24 research outputs found

    Platelet, Mean Platelet Volume (MPV), dan Mean Platelet Volume to Platelet Ratio (MPR) sebagai Prediktor Mortalitas pada Pasien COVID-19 di RSSA Malang

    Get PDF
    Latar Belakang: Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Virus SARS-CoV-2 akan menyerang manusia melalui reseptor Angiotensin-Converting Enzyme 2 (ACE2). Akibat terjadinya penularan COVID-19 yang sangat cepat dan meluas hingga ke seluruh dunia, maka World Health Organization (WHO) menetapkan COVID-19 sebagai pandemi. Morbiditas dan mortalitas utama pasien COVID-19 dikaitkan dengan pneumonitis virus akut yang menyebabkan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Tingkat fatalitas kasus COVID-19 di dunia telah mencapai angka 2,1%. Oleh karena angka kematian COVID-19 yang kian meningkat, maka diperlukan penanganan dan pencegahan prognosis buruk pada pasien. Adanya urgensi tersebut dan pertimbangan terhadap keunggulan platelet, MPV, dan MPR sebagai biomarker mortalitas pasien COVID-19, maka perlu dilakukan penelitian mengenai platelet, MPV, dan MPR sebagai prediktor mortalitas pasien COVID-19. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui performa platelet, MPV, dan MPR sebagai biomarker prediktor mortalitas pada pasien COVID-19. Metode: Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik observasional dengan pendekatan cohort prospective mengenai platelet, MPV, dan MPR sebagai prediktor mortalitas pada pasien COVID-19 di RSSA Malang. Hasil: Didapatkan 53 pasien terkonfirmasi COVID-19. Hasil uji beda ditemukan adanya perbedaan nilai platelet, MPV, dan MPR pada pasien survivor dan non-survivor COVID-19 (p platelet = 0,017; p MPV = 0,001; p MPR = 0,008). Hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan antara nilai platelet, MPV, dan MPR dengan mortalitas pasien COVID-19 (r platelet = 0,327; p platelet = 0,017; r MPV = 0,478; p MPV = 0,000; r MPR = 0,367; p MPR = 0,007). Berdasarkan analisis relative risk, platelet, MPV, dan MPR dapat menjadi prediktor mortalitas pasien COVID-19. Dengan cut-off platelet 170,8 (RR 10,769; IK 95% 1,099 – 105,488; p = 0,032), cut-off MPV 9,85 (RR 22,400; IK 95% 2,672 – 187,771; p = 0,000), dan cut-off MPR 0,04 (RR 4,286; IK 95% 1,258 – 14,598; p = 0,017). Kesimpulan: Platelet, MPV, dan MPR dapat menjadi prediktor mortalitas pasien COVID-19

    Il-6, Rasio Crp/ Albumin, Il-6/ Limfosit Dan Neutrofil/ Limfosit Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Covid-19

    No full text
    Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus 2 (SARS-CoV-2). Proses inflamasi merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam perjalanan penyakit COVID-19. Aktivasi sitokin, kemokin serta sistem imun dapat menyebabkan kondisi hiperinflamasi. Tujuan studi ini adalah menganalisa parameter yang berkaitan dengan proses inflamasi, antara lain: CRP/Albumin ratio (CAR), interleukin 6 (IL-6), IL-6/ lymphocyte ratio (IL-6/LY), dan neutrophil/lymphocyte ratio (NLR) sebagai prediktor mortalitas pada COVID-19. Pada akhir masa studi didapatkan 50 pasien COVID-19 non-survivor dan 31 pasien survivor. AUROC untuk CAR, IL-6, IL-6/LY, dan NLR adalah: 71,4% (95% CI: 59,3-89,4%; p= 0,001); 77,3% (95% CI: 66-88,6%; p= 0,000); 75,5% (95% CI: 64,3-86,8%; p= 0,000); 64,6% (95% CI: 52,3-76,9%; p= 0,028) dengan nilai cut off optimal 2,7 untuk CAR, 47,5 untuk IL-6, 39,3 untuk IL-6/LY, dan 5,59 untuk NLR. Analisa kurva Kaplan Meier menunjukkan nilai p<0,05 pada kelompok yang dibedakan menurut cut off optimal dengan nilai HR 7,706 untuk CAR, 14,131 untuk IL-6, 0,807 untuk IL-6/LY, dan 1,926 untuk NLR. CAR dan IL-6 memiliki nilai prediktor yang paling baik pada penelitian ini dan memiliki potensi sebagai prediktor mortalitas pada pasien COVID-19. Studi lebih lanjut dengan pengukuran parameter – parameter tersebut secara serial mungkin dapat memberikan nilai prediktor yang lebih baik

