412 research outputs found

    Pengembangan Model Cara Belajar Obat yang Benar (CBOB) Berbasis Sekolah

    Get PDF
    Obat selalu memiliki rasio manfaat dan resiko yang menjadi tolak ukur keamanannya. Oleh sebab itu, penggunaannya harus hati-hati terutama untuk anak-anak karena bisa berpotensi terjadinya insiden obat pada anak. Sebagai pengguna obat terutama pada penyakit ringan yang umum, anak di bawah pengawasan orang tua dituntut untuk bersifat aktif dalam menggunakannya. Namun pengetahuan persepsi, sikap dan perilaku anak tentang obat masih sangat dangkal dan terfragmentasi. Oleh sebab itu, diperlukan model pendidikan obat yang tepat berbasis sekolah dalam mengenalkan obat secara dini pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui gambaran tingkat pengetahuan, persepsi, sikap dan perilaku anak tentang obat serta faktor-faktor yang mempengaruhinya; (2) mengembangkan model CBOB dalam pendidikan obat berbasis sekolah; (3) menguji pengaruh model CBOB terhadap peningkatan pengetahuan, persepsi, sikap dan perilaku anak tentang obat. Penelitian dilakukan atas empat tahap, yaitu:(1) studi kuantitatif cross sectional menggunakan instrumen kuisioner; (2) studi kualitatif eksploratif menggunakan metode FGD; (3) disain dan pengembangan model CBOB; dan (4) menguji pengaruh model CBOB dengan metode kuasi eksperimental berupa nonequivalent group design. Dari penelitian ini diperoleh hasil sebagai berikut: pengetahuan dan persepsi anak dikategorikan rendah dengan skor rata-rata masing-masing 4,70 (SD±1,57) dari skala 9 dan 2,07 (SD±1,53) dari skala 6; sedangkan sikap dan perilaku cenderung lebih positif dengan skor rata-rata masing-masing 7,18 (SD±1,77) dari skala 10 dan 4,54 (SD±1,52) dari skala 7. Perilaku anak secara umum ada hubungan yang bermakna (P0,05).Dari hasil studi ini disimpulkan bahwa pengetahuan dan persepsi anak tentang obat masih sangat rendah dan terbatas meskipun sikap dan perilakunya secara umum cenderung positif. Hal ini menjadi alasan pentingnya pendidikan obat diberikan pada anak terutama di sekolah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan kesehatan. Model CBOB merupakan model pendidikan obat yang tepat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan, persepsi, sikap dan perilaku anak tentang obat. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan revitalisasi pendidikan kesehatan dalam program UKS dengan memasukkan pendidikan obat sebagai bagian dari pendidikan kesehatan. Kata kunci: Model CBOB, pendidikan obat, pendidikan kesehatan, pengetahuan, sikap, persepsi, perilaku Pengembangan Model Cara Belajar Obat yang Benar (CBOB) Berbasis Sekolah Oleh: Syofyan (1530322004) (di bawah bimbingan: Prof. Dr. Dachriyanus, Apt; Dr. dr. Masrul, M.Sc., Sp.GK; Dr. dr. Rosfita Rasyid, M.Kes) Abstrak Obat selalu memiliki rasio manfaat dan resiko yang menjadi tolak ukur keamanannya. Oleh sebab itu, penggunaannya harus hati-hati terutama untuk anak-anak karena bisa berpotensi terjadinya insiden obat pada anak. Sebagai pengguna obat terutama pada penyakit ringan yang umum, anak di bawah pengawasan orang tua dituntut untuk bersifat aktif dalam menggunakannya. Namun pengetahuan persepsi, sikap dan perilaku anak tentang obat masih sangat dangkal dan terfragmentasi. Oleh sebab itu, diperlukan model pendidikan obat yang tepat berbasis sekolah dalam mengenalkan obat secara dini pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui gambaran tingkat pengetahuan, persepsi, sikap dan perilaku anak tentang obat serta faktor-faktor yang mempengaruhinya; (2) mengembangkan model CBOB dalam pendidikan obat berbasis sekolah; (3) menguji pengaruh model CBOB terhadap peningkatan pengetahuan, persepsi, sikap dan perilaku anak tentang obat. Penelitian dilakukan atas empat tahap, yaitu:(1) studi kuantitatif cross sectional menggunakan instrumen kuisioner; (2) studi kualitatif eksploratif menggunakan metode FGD; (3) disain dan pengembangan model CBOB; dan (4) menguji