11 research outputs found

    Uji Efektivitas dan Toksisitas Antimalaria Fraksi Nomor 33K, 35K dan 36K Metabolit Sekunder Streptomyces hygroscopicus subsp. Hygroscopicus Secara In Vitro

    Get PDF
    Malaria merupakan salah satu penyakit endemik di Indonesia. Malaria disebabkan oleh infeksi parasit Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk betina dari spesies Anopheles. Salah satu spesies yang sering digunakan sebagai model untuk infeksi malaria pada manusia adalah Plasmodium berghei. Parasit ini menginfeksi mencit dan mempunyai siklus hidup serta morfologi yang mirip dengan spesies Plasmodium yang menyebabkan malaria pada manusia. Pengobatan yang efektif merupakan elemen penting dalam pengendalian malaria. Akan tetapi, resistensi obat antimalaria muncul sebagai salah satu tantangan terbesar dalam pengendalian malaria saat ini. Salah satu usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah resistensi ini adalah pemanfaatan produk dari alam yang memainkan peran penting sebagai sumber zat aktif biologis dalam pengembangan obat baru. Salah satu sumber antibiotik alami pada penelitian terdahulu yang telah terbukti memiliki efek antimalaria baik secara in vivo, in vitro dan in silico adalah ekstrak dari S. hygroscopicus subsp. Hygroscopicus. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan yang bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas antimalaria fraksi nomor 33K, 35K, dan 36K metabolit sekunder S. hygroscopicus subsp. Hygroscopicus terhadap P. berghei dan toksisitasnya sebagai kandidat obat antimalaria potensial baru secara in vitro. Sampel penelitian ini memakai isolat S. hygroscopicus subsp. Hygroscopicus yang telah difermentasi dan diekstraksi oleh peneliti terdahulu untuk mendapatkan metabolit sekunder. Dari hasil fraksinasi diperoleh profil metabolit sekunder aktif dengan total 47 fraksi pada fraksinasi pertama dan 60 fraksi pada fraksinasi kedua, sehingga penelitian ini akan berfokus pada fraksi nomor 33K, 35K, dan 36K. Terdapat dua uji yang akan dilakukan yaitu uji efektivitas dan uji toksisitas. Uji efektivitas dilakukan secara in vitro terhadap kultur P. berghei dengan mengamati morfologi dan menghitung densitas parasit secara mikroskopis. Kemudian hasil densitas parasit dihitung dengan rumus untuk mengetahui aktivitas penghambatan dan dapat ditentukan nilai Inhibition Concentration (IC50). Pada uji efektivitas menggunakan ekstrak dengan konsentrasi 0.25 μg/ml, 1.25 μg/ml, 6.25 μg/ml, 31.25 μg/ml, dan 156.25 μg/ml. Kemudian, dilanjutkan uji toksisitas menggunakan prosedur MTT Assay terhadap kultur MCF-7 Breast Cancer Cell Line. Pada uji toksisitas menggunakan ekstrak dengan konsentrasi 0.25 μg/ml, 2.5 μg/ml, 25 μg/ml, 250 μg/ml, dan 2500 μg/ml. Pembacaan hasil uji toksisitas dilakukan menggunakan microplate reader, kemudian dengan menghitung persentase kematian sel dapat ditentukan nilai Lethal Concentration 50 (LC50). Pada uji efektivitas penelitian ini, terbukti fraksi 36K memiliki persentase penghambatan parasit terbaik dibandingkan fraksi 33K dan 35K. Persentase penghambatan fraksi 36K pada konsentrasi 156,25 μg/ml adalah sebesar 52,36%. Kemudian, nilai IC50 fraksi 36K dihitung dengan analisis probit yaitu pada konsentrasi 135.913 μg/ml. Fraksi 33K dan 35K belum dapat ditentukan nilai IC50 pada penelitian ini, karena dengan konsentrasi paling tinggi yaitu 156,25 μg/ml fraksi 33K dan 35K memiliki nilai presentase kematian sel sebesar 46,19% dan 44,94% (tidak mencapai 50% (IC50)). Pada pengamatan morfologi dengan mikroskop, menunjukkan hasil bahwa fraksi nomor 33K, 35K, dan 36K mampu merubah bentuk morfologi Plasmodium berghei. Hal ini ditandai dengan penemuan crisis form pada konsentrasi 12,25 μg/ml dan konsentrasi yang lebih tinggi. Crisis form ditunjukkan dengan bentuk sel parasit yang sitoplasmanya semakin hilang dengan inti nukleus yang tertarik ke tepi sitoplasma parasit, dan kromatin yang tampak tebal, padat, serta gelap. viii Uji toksisitas hanya dilakukan pada fraksi nomor 36K sebagai fraksi dengan penghambatan densitas parasit terbaik daripada fraksi 33K dan 35K. Fraksi 36K terbukti memiliki efek non toksik terhