48 research outputs found
Women’s Marginalization and the Androcentric Religious Interpretation in the History of Aceh Kingdom
Sejarah Indonesia dan agama di Indonesia bersifat androsentrik, yaitu didominasi oleh dan tentang laki-laki, dan dengan demikian telah meminggirkan sejarah perempuan. Model sejarah yang androginis penting dikembangkan, yaitu model yang mengakomodasi suara dan cerita perempuan dan laki-laki serta memungkinkan mereka untuk memiliki tempat yang sama dalam sejarah tersebut. Tulisan ini menguraikan peran perempuan dalam sejarah Kerajaan Aceh dan mengkaji pengaruh agama dan gender dalam proses peminggiran perempuan. Aceh terkenal sebagai wilayah Islam dimana nilai-nilai agama dominan dan menjadi jantung dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Di satu sisi, potret Ratu Aceh menarik karena Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Islam di dunia yang pernah mengakui perempuan sebagai pemimpin tertinggi kekuasaan politik dalam pemerintahan. Di sisi lain, nilai-nilai agama mewarnaimasyarakat Aceh, dan pada saat yang sama budaya patriarki menjadi jantung kehidupan politik. Budaya patriarki yang dominan menyebabkan perempuan termarginalisasi dalam kehidupan publik dan dalam sejarah. Agama dan gender memainkan peran penting dalam melegitimasi identitas kolektif dan pada saat yang sama diskriminasi terhadap perempuan. Dalam konteks Aceh, perdebatan tentang kelayakanperempuan sebagai pemimpin dalam Islam telah memberikan kontribusi terhadap proses peminggiran perempuan. Peminggiran perempuan di arena politik dan kehidupan publik menjadi masalah serius karena berkelit kelindan dengan keyakinan agama yang androsentris, patrarkhi dan kepentingan politik
Perancangan Iklan Layanan Masyarakat tentang Program Keluarga Berencana untuk Menciptakan Keluarga Sejahtera
Program Keluarga Berencana adalah program yang dibuat oleh pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan penduduk Indonesia serta sebagai penyiapan Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Jawa Tengah menghadapi permasalahan kependudukan yang cukup serius, selain jumlah penduduknya yang besar, Jawa Tengah juga memiliki jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi. Namun hingga saat ini masih banyak dari masyarakat kita yang enggan untuk mengikuti program tersebut. Oleh karena itu diperlukan sebuah perancangan berupa Iklan Layanan Masyarakat tentang Program Keluarga Berencana untuk menciptakan keluarga sejahtera. Perancangan Iklan Layanan Masyarakat ini dibuat berdasarkan hasil metode analisa yang digunakan yakni framing dan tabel rekapitulasi data. Hasil perancangannya yakni berupa iklan display pada koran, poster, x-banner, flyer, stiker pada bus, stiker, jam dinding, brosur, bolpen, buku notes, spanduk, umbul-umbul, kaos, slayer, pin dan payung. Dengan pilihan media utamanya yaitu iklan display pada koran. Dari perancangan ini diharapkan bisa menumbuhkan kemauan serta kesadaran masyarakat untuk mengikuti Program Keluarga Berencana
Persepsi Masyarakat Terhadap Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di Mapili Barat Polewali Mandar
This paper explores the public perception of perpetrators of domestic violence in West Mapilli. This study aims to determine the forms of domestic violence in West Mapilli, what factors influence the occurrence of domestic violence, then what are the implications of the perpetrators on domestic violence in West Mapilli. The type of research conducted is qualitative by using a sociological approach and selecting several informants to conduct interviews, observations and documentation. The results of this study indicate that the perpetrators of domestic violence include emotional violence, intimidation or threats and physical violence. Then the causes of domestic violence can be classified into two factors, namely internal and external factors. For the perpetrators of domestic violence, please be informed about the acts of harboring violence against loved ones that they have committed. That the violence he committed was deviating from religious values, because every religious person is not allowed to hurt one another.