    Interferon-Gamma dan Prokalsitonin Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis

    No full text
    Latar Belakang. Sepsis merupakan suatu keadaan terjadinya disfungsi organ dan mengancam jiwa yang diakibatkan oleh disregulasi respon imun host terhadap infeksi dan masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama di dunia, sebanyak 20% kematian di dunia diakibatkan karena sepsis. Dari tingginya tingkat kematian karena sepsis, penentuan prognosis pada penderita sepsis penting dilakukan untuk menentukan pengelolaan pasien selanjutnya. Oleh karena itu dikembangkan biomarker yang dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas pada pasien sepsis. Monocyte Chemoattractant Protein-1 (MCP-1) adalah sitokin proinflamasi yang sering ditemui pada fase awal terjadinya infeksi dan merupakan salah satu sitokin yang penting dalam respons pertahanan terhadap infeksi, sehingga dapat diandalkan dalam memperkirakan prognosis pada pasien sepsis. Pada kondisi sepsis juga sering terjadi koagulopati karena disfungsi mikrovaskular berakibat aktivasi endotel dapat diinduksi secara lokal. Berbagai macam senyawa fibrin dapat dideteksi dalam plasma dari pasien dengan aktivasi koagulasi intravaskular. Salah satu cara untuk mengetahui disfungsi mikrovaskular yaitu menggunakan Uji D-dimer. D-dimer dapat digunakan sebagai penanda kegagalan mikrosirkulasi. Hampir semua pasien yang dirawat dengan sepsis mengalami peningkatan kadar D-dimer yang sangat erat kaitannya dengan disfungsi organ. Baik MCP-1 maupun D-dimer merupakan parameter yang secara independen dapat memprediksi mortalitas pada pasien sepsis. Kombinasi keduanya diharapkan dapat meningkatkan nilai prediktor mortalitas pada penderita sepsis. Tujuan. Menentukan perbedaan kadar MCP-1 dan D-dimer pada penderita sepsis survivor dan non survivor. Mengetahui performa kombinasi MCP-1 dan D-dimer sebagai prediktor mortalitas pada penderita sepsis. Metode. Penelitian kohort prospektif ini melibatkan 83 penderita sepsis yang ditegakkan dengan kriteria SEPSIS-3 yang di rawat di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang sejak Oktober 2019 sampai Nopember 2020. Sisa serum pasien suspek sepsis dikumpulkan. Kemudian, dilakukan pemilahan serum pasien berdasarkan rekam medis pasien apakah pasien memenuhi kriteria inklusi dan tidak tereksklusi. Lama rawat dan luaran pasien dicatat. Lalu, dilakukan pemeriksaan serologis MCP-1 menggunakan ELISA kit (LEGENDMAX) dan D-dimer menggunakan metode imunoturbodimetri (Sysmex). Data yang terkumpul dianalisis dengan uji normalitas distribusi, uji beda, analisis kurva ROC, analisis kesintasan menggunakan Kurva Kaplan Meier, Hazard Ratio menggunakan Cox regression. Hasil. Kadar MCP-1 dan D-dimer pada penderita sepsis non survivor lebih tinggi secara signifikan dibandingkan kadar MCP-1 dan D-dimer penderita sepsis survivor (p 123,03 pg/mL adalah 81% dan 80% dengan AUC 89,2% (95% CI 81,1%-97,3%) p=0,000, ix sedangkan sensitivitas dan spesifisitas D-dimer pada cut-off > 43,5 mg/L FEU sebesar 67,2% dan 60% dengan AUC 67,4% (95% CI 55-8%-79,1%) p=0,012. Kesimpulan. Kombinasi MCP-1 dan D-dimer dapat dipertimbangkan sebagai biomarker prediktor mortalitas pada pasien sepsis

