15 research outputs found

    Makna Ruang Sakral GPIB Im Manuel di Kota Malang

    Full text link
    Gereja merupakan sebuah bangunan yang di dalamnya memiliki banyak ruangan dengan fungsi berbeda, seperti ruang ibadah, kantor pengelola, ruang rapat, ruang arsip, hunian bagi pendeta, dsb. Sebuah ruang ibadah pada sebuah gereja merupakan sebuah area yang memiliki tingkat kesaralan yang sangat tinggi dibandingkan dengan ruang yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu makna ruang ibadah, di mana sebuah makna berpengaruh terhadap kesakralan suatu ibadah atau liturgi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan rancangan penelitian berupa studi kasus. Penelitian juga menggunakan semiotika Roland Barthes terhadap culture background yang dimiliki responden. Pada ruang ibadah GPIB Immanuel Malang, memiliki makna megah, nyaman, khusyuk, teduh, klasik, unik pada rangka atap, membius serta liturgi, di mana hal tersebut dipengaruhi oleh latar belakang usia serta latar budaya. Pengaruh culture background responden yang memiliki pengaruh yang signifikan dibandingkan dengan pengaruh culture background lainnya yakni usia dan latar budaya. Di mana pada hasil penelitian diketahui bahwa usia yang dimaksud lebih ditekankan pada usia produktif. Dengan demikian makna ruang ibadah tercipta oleh jemaat yang memiliki usia produktif yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, sehingga bagi jemaat dengan usia yang tidak produktif tidak menutup kemungkinan memiliki makna lain akan makna ruang ibadah

    DWELLINGS CULTURE ON RIPARIAN COMMUNITY IN MUSI RIVER, PALEMBANG

    Get PDF
    Riparian areas are located along the edge of the river and directly affected by the tidal waters of the river. The existence of riparian has an important function as an inland transition area heading to waters that it has affected the location and placement of the settlement. There are three modes of settlement that have for centuries lived by the community at Musi River in Palembang. First, the Rakit (raft) settlement over the Musi River, the second settlement is stage houses in which poles anchored on the banks of the Musi River with a pyramid roof which called Rumah Limas and Limas Warehouse, and the third settlements on the mainland. Raft houses are increasingly few in number and disappearing from the banks of Musi River. However, houses on stilts and houses propped on the bottom turn into a shelter in the dry condition and change the function to a settled pattern of land. The settlements archetype can be found through the study of literature, field research, and local wisdom related to riparian communities. The 'read' elements of architecture can be found 'roots' local wisdom in addressing riparian architecture that can enrich the architecture of the archipelago. The findings show that the living cultures of riparian communities convey a new kind of culture or as a sub-culture. Keywords: culture resides, riparian communities.

    CULTURAL APPROACH OF SUSTAINABILITY IN DWELLINGS CULTURE RIPARIAN COMMUNITY MUSI RIVER PALEMBANG

    Full text link
    Dwelling Riparian is not an archaeological artifacts or ruins of civilization, but the physical figure of communities that are still alive and live. Socially, the Musi River not merely as a means of transport and make a living alone. Moreover Musi River Palembang form of existence of cultural sovereignty. Riverside settlements are not only inherent elegance spatial pattern alone, but also contains exemplary values, philosophy, and belief in the primordial Palembang riverside cultural background and meaning of culture. The goals of this study are, 1) to observe the evolution processes of dwelling culture and to compare the traditional spatial forms and the transformed ones. 2) to emphasize the former attitude and to propose a sustainable strategy for developing the dwelling type by respecting and adopting the traditional culture and historic apologue. The concrete tactics for construction and architectural concepts are proposed in this paper

    Leuit Bukan Sekadar Lumbung

    Full text link
    Sosok leuit yang eksotis sering mengelabuhi dan menyilapkan mata orang yang melihatnya. Terlebih saat pandangan pertama. Terutama bagi mereka yang berkacamata tektonika semata. Semua dianggap sama, padahal sebenarnya berbeda. Terjebak dalam persepsi bentuk wadah fisik saja. Dalam anggunnya, leuit memendam sarat makna, khas kebudayaan Nusantara. Khazanah arsitektur yang tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut saja. Diperlukan pengalaman kehadiran untuk membaca sosok leuit. Perpaduan waktu-pelaku-laku yang senantiasa berulang ternyata membangun kesadaran akan kehadiran [konsep] ruang, hingga pada titik tertentu menyibak nilai-nilai dasar dibaliknya, baik filosofis maupun spiritualitasnya. Darinya diperlihatkan bagaimana pengetahuan lokal itu jika dienkripsi dengan benar akan menghasilkan pengetahuan yang besar

    Sakuren: Konsep Spasial Sebagai Prasyarat Keselamatan Masyarakat Keselamatan Masyarakat Budaya Padi di Kasepuhan Ciptagelar