Keywords: Public Perception, Domestic Violence Perpetrator, Polewali Manda
KONSTRUKSI SEKSUALITAS DAN RELASI KUASA DALAM PRAKTIK DISKURSIF PERNIKAHAN DINI
The article explores theological, normative and sexual construction as well as the power relation and its contesta- tion that contribute to the perpetuation of the hegemony of patriarchal discourse on early marriage. It also discloses the mechanism of knowledge power that operates in the discourse of the issue. The phenomenon of early marriage illustrates how knowledge is constructed, controlled and perpetuated through several mechanisms to be eventually systematic discursive practice. The discourse and practice of early marriage relate with a set of patriarchal knowl- edge constructed based on understanding of religious texts and legitimated theologically and culturally by related agencies. Knowledge on the sinful of free sex and the danger of woman’s body in the one side and in the other side marriage as part of worship is standardized as norm and social order (a norm that woman has to cover their body, get marriage early to be able to be protected) which operate in the system of power as the ruler and controller of the practice and the continuation of the power of the knowledge. A set of norms and orders including the banning, com- pulsory, stigmatization, and stereotype become strategic mechanism in strengthening the knowledge power on the normality of early marriage. Several religious and cultural practices become the locus to instill the norms and the knowledge on the early marriage as being a religiously legitimized sexual channel and prevention for unwanted preg- nancy outside marital institution. The series of the construction of knowledge and of sexuality on the body of woman, as well as on theologically unwanted pregnancy and woman’s age limit, is standardized in the form of norms and orders that function to strengthen the knowledge. Hence, the power of patriarchal and discriminative knowledge systematically contributes to the perpetuation of discourse and practice of early marriage. The reconstruction of non-patriarchal and non-discriminative knowledge is urgent in order to create what Foucault calls “the rupture from the past,” by involving authoritative agencies and re-inculcating egalitarian norms and orders as a control over the continuation of non-discriminative knowledge and practices in relation to early marriage. [Tulisan ini mengeskplorasi konstruksi teologis normatif, seksualitas, dan relasi power serta kontestasinya yang memberikan kontribusi terhadap pelanggengan serta hegemoni wacana patriarkhi sekitar pernikahan dini dan me- kanisme kekuasaan pengetahuan yang beroperasi dalam wacana pernikahan dini tersebut. Fenomena pernikahan dini menggambarkan bagaimana pengetahuan dibentuk, dikendalikan serta dilanggengkan melalui berbagai me- kanisme sehingga menjadi praktek diskursif yang sistematik. Wacana dan praktek pernikahan dini berkaitan den- gan berbagai pengetahuan patriarkhi yang dibangun berdasarkan pemahaman terhadap teks agama dan dilegiti- masi oleh agen-agen (tokoh dan lembaga agama) dan legitimasi kultural. Pengetahuan tentang dosa seks bebas dan bahaya tubuh perempuan di satu sisi, dan di sisi lain perkawinan sebagai ibadah dibakukan menjadi norma dan peraturan (norma bahwa perempuan harus menutup tubuhnya, harus segera menikah agar terjaga) yang dalam sistem kekuasaan berfungsi sebagai pengatur dan pengontrol praktek dan keberlanjutan kuasa pengetahuan terse- but. Berbagai bentuk aturan dan norma, seperti larangan, keharusan, stigmatisasi dan stereotipi, menjadi mekanis- me strategis dalam mengokohkan kekuasaan pengetahuan tentang “kenormalan” pernikahan dini. Norma disosial- isasikan dalam berbagai kegiatan keagamaan dan praktek-praktek kultural dan pada saat yang sama dibangun pengetahuan tentang pernikahan dini sebagai lembaga penyaluran hasrat seksual dan menjadi solusi antisipatif kehamilan diluar lembaga perkawinan. Rangkaian konstruksi pengetahuan dan seksualitas tentang tubuh perem- puan sebagai sumber godaan, pacaran identik dengan hubungan suami Isteri, kehamilan tidak dikehendaki, dan keterbatasan usia, kemudian dibekukan dalam bentuk norma (misalnya keharusan menjaga virginitas, keharusan menjaga nama baik keluarga dan larangan melanggar norma) dan berbagai aturan yang menguatkan pengetahuan tersebut, dan memberikan kontribusi dalam melanggengkan wacana dan praktek pernikahan dini. Analisis relasi kuasa tentang pernikahan dini memperlihatkan bahwa kuasa pengetahuan yang patriarkhi dan dikriminatif secara sistemik memberikan kontribusi signifikan terhadap pelanggengan praktek pernikahan dini. Dengan demikian, agar dapat mewujudkan apa yang disebut Foucalt sebagai “the rupture from the past,” diperlukan konstruksi pengetahuan yang non patriarkhi dan non diskriminatif, dengan melibatkan agen-agen dan lembaga yang dipandang otoritatif dan legitimatif, serta pembakuan norma dan etika yang egaliter sebagai alat kontrol terhadap pengetahuan terse- but. Dengan pembakuan norma, aturan dan etika maka subyektifitas dan praktek masyarakat juga akan dapat berubah menjadi egaliter dan non dikriminatif.