    Interferon-Gamma dan Prokalsitonin Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis

    No full text
    Banyak biomarker telah diteliti kegunaannya sebagai prediktor luaran pasien sepsis. Prokalsitonin telah sering digunakan untuk memprediksi syok sepsis dan telah banyak didokumentasikan hubungannya yang baik dengan infeksi sistemik bakteri Gram negatif, tetapi tidak pada infeksi lain. Biomarker lain yang meningkat pada infeksi bakteri Gram negatif, bakteri lain, virus dan fungal adalah Interferon-Gamma (IFN-γ). Karena itu IFN-γ diharapkan dapat mencakup lebih banyak pasien sepsis. Walaupun, masih ada kontroversi apakah kadar IFN-γ yang tinggi pada kondisi sepsis menandakan prognosis yang baik ataukan buruk. Untuk memprediksi luaran pasien, penelitian kesintasan paling baik menggambarkan besarnya risiko kematian dan durasi bertahan hidup pasien. Penelitian kesintasan menggunakan kombinasi Prokalsitonin dan IFN-γ masih sulit ditemukan. Gabungan kedua biomarker ini diharapkan dapat memberikan petunjuk yang lebih objektif dalam memprediksi luaran pasien sepsis dalam bentuk jumlah dan durasi atau kecepatan terjadinya mortalitas. Penelitian kesintasan ini memakai metode kohort prospektif. Diagnosis sepsis ditegakkan dengan kriteria SEPSIS-3. Sisa serum pasien suspek sepsis dikumpulkan. Kemudian, dilakukan pemilahan serum pasien berdasarkan rekam medis pasien apakah pasien memenuhi kriteria inklusi dan tidak tereksklusi. Lama rawat dan luaran pasien dicatat. Lalu, dilakukan pemeriksaan serologis IFN-γ menggunakan ELISA kit (LEGENDMAX) dan Prokalsitonin menggunakan metode ECLIA (Roche Elecsys). Data yang terkumpul dianalisis dengan uji normalitas distribusi, uji beda, analisis kurva ROC, analisis kesintasan menggunakan Kurva Kaplan Meier, Hazard Ratio menggunakan Cox regression. Penelitian ini melibatkan 78 pasien sepsis yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak tereksklusi. Secara keseluruhan, 66,67% subyek berjenis kelamin lakilaki, dengan rerata usia 55,03 tahun. Survivor berjumlah 28 orang (35,90%). Sumber infeksi terbanyak adalah saluran nafas sebanyak 35 subyek (44,87%). Sebesar 50% dari subyek menjalani kultur, sisanya tidak ada kultur. Dari semua hasil kultur, 64,2% positif, sedangkan sisanya negatif. Sampel kultur terbanyak adalah darah dan sputum. Ketika dibedakan berdasarkan luaran, jika kelompok survivor dan non-survivor dibandingkan, maka tidak terdapat beda signifikan antara proporsi laki-laki, usia, dan kadar Prokalsitonin. Namun terdapat beda signifikan dari segi kadar IFN-γ dan lama rawat. Secara keseluruhan, terdapat 64% event, dengan mean survival 18,7 hari dan median survival 12 hari. Pada analisis kurva ROC IFN-γ untuk memprediksi mortalitas, didapatkan AUC 72% (95%CI 59,7%-84,4%), nilai p=0,001. Pada cutoff optimal yaitu 65,82 pg/mL didapatkan sensitivitas 64% dan spesifisitas 75%. Dari analisis kesintasan, kelompok penderita sepsis dengan kadar IFN-γ <65,82 pg/mL terdapat 46,2% event, yang lebih rendah daripada event pada kelompok dengan kadar IFN-γ ≥65,82 pg/mL yaitu 82,1%. Pada kelompok dengan kadar IFN-γ <65,82 pg/mL rerata survival 19,01 hari dan median survival 22 hari, lebih panjang daripada kelompok dengan kadar IFN-γ ≥65,82 pg/mL yaitu rerata survival 14,29 hari dan median survival 9 hari. Hazard Ratio (HR) kelompok berkadar IFN-γ ≥65,82 pg/mL dibandingkan dengan kelompok berkadar yang lebih rendah adalah 1,938 (95%CI 1,078-3,482, p=0,027). Pada analisis kurva ROC Prokalsitonin untuk memprediksi mortalitas, didapatkan AUC 60% (95%CI 46,8%-73,2%), nilai p=0,143. Karena analisis ROC yang tidak signifikan, maka nilai cutoff yang dipakai mengacu dari penelitian lain yaitu 57 ng/mL. Pada kelompok dengan kadar Prokalsitonin <57 ng/mL terdapat 59,6% event yang lebih rendah daripada event pada kelompok dengan kadar Prokalsitonin ≥57 ng/mL yaitu 76,2%. Pada kelompok dengan kadar Prokalsitonin <57 ng/mL memiliki mean survival 13,39 hari dan median survival 12 hari, sedangkan kelompok dengan kadar Prokalsitonin ≥57 ng/mL memiliki mean survival 18,89 hari dan median survival 10 hari. Analisis kelompok dengan kadar Prokalsitonin ≥57 ng/mL dibandingkan dengan kelompok dengan kadar yang lebih rendah menghasilkan HR 1,067 (95%CI 0,58-1,97, p=0,835). Ketika IFN-γ dan Prokalsitonin dikombinasikan dengan memperhitungkan jumlah biomarker yang lebih dari cutoff, maka didapatkan proporsi non-survivor paling rendah pada kelompok dengan kedua biomarker dibawah cutoff atau kelompok 0 faktor risiko (40,0%), meningkat jika salah satu biomarker diatas cutoff atau memiliki 1 faktor risiko (51,3%) dan paling tinggi pada kelompok dengan kedua biomarker diatas cutoff atau memiliki 2 faktor risiko (82,4%). Mean dan median survival pada kelompok 0 faktor risiko adalah yang paling panjang (mean 17,4 hari dan median 18 hari), disusul oleh kelompok 1 faktor risiko (mean 17,8 hari dan median 16 hari), dan yang paling pendek adalah pada kelompok dengan 2 faktor risiko (mean 14,4 hari dan median 7 hari). Namun, penghitungan statistik menyatakan perbedaan ini tidak signifikan (nilai p=0,17). Analisis HR kelompok 1 faktor risiko memiliki HR 1,51, dan kelompok 2 faktor risiko memiliki HR 2,1, tetapi keduanya tidak signifikan secara statistik (p>0,05) Dapat disimpulkan bahwa ketika digabungkan, IFN-γ dan Prokalsitonin menunjukkan perbedaan prognosis dari segi jumlah event, mean dan median survival, dan juga HR. Adanya kadar IFN-γ dan atau Prokalsitonin yang tinggi dapat menjadi peringatan meningkatnya risiko mortalitas dan pendeknya durasi survival pada pasien sepsis. Survival rate dan HR pada penelitian ini tidak memiliki nilai p yang signifikan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengatasi faktor perancu yang mengakibatkan kurang baiknya nilai prognostik Prokalsitonin pada penelitian ini, misalnya dengan pemilihan subyek hanya yang terbukti mengalami infeksi sistemik oleh bakteri Gram negatif. Karena luaran pasien dipengaruhi banyak faktor, maka dapat pula dilakukan penelitian untuk menentukan skoring menggunakan kombinasi beberapa biomarker untuk prediksi luaran pasien sepsi

    D-Dimer Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien COVID-19 di RSSA Malang

    No full text
    D-dimer adalah fragmen protein yang terbentuk dari degradasi fibrin yang diukur melalui darah atau plasma. Peningkatan kadar D-dimer diduga memiliki keterkaitan dengan keadaan hiperkoagulasi akibat respon inflamasi yang berlebihan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui performa D-dimer sebagai prediktor mortalitas pada pasien COVID-19. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional dengan subjek sebanyak 86 rekam medis pasien COVID-19 di Rumah Sakit Saiful Anwar Kota Malang diambil menggunakan teknik consecutive sampling yang diambil dari bulan November 2020 hingga April 2021. Sebanyak 30 subjek (34.8%) mengalami kematian dari total 86 subjek peenlitian. Menggunakan kurva Reciever Operating Characteristic (ROC) didapatkan Area Under Curve (AUC) sebesar 0.815 dengan cut-off D-dimer untuk memprediksi kematian adalah 2.09 μg/mL dengan sensitivitas 70% dan spesifisitas 80%. Peningkatan kadar D-dimer diatas cut-off ini dapat meningkatkan risiko kematian sembilan kali lebih besar. [OR 9.54 (IK 95%, 3.435 – 26.523, p=0.000)]. Dapat disimpulkan bahwa D-dimer dapat menjadi predikto mortalitas

    Korelasi Tumor Necrosis Factor - α (TNF-α), Monocyte-to-Lymphocyte Ratio (MLR), dan Mortalitas Pasien COVID-19.

    No full text
    Kasus COVID-19 yang berat dapat terjadi sebagai akibat dari sindrom badai sitokin yang melibatkan banyak sekali sitokin seperti TNF-α yang memiliki sifat pleiotropic. Pada COVID-19 juga terjadi peningkatan monocyte-to-lymphocyte ratio (MLR). Adanya peningkatan MLR diharapkan dapat menjadi salah satu sarana prediktor luaran pasien. Untuk melihat korelasi antara TNF-α, MLR, dan mortalitas kami melakukan uji regresi logistik, analisis jalur, serta analisis kesintasan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan desain kohort retrospektif. Diagnosis COVID-19 ditegakkan dengan RT-PCR SARS-CoV2 dengan menggunakan sampel usap nasofaring atau orofaring. Pada hari pertama perawatan, sisa serum pasien COVID-19 dikumpulkan, kemudian dilakukan pemilahan berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi berdasarkan rekam medis. Lama rawat, tingkat keparahan, faktor komorbid dan luaran pasien dicatat. Pemeriksaan serologis TNF-α menggunakan ELISA kit (BT-Lab) dan dibaca dengan menggunakan Microplate reader Zenix-320. Data mengenai MLR pada hari pertama perawatan pasien kami dapatkan melalui analisis menggunakan alat Sysmex XN-1000. Data yang terkumpul dianalisis dengan uji normalitas distribusi, uji beda, regresi logistik, analisis jalur, analisis kurva ROC, analisis kesintasan menggunakan Kurva Kaplan Meier, dan Hazard Ratio. Penelitian ini melibatkan 74 pasien COVID-19 yang memenuhi kriteria inklusi. Dari hasil analisis perbedaan TNF-α dan MLR antara pasien survivor dan nonsurvivor COVID-19 keduanya didapatkan hubungan yang bermakna. Analisis mulitvariat regresi logistik menunjukkan kemampuan variabel TNF-α dan MLR dalam memprediksi mortalitas pasien COVID-19 sebesar 31,5% ke dalam model, dan sisanya sebesar 68,5% dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Dari hasil uji multivariat dengan regresi logistik diketahui pula bahwa TNF-α memiliki odd ratio yang signifikan terhadap mortalitas pasien COVID-19 (p=0,015; OR 1,013 (1,003 – 1,024)). Pada MLR juga berpengaruh signifikan terhadap mortalitas pasien COVID-19 (p=0,010; OR 6,662 (1,586 – 27,988)). Selain menggunakan regresi logistik, analisis jalur dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan dan prediksi antara kematian (outcome) dengan TNF-α dan MLR. TNF-α dan mortalitas berhubungan signifikan (p=0.000) dengan nilai t hitung sebesar 3.670. Koefisien regresi dari TNF-α terhadap luaran adalah 0.314. Kemudian analisis jalur antara MLR dan luaran menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p=0,000) dengan nilai t hitung sebesar 3,936. Koefisien regresi dari MLR terhadap luaran adalah 0,263 Untuk memprediksi mortalitas, dilakukan juga analisis AUROC TNF-α dan didapatkan AUC 67,6% (95% CI 55,5% - 79,7%) dengan nilai P=0,009. Dari analisis kesintasan, kelompok penderita COVID-19 non-survivor dengan kadar TNF-α <32,4 ng/L terdapat 37,8% event yang lebih rendah daripada kelompok non-survivor dengan kadar TNF-α ≥32,4 ng/L terdapat 56,8% event. Pada kadar TNF-α <32,4 ng/L didapatkan rerata survival 24,3 hari dan median survival 28 hari, lebih panjang daripada kelompok kadar TNF-α ≥32,4 ng/L dengan rerata survival 16 hari dan median survival 11 hari. Hazard ratio (HR) kelompok TNF-α ≥32,4 ng/

    Uji Diagnostik Antigen Tuberkulosis Kuantitatif dibandingkan dengan Tes Cepat Molekuler dan Pewarnaan Bakteri Tahan Asam pada Spesimen Sputum Subjek Terduga Tuberkulosis

    No full text
    Latar Belakang: Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penderita Tuberkulosis tertinggi. Tuberkulosis disebabkan oleh anggota dari spesies Mycobacterium tuberculosis complex. M. tuberculosis mengsekresikan protein imunogenik, terdapat 3 protein yang paling banyak diteliti yaitu MPT-64, ESAT-6, dan CFP-10. Ketiga protein ini hanya disekresikan oleh M. tuberculosis yang virulen dan hidup. Tujuan Penelitian: Mengetahui performa diagnostik antigen Tuberkulosis kuantitatatif dalam diagnosis TB. Metode: Studi potong lintang menggunakan sembilan puluh enam sampel sputum terduga Tuberkulosis. Diagnosis Tuberkulosis ditegakan berdasarkan hasil TCM. Pemeriksaan Antigen Tuberkulosis menggunakan ICT dengan tiga antibodi monoklonal terhadap protein TB yang dikuantifikasi dengan reader sedangkan pemeriksaan BTA dilakukan dengan pewarnaan Ziehl Neelsen. Analisis diagnosis menggunakan kurva ROC dengan membandingkan hasil Antigen TB dengan TCM dan Antigen TB dengan BTA. Hasil dan Pembahasan: Terdapat perbedaan rerata kadar antigen TB kuantitatif antara kelompok TB dan nonTB, (p<0,05). TB antigen memiliki AUC=0,867 (p<0,05), sensitivitas 88,88%, nilai spesifitas 80,77%, nilai ramal positif 51,61%, nilai ramal negatif 96,92% dan nilai akurasi diperoleh 82,30%. Kesimpulan: Antigen Tuberkulosis kuantitatif memiliki performa diagnostik yang baik dan dapat dipertimbangkan sebagai salah satu metode diagnosis Tuberkulosis

    Peran Asam Laktat sebagai Prediktor Mortalitas pada Pasien COVID-19 di RSSA Malang

    No full text
    Latar Belakang: Tingginya mortalitas pada COVID-19 menjadi salah satu urgensi untuk mengembangkan biomarker dalam memprediksi mortalitas pada COVID-19. Asam laktat merupakan salah satu penanda hipoksia jaringan yang sering menjadi komplikasi pada COVID-19. Tujuan: Untuk mengetahui apakah asam laktat dapat dijadikan sebagai prediktor mortalitas pada pasien COVID-19. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain cohort retrospective. Subjek adalah pasien COVID-19 yang dirawat di RSSA Malang bulan November 2020 – April 2021. Asam laktat diperiksa menggunakan metode colometric assay. Mortalitas pasien dilihat menggunakan rekam medis. Diperoleh 54 data asam laktat dan mortalitas menggunakan data rekam medis. Hasil: Terdapat perbedaan kadar asam laktat antara pasien survivor dan nonsurvivor COVID-19 dengan nilai mean pasien survivor 3,385 dan 4,448 ± 1,7369 untuk pasien non-survivor. Cut-off asam laktat 3,75 dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas dengan nilai OR = 3,5 (IK 95%, 1,106 – 11,075; p = 0,03) dan nilai sensitivitas 66,7% dan spesifitas 63,6%. Kesimpulan: Asam laktat dapat menjadi prediktor mortalitas pada pasien COVID-19 di RSSA Malang