pengaruh model CBOB dengan metode kuasi eksperimental berupa nonequivalent group design. Dari penelitian ini diperoleh hasil sebagai berikut: pengetahuan dan persepsi anak dikategorikan rendah dengan skor rata-rata masing-masing 4,70 (SD±1,57) dari skala 9 dan 2,07 (SD±1,53) dari skala 6; sedangkan sikap dan perilaku cenderung lebih positif dengan skor rata-rata masing-masing 7,18 (SD±1,77) dari skala 10 dan 4,54 (SD±1,52) dari skala 7. Perilaku anak secara umum ada hubungan yang bermakna (P0,05).Dari hasil studi ini disimpulkan bahwa pengetahuan dan persepsi anak tentang obat masih sangat rendah dan terbatas meskipun sikap dan perilakunya secara umum cenderung positif. Hal ini menjadi alasan pentingnya pendidikan obat diberikan pada anak terutama di sekolah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan kesehatan. Model CBOB merupakan model pendidikan obat yang tepat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan, persepsi, sikap dan perilaku anak tentang obat. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan revitalisasi pendidikan kesehatan dalam program UKS dengan memasukkan pendidikan obat sebagai bagian dari pendidikan kesehatan. Kata kunci: Model CBOB, pendidikan obat, pendidikan kesehatan, pengetahuan, sikap, persepsi, perilaku. The Development of Good Learning Practice of Medicine (CBOB) Model for Basic School by: Syofyan (1530322004) (Supervised by: Prof. Dr. Dachriyanus, Apt; Dr. dr. Masrul, M.Sc., Sp.GK; Dr. dr. Rosfita Rasyid, M.Kes) Abstract Medicines always has a ratio of benefits and risks to become a safety measure. Therefore, its use must be careful especially for children because it can potentially occur medicine incidents. As users, especially in common minor illnesses, children under the supervision of parents are required to be active in using it. But the knowledge, perceptions, attitudes and behavior of children about medicines had superficial and fragmented. Therefore, an appropriate school-based medicines education model is needed in introducing early in children.This study aims to: (1) to determine the description of the level of knowledge, perceptions, attitudes and behavior of children about medicines and the factors that influence them; (2) to develop CBOB models in school-based medicines education; (3) to determine the influence of CBOB models on increasing knowledge, perception, children's attitudes and behaviors about mediciens.The study was conducted in four stages, namely: (1) cross-sectional quantitative study using questionnaire instruments; (2) explorative qualitative studies using the FGD method; (3) design and development of CBOB models; (4) test the influence of CBOB models with quasi-experimental methods such as nonequivalent group design. From this study the following results were obtained: children's knowledge and perceptions were categorized as low with an average score of 4.70 (SD ± 1.57) of a scale of 9 and 2.07 (SD ± 1.53) of a scale of 6; while attitudes and behavior tend to be more positive with an average score of 7.18 (SD ± 1.77) of a scale of 10 and 4.54 (SD ± 1.52) of a scale of 7. Child behavior in general there is a relationship that significant (P 0.05). From the results of this study it was concluded that children's knowledge and perceptions of medicine were still very low and limited even though their attitudes and behavior generally tended to be positive. This is the reason for the importance of medicines education given to children, especially in schools as an integral part of health education. The CBOB model is an appropriate medicine education model used to improve children's knowledge, perceptions, attitudes and behaviors about mediciens. For this reason, the government needs to revitalize health education in the UKS program by including medicines education as part of health education. Keywords: CBOB model, medicine education, health education, knowledge, attitude, perception, behavio

    UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SUB KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI MELALUI LAYANAN PENGUASAAN KONTEN DENGAN TEKNIK PERMAINAN PADA SISWA KELAS XII.IPA.3 DI SMAN 1 PASAMAN

    Get PDF
    ABSTRACTTaking into account the expectations to be achieved for the school organizers through optimum student coaching both academic and non academic potential, is the education process must produce human noble character, noble character, superior personality, leadership, entrepreneur, patriot soul, soul of innovator, initiative, creative and independent. Facts that occur in the field of problems learning motivation sub skill communicating students that occurred in SMAN 1 Pasaman be the responsibility of teachers in the school counseling through guidance and counseling services. This research is a service action research. The research procedure in this research includes planning, action, observation and reflection. This study consists of two cycles with four meetings. The population in this study is all students of Class XII.IPA.3 in SMAN 1 Pasaman, which consists of 30 students. The results showed that the average of students' learning motivation sub skill experienced an increase of 8.76%. Motivation to learn sub skill communicate student before executed service mastery of content with game technique, show medium category that is 62,37%. Motivation to learn sub skill communicating student after implemented service mastery of content with game technique, showing medium category that is 71,13%. Based on the description, it can be concluded there is an increase in motivation to learn sub-communication skills through content mastery services with game techniques on Students Class XII.IPA.3 at SMAN 1 Pasaman Year Teaching 2015/2016.Keywords: Motivation to learn communication sub skills, Content Mastery Service, Game Techniqu

    Pembentukan Badan Layanan Umum Daerah Oleh Pemerintah Daerah

    Get PDF
    Abstract The purpose of this study is to analyze the authority of the Regional Government in establishing the Regional Public Service Agency. This research is normative legal research with statutory and conceptual approaches. The results of this study found that based on Article 346 of Law No.23/2014 in conjunction with Article 205 paragraph (1) PP No.12/2019 Regional Government has attribution authority to form BLUDs with the aim of improving public services. The authority of the Regional Government to form a BLUD is a discretionary authority that gives the choice to the Regional Government whether or not to form a BLUD based on consideration and an assessment of regional needs to improve public services. In forming a BLUD, Regional Governments must meet the requirements as stipulated in Article 29 Permendagri No.79/2018, namely substantive, technical and administrative requirements. Keyword: authority; public service, regional government; regional public service agency Abstrak Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kewenangan Pemda dalam pembentukan BLUD. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian ini menemukan bahwa berdasarkan Pasal 346 UU No.23/2014 jo Pasal 205 ayat (1) PP No.12/2019 Pemda memiliki kewenangan atribusi untuk membentuk BLUD dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan publik. Kewenangan Pemda untuk membentuk BLUD merupakan kewenangan diskresi yang memberikan pilihan kepada Pemda untuk membentuk BLUD atau tidak berdasarkan pertimbangan dan penilaian kebutuhan daerah untuk meningkatkan pelayanan publik. Dalam pembentukan BLUD, Pemda harus memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 Permendagri No.79/2018 yakni persyaratan substantif, teknis, dan administratif. Kata kunci: badan layanan umum daerah; kewenangan; pelayanan publik; pemerintah daerah&nbsp

    TEACHING ENGLISH THROUGH LITERATURE

    Get PDF
    Teaching English in Indonesia, particularly for students, remains agreat challenge owing to the fact that English is a foreign languagein this country. The challenge could be tackled through teachingliterature. Literature has been a subject of study in many countriesat a secondary or tertiary level, but until recently has not been givenmuch emphasis in the EFL/ESL classroom. It is considered a veryversatile subject and is generally considered one of the most difficult subjects to teach. Central to teaching literature in the classroom is to let students be involved in the experience and let them observe life more closely.Keywords: Teaching English in Indonesia, teaching literatur

    ANALISIS MAKNA VERBA DERU SEBAGAI POLISEMI DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG

    Get PDF
    Dalam setiap bahasa termasuk bahasa Jepang, sering kita temukan adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata dengan kata yang lainnya. Salah satu hubungan kemaknaan tersebut adalah polisemi. Polisemi adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Ini merupakan salah satu kendala bagi pembelajar bahasa Jepang ketika menggunakannya dalam kalimat bahasa Jepang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna apa saja yang terkandung dalam verba deru, apa makna dasar verba deru, serta untuk mengetahui hubungan antar makna verba deru. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif. Data dari berbagai sumber dikumpulkan, disusun, kemudian diklasifikasikan, dianalisis dan dilaporkan. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa ada beberapa makna yang terkandung dalam verba deru yaitu: 1 (keluar ‘deru’); 2 (maju ‘susumu’); 3 (berangkat ‘shuppatsu’); 4 (pergi ‘iku’); 5 (meninggalkan ‘nokosu’); 6 (muncul ‘hyoujisareru’); 7 (terbit ‘noboru’); 8 (sampai/tiba ‘touchakusuru’); 9 (dihasilkan ‘sanshutsusareru’); 10 (berasal ‘yuraisuru’); 11 (ada ‘aru/iru’); 12 (tumbuh ‘haeru’); serta mempunyai makna 13 (idiomatikal ‘kanyouku’). Makna dasar verba deru yaitu keluar (bergerak dari ruang tertentu atau dari sebelah dalam ke sebelah luar). Sedangkan hubungan antar makna dari verba deru dapat dilihat dari tiga majas. Yaitu makna 6, 10, 11, dan 13 mempunyai hubungan metonimi dengan makna dasar, makna 13 mempunyai hubungan metafora dengan makna dasar, lalu makna 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, dan 12 mempunyai hubungan sinekdok dengan makna dasar

    Childrenñ€ℱs Perception and Belief about Medicines: Effectiveness and Its Autonomy

    Get PDF
    BACKGROUND: The use of medicines in children is usually always under the supervision of parents. Children are considered not to understand the concept of medicine properly. Children's perceptions of medicine are mostly formed from everyday experience. This can have an impact on children's beliefs about medicines which they are also required to be active and rational medicine users. AIM: This study aims to look at children's perceptions and beliefs about medicines, especially in the perspective of medicine efficacy and children's autonomy in using them. METHOD: The study was conducted with an analytical method with a cross-sectional approach using a questionnaire instrument in grade V elementary school children in Padang City, Indonesia. The total sample size obtained was 503 students. RESULTS: Children still think that medicine efficacy is influenced by taste, colour, size, medicine price, a place to buy medicine and how to get medication. 10.1% of children have stored the medicine at home, and 48.5% of children always depends on waited for their parents when they wanted to take medicine. Regarding children's access to medicines, 11.5% of children have bought their own over-the-counter medicine to a pharmacy or medicine store without the parents' knowledge. 31.4% of children have taken medicine at home without the parents' knowledge. CONCLUSION: The results of this study indicate that children's perceptions of medicine efficacy are still very limited. Even though the child has used the medicine alone in a limited way, the child's autonomy in using the medicine still needs to be monitored by the parent. Therefore, this is the reason for the need for medical education given to children, especially in schools as an integral part of health education

    EVALUASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN KOTA TERPADU MANDIRI (KTM) DI KAWASAN TRANSMIGRASI RAMBUTAN PARIT KABUPATEN OGAN ILIR

    Get PDF
    Pola migrasi ini merupakan fenomena yang rasional dan dinamis dalam mencari kesempatan yang baru guna mengembangkan dan meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan. Akibatnya terjadi persebaran penduduk yang tidak merata. Secara garis besar pelaksanaan program transmigrasi dilaksanakan melalui tahapan-tahapan kegiatan mulai dari penyediaan calon lokasi transmigrasi, penyiapan pemukiman serta fasilitas umum, pengerahan dan penempatan, pembinaan masyarakat transmigrasi, kemudian diakhiri dengan penyerahan tanggung jawab pembinaan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) kepada pemerintah daerah. Di samping itu masih banyak pula kawasan-kawasan transmigrasi yang telah dibangun tetapi belum berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Untuk mempercepat terwujudnya pusat-pusat pertumbuhan baru, kedepan paradigma pengembangan Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) dan Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT) dilakukan dengan pendekatan “pembangunan dan pengembangan Kota Terpadu Mandiri (KTM)”. Konsep pendekatan yang diterapkan adalah dengan melakukan revitalisasi pengembangan kawasan-kawasan transmigrasi yang sudah ada serta reorientasi pembangunan kawasan-kawasan transmigrasi yang baru menuju terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan yang mempunyai fungsi perkotaan dan selanjutnya disebut “Kota Terpadu Mandiri” (KTM). Adapun tujuan penelitian adalah: Untuk mengetahui hasil dari Pembangunan dan Pengembangan Kota Terpadu Mandiri (KTM) di Kawasan Transmigrasi Rambutan dan Parit Kabupaten Ogan Ilir. Bila dillihat dari jenis data dan teknik analisis yang digunakan, maka penelitian ini menggunakan data dan teknik analisis kualitatif. Dalam Penelitian ini telah dilakukan dengan baik, terlihat dari pengukuran 12 indikator masih ada kekurangan dan perlu diperbaiki terhadap 2 indikator 1) kejelasan sasaran penerima program,  2) jumlah sarana prasarana secepatnya dilakukan pembangunan yang berkelanjutan.Kata Kunci : Evaluasi, Kebijakan, Pembangunan dan Pengembangan Kota Terpadu Mandiri

    Makna Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

    Get PDF
    Abstract The purpose of this study is to find the meaning of Article 18 Paragraf 4 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. This research is legal research with a statutory, conceptual, and case approach. The results of this study found that Article 18 Paragraf 4 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia was formulated flexibly with open texture and opened legal policy. Using the original intent of grammatical interpretation, it was found that 7 (seven) meanings of Article 18 Paragraf 4 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia were 1) the regional head was the chief of local government, (2) Regional heads must exist and the number is 1 (one) person, (3) the deputy of regional head was not mandatory. If there can be 1 (one) or more people, (4) the regional head must be democratically elected, either directly by the people or by the local representative body, (5) the regional head candidate does not have to be submitted by a political party or a combination of political parties so that it can be an individual candidate, (6) the elected regional head is sufficient to obtain a simple majority of votes, and (7) the deputy of regional head is not obliged to be democratically elected,  It is not mandatory to be selected in 1 (one) package of candidate pairs with the regional head, and can be appointed. Keywords: democratic; election; regional head Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan makna Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945. Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan kasus. Hasil penelitian ini menemukan bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 dirumuskan secara fleksibel dengan sifat open texture dan opened legal policy. Dengan menggunakan penafsiran original intent gramtikal, ditemukan 7 (tujuh) makna Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 yakni 1) kepala daerah merupakan chief of local government, (2) kepala daerah wajib ada dan jumlahnya 1 (satu) orang, (3) wakil kepala daerah tidak wajib ada. Jika ada boleh 1 (satu) orang atau lebih, (4) kepala daerah wajib dipilih secara demokratis, baik secara langsung atau oleh DPRD, (5) calon kepala daerah tidak harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik sehingga boleh calon perseorangan, (6) kepala daerah terpilih cukup memperoleh simple majority suara, dan (7) wakil kepala daerah tidak wajib dipilih secara demokratis, tidak wajib dipilih dalam 1 (satu) paket pasangan calon dengan kepala daerah, dan dapat ditunjuk. Kata kunci: demokratis; kepala daerah; pemiliha
    • 

    corecore