7 research outputs found

    Hubungan Parameter Klinis Dan Laboratoris Terhadap Kejadian Infeksi Sekunder Pada Pasien Pneumonia Covid 19 Di Intensive Care Unit (Icu) RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

    No full text
    Latar belakang: Infeksi sekunder pada pasien COVID-19 dapat berupa koinfeksi maupun superinfeksi. Infeksi sekunder bakteri dan jamur pada pasien Covid-19 akan meningkatkan kebutuhan akan perawatan intensif dan peningkatan mortalitas. Terdapat beberapa prediktor dari infeksi sekunder pada pasien COVID-19 diantaranya kebutuhan akan ventilasi mekanis invasif, penggunaan Tocilizumab, nilai CRP tinggi saat masuk dan pengobatan dengan faktor piperacillin/ tazobactam serta nilai limfopenia yang berat. Tujuan: Mengetahui hubungan parameter klinis dan laboratoris terhadap kejadian infeksi sekunder pada pasien Pnemonia Covid 19 di ruang rawat inap intensif RSUD Dr. Saiful Anwar Malang. Metode: Penelitian merupakan studi satu senter, kohort retrospektif observasional. Diambil sampel pasien COVID-19 yang dirawat di ICU RSSA mulai dari bulan Agustus 2020 sampai dengan Agustus 2021 dengan sumber data dari rekam medis. Data yang dikumpulkan antara lain karakteristik demografis, hasil kultur sputum dan / atau darah dan / atau urine, dan data laboratorium Limfosit, Leukosit, Neutrofil, CRP dan Procalcitonin Hasil: Didapatkan 195 subyek setelah melalui proses inklusi dan eksklusi. Dari 195 subjek penelitian, mayoritas mengalami infeksi sekunder selama rawat inap di ICU dengan insidensi sebanyak 143 dari 195 pasien (73,3%). Sebagian besar pasien menderita superinfeksi (infeksi bakteri/jamur >48 jam setelah dirawat di rumah sakit) sebanyak 113 pasien (79,02%), sedangkan 30 pasien (20,98%) menderita koinfeksi (infeksi bakteri/jamur dalam 24-48 jam setelah dirawat di rumah sakit. Agen penyebab infeksi sekunder terbanyak adalah bakteri Gram negatif yang ditemukan pada 113 sampel kultur (59,47%), terutama bakteri Gram negatif non-fermentasi Acinetobacter baumanii yang ditemukan pada 44 sampel. Kultur dengan hasil bakteri Gram positif terdapat pada 58 sampel (30,53%) yang didominasi oleh Enterococcus faecalis (22 sampel) dan Staphylococcus coagulase negative strain (19 sampel). Infeksi sekunder yang disebabkan fungi hanya terdapat pada 19 sampel (10,0%), dengan agen kausa terbanyak adalah Candida albicans pada 11 sampel. Dari seluruh parameter laboratorium, tidak ada yang berhubungan signifikan terhadap infeksi sekunder pada pasien COVID-19 yang dirawat di ICU. Penggunaan antibiotik ceftriaxone berhubungan signifikan dengan kejadian infeksi sekunder (p<0,05), dengan semua 13 pasien (100,0%) yang menerima ceftriaxone menderita infeksi sekunder. Kesimpulan : Terapi antibiotik cephalosporin golongan ketiga ceftriaxone berhubungan signifikan terhadap kejadian infeksi sekunder pada pasien COVID-19 di RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang. Parameter klinis jenis kelamin, usia, penyakit komorbid, penggunaan tocilizumab, terapi TPK, terapi IVIG, penggunaan ventilator mekanik invasif dan Skor SOFA serta parameter laboratoris tidak berhubungan signifikan terhadap kejadian infeksi sekunder pada pasien COVID-19 di RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang

    Hubungan Antara Golongan Darah ABO Dengan Derajat Keparahan dan Mortalitas Pasien COVID-19 di Intensive Care Unit (ICU) RSUD Dr. Saiful Anwar