    No full text
    ABSTRACTIn the rice culture of KasepuhanCiptagelar society, life will emerge after sakuren brought together (pangawinan). Life is not static, but dynamic and cyclical. Sakuren should be sought through the ngalasuwung, that is a process of ritual activity. Ngalasuwung performed through pattern of space motion katuhu or kenca. Goal of ngalasuwung is to achieve a suwung. The process of ngalasuwung does not cease after the reality of sakuren found. Reality of sakuren remains to be mated (pangawinan) in suwung space. Aim of pangawinan is obtain pancer. Through an ethnographic approach, sakuren cultural theme as a result of a domain analysis, studied simultaneously with taxonomic analysis and elaborated with thick description. Comprehensive studies show that sakuren is an existential meaning which should be pursued and a prerequisite for obtaining safety and sustainability.Keywords: KasepuhanCiptagelar, pangawinan, pancer, sakurenABSTRAKDalam budaya padi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, kehidupan akan muncul setelah sakuren dipertemukan. Kehidupan tidak bersifat statis, melainkan dinamis dan siklis. Sakuren adalah konsep sepasang. Sakuren harus dicari melalui proses ngalasuwung, yaitu sebuah proses aktivitas ritual. Ngalasuwung dilakukan dengan dengan pola gerak ruang katuhu atau kenca. Tujuan ngalasuwung adalah mencapai ruang suwung. Proses ngalasuwung tidak berhenti setelah realitas sakuren ditemukan. Realitas sakuren masih harus dikawinkan dalam ruang suwung. Tujuan pangawinan adalah memperoleh pancer (keselamatan). Melalui pendekatan etnografi, tema kultural sakuren sebagai hasil dari analisis domain, dikaji secara simultan dengan analisis taksonomi dan dielaborasi dengan thick description. Kajian komprehensif menunjukkan bahwa sakuren merupakan makna eksistensial yang harus diupayakan dan menjadi prasyarat untuk memperoleh keselamatan dan keberlanjutan hidup masyarakat budaya padi Ciptagelar.Kata Kunci :Kasepuhan Ciptagelar, pangawinan, pancer, sakuren

    Kualitas Visual Fasad Bangunan di Kawasan Pecinan Kota Makassar Berdasarkan Persepsi Masyarakat

    Get PDF
    Dalam perkembangan Kawasan Pecinan Kota Makassar mengalami degradasi vitalitas yang tidak relevan dengan statusnya sebagai pusaka kota dan penurunan kualitas visual. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penilaian masyarakat umum dan professional di bidang arsitektur tentang peranan elemen fasad terhadap kualitas visual Kawasan Pecinan. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan metode analisis independent sample t-test, analisis faktor dan analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan penilaian kedua kelompok responden. Persepsi kelompok arsitektur menunjukkan bahwa kualitas visual kawasan hanya dipengaruhi oleh bidang perulangan bentuk pada bangunan klenteng. Sedangkan, persepsi kelompok non arsitektur penilaiannya dipengaruhi oleh material untuk property pada bangunan ruko; material bidang dan efek visual pada bangunan pertokoan; material bidang dan efek visual pada bangunan klenteng; dan railing dan perulangan bentuk pada bangunan klenteng

    Identity, Locality and Image of the Residential House by Eko Prawoto

    No full text
    The development of residential architecture now depends on market tastes, with the trend of minimalist houses being identical in style and without a theme, as if they have lost their identity. In this case, there were many discussions that featured Eko Prawoto as an architect with the theme of local architecture, but the subject of this research questioned him. Therefore, this study discusses how the identity and concept of the natural locality of Eko Prawoto's residential works are expressed through architectural tectonics. The architectural biographical approach is used in qualitative inductive research through an emic view. The focus of this research topic is on the process of expressing the image of residential buildings through architectural tectonics. The results obtained are in the form of processing materials, techniques, and flavors in the process of building a house. This discussion is important to straighten the concept of local architecture and the meaning of architectural works through a biographical approach. This research is expected to be the basis for the use of tectonics as a basis for meaningful architectural development

    Tapak Jalak: Ritual Kelahiran sebagai Proses Inisiasi Human Space pada Generasi Muda Kasepuhan Ciptagelar

    No full text
    Ruang merupakan salah satu bagian penting dari arsitektur. Ruang bersifat heterogen, ada ruang fisik dan ruang imajiner. Setiap kebudayaan memiliki definisi tersendiri terkait ruang, begitu pula Kasepuhan Ciptagelar. Salah satu ruang imajiner di Kasepuhan Ciptagelar adalah Human Space. Seperti halnya ruang yang terlihat secara fisik, Human Space juga dapat ditemukan dalam beragam tempat dan aktivitas kebudayaan. Dalam Kasepuhan Ciptagelar, ritual kelahiran menjadi salah satu tradisi penting yang mengawali kehidupan generasi muda di sana. Pada ritual kelahiran, Human Space dapat ditemukan dalam tapak jalak. Tapak jalak ritual kelahiran dibuat menghadap pintu rumah yang dibangun berdasarkan naptu dari orang tua si anak. Makna dari penggunaan naptu untuk menentukan arah pintu rumah adalah karena dari arah itulah rezeki datang. Namun, masih belum ada deskripsi makna dari tapak jalak jika dilihat secara Human Space. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-induktif dengan paradigma partisipatoris ini menggunakan etnografi sebagai pendekatan penelitiannya dan memiliki sifat aposteriori. Observasi lapangan menjadi cara bagi peneliti untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Peneliti harus memiliki sikap objektif agar hasil dari observasi tidak tercemar oleh pemikirannya sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna tapak jalak ritual kelahiran pada proses inisiasi generasi muda Kasepuhan Ciptagelar secara Human Space melalui metode thick description. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) dalam Human Space, tapak jalak menjadi media yang menyatukan ruang fisik dan imajiner di mana manusia menyatu dengan lingkungannya dan (2) inisiasi manusia sebagai pancer menjadi proses awal bagi anak yang dimulai ketika kaki anak diinjakkan pada titik tengah dari tapak jalak, saat itulah terjadi proses vertikal di mana anak dibawa dari ruang fisik menuju ruang imajiner untuk memperkenalkan dirinya pada alam semest

