30 research outputs found

    Learning to Lead as Learning to Learn: The Experiences of Malay Women at Malaysian Public Universities

    Get PDF
    This study examined how Malay women learn to lead within their social context. Two semi-structured interviews were conducted with four deans and two directors from Malaysian public universities. The findings demonstrate the paradoxical contexts that these women faced in learning to lead, and how they learned to navigate the multiple tensions and contradictions they faced in assuming leadership roles. For them, learning to lead is about learning to learn from and through tensions and contradictions. We discuss the implications that the findings hold for conceptions of informal learning, especially as reflected in the social context of women within nonwestern societies

    UPAYA PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP TENTANG LAPISAN BUMI MELALUI MEDIA VISUAL DALAM PEMBELAJARAN IPA SISWA KELAS V SD NEGERI 2 SIDOMULYO TAHUN PELAJARAN 2009 / 2010

    Get PDF
    Sumber daya manusia yang handal sebagai modal dasar untuk semua upaya pembangunan suatu negara, untuk itu manusia dituntut menjadi manusia yang berkualitas. Tuntutan manusia yang berkualitas hanya dapat dipenuhi oleh dunia pendidikan. Upaya pemenuhan tersebut merupakan suatu proses yang panjang yang dimulai sejak anak belajar di Sekolah Dasar (SD). Salah satu unsur yang turut menentukan Sumber Daya Manusia yaitu penguasaan IPA. Salah satu mata pelajaran yang ada di SD yang perlu ditingkatkan kualitasnya adalah IPA. SD merupakan tempat pertama kali siswa mengenal konsep-konsep dasar IPA, karena itu pengetahuan yang diterima siswa hendaknya menjadi dasar yang dapat dikembangkan di tingkat sekolah yang lebih tinggi. IPA merupakan konsep pembelajaran alam dan mempunyai hubungan sangat luas terkait dengan kehidupan manusia. Pembelajaran IPA sangat berperan dalam proses pendidikan dan juga perkembangan teknologi, karena IPA memiliki kekuatan untuk membangkitkan minat siswa serta kemampuan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pemahaman tentang alam semesta yang mempunyai banyak fakta yang belum terungkap dan masih bersifat rahasia sehingga fakta penemuannya dapat dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan alam yang baru dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari- hari. Tujuan pembelajaran IPA di Sekolah Dasar seperti yang diamanatkan dalam kurikulum KTSP tidaklah hanya sekedar siswa memiliki pemahaman tentang alam semesta saja, melainkan melalui pendidikan IPA siswa juga diharapkan memiliki kemampuan, (1) mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, (2) mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan, (3) meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam. Oleh karena itu IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang penting bagi siswa karena perannya sangat penting dan berguna dalam kehidupan sehari-hari. (Sri Sulisyorini, 2007 : 42) Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, kenyataan yang terjadi di SD Negeri 2 Sidomulyo khususnya kelas V, mata pelajaran IPA tidak begitu diminati dan kurang disukai siswa. Bahkan siswa beranggapan mata pelajaran IPA sulit untuk dipelajari. Akibatnya rata-rata hasil belajar siswa lebih rendah dibanding mata pelajaran lainnya. Dalam proses pembelajaran, peserta didik cenderung masih pasif, selain itu penyampaian informasi dan aktivitas belajar mengajar masih didominasi guru (teacher centered). Siswa belum merasakan, mencoba, mempraktekkan sendiri, sebagai seorang pencari kebenaran. Akibatnya, siswa merasa bosan belajar IPA. IPA menjadi salah satu mata pelajaran yang kurang menarik. Bahkan untuk sejumlah siswa, IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang sukar dipelajari. Dalam proses pembelajaran siswa kurang bisa mengembangkan pemikirannya, dan ketika guru memberikan suatu permasalahan, 65% siswa tidak bisa menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru, hal ini disebabkan karena guru hanya memberikan konsep IPA melalui penjelasan lisan (ceramah) sehingga siswa sulit untuk memahami konsep yang telah diberikan. Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar IPA, ada sebagian siswa yang kadang kala tidak sesuai dengan harapan guru, seperti bergurau dengan teman saat diterangkan, tidak mengerjakan PR, tidak membuat catatan, tidak memperhatikan saat diterangkan dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan, dalam pembelajaran IPA belum menggunakan media yang menarik bagi siswa. Dalam proses pembelajaran, guru sering kali menggunakan media yang sudah tersedia, yaitu text book. Gejala tersebut sedikit banyak mempengaruhi proses pembelajaran di kelas. Kurangnya kreatifitas dan inovasi guru dalam mengembangkan dan menciptakan media pembelajaran, membuat proses pembelajaran di kelas membosankan bagi siswa. Penggunaan media yang kurang menarik, tidak bervariasi, dan monoton, mengakibatkan rendahnya kesempatan peserta didik untuk berinteraksi secara aktif dalam pembelajaran. Peran guru cenderung dominan sehingga partisipasi siswa dalam proses pembelajaran rendah dan siswa cenderung kurang tertarik untuk mendengarkan penjelasan-penjelasan yang monoton. Sehingga pencapaian hasil belajar tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Rata-rata hasil belajar IPA khususnya kelas V SDN 2 Sidomulyo rendah, karena hingga kini proses pembelajaran masih menggunakan paradigma absolutisme yaitu proses dimulai dari merancang kegiatan pembelajaran, mengajar, belajar, dan melakukan evaluasi yang mengalir secara linier. Guru lebih banyak berfungsi sebagai instruktur yang sangat aktif dan siswa sebagai penerima pengetahuan yang pasif. Siswa datang ke sekolah duduk, mendengarkan, mencatat, dan mengulang kembali di rumah serta menghafal untuk menghadapi ulangan. Pembelajaran seperti ini membuat siswa pasif karena siswa berada pada rutinitas yang membosankan sehingga pembelajaran kurang menarik. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, berdasarkan kenyataan di lapangan, khususnya jumlah jam mata pelajaran IPA di kelas V SD Negeri 2 Sidomulyo yaitu 6 jam pelajaran/ minggu dan harus menguasai serta memahami 6 kompetensi dasar yang terdiri dari 22 indikator di semester 2. Hal ini mengakibatkan penguasaan dan pemahaman konsep terhadap mata pelajaran IPA masih relatif rendah, terutama pada indikator lapisan bumi. Selama ini guru hanya menyajikan konsep lapisan bumi dalam bentuk abstrak, tanpa menggunakan media, sehingga siswa kelas V SD Negeri 2 Sidomulyo hanya membayangkan konsep lapisan-lapisan bumi yang diceritakan oleh guru. Terkait belum optimalnya pemahaman siswa terhadap konsep lapisan bumi, maka peneliti berupaya menerapkan penggunaan media pembelajaran yang menarik sebagai salah satu alternatif pembelajaran yang bermuara pada pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Selain itu konsep yang abstrak harus dikonkritkan dengan media yang tentunya menarik minat peserta didik mengikuti pelajaran sekaligus untuk mendalaminya. Media yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah media visual (gambar dan LCD Proyektor). Menurut Arief S. Sadiman (2006: 28) media visual adalah media yang berfungsi untuk menyalurkan pesan dari sumber ke penerima pesan. Saluran yang dipakai menyangkut indera penglihatan dan pesan yang disampaikan dituangkan ke dalam simbol-simbol. Digunakannya media visual karena media visual memiliki banyak manfaat, antara lain (a) menimbulkan daya tarik bagi siswa, (b) memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka) (c) mempermudah pengertian siswa dalam menjelaskan materi yang bersifat abstrak agar lebih mudah untuk dipahami (d) memperjelas bagian-bagian yang penting (e) konsep yang terlau luas dapat divisualisasikan dalam bentuk gambar. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul “Upaya Peningkatan Pemahaman Konsep tentang Lapisan Bumi melalui Media Visual dalam Pembelajaran IPA Siswa Kelas V SD Negeri 2 Sidomulyo Tahun Pelajaran 2009/ 2010”

    EXPLORING THE FUNCTIONS AND REASONS FOR INTER-SENTENTIAL CODE-SWITCHING AMONG LECTURERS

    Get PDF
    The two most common categories in the code switching are intra-sentential and inter-sentential. Intra-sentential code switching occurs when the speaker code switch within sentences. Inter-sentential code switching, on the other hand, refers to the mixing of two languages in two separate sentences in an utterance. This research investigates the use of inter-sentential code switching among lecturers of a public university in Malaysia, where English is mainly the medium of instruction for many core courses. The need to conduct this study is due to the lack of empirical evidences on the difference in code-switching among teachers across age, experience, and faculties. 85 lecturers from six faculties who teach in a public university participated in a quantitative survey. The findings of this study reveal the categories of code-switching used by the lecturers from different faculties, as well as the functions and reasons for the code-switching. Future studies should consider the need for a standardized measurement of evaluating the functions and reasons of code-switching among the teachers and students.  Article visualizations