Fatima Mernissi Menembus Batas, Mendobrak Tradisi dan Doktrin Agama Patriarki
Fatima Mernissi menggambarkan sosok perempuan yang mempunyai
nalar kritis dan sekaligus kesadaran historis serta akademisi dan juga
aktivis. Nalar kritis Mernissi menjadi elan vital untuk mempertanyakan
ulang tatanan yang telah mapan dan reproduksi ketidakadilan yang
sekian lama dipertahankan. Kesadaran historis memberinya kekuatan
untuk menelusuri sejarah dan menemukan kontestasi berbagai kepentingan
sehingga memunculkan dominasi wacana patriarkal yang
merugikan
perempuan. Sebagai akademisi, Mernissi membuktikan
melalui
karya-karyanya bahwa pendidikan, sebagaimana yang telah
ditempuhnya,
bersifat fundamental bagi perempuan untuk dapat
merebut haknya di ruang publik. Pendidikan akan membuka akses
perempuan di ruang publik, dan memberi kekuatan bagi perempuan
untuk bergerak melakukan perubahan di ranah praktis.
Secara sistematis Mernissi menunjukkan bahwa perubahan dimulai
dari pembongkaran terhadap metodologi dalam memproduksi
pengetahuan atau tafsiran-tafsiran terutama terkait dengan isu
perempuan. Secara komprehensif Mernissi menunjukkan urgensi
kritik metodologis dan pendekatan historis untuk mendapatkan
pemahaman yang inklusif dan berkeadilan. Terkait dengan hadits
misalnya, pendekatan historis menurut Mernissi penting untuk
mendeteksi kapan sebuah hadits diriwayatkan Nabi, kemudian kapan
diriwayatkan kembali oleh (siapa) rawi pertama. Mernissi bahkan
menganalisis kredibilitas maupun intelektualitas perawi pertama
dari sebuah hadits (Mernissi, 1991b: 74). Hal ini berbeda dengan
kebanyakan ulama hadits yang memegang prinsip “setiap sahabat
adil.” Sementara, pendekatan historis digunakan untuk mendapatkan
konteks sosiologis yang komprehensif tentang sebuah hadits,
Pendekatan ini memungkinkan upaya kontekstualisasi sebuah ajaran
sehingga relevan dengan segala zaman
ANALISIS LAJU EROSI DAN SEDIMENTASI WADUK WADASLINTANG PROVINSI JAWA TENGAH
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis laju erosi dan sedimentasi yang terjadi di Waduk Wadaslintang. Metode analisis laju erosi menggunakan rumus USLE dengan aplikasi Sistem Informasi Geografis (ArcGis dan MapInfo) untuk analisis spasial. Hasil dari analisis erosi dapat diketahui besarnya SDR (Sediment Delivery Ratio) dan laju sedimen yang masuk. Setelah itu membandingkan hasilnya dengan pengukuran echo sounding.
Parameter yang diukur yaitu peta curah hujan dari delapan stasiun, peta jenis tanah, peta kelas lereng dan peta penggunaan lahan serta konservasi lahan. Pada setiap peta dilakukan proses overlay untuk mendapatkan hasil akhir berupa sebaran erosi yang diklasifikasikan menjadi enam kelas yaitu sangat ringan, ringan, sedang, agak berat, berat dan sangat berat.
Hasil penelitian adalah besarnya laju erosi pada DAS Medono yaitu sebesar 331,65 ton/ha/thn, dengan laju erosi yang bervariasi berdasarkan persentase luas lahan yaitu 9.381 ha (50%); 1.697 ha (9%); 4.751 ha (25%); 1048 ha (6%); 519 ha (3%); 1.373 ha (7%). Sedimen berdasarkan pengukuran echo sounding sebesar 830.769 m3/thn dan sedimen berdasarkan perhitungan laju erosi sebesar 796.086 m3/thn. Sisa umur layan Waduk Wadaslintang berdasarkan hasil pengukuran echo sounding yaitu 30 tahun 6 bulan sedangkan berdasarkan perhitungan laju erosi yaitu 33 tahun
PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM RUMAH TANGGA DI SIGLI ACEH: Analisis Wacana Kritis Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga di Sigli Aceh
Masyarakat Aceh yang dikenal akan budaya dan Syariat Islam ternyata masi memiliki kasus kekerasan yang tinggi dan subordinasi terhadap perempuan dalam rumah tangga. Terbukti dari masayraakat menganggap beberapa kebijakan yang tertera dalam Qanun Jinayat terkesan memberatkan kaum perempuan. Tulisan ini bertujuan untuk melihat persepsi masayarakat Aceh terkait kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Tulisan ini berdasarkan penelitian kualitatif, dengan sumber data primer penelitian yaitu “L. S” selaku korbana kekerasan perempuan dalam rumah tangga. “B. Y” selaku tetangga korban penusukan istri pada tanggal 18 April 2020 dan “R”. K dan E” selaku masyarakat umum. Data yang diperoleh melalui metode wawancara dan media berita kemudian diinterpretasi dengan menggunakan analisis wacana kritis Sara Mills. Hasil analisis menunjukkan bahwa para istri di Aceh akan diberi label nusyuz (tidak berbakti, tidak patuh, dan merendahkan suami) dan sah untuk dihukum. Seperti yang dikatakan dalam berita lokal terkait penusukan yang dilakukan suami terhadap istri di Sigli dikarenakan sosok istri tidak hormat, tidak menghargai, sering mencerca, memarahi sehingga suami tak tahan dan menusuk. Persepsi masayarakat masi banyak yang memposisikan wanita sebagai kaum yang lemah menempatkan mereka pada subordinasi. Penyebab diskriminasi perempuan dalam kehidupan sosial karena menempatkan laki-laki sebagai pihak yang mendominasi dalam setiap aspek kehidupan. Dalam hal ini, pemahaman akan kesetaraan gender sangat penting bagi rumah tangga, dapat menambah keharmonisan sehingga kekerasan dalam rumah tangga minim terjadi. Mengingat persepsi masyarakat akan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga mengandung nilai pro dan kontra maka perlu adanya penelitian lanjutan guna mengungkap konstruksi sosial akan perbedaan pria dan wanita secara status, sifat dan peran dalam rumah tangga.
Kata kunci: Masyarakat Aceh, Persepsi, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Perempuan
UNRAVELING THE THREADS OF WOMANHOOD: A QUALITATIVE INQUIRY INTO THE CONSTRUCTION OF GENDER IN SASAK SOCIETY
Sasak society is renowned for its adherence to moral principles, humanism, and strong religious beliefs. Nevertheless, several research indicate the persistent existence of gender discrimination, particularly targeting women. This study seeks to examine the formation of the concept of 'being a woman' in Sasak culture, encompassing its many manifestations, underlying causes, and consequences for the social framework, particularly for women in Sasak society. This study employed a qualitative methodology, gathering primary data from several sources including regional chairman, religious leaders, Penelando customary authorities in Sasak, women fulfilling the role of housewives, and males serving as heads of households. The data collected from these sources utilizing the interview method is subsequently analyzed using Foucault's framework of power relations. The research reveals that in Sasak society, the construction of 'being a woman' entails the perception that domestic work is inherent to women. The formation of 'womanhood' in Sasak society is intricately linked to the ideology of male hegemony over women. This architecture significantly influences the occurrence of social issues, including the dual burden faced by women, the marginalization of women in the public domain, and the restricted availability of economic resources for women. Due to the intricate nature of power in the creation of gender, it is imperative to do more research with a broader pool of participants. This will enable the identification of more comprehensive concerns and the exploration of the dynamics within current power dynamics.
Masyarakat Sasak selama ini dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, humanis dan religiusitas yang tinggi. Namun demikian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada sisi lain masih terdapat fenomena diskriminasi gender, khususnya pada perempuan. Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi konstruksi 'menjadi perempuan' di masyarakat Sasak yang meliputi bentuk, faktor penyebab hingga implikasinya pada struktur sosial khususya perempuan di masyarakat Sasak. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif, dengan sumber data primer penelitian yang mencakup ketua wilayah, tokoh agama sekaligus ketua adat Penelando di Sasak, perempuan sebagai ibu rumah tangga, serta laki-laki selaku kepala keluarga. Data yang diperoleh melalui metode wawancara dari sumber data tersebut kemudian diinterpretasi dengan menggunakan pendekatan relasi kuasa Foucault. Hasil analisis menunjukkan bahwa bentuk konstruksi 'menjadi perempuan' di masyarakat Sasak adalah bahwa pekerjaan domestik dianggap sebagai kodrat perempuan. Konstruksi 'menjadi perempuan' di masyarakat Sasak ini berkaitan erat dengan wacana dominasi laki-laki terhadap perempuan. Konstruksi tersebut berdampak pada munculnya problem-problem sosial seperti adanya beban ganda perempuan, marginalisasi perempuan di ruang publik, hingga keterbatasan akses sumber ekonomi bagi perempuan. Mengingat sifat kekuasan dalam konstruksi gender yang sangat kompleks, maka perlu adanya penelitian lanjutan dengan informan yang lebih luas, guna mengidentifikasi persoalan-persoalan yang lebih komprehensif serta mengungkap dinamika relasi power yang ada