    Membaca Konsep Bedawang Nala

    No full text
    Wujud arsitektur dapat dilihat dari bentuk dan ruang, serta memiliki relasi unsur budaya, yaitu sebagai tampilan secara langsung disebut sebagai artefak. Karya arsitektur tidak terlepas dari guna dan citra, sebagai makna dari materinya. Bedawang nala merupakan jejak arsitektur berwujud sekala-niskala, berupa penyu yang dililit naga basuki dan ananthaboga, dan relasi metafisik terhadap jelmaan Dewa Wisnu bersifat metafisik. Realitas arsitektur di Bali tidak terlepas dengan konsep tri hitakarana, tri-loka/tri-tri angga, nawa sanga, proporsi dan skala manusia. Realitas bedawang nala juga berelasi dengan mitos, ista dewata, sapta petala, ritual dan faktor sosial, serta rwa-bhinneda pada bedawang nala yang menunjukan posisi ruang profan dan sakral. Bedawang nala merupakan realitas dengan konsep arsitektur di Bali, konsep yang saling berelasi, dan memiliki hubungan menghadirkan bedawang nala dalam realitas fisik dan metafisik. Relasi itu terjadi pada mitos, ritual, bangunan tradisional arsitektur Bali dan bangunan publik. Bagaiana relasi bedawang nala sebagai konsep kosmologi ruang yang terbentuk pada realitas rwa-bhinneda? dan Bagaimana relasi bedawang nala pada bentuk fisik berdasarkan eksistensi rwa-bhinneda ?. Penelitian ini bertujuan mengkaji relasi rwa-bhinneda pada bedawang nala berdasarkan realitas arsitektur yang terjadi pada pelinggih padma, bale kul-kul, bade, bukur dan ritual dalam lingkup observasi yang dilakukan pada teritori Bali utara dan Bali Selatan di Pulau Bali, serta titik ahir di Pulau Jawa. Penelitian ini menggunakan prosedur kualitatif dengan penalaran induktif dan strategi etnografi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa (1). pemuteran merupakan prasawiya mencapai sapta petala secara sekala dengan purwadaksina mencapai ista dewata bersifat niskala pada Bwah-loka, (2). Nasarin menghadirkan entitas Dewa Wisnu secara niskala dengan pedagingan dasar entitas bedawang nala bersifat sekala, (3). Rong merupakan realitas sekala pada ruang swah-loka yang merupakan entitas Ista Dewata yang niskala, (4). Reaktualisasi kosmogoni nasarin dan ngemunyiang lesung merupakan ritual untuk mencapai entitas bedawang nala yang sekala dengan entitas Dewa Wisnu yang niskala, (5). Realitas bedawang nala secara sekala dihadirkan pada dengan syarat orientasi ista dewata sebagai syarat mutlak dan bersifat sakral pada pelinggih padma, (6) Realitas bedawang nala secara sekala dapat dihadirkan pada entitas sekala dengan syarat catur warna (7). Realitas bedawang nala merupakan rwa-bhinneda reaktualisasi kosmogoni berupa padma bersifat sakral menjadi syarat menghadirkan entitas bedawang nala pada pelinggih

    CULTURAL APPROACH OF SUSTAINABILITY IN DWELLINGS CULTURE RIPARIAN COMMUNITY MUSI RIVER PALEMBANG

    No full text
    Dwelling Riparian is not an archaeological artifacts or ruins of civilization, but the physical figure of communities that are still alive and live. Socially, the Musi River not merely as a means of transport and make a living alone. Moreover Musi River Palembang form of existence of cultural sovereignty. Riverside settlements are not only inherent elegance spatial pattern alone, but also contains exemplary values, philosophy, and belief in the primordial Palembang riverside cultural background and meaning of culture. The goals of this study are, 1) to observe the evolution processes of dwelling culture and to compare the traditional spatial forms and the transformed ones. 2) to emphasize the former attitude and to propose a sustainable strategy for developing the dwelling type by respecting and adopting the traditional culture and historic apologue. The concrete tactics for construction and architectural concepts are proposed in this paper
    corecore