    SCIENCE, TECHNOLOGY, ENGINEERING, ARTS, AND MATHEMATICS (STEAM) CURRICU- LUM AS A LENS FOR LANGUAGE AND CULTURE REVITALIZATION IN ALASKA

    Get PDF
    During the workshop we will share the details of a transformative and collaborative effort for capturing science, technology, engineering, arts, and mathematics (STEAM) curriculum that responds to the needs, traditions, and values of Alaska Native students, their parents, and their teachers. Participants will learn the philosophical and practical aspects of curriculum design and implementation. We will share samples of the curriculum map, lesson plans, and activities. In addition, workshop participants will have the opportunity to examine ways in which they can modify existing curriculum to integrate language, culture, and traditional knowledge in their classrooms and community

    Listen well to score better / Aiza Johari, Norseha Unin and Ch’ng Looi Chin

    Get PDF
    Many language students face difficulties when listening to a second language. For English as a Second Language (ESL) students, listening is not usually a significant part of their lessons. Educators usually pay more attention to reading, writing and speaking skills, resulting in listening anxiety among students. Additionally, listening activities are often carried out only to test the students’ abilities, which may also lead to anxiety and apprehension (Vandergrift, 1999). According to Young (1992), anxiety is one of the key elements for poor listening abilities. Effective listening requires students to apply certain mental steps to address their listening anxiety or challenges. Goh (2000) stated that teaching listening strategies to the students is very helpful for developing students’ comprehension. In this study, 100 participants were selected to examine the influence of metacognitive awareness strategies on their listening comprehension. The study was conducted in two stages of Pre-test and Post-test for MCQ (listening comprehension) and Metacognitive Awareness Listening Questionnaire (MALQ), adopted from Vandergrift et al. (2006). In general, based on the MCQ scores, the findings showed an increase in the percentage of correct answers. As such, the metacognitive strategy awareness has positively influenced the test scores. Future studies are recommended to explore how metacognitive strategies can impact the students’ listening performanc

    Learning to write chinese characters among non-native chinese learners / Ting Hie-Ling...[et al.]

    Get PDF
    Learning to write Chinese characters is often challenging for non-native Chinese learners mainly because the writing system is completely different from the alphabetical system. Traditionally, rote learning is commonly used in the teaching and learning of Chinese characters but it is often considered as laborious. Studies indicate mobile applications (MAs) can facilitate the learning process better (Shinagawa, 2012; Wong et al, 2010) especially for non-native Chinese learners. This study is designed to compare the use of both learning methods to promote the correct order of writing Chinese characters. A hundred Level 2 Mandarin undergraduates participated in this study. They were given a Pre-Test before they were divided equally into Treatment group (TG) and Control group (CG). The CG used traditional method of rote learning to practice writing, while TG used three differrent MAs to practice for three weeks. Later, all of them were required to complete a Post-Test. The scores for pre-test and post-test were analyzed and compared. The results suggest that traditional and MA method give significant and positive impacts on the improvement of writing order. Futher studies are needed to seek participants’ preferences in learning writing order as a way to cater for their personal needs in writing Chinese characters

    MANAJEMEN PENINGKATAN KINERJA KEPALA SEKOLAH DALAM CAPAIAN INDIKATOR MUTU LULUSAN MELALUI OPTIMALISASI PERAN DAN FUNGSI MANAJERIAL DINAS PENDIDIKAN DAN PENGAWAS SEKOLAH : Studi tentang Persepsi Kepala Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Sukabumi

    Get PDF
    Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk meningkatkan kinerja kepala sekolah dalam capaian indikator mutu lulusan. Dengan metode survey, pendekatan kuantitatif, dan multi analisis (descriptive, regresi-korelasi, MCA) terhadap 60 orang sebagai sample dari 150 orang populasi kepala SMP di Kabupaten Sukabumi. Secara umum hasil penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa untuk meningkatkan kinerja kepala sekolah tersebut dapat dilakukan dengan memperbaiki persepsi kepala sekolah pada tugasnya, persepsi kepala sekolah pada peran dan fungsi manajerial dinas, serta persepsi kepala sekolah pada peran dan fungsi pengawas sekolah. Hal ini didasarkan pada pengaruh variable tersebut terhadap kinerja kepala sekolah dalam capaian indicator mutu lulusan
    corecore