139 research outputs found

    Sejarah Perkembangan Kota Semarang (Jawa Tengah) di Masa Lalu dan Dampak Kehadiran Polutan Nitrat Pada Airtanah di Masa Kini

    Get PDF
    ABSTRAK Sejarah perkembangan kota Semarang dimulai sejak abad ke-8 dengan mulai dibangunnya perkantoran dan permukiman tahun 1705 terpusat di kota yang saat ini terkenal dengan kota lama Semarang. Periode berikutnya meliputi pembangunan perkantoran, permukiman dan vila-vila yang cukup pesat tahun 1942-1976. Jumlah penduduk pada tahun 2010 akibat urbanisasi sebesar 1.527.433 jiwa, tingkat pertumbuhan penduduk 2,09% pertahun dengan kepadatan penduduk rata-rata 4.087 jiwa/km2. Permasalahannya apakah airtanah di kota Semarang, yang termasuk kota tua dan merupakan wilayah urban, telah mengalami kontaminasi nitrat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian airtanah dangkal telah tercemari polutan nitrat dan tingginya nitrat  tidak selalu berhubungan erat dengan umur permukiman dan kepadatan penduduk karena karakter litologi berperan sebagai penyerap atau meluluskan nitrat

    Phase Analysis of Particles Nano Licoo2 as Cathode Materials of Rechargeable Battery Using X-ray Diffractometer

    Full text link
    Research of the analysis of particle nano LiCoO2 phase as cathode material of lithium ion based batteries rechargeable using XRD has been done. Particle Nano LiCoO2 are synthesized using planetary milling technique followed by sonication. The morphology of particle nano LiCoO2 are characterized by using Scanning Electron Microscope (SEM) dan Transmission Electron Microscope (TEM), the phase of particle nano LiCoO2 have been analyzed using XRD. The results show that the size of the particle nano LiCoO2 isare 20-40 nm, the phase of n-particles LiCoO2 is rhombohedral, R-3m, with a = b = 2.82 Å and c = 14.08 Å, where LiCo formed octahedral symmetry, 3-3m, and CO2 to formed tetrahedral symmetry, 63m

    Ekstraksi Oleoresin dari Jahe

    Full text link
    Jahe adalah salah satu tanaman rempah yang digunakan sebagai bumbu masakan dan obat-obatan. Selama penyimpanan, jahe dapat mengalami pengeriputan, perkecambahan, dan pencemaran oleh berbagai mikroba. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka jahe diolah dalam bentuk oleoresin. Dalam penelitian ini, oleoresin jahe dibuat dari jahe putih besar dengan ekstraksi solven organik. Variabel yang diteliti adalah variasi jenis solvent dan waktu perendaman jahe. Solvent yang digunakan adalah etanol dan n-heksana, dan waktu perendamannya divariasi selama berkisar 0-30 jam. Ekstraksi dilakukan pada jahe putih besar berukuran cmxcmxcm, sebanyak 50 g. Perbandingan massa jahe terhadap volume solvent yaitu 1:4. Ekstraksi dilakukan selama 6 jam dengan kecepatan pengadukan 150 rpm. Hasil ekstraksi merupakan campuran antara fixed oil dan minyak atsiri yang mudah menguap. Oleorein jahe berwarna kuning cerah, kuning sampai coklat gelap. Oleoresin yang dihasilkan masih mengandung sisa solvent. Pemurnian oleoresin jahe menggunakan alat rotary evaporator, di mana oleoresin dapat dipisahkan dari sisa solvent. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa ekstraksi menggunakan etanol menghasilkan yield yang lebih tinggi dibandingkan ekstraksi menggunakan nheksana. Untuk semua jenis solvent yang digunakan dalam ekstraksi, semakin lama waktu perendaman potongan jahe maka oleoresin yang terekstrak semakin banyak. Kondisi optimum diperoleh pada ekstraksi jahe menggunakan etanol dan perendaman 30 jam dengan yield 85,40%

    COMMUNICATION COMPETENCY FOR TEACHERS OF YAKUT SPECIAL SCHOOL PURWOKERTO: POTENTIAL AND CHALLENGES

    Get PDF
    The language skills of teachers in special schools (Sekolah Luar Biasa/SLB) possess specific characteristics and must be continuously improved. Language habituation for special students is a reflection of their daily communication skills. The teacher's need for classroom management for special students becomes a new challenge because teachers are expected to optimize the use of language in the classroom to enhance students' communication skills directly. Based on the background of the problem, it is essential to conduct a clinical pedagogical analysis for teachers in dealing with problems that occur in the classroom, especially in language learning and communication for special students at SLB B Yakut Purwokerto. In order to answer the formulation of the problem, this study employed a qualitative approach to answer the clinical-pedagogical analysis conducted. The analytical instruments include (1) analysis of vocal abilities such as tone, articulation, pronunciation, application of intonation in learning; (2) analysis of self-expression abilities such as mimics and gestures in learning; and (3) the attitude and mentality of communication in learning. Based on the results of the learning analysis, it shows that the teacher's language skills still need to be improved. On a scale of 100, the results of the analysis of four language skills in SLB teacher learning comprise of communication skills which are 8.2, and class management 7.8. The development of communication and interaction-based learning media acquired 7.0 by implementing learning media technology to initiate creative ideas from teachers of SLB B Yakut Purwokerto, which later can be a good atmosphere for other schools. Teachers improve pedagogic knowledge and competence in optimizing learning situations through quality and fun interactive learning. All teachers realize the urgency of mastering speaking skills: emphasizing essential points, intonation, clear articulation; hence, special students can understand the material quickly in enhancing students' abilities

    Gelatin dari Tulang Ikan Lele (Clarias Batrachus): Pembuatan dengan Metode Asam, Karakterisasi dan Aplikasinya sebagai Thickener pada Industri Sirup

    Full text link
    Gelatin merupakan senyawa turunan yang dihasilkan dari serabut kolagen jaringan penghubung, kulit, tulang dan tulang rawan yangdikonversi dengan larutan asam atau basa. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh konsentrasi HCl pada proses demineralisasi dan waktu ekstraksi terhadap yield serta karakteristik gelatin dari tulang ikan lele. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode asam. Larutan HCl dengan konsentrasi HCl 2%, 4%, 6%, dan 8%, merupakan variasi konsentasi asam untuk tahap demineralisasi. Ekstraksi dilakukan dengan ratio massa ossein : volume aquades 1:2 dan suhu 70°C serta variasi waktu ekstraksi 1, 3, 5, dan 7 jam. Setelah proses ekstraksi, larutan ekstrak disaring dan dikeringkan kemudian dihitung yield. Gelatin yang diperoleh dengan yield yang tertinggi dianalisa menggunakan FTIR dan dilakukan karakterisasi. Untuk mempelajari pengaruh penambahan gelatin terhadap viskositas sirup, bubuk gelatin dilarutkan ke dalam sirup dengan berbagai macam variasi konsentrasi, kemudian diukur viskositasnya.Yield tertinggi yang didapat dari percobaan adalah dengan konsentrasi HCl 4% pada waktu ekstraksi 5jam, yaitu 10,9%. Hasil karakterisasi yang diperoleh adalah : pH = 4, kadar protein = 64,76 %, kadar air = 3,7 %, kadar abu = 13,37 %, kadar kalsium = 0,336 %, viskositas = 5,5 cp, bloom gel strength = 177 gBloom. Sedangkan analisa FTIR menunjukkan bahwa gelatin hasil percobaan dengan gelatin komersial memiliki gugus fungsional yang hampir sama. Dari percobaan penambahan gelatin ke dalam sirup disimpulkan bahwa gelatin berpotensi mejadi thickener sirup karena dapat meningkatkan viskositas sirup dengan signifikan. Kata kunci : Gelatin, ikan lele, thickene

    Bleaching Vacuum Minyak Biji Kapuk

    Full text link
    Minyak biji kapuk sebelum digunakan sebagai minyak pangan perlu dibleaching terlebih dahulu. Bleaching dilakukan dengan menggunakan campuran adsorben activated carbon (AC) dan activated bentonit (AB) dalam kondisi vacuum atau bebas udara. Hal ini dikarenakan dalam kondisi vacuum dapat diminimalisasi terbentuknya peroksida yang berasal dari reaksi antara oksigen dengan asam lemak tak jenuh. Sebelum dilakukan proses bleaching, terhadap minyak dilakukan proses degumming terlebih dahulu menggunakan asam fosfat (H3PO4) 60% sebanyak 0,2% berat minyak dan diaduk selama 30 menit pada suhu konstan 90oC. Proses bleaching dilakukan dengan memanaskan minyak hasil degumming pada suhu tertentu (50, 60, 70, 80, 90oC). Setelah itu, adsorben dengan variasi rasio massa antara activated carbon (AC) dan activated bentonite (AB) sebesar 0% AC(100% AB), 5%AC, 10%AC, 15%AC, 20%AC, dan 100% AC) dimasukkan ke dalam minyak sambil dipanaskan dan diaduk selama 30 menit. Proses bleaching dilakukan dengan kondisi vacuum. Setelah penyaringan, dilakukan analisa warna, FFA dan PV. Dari penelitian didapatkan kondisi proses terbaik, yaitu suhu dan rasio massa karbon aktif-bentonit yang menghasilkan minyak dengan kualitas terbaik, yaitu suhu 70oC dan rasio adsorben 0%AC (100%AB). Pada kondisi ini minyak memiliki grade warna Y=10, grade warna R=2,4 , kadar FFA= 8,153 % dan PV= 7 meq/kg minyak

    Tingkat Dukungan Domestik Untuk Sektor Pertanian Indonesia

    Full text link
    EnglishThere is common perception that domestic support to agriculture in Indonesia is relatively small. Therefore, the level, composition, and trend of support to agriculture require an in-depth analysis. Some types of commonly used indicators on support to agriculture are Producer Support Estimate (PSE), Total Support Estimate (TSE), andGeneral Services Support Estimate (GSSE). These indicators are analyzed for Indonesian agriculture covering the period of 1995–2014, and consist of 15 commodities. The PSE estimate indicates an increasing trend from 3.9% in 1995–1997 to 20.6% in 2012–2014. In 2012–2014 the PSE of Indonesian agriculture was slightly higher than that of China (19.2%) but larger compared to that of OECD average (17.9%). TheTSE estimate (% to GDP) significantly increased from 0.8% in 1995–1997 to 3.6% in 2012–2014. In 2012–2014 the TSE of agriculture in Indonesia was the largest. Agricultural support in term of market price support has caused an increased price at the consumer level which ultimately reduces food nutrition intake. In the long run, more effective policy is to promote agricultural production and productivity through innovation, investment on infrastructures, and easing private sector investment. The largest part of government budget is spent on fertilizer subsidy which proportionately benefits large-scale farmers and fertilizer industry. More efficient scheme is to convert this subsidy into direct payment targeted to small-scale farmer.IndonesiaSelama ini ada anggapan umum bahwa dukungan domestik (domestic supports) terhadap sektor pertanian Indonesia masih relatif rendah. Sehubungan itu, besaran dan komposisi dukungan serta bagaimana Perubahannya antarwaktu, perlu dianalisis dengan seksama. Beberapa indikator yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat dukungan tersebut adalah Producer Support Estimate (PSE), Total Support Estimate (TSE), dan (General Services Support Estimate (GSSE). Berbagai indikator tersebut telah dianalisis untuk sektor pertanian Indonesia meliputi periode tahun 1995–2014 dan mencakup 15 komoditas. Nilai PSE menunjukkan tren peningkatan dari 3,9% tahun 1995–1997 menjadi 20,6% tahun 2012–2014. Pada tahun 2012–2014 nilai PSE sektor pertanian Indonesia sedikit lebih tinggi dari Tiongkok (19,2%), namun lebih tinggi dari negara-negara OECD (17,9%). Nilai TSE sektor pertanian Indonesia (% terhadap PDB) meningkat secara signifikan dari 0,8% tahun 1995–1997 menjadi 3,6% tahun 2012–2014. Pada tahun 2012–2014 nilai TSE Indonesia adalah yang tertinggi. Hasil analisis ini menolak anggapan umum bahwa perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian relatif kurang. Dukungan terhadap sektor pertanian dalam bentuk perlindungan harga akan berdampak pada peningkatan harga pangan di tingkat konsumen yang pada akhirnya menurunkan asupan gizi masyarakat. Dalam jangka panjang, prioritas kebijakan yang lebih efektif adalah peningkatan produksi dan produktivitas melalui sistem inovasi, pembangunan infrastruktur, dan mempermudah investasi swasta. Sebagian besar transfer anggaran pemerintah untuk sektor pertanian adalah subsidi pupuk yang secara kumulatif lebih banyak dinikmati oleh para petani luas dan produsen pupuk. Skema yang lebih efisien adalah mengonversi subsidi tersebut ke dalam sistem transfer pendapatan dan dibatasi hanya untuk petani kecil

    Mapping child growth failure across low- and middle-income countries

    Get PDF
    Childhood malnutrition is associated with high morbidity and mortality globally1. Undernourished children are more likely to experience cognitive, physical, and metabolic developmental impairments that can lead to later cardiovascular disease, reduced intellectual ability and school attainment, and reduced economic productivity in adulthood2. Child growth failure (CGF), expressed as stunting, wasting, and underweight in children under five years of age (0�59 months), is a specific subset of undernutrition characterized by insufficient height or weight against age-specific growth reference standards3�5. The prevalence of stunting, wasting, or underweight in children under five is the proportion of children with a height-for-age, weight-for-height, or weight-for-age z-score, respectively, that is more than two standard deviations below the World Health Organization�s median growth reference standards for a healthy population6. Subnational estimates of CGF report substantial heterogeneity within countries, but are available primarily at the first administrative level (for example, states or provinces)7; the uneven geographical distribution of CGF has motivated further calls for assessments that can match the local scale of many public health programmes8. Building from our previous work mapping CGF in Africa9, here we provide the first, to our knowledge, mapped high-spatial-resolution estimates of CGF indicators from 2000 to 2017 across 105 low- and middle-income countries (LMICs), where 99 of affected children live1, aggregated to policy-relevant first and second (for example, districts or counties) administrative-level units and national levels. Despite remarkable declines over the study period, many LMICs remain far from the ambitious World Health Organization Global Nutrition Targets to reduce stunting by 40 and wasting to less than 5 by 2025. Large disparities in prevalence and progress exist across and within countries; our maps identify high-prevalence areas even within nations otherwise succeeding in reducing overall CGF prevalence. By highlighting where the highest-need populations reside, these geospatial estimates can support policy-makers in planning interventions that are adapted locally and in efficiently directing resources towards reducing CGF and its health implications. © 2020, The Author(s)
    corecore