112 research outputs found

    Betuturu Story and Social Practices of Marriage in Serawai Ethnic Groups of Bengkulu

    Get PDF
    This paper is intended to discuss the plot and content of the Betururu oral story in relation to marriage custom, and to discuss the narrative of the story in relation to the maintenance of social function of the ketua adat in the marriage practices in Serawai ethnic groups in Bengkulu. In this discussion the Betuturu story seen as a symbolic sign that used intentionally to convey knowledge in social communication. This story living in a very limited environment, spoken at a certain time with a certain audience anyway. From the data available, it can be concluded that the parts and episodes of this story symbolizes knowledge and principles which its manifestation can be found in the actions during a marriage social practices of Serawai ethnic groups in Bengkulu. Part [B] episode [B2], [B3] and [B4] of the story symbolizes begadisan, berasan, and ngulang ghunut in a series of customary marriage. Part [A] episodes [A1] and [A2] symbolizes the principles of adat kulo in the practice of marriage. The storytelling tradition of Betuturu which is limited and closed indicating the maintenance of ketua adat access on marriage and their authority over the legality of the social actions of Serawai ethnic individuals in the practice of marriage. Keywords: Betuturu story, marriage practice, Serawai ethnic group of Bengkulu

    PELATIHAN PENULISAN PROPOSAL PENELITIAN SKRIPSI BAGI MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA FKIP UNIVERSITAS BENGKULU

    Get PDF
    Tujuan kegiatan pengabdian (1) memberi pelatihan menulis proposal penelitian skripsi kepada mahasiswa semester VII Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Bengkulu agar memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang cara menulis proposal penelitian skripsi  dan (2) memberi kemampuan, pemahaman, dan keterampian kepada mahasiswa semester VII Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Bengkulu dalam menulis proposal penelitian skripsi sesuai dengan kaidah penulisan proposal penelitian skripsi yang baik. Kegiatan pengabdian kepada mahasiswa semester VII Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Bengkulu mulai secara daring pada tanggal 2-3 November 2020 di Universitas Bengkulu. Khalayak sasaran yang dilibatkan dalam kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah mahasiswa semester VII Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Bengkulu. Metode yang digunakan dalam kegiatan pengabdian ini adalah sosialisasi dan pendampingan. Rancangan evaluasi untuk mengukur kebermanfaatan pelatihan menulis proposal dengan angket dan untuk mengukur kemampuan menulis proposal dengan pemberian tugas menulis proposal penelitian skripsi. Indikator untuk mengukur kebermanfaatan pelatihan penulisan proposal skripsi dan kemampuan mahasiswa menulis proposal penelitian skripsi  dengan mencocokkan tabel rubrik yang berisi tentang kelengkapan dalam penulisan judul, masalah dan rumusan masalah, manfaat penelitian, kerangka teori dan kajian pustaka, dan metodologi penelitian. Hasil capaian pengabdian menunjukkan bahwa pelatihan menulis proposal penelitian skripsi bermanfaat bagi mahasiswa semester VII Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Bengkulu dan mahasiswa memiliki kemampuan mereka dalam menulis proposal penelitian skripsi dengan baik. Kegiatan pengabdian perlu dilanjutkan dengan pendampingan yang lebih intensif agar mereka lebih mampu dalam menulis proposal pada saat menyusun skripsi yang dibimbing oleh pembimbing utama dan pembimbing pendamping yang telah di-SK-kan oleh Dekan FKIP Universitas Bengkul

    Traditional Medicine Knowledge in the ULU Manuscripts of Bengkulu

    Get PDF
    This study aims to describe the codex, text, and social aspects of the ulu manuscripts of traditional medicine preserved in the State Museum of Bengkulu. This research is based on philology, which methodologically utilizes the principles of codicology and paleography for analysis purposes. The research results are as follows: First, there are 13 manuscripts of traditional medicine in the State Museum of Bengkulu that belong to the Serawai and Pasemah ethnic groups based on the characteristics of the codex. These texts generally contain information about (a) various diseases, (b) characteristics or symptoms of a disease, (c) medicinal plants, (d) the method of mixing medicinal ingredients, (e) treatment methods, and (f) post-treatment activities, usually in the form of sedekah (offering). Second, the ulu writing tradition plays a role in documenting and preserving cultural knowledge, including knowledge of traditional medicine. The writing of the ULU manuscripts was meant as a practice guide both for the writer and for the readers of texts, assumed to have the same cultural background. Keywords: Bengkulu, traditional medicine texts, ulu manuscript DOI: 10.7176/RHSS/13-19-01 Publication date: December 31st 202

    MANUSCRIPTS AND SOCIAL PRACTICE

    Get PDF
    Abstract: This research is based on discourse analysis, aims to explain the manuscripts as a cultural knowledge production and distribution processes. The research materials are ulu manuscripts preserved in the State Museum of Bengkulu and in the community as well. The analysis is carried out by utilizing the principles of discourse analysis and social semiotics, through text descriptions, interpretations, and explanations. Description is the analysis of text and the production process, while interpretation is the analysis of the text as a social practice, and the explanation is a social analysis of the text. Based on internal and external evidence of the text, the following findings were obtained: (1) ulu texts are generally codex unicus, there is not enough evidence of a genealogical relationship between one manuscript with other manuscripts of one type/kind; (2) ulu texts are produced not through text transmission rather through transformation of the texts in oral tradition and in social practice as well, i.e. the corpus of texts in oral tradition and the social practices as a sources of text production; (3) the text in the manuscripts, thus, constitutes a certain degree of social practice. Keywords: manuscripts, texts, social practice, discourse analysi

    Alih Wahana untuk Pengembangan Folklore Lisan Bengkulu

    Get PDF
    Kesenian sering juga dimaknai sebagai folklore (atau bagian dari folklore), sementara folklore sering diberi makna sama atau lebih kurang sama dengan kebudayaan.  Demikianlah, kesenian dalam arti luas dapat dimaknai sebagai kebudayaan atau sekurang-kurangnya bagian dari kebudayaan suatu kolektif (Danandjaja 1994).  Sebagai folklore atau bagian folklore, kesenian memiliki fungsi, misalnya sebagai sistem proyeksi, sistem kontrol atau pengendali bagi perilaku dan aktivitas masyarakat suatu kebudayaan (Bascom 1984; Gaster 1984; Malinowski 1984).  Dalam kaitan ini, kesenian mengejala dan tampil dalam keseharian kehidupan suatu masyarakat budaya.  Kesenian memperlihatkan identitas suatu masyarakat budaya.  Kesenian juga menunjukkan makna, fungsi atau kegunaannya bagi suatu masyarakat budaya.  Aneka macam fungsi kesenian tampak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya, misalnya ekonomi, sosial, politik, pendidikan, agama, keyakinan atau kepercayaan.  Sifat dinamis dalam kesenian tampak pada keluwesannya memanfaatkan unsur-unsur baru untuk menggantikan unsur-unsur lama yang dipandang kurang relevan atau tidak sesuai lagi dengan tuntutan kebutuhan zaman (Sedyawati 2014)

    Peningkatan Kemampuan Menulis Fabel Menggunakan Model Pembelajaran Example Non Example pada Siswa Kelas VII SMP Negeri Muara Beliti

    Get PDF
    The purpose of this study was to describe the improvement of the process and the results of the ability to write fables using the example non example learning model for grade VII.3 students of SMP Negeri Muara Beliti for the 2018/2019 academic year. This research is a classroom action research consisting of two cycles, namely cycle I and cycle II. The data collection methods used were the observation method and the fable writing assignment test method. Data analysis techniques are data reduction, descriptive presentation (narrative, visual images, tables) with a systematic and logical flow of presentation, and the conclusion of the results presented based on indicators of research success. The results showed that the example non example learning model could improve the quality of the process and the results of learning to write fables for seventh grade students of SMP Negeri Muara Beliti in the 2018/2019 academic year. This is evidenced by the increase in teacher activity in cycle I reaching 65.3%, increasing to 94.4% in cycle II. In the first cycle, student learning activities, namely 71.9%, increased to 81.3% in the second cycle

    NANDAI PADA ETNIK SERAWAI DI KABUPATEN SELUMA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA LAMA

    Get PDF
    This study aims (1) to inventory or collect marks on the Serawai ethnicity in Seluma Regency so that it can be a source of learning for the appreciation of old literature. (2) Finding and explaining the moral values ​​contained in the mark of the Serawai ethnicity in Seluma Regency. The method used in this research is a descriptive qualitative method. The data collection technique was carried out by (1) Observation (2) Defect technique (3) Recording (4) Documentation. Data Analysis Techniques (1) perform translation (2) find and explain moral values ​​(3) conclusions. Research Results (1). Until now, markers are still found in 5 sub-districts in Seluma district, although they are no longer told productively because it is difficult to find sources who can still mark, plus many have had health problems and died. The Nandai that was found was the Nandai ghenai which is a type of legend and fairy tale. (2) There are moral messages and values ​​that can be taken in the markings on the Serawai ethnicity such as individual moral values ​​(honest, patient, disciplined, and responsible) and social moral values ​​(respect for every human being, respect for women, respect for the opinions of others , loyal, polite, and true to promises). (3) Nandai can be used as a source of learning appreciation for old literature in Seluma district at the Junior High School, Senior High School, and General levels because it has two languages ​​(Serawai and Indonesian) and Glossary.Abstrak             Penelitian Ini bertujuan (1) Untuk inventarisasi atau mengumpulan nandai pada etnik Serawai di Kabupaten Seluma sehingga dapat menjadi sumber pembelajaran apresiasi sastra lama. (2) Menemukan dan menjelaskan nilai moral yang terkandung dalam nandai pada etnik Serawai di Kabupaten Seluma. Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik (1) Observasi (2) Teknik cacat (3) Perekaman (4) Dokumentasi. Teknik Analisis Data (1) melakukan terjemahan (2) menemukan dan menjelaskan Nilai moral (3) kesimpulan. Hasil Penelitian (1). sampai saat ini nandai masih ditemukan di 5 Kecamatan di kabupaten Seluma meskipun tidak lagi di ceritakan lagi secara produktif dikarekan sulit menemukan narasumber yang masih bisa bernandai ditambah sudah banyak yang terkendala kesehatan dan meninggal. Nandai yang ditemukan adalah nandai ghenai yang berjenis legenda dan dongeng. (2) Terdapat pesan dan nilai moral yang dapat diambil di dalam nandai pada etnik serawai seperti nilai moral individual (jujur, sabar, disiplin, dan tanggung jawab) dan nilai moral sosial (penghargaan setiap manusia, penghargaan terhadap perempuan, penghargaan terhadap pendapat orang lain,setia, sopan, dan tepat janji). (3) Nandai dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran apresiasi sastra lama di kabupaten Seluma pada jenjang Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Umum karena memiliki dua bahasa (bahasa Serawai dan bahasa Indonesia) dan glosarium.   Kata kunci : Nandai Etnik Serawai,Nilai Pembelajaran,Sumber Pembelajara

    FOLKLORE ETNIK SERAWAI DI PROVINSI BENGKI]LU SEBAGAI BATIAN PEMBELAJARAN PENIDIDIKAN KARAKTER BAGI SISWA SEKOLAH DASAR

    Get PDF
    Kelompok etnik Serawai merupakan salah satu etnik yang terdapat di Provinsi Bengkulu. Kelompok etnik lainnya adalah Pasemah, Nasal, Mukomuko, Rejang, Lembak, dan Enggano. Kelompok etnik Serawai mendiami desa-desa dalam wilayah Kabupaten Seluma dan Kabupaten Bengkulu Selatan. Dewasa ini kelompok etnik Serawai mendiami wilayah Kabupaten Seluma dan Kabupaten Bengkulu Selatan, serta sebagian wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah. Selan itu sebagai pendatang, kelompok etnik Serawai dewasa ini mendiami beberapa desa di Kabupaten Kepahiang. Bahasa kelompok etnik Serawai termasuk ke dalam kelompok bahasa Melayu Tengah. Bahasa Serawai memiliki varian subdialek (atau beda wicara), yang ditandai dengan perbedaan bunyi /o/ dan /au/ pada akhir kata-kata dari etimon yang sama. Pembagian secara garis besar menunjukkan bahwa wilayah pemakaian dialek /o/ tersebar di desa-desa dalam kabupaten Seluma, sedangkan wilayah pemakaian dialek /au/ meliputi desa-desa dalam kabupaten Bengkulu Selatan. Sebagaimana etnik lainya di Indonesia, etnik Serawai memiliki folklore dalam berbagai tipe, seperti lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan. Pertama-tama adalah yang termasuk ke dalam kelompok folklore lisan, dikenal antara lain nandai atau andai-andai, guritan, serdundum atau kisah kejadian, sedingan, teka-teki, pantun, dan rejung. Nandai atau andai-nadai dapat diartikan cerita pada umumnya yang berbentuk prosa. Sementara itu guritan (kadang disebut juga nandai) berbeda dari cerita prosa umumnya (andai-andai) antara lain karena bentuknya. Guritan berbentuk prosa lirik, memiliki irama ketika dibawakan atau dikisahkan oleh tukang guritan dengan alat bantu gerigiak untuk menopang dagunya. Guritan mengisahkan lingkaran hidup. Prosa rakyat lainnya nandai Kancil, Biyawak Nebat baik dalam varian lisan maupun tulis, yakni dalam naskah beraksara Ulu, koleksi Museum Negeri Bengkulu bernomor MNB 07. 32 dan MNB 07.72 dan Buaya Kuning untuk kelompok fabel. Selanjutnya adalah puisi rakyat, mencakup antara lain teka-teki, pantun, dan rejung. Pantun mencakup berbagai macam jenis menurut isinya. Pantun biasanya disampaikan dalam berbagai kesempatan. Misalnya dalam pertunjukan seni dendang, yaitu pertunjukan berupa tarian yang dimainkan oleh laki-laki dewasa dalam jumlah banyak diringi musik rebana dan biola. Para penari mengenakan peralatan kain panjang, selendang, piring porselein, dan sapu tangan. Seni dendang biasanya dipentaskan dalam acara pernikahan. Selain pantun, ada rejung. Bentuk rejung mirip pantun, tetapi berbeda jumlah satuan sintaktiknya. Jika pantun terdiri dari 4 satuan sintaktik (baris), rejung terdiri dari 5 sampai 8 satuan sintaktik. Selain itu, rejung merupakan komposisi berpasangan: ada pernyataan dan ada jawaban yang merupakan satu kesatuan semantik. Perlu diketahui bahwa rejung merupakan bagian tidak terpisahkan dari pertunjukan tari adat. Adapun folklore sebagian lisan bisa kita dapati antara lain pantun dan rejung sebagaimana dicontohkan di atas karena selain ada unsur bahasa verbal ada juga unsur bunyi instrumen musik dan gerak tari sebagai satu kesatuan. Sebab, pantun lazim juga dilantunkan dalam seni dendang. Dalam konteks ini, ada unsur gerak (tarian) dan unsur bunyi lainnya (musik biola dan rebana) yang menyertai pengucapan pantun dalam irama atau lagu tertentu, di samping perlengkapan lain seperti sapu tangan dan selendang. Rejung dilantunkan secara bersahutan atau berbalasan oleh para penari dalam kesatuannya dengan tari setelah gerakan tertentu, yaitu gerakan nyengkeling. Di sini ada unsur-unsur gerak dan bunyi instrumen kelintang, gong, dan redab, dan juga ada perlengkapan lain berupa kipas. Pertunjukan sekujang termasuk ke dalam folklore sebagian lisan. Sekujang dipertunjukan untuk meradai atau meminta sesuatu dengan cara berkunjung dari rumah ke rumah, pada malam hari, hari kedua bulan Syawal. Rombongan, salah satu di antaranya adalah dukun, mengenakan kebaya dan topeng yang menye-rupai elang, beruang, harimau, babi, atau yang menyerupai hantu, bertongkat, membawa perlengkapan keranjang berisi tumbuhan obat dan sekapur sirih serta dilengkapi obor. Tetapi ada juga pantun-pantun yang hanya diucapkan menurut keadaan atau situasi tertentu, khususnya berkaitan dengan sikap tuan rumah terhadap mereka. Pantun-pantun jenis ini biasanya merupakan respon atau tanggapan atas sikap tuam rumah. Misalnya, jika tuan rumah pelit atau kikir, tidak memberi sedekah apa pun kepada rombongan sekujang, atau benda pemberian itu adalah benda-benda kurang berharga, maka rombongan akan mengucapkan pantun yang berisi sindiran kepada tuan rumah yang kikir itu. Termasuk ke dalam folklore sebagian lisan adalah ritus atau upacara tradisional, antara lain ngindun padi, kayiak beterang, nutup lubang, serta nyialang (mengambil madu lebah pada pohon sialang), mengingat adanya campuran unsur lisan dan bukan lisan. Dalam ritus tradisional yang dimaksud terdapat unsur bahasa lisan yang berupa doa-doa atau jampi atau pernyataan-pernyataan verbal, di samping adanya unsur benda-benda untuk sesaji dan peralatan ritus maupun adanya unsur gerak, misalnya mengelilingi pohon kelapa, atau memukul-mukul batang sialang. Rumah tradisional etnik Serawai dengan arsitekturnya merupakan folklore bukan lisan yang material. Ada bagian ruang yang disebut luan, ada bagian ru-mah yang disebut berugo, ada kamar (bilik) untuk gadis tetapi tidak untuk bujang, dan bagian-bagian lain dengan fungsi sosial yang tertentu, memperlihatkan bahwa rumah mengandung ciri-ciri folklore. Ada tengkiyang (lumbung padi) yang posi- sinya tertentu terhadap rumah tinggal, dan ada juga langgar (tempat menyimpan pusaka) yang tempatnya juga tertentu, biasanya hanya terdapat dalam desa induk dan letaknya di tengah-tengah desa. Luan biasanya digunakan untuk tempat belangsungnya perhelatan penting, seperti melamar, dan mempertunjukan guritan. Dalam perhelatan penting itu, hanya orang yang memiliki hubungan kekerabatan tertentu dengan tuan rumah dan status sosial tertentu dalam masyarakatnya yang boleh duduk di ruang luan itu, sementara yang lainya di ruangan lain. Juga ada ruang yang otoritas perempuan lebih dominan dibanding laki-laki. Semua itu berkaitan dengan fungsi sosial rumah dan bagian-bagiannya dan memperlihatkan ciri folklore. Naskah (manuscripts) beraksara Ulu termasuk ke dalam folklore bukan lisan. Naskah-naskah Ulu Serawai umumnya tidak berkolofon yang memuat identitas penulisnya, dan dengan demikian bersifat anonim. Sejauh yang kami ketahui, teksteks tulis Ulu bersumber dari teks-teks lisan. Terdapat cukup banyak bukti yang memperlihatkan bahwa naskah-naskah Ulu diturunkan dari sumber lisan. Teks rejung yang tertulis dalam naskah MNB 07.18 (Museum Negeri Bengkulu) dapat dipastikan diturunkan dari sumber lisan, sebagai satu varian dari teks rejung. Contoh lain yang memperlihatkan bahwa teks-teks yang tertulis dalam naskah Ulu juga teks-teks yang terdapat dalam tradisi lisan dan/atau dalam ritus tradisional, dapat disimak dari teks serdundum. Teks serdundum adalah teks yang dibacakan atau dibawakan oleh dukun ketika mempertemukan mempelai pria dan wanita dalam rangkaian pernikahan menurut adat etnik Serawai. Sementara itu, naskah L.Or. 5447 (Perpustakaan Universitas Leiden) juga teks serdundum yang mengisahkan terjadinya alam semesta (bumi langit, laut, angin, gunung, tumbuhan, hewan), termasuk terjadinya manusia (Adam). Dalam L.Or. 5447 dikisahkan bahwa semesta dan isinya terjadi dari telur sembilan ruang yang dierami burung. Selama penelitian ini, terkumpul sekitar 40 (empat puluh) folklore lisan, yang mencakupi berbagai kategori atau kelompok, yaitu puisi rakyat dan prosa rakyat. Yang tergolong puisi rakyat antara lain rejung, pantun, rimbaian, dan teka-teki. Adapun yang termasuk ke dalam prosa rakyat, meliputi cerita binatang (misalnya Sang Kancil, Buaya Kuning, dan Biawak Nebat, Nandai Kucing Keciak, sera Kugho ngan Beghuak, di samping dongeng (seperti Gak Gerugak, Sang Beteri dan Degenam Enam), legenda (seperti Puyang Alun Segaro), dan Mite (seperti Asal Mulo Medu dan Rajo Bujang). Dari sejumlah folklore lisan yang terkumpul itu, kami akan memilih dengan mempertimbangkannya berdasarkan aspek ukuran teks, bahasa, da topik atau tema folklore agar memiliki kesesuaian dengan karakteristik siswa sekolah dasar. Berdasarkankriteria tersebut, kami menetapkan 14 (empat belas) prosa rakyat yang mencakup kisah mite, legenda, dan dongeng, serta cerita binatang. Selanjutnya terpilih 35 (tiga puluh lima) bait pantun dan 20 (dua puluh) pasang rejung. Keseluruhannya akan kami satukan dan kami sajikan dalam buku kumpulan folklore kelompok etnik Serawai

    Makna Tradisi Sedekah Serabi Pada Etnik Lintang Di Kabupaten Empat Lawang

    Get PDF
    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemaknaan Tradisi Sedekah Serabi pada Suku Lintang di Kabupaten Empat Lawang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif etnografi. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) observasi, (2) wawancara, (3) catatan lapangan dan (4) dokumentasi. Hasil penelitian, ada 2 tujuan melaksanakan sedekah serabi yaitu untuk membuat dan membayar nazar, dan 4 jenis serabi yaitu serabi 44, serabi baghi (serabi kupik), serabi baru (kidak), dan serabi biasa. Dari aspek makna, hasil penelitian ini menyatakan bahwa dalam sedekah serabi terdapat makna sosial dan makna religi. Makna sosial ditunjukkan dengan gotong royong antar warga sekitar dari awal hingga akhir acara, seperti proses memasak yang dibantu oleh kerabat terdekat. Makna religius ditunjukkan dengan doa-doa dalam sedekah serabi dan keyakinan untuk melaksanakan sedekah ketika mereka telah membuat nazar.Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemaknaan Tradisi Sedekah Serabi pada Suku Lintang di Kabupaten Empat Lawang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif etnografi. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) observasi, (2) wawancara, (3) catatan lapangan dan (4) dokumentasi. Hasil penelitian, ada 2 tujuan melaksanakan sedekah serabi yaitu untuk membuat dan membayar nazar, dan 4 jenis serabi yaitu serabi 44, serabi baghi ​​(serabi kupik), serabi baru (kidak), dan serabi biasa. Dari aspek makna, hasil penelitian ini menyatakan bahwa dalam sedekah serabi terdapat makna sosial dan makna religi. Makna sosial ditunjukkan dengan gotong royong antar warga sekitar dari awal hingga akhir acara, seperti proses memasak yang dibantu oleh kerabat terdekat. Makna religius ditunjukkan dengan doa-doa dalam sedekah serabi dan keyakinan untuk melaksanakan sedekah ketika mereka telah membuat nazar.   Kata Kunci: Makna, Tradisi, Sedekah, Serabi, Kualitatif Etnografi. &nbsp
    corecore