidup dari hasil pertanian, mempunyai hak mengatur rumah tangganya sendiri, dan secara administratif berada di bawah pemerintahan kabupaten/kota. Dengan adanya perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Jo Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Pengelolaaan keuangan desa yang dilaksanakan oleh Kepala Desa yang termaktub juga dalam  Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa. dikatakan bahwa minimal pendidikan kepala desa adalah smp sederajat, yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana pengaplikasiannya jika pendidikan hanya smp dan sederajat mengelola keuangan Negara dengan program pemerintah 1 desa 1 Milyar. Bentuk transparansi laporan pertanggungjawaban kepala desa dalam pengelolaan keuangan yang harus dilaporkan kepada Bupati secara langsung

    Efforts To Increase The Locally Generated Revenue of Palembang: Access To Incentives And Investment

    Get PDF
    Regional Original Revenue (PAD) is income obtained by the region, collected based on Regional Regulations by statutory regulations that are sourced from regional taxes, regional levies, separated regional wealth management results, and others including one the incentives and investment. as a measure to stimulate economic growth. If examined based on discussions with the four commissions, they approved the 2022 APBD of the Palembang City Government of IDR 3.84 trillion with a target of IDR 1.07 trillion of Original Regional Revenue (PAD). Efforts to increase investment must be supported by the development of quality infrastructure, professional apparatus, and the bureaucratic system as well as a safe and peaceful condition of the city of Palembang. The method used in this research is empirical with a statutory approach. Using the tools of analytical prescriptive analysis. To increase Regional Original Income (PAD) there are 2 (two) social implications that can be enjoyed by the region. First, the investment provides opportunities for potential economic resources to be processed into real economic forces that can encourage local economic dynamics, which in the end will also lead to economic growth and improvement of community welfare. Second, the investment will be followed by economic activities that can create new job opportunities. The availability of new jobs will certainly increase people's income and encourage the realization of prosperity and reduce poverty

    PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN EKSPLOITASI SEKSUAL

    Get PDF
    Eksploitasi seksual terhadap anak dapat mempengaruhi psikologi anak, Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang  dan berpartisipasi secaea optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Adapun anak yang menjadi korban eksploitasi seksual diatur dalam undang-undang perlindungan anak No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis tentang Pelindungan hukum terhadap anak korban eksploitasi seksual berdasarkan undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, selain itu juga faktor-faktor penghambat penegakan hukum anak korban eksploitasi seksual. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, yaitu penelitian kepustakaan dengan cara meneliti bahan Pustaka terkait permasalahan yang diteliti. Pada penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Analitis yang digunakan berupa analisis kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk perlindungan hukum terhadap anak dalam undang-undang perlindungan anak dengan cara memberikan hak-hak anak dalam mendapatkan perlindungan hukum yaitu memberikan bantuan hukum, rehabilitasi dan pencegahan. Adapun faktor penghambat penegakan hukum anak korban eksploitasi yaitu subtansi hukum, struktur hukum, budaya hukum, sarana dan prasarana.Kata kunci: Perlindungan Hukum, Anak Korban, Eksploitas

    Preventive Protection for Indonesian Migrant Workers as Part of an Effort to Prevent Human Trafficking in Johor Bahru Malaysia

    Get PDF
    The issues of Indonesian migrant workers are interminable; practically all bordering countries, including Malaysia, are destinations for Indonesian migrant workers. Administrative issues, salary disparities, exploitation, and human trafficking are all issues that Indonesian migrant workers encounter abroad. As the country's representative, the Embassy/Consulate General of the Republic of Indonesia plays a vital role in defending Indonesian migrant workers and Indonesian nationals overseas. The government's legal protection normally begins with document registration, followed by preparation, training, and placement. This study used a normative strategy with a statutory and case approach. Preventive protection takes the form of providing protection based on Law Number 21 of 2007 about TIP, Law Number 18 of 2017 concerning PMI Protection, and Malaysian Law in Deed 670 concerning the Anti-Trafficking in Persons and Anti-Migrant Smuggling Deed 2007. The Consulate General of the Republic of Indonesia Malaysia provides legal protection for Indonesian employees who are victims of illegal acts of human trafficking through both litigation and non-litigation routes

    PENERAPAN SISTEM PEMERINTAHAN BERBASIS ELEKTRONIK (SPBE) DI PEMERINTAH DAERAH UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE

    Get PDF
    Abstrak Penerapan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) di Pemerintahan Daerah ditujukan untuk mewujudkan proses kerja yang efisien, efektif, transparan, dan akuntabel, serta meningkatkan kualitas pelayanan publik. Agar pelaksanaan SPBE dapat berjalan sesuai dengan tujuannya, maka dalam rangka penerapannya perlu diatur berdasarkan prinsip-prinsip Good Governance. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dengan Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), Pendekatan Sejarah (Historical Approach) dan Pendekatan Futuristik (Futuristic Approach). Terselenggaranya good governance dapat mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Maka diperlukan pengembangan dan penerapan sistem partisipasi, transparansi dan akuntabilitas yang jelas dan nyata sehingga Penerapan SPBE di Pemerintah Daerah dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab. karena masih ditemukan di beberapa pemerintah daerah yang masih belum melaksanakan SPBE karena itu di masa mendatang dengan membuat dasar hukum yang lebih tinggi daripada Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang SPBE agar SPBE dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah dengan sebagaimana mestinya.Kata Kunci: Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), Pemerintah Daerah, Pelayanan Publik, E-government, Good Governance AbstractThe implementation of the Electronic-Based Government System (SPBE) in Regional Governments is aimed at realizing an efficient, effective, transparent and accountable work process, as well as improving the quality of public services. In order for the implementation of the SPBE to run in accordance with its objectives, in the context of its implementation, it is necessary to regulate it based on the principles of Good Governance. The research method used is normative research with the Statute Approach, the Historical Approach and the Futuristic Approach. The implementation of good governance can realize the aspirations of the people in achieving the goals and ideals of the nation and state. Therefore, it is necessary to develop and implement a clear and tangible system of participation, transparency and accountability so that the implementation of SPBE in local governments can take place in an efficient, effective, clean and responsible manner. because it is still found in some local governments that have not implemented SPBE because of that in the future by making a higher legal basis than Presidential Regulation Number 95 of 2018 concerning SPBE so that SPBE can be implemented by local governments properly.Keywords: Electronic-Based Government System (SPBE), Local Government, Public Service, E-government, Good Governanc
    corecore