    Uji Kesesuaian Multiplex Polymerase Chain Reaction - Universal Lateral Flow Assay (Mpcr – Ulfa) Dengan Mikroskopis Bta Dan Xpert Mtb/Rif Pada Pasien Terduga Tuberkulosis Paru

    No full text
    Pendahuluan: Peningkatan prevalensi kasus TB dan TB resisten obat mendorong upaya pengembangan metode deteksi kuman MTBC yang cepat, tepat, dan cost effective. MPCR-ULFA merupakan pemeriksaan berbasis molekuler yang mendeteksi salinan gen IS6110 dan mtp40 yang spesifik pada kuman MTBC. MPCR-ULFA berpotensi untuk menjadi metode pilihan untuk deteksi TB. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian diagnosis antara MPCR ULFA dengan mikroskopis BTA dan Xpert MTB/RIF pada sputum terduga TB paru. Metode : Penelitian dengan desain cross sectional dilakukan sejak Juli-Desember 2019. Pengambilan sampel, pemeriksaan mikroskopis BTA, dan Xpert MTB/RIF dilakukan di RSUD Kanjuruhan Kepanjen, RST dr. Soepraoen Malang, dan Puskesmas Rampal Celaket Malang. Pemeriksaan MPCR-ULFA dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Sebanyak 217 sputum terduga TB paru diperiksa mikroskopis BTA, Xpert MTB/RIF, dan MPCR-ULFA. Analisis data menggunakan SPSS ver 21.0. Hasil : Uji kesesuaian Kappa MPCR-ULFA dengan Xpert MTB/RIF dan mikroskopis BTA menghasilkan nilai K=0,835 (p=0,00) dan K=0,807 (p=0,00). Kesimpulan : MPCR-ULFA memiliki kesesuaian hasil yang tinggi dengan Xpert MTB/RIF dan mikroskopis BTA

    Uji Diagnosis C-Reactive Protein Pada Penderita COVID-19 di RSSA Malang.

    No full text
    Latar Belakang : Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Virus SARS-CoV-2 menyerang manusia melalui reseptor Angiotensin-Converting Enzyme 2 (ACE2) dan mengakibatkan pneumonia berat yaitu Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Untuk itu perlu dilakukannya diagnosis untuk membantu penanganan pasien COVID-19 lebih dini sehingga dapat mencegah prognosis yang buruk. Biomarker C-Reactive Protein (CRP) diduga dapat membantu melakukan diagnosis dini pada infeksi berat COVID-19. Dengan keunggulan yaitu memiliki harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan pemeriksaan RT-PCR. Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah mengetahui nilai diagnosis C-Reactive Protein (CRP) pada penderita COVID-19 di RSSA Malang. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional untuk mengetahui nilai diagnosis CRP pada COVID-19. Hasil : Didapatkan 64 pasien terduga COVID-19, dengan 44 pasien terkonfirmasi COVID-19 dan 20 pasien tidak terkonfirmasi COVID-19. Hasil uji beda ditemukan adanya perbedaan nilai CRP pada pasien terkonfirmasi COVID-19 dan tidak terkonfirmasi COVID-19 (p = 0,000). Hasil analisis ROC menunjukkan adanya hubungan yang sangat kuat antara nilai CRP dengan diagnosa COVID-19 dengan nilai AUC sebesar 0,997. Berdasarkan perhitungan nilai sensitifitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif kadar CRP dapat digunakan untuk membantu diagnosis pasien COVID-19. Dengan cut-off CRP >8,15 mg/L (sensitifitas 93,18%, spesifisitas, 100%, nilai duga positif 86,9%, nilai duga negatif 100%.), cut-off CRP >10 mg/L (sensitifitas 79,54%, spesifisitas 100%. Nilai duga positif 68,96% dan nilai duga negatif 100%). Kesimpulan : CRP mempunyai nilai diagnosis yang baik pada pasien COVID-19
    corecore