    No full text
    Beberapa Faktor menentukan tingkat Derajat keparahan dan Mortalitas pasien Covid-19. Golongan darah ABO mempunyai hubungan yang signifikan terhadap tingkat derajat keparahan dan mortalitas pasien Covid-19. Pemeriksaan Golongan darah ABO dapat memberikan gambaran prognosis serta panduan terapi COVID-19. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara golongan darah ABO dengan derajat keparahan dan mortalitas pasien COVID-19 yang dirawat di ICU RSUD Dr. Saiful Anwar. Diambil sampel pasien COVID-19 yang dirawat di ICU RSSA mulai dari bulan Maret 2020 sampai dengan September 2021 dengan sumber data dari rekam medis. Data yang dikumpulkan antara lain karakteristik demografis, komorbid pasien, hasil laboratorium Golongan darah, Modalitas terapi oksigenisasi, serta luaran pasien. Data laboratorium yang diambil adalah data pada hari pertama perawatan pasien di ICU. Didapatkan 225 subyek setelah melalui proses inklusi dan eksklusi dengan angka mortalitas sebesar 53,3%. Rerata kadar CRP pada pasien yang meninggal (16,95 95% CI 15,07 -18,84) lebih tinggi daripada pasien hidup (9,59 95% CI 8,04 – 11,15). Ditemukan bahwa kadar CRP > 14,32 mg/dL (AUC 0,721, sensitivitas 57,5%, Spesifisitas 79%, PPV 78%, NPV 58%) pada hari pertama perawatan di ICU merupakan prediktor mortalitas pada pasien COVID-19. Kadar CRP > 9,87 mg/dL (AUC 0,691, sensitivitas 70,9%, Spesifisitas 61,1%, PPV 70,4%, dan NPV 60,5%) pada hari pertama perawatan di ICU merupakan prediktor kebutuhan ventilasi mekanik invasif pada pasien COVID-19. Didapatkan hubungan yang signifikan antara golongan darah ABO dengan derajat keparahan dan mortalitas pasien COVID-19 yang dirawat di ruang ICU COVID-19. Golongan darah ABO dapat digunakan sebagai prediktor luaran pasien COVID-19 yang dirawat di ICU

    Hubungan Kadar Procalcitonin Dengan Luaran Pada Pasien Covid-19 Di Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar

    No full text
    Latar Belakang: Respon inflamasi sistemik berlebihan pada pasien Covid-19 dapat menyebabkan produksi sitokin pro-inflamasi dan kemokin, dimana hal tersebut dapat memicu badai sitokin. kadar procalcitonin meningkat secara signifikan karena pelepasan jaringan parenkimal di bawah pengaruh endotoksin dan sitokin proinflamasi. Pemeriksaan procalcitonin dapat menjadi parameter prognostik luaran pasien COVID-19. Tujuan: Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kadar prokalsitonin dengan luaran pasien pneumonia COVID-19, yaitu mortalitas pasien COVID -19 dan penggunaan ventilator invasif. Metode: Penelitian merupakan studi satu senter, kohort retrospektif observasional. Diambil sampel pasien COVID-19 yang dirawat di ICU RSSA mulai dari bulan Maret 2020 sampai dengan Maret 2021 dengan sumber data dari rekam medis. Data yang dikumpulkan antara lain karakteristik demografis, komorbid pasien, hasil laboratorium, modalitas terapi, serta luaran pasien. Data laboratorium yang diambil dua sample yaitu procalcitonin hari pertama dan pengambilan sample ke dua antara hari kedua dan ketujuh di ICU. Hasil: Didapatkan 139 subyek setelah melalui proses inklusi dan eksklusi dengan angka mortalitas sebesar 51.7%. Rerata kadar Procalcitonin pada pasien yang meninggal (1.61 (CI0.03 -99.75)), lebih tinggi daripada pasien hidup ( 0.1 (0.00-18.84)). Ditemukan bahwa peningkatan kadar PCT > 1.105 μg/ml ( AUC 0,724, sensitivitas 89.7%, spesifisitas 56.5%, PPV 39.4%, dan NPV 22.2% ) berbeda dengan pasien hidup ( 0.1 (0.00-18.84)). Ditemukan nilai Procalcitonin pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik (0,37 (0,02 -100)), tidak jauh berbeda pasien yang tidak menggunakan ventilasi mekanik ( 0,24 (0,02 -23.77)). Hasil analisis menggunakan uji Chi-square didapatkan hubungan antara perubahan nilai PCT dengan mortalitas memiliki nilai signifikansi sebesar 0.003 (p<0.05), dan penggunaan ventilasi mekanik dengan nilai signifikansi sebesar 0.104 (p>0.05). Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat bermakna antara kadar procalcitonin dengan angka mortalitas pasien COVID-19 ( p=0,003). Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar procalcitonin dengan mortalitas pasien COVID-19 yang dirawat di ruang ICU COVID

    Analisis Hubungan Parameter Ventilator Mekanik dengan Tingkat Mortalitas Pasien COVID-19 di Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Saiful Anwar (RSSA) Periode Januari-Desember 2021

    No full text
    Latar belakang: Penggunaan ventilator pada pasien COVID-19 memiliki pengaruh terhadap mortalitas pada pasien COVID-19 yang dirawat di ICU. Hal ini dikarenakan penggunaan ventilator merupakan gambaran yang dapat dimanipulasi terkait terjadinya patologi pada paru. Kondisi parameter ventilator yang berpengaruh adalah PEEP, P/F rasio, dan komplians. Pengaturan ventilator yang baik berdasarkan stratifikasi risiko yang tepat dapat meningkatkan keberhasilan terapi pada pasien kritis yang dirawat di ICU sebagai pengaturan standar dan prediktor prognosis. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara parameter ventilator mekanik dengan mortalitas pasien COVID-19 yang dirawat di ruang ICU RSUD Dr. Saiful Anwar. Metode: Penelitian ini bersifat observasional analitik, kohort retrospektif. Diambil sampel pasien COVID-19 yang dirawat di ICU RSSA mulai dari bulan Januari 2021 sampai dengan Desember 2021 dengan sumber data dari rekam medis. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan Statistical Package for Social Science (SPSS). Normalitas data diuji dengan uji T tidak berpasangan. Uji Chi-square akan digunakan untuk membandingkan hubungan antara masing-masing kelompok. Hasil: Didapatkan 171 subyek setelah melalui proses inklusi dan eksklusi dengan angka mortalitas sebesar 69,6%. Didapatkan penggunaan non-invasive ventilation (NIV) sebanyak 36 orang (21,1%) sedangkan yang menggunakan ventilator invasif sebanyak 135 orang (78,9%). Dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa tidak terdapat perbedaaan rata-rata yang signifikan pada parameter ventilator mekanik (Invasif dan Non Invasif) pada PEEP (0,246), P/F rasio (p=0,065) dan komplians paru (p=0,058) antara pasien terdiagnosis positif Covid-19 derajat kritis yang hidup dan meninggal. Sedangkan pada hasil parameter ventilator mekanik invasif terdapat perbedaaan rata-rata yang signifikan pada komplians paru (p=0,028) antara kelompok hidup dan meninggal dari pasien terdiagnosis positif Covid-19 derajat kritis. Pasien hidup memiliki rata-rata komplians lebih besar dibandingkan pasien yang meninggal (25,2 vs 22,1. P=0,028). Sedangkan pada pasien yang menggunakan ventilator non-invasif (NIV) didapatkan bahwa tidak terdapat perbedaaan rata-rata yang signifikan pada parameter ventilator PEEP (0,599), P/F rasio (p=0,299), dan komplians paru (p=0,501). Analisis hubungan tipe COVIDARDS menunjukkan pasien terdiagnosis positif Covid-19 derajat kritis yang menjalani menjalani perawatan di Intensive Care Unit incovit RSU Dr. Saiful Anwar yang memiliki tipe Covid-ARDS tipe H berhubungan dengan mortalitas lebih tinggi (p=0,010). Kesimpulan : Komplians paru berasosiasi dengang tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada pasien yang menggunakan ventilator mekanik invasif, dan didapatkan profil Covid ARDS tipe H berasosiasi dengan tingkat mortalitas yang lebih tinggi, namun tidak didapatkan perbedaan rata-rata pada PEEP, P/F rasio, dan komplians paru pasien Covid-19 hidup dan meninggal yang menggunakan ventilator mekanik (Invasif dan Non invasif)

    Hubungan Kadar D-Dimer Dan Fibrinogen Dengan Angka Mortalitas Pada Pasien Covid-19 Di Intensive Care Unit (Icu) Rsud Dr. Saiful Anwar

    No full text
    Latar Belakang: Respon inflamasi sistemik berlebihan pada pasien Covid-19 dapat menyebabkan terjadinya jejas endotel (endoteliopati) sistemik dan keadaan hiperkoagulasi yang meningkatkan risiko mortalitas. Pemeriksaan parameter koagulopati yaitu D-Dimer dan fibrinogen dapat memberikan gambaran prognosa dan sebagai panduan terapi COVID-19 Tujuan: Untuk mengetahui hubungan D-dimer dan fibrinogen dengan angka mortalitas pada pasien COVID-19 di Intensive Care Unit (ICU). Metode: Penelitian merupakan studi satu senter, kohort retrospektif observasional. Diambil sampel pasien COVID-19 yang dirawat di ICU RSSA mulai dari bulan Maret 2020 sampai dengan September 2021 dengan sumber data dari rekam medis. Data yang dikumpulkan antara lain karakteristik demografis, komorbid pasien, hasil laboratorium, modalitas terapi, serta luaran pasien. Data laboratorium yang diambil adalah pada 48 jam pertama perawatan di ICU. Hasil: Didapatkan 590 subyek setelah melalui proses inklusi dan eksklusi dengan angka mortalitas sebesar 49,3%. Rerata kadar D-Dimer pada pasien yang meninggal ( 95% CI 7.54-11.53 ), lebih tinggi daripada pasien hidup ( 95% CI 4.28- 6.83 ). Ditemukan bahwa kadar CRP > 2,22 μg/ml ( AUC 0,578, sensitivitas 71%, spesifisitas 37,2%, PPV 51,8%, dan NPV 57,3% ) sedangakan rerata kadar Fibrinogen pada pasien yang meninggal ( 95% CI 411.91-448.92 ), tidak jauh berbeda dengan pasien hidup ( 95% CI 415.64-448.26 ). Ditemukan bahwa kadar Fibrinogen >433,3 g/l ( AUC 0,489, sensitivitas 48,4%, spesifisitas 45,2%, PPV 44,1%, dan NPV 49,5% ). Hasil analisis menggunakan uji Chi-square didapatkan D-dimer dengan nilai signifikansi sebesar 0.003 (p<0.05), dan Fibrinogen dengan nilai signifikansi sebesar 0.902 (p>0.05). Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat bermakna antara kadar D-Dimer dengan angka mortalitas pasien COVID-19 ( p=0,003). Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar D-dimer dengan mortalitas pasien COVID-19 yang dirawat di ruang ICU COVID

    Perbedaan Tekanan Intracuff Endotracheal Tube Antara Posisi Kepala-Leher Netral Dan Lateral Rotasi Pada Pasien Terintubasi

    No full text
    Cuff Endotracheal Tube (ETT) berfungsi menyegel jalan napas sehingga dapat memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan mencegah aspirasi akibat sekret subglotis. Perubahan posisi kepala-leher dapat mempengaruhi tekanan intracuff ETT. Peningkatan ataupun penurunan tekanan intracuff ETT dapat menyebabkan banyak morbiditas. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh lateral rotasi kepala-leher terhadap tekanan intracuff ETT. Empat puluh (40) pasien berusia 18-64 tahun yang menjalani operasi elektif dengan anestesi umum dipilih dalam penelitian ini. Setelah intubasi endotrakeal, cuff ETT dikembangkan dengan teknik minimal occlusive volume. ETT ditempatkan di sisi kanan mulut. Perubahan tekanan intracuff ETT dinilai sebelum dan sesudah perubahan posisi. Tekanan intracuff ETT diukur dengan cuff inflator pada posisi kepala netral. Setelah lateral rotasi kepala-leher (60 derajat), tekanan intracuff diukur kembali. Nilai rata-rata tekanan intracuff meningkat dari 25,5+1,64 menjadi 29,4+1,71 cmH2O setelah lateral rotasi kepala-leher (p=0,000). Terdapat perbedaan yang signifikan antara posisi netral dan lateral rotasi kepala (p<0,05). Penggunaan teknik minimal occlusive volume dengan volume pengembangan 4 hingga 7 cc mampu menghasilkan tekanan intracuff ETT antara 22 hingga 28 cmH2O (rentang normal 20-30 cmH2O). Perbedaan tekanan intracuff ETT setelah lateral rotasi kepala-leher adalah 3,9+1,31 cmH2O. Tekanan intracuff ETT secara signifikan lebih tinggi setelah perubahan posisi kepala-leher dari posisi netral ke lateral rotasi. Pengukuran tekanan intracuff paska lateral rotasi kepala bermanfaat untuk menghindari kemungkinan efek samping dari perubahan tekanan terkait posisi. Kami juga merekomendasikan untuk menggunakan teknik minimal occlusive volume dengan volume pengembangan 4 sampai 7 cc untuk mengembang cuff ETT jika perangkat cuff inflator tidak tersedia

    Perbandingan Lama Rawat Inap Pasien COVID-19 Derajat Berat dan Kritis dengan Komorbid Diabetes Melitus dan Hipertensi dan Komorbid Lain

    No full text
    Latar belakang: Coronavirus Disease-19 (Covid-19) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS CoV-2). Penyakit ini ditetapkan sebagai pandemi dunia pada tahun 2020. Per 2 Oktober 2021 terdapat 4.218.142 kasus konfirmasi Covid-19 di Indonesia. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi melaui udara maupun kontak mukosa tubuh. Dampak penyakit ini cukup beragam pada masing-masing individu. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lama masa rawat inap pasien Covid-19 derajat berat dan kritis dengan komorbid diabetes melitus dan/atau hipertensid dan/atau komorbid lainnya di Ruang Perawatan Intensif Incovit RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang. Metode: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan mengambil data sekunder dari rekam medis dan data keluar rumah sakit pasien yang dirawat di Ruang Perawatan Intensif Incovit. Data yang sudah dikumpulkan dilakukan uji normalitas menggunakan tes Saphiro-Wilk kemudian dilakukan uji Kruskal-Wallis dan uji Dunn sebagai uji lanjutan. Hasil: Penelitian ini didominasi oleh subyek dengan usia kurang dari 60 tahun, laku-laku, dan sebagian besar memiliki komorbid. Lama rawat inap yang memiliki nilai signifikansi p<0,05 adalah pasien dengan outcome meninggal. Lama rawat inap paling panjang didapatkan pada pasien tanpa komorbid dan pasien dengan komorbid diabetes melitus saja (Median: 7,5 hari). Sedangkan lama rawat inap paling pendek didapatkan pada pasien dengan komorbid selain diabetes melitus dan hipertensi (Median: 3,5 hari). Kesimpulan: Semakin banyak komorbid pasien, semakin berat pula keadaan pasien, sehingga lama rawat pada kelompok keluar rumah sakit akan semakin panjang, namun pada kelompok dengan outcome meninggal akan semakin pendek
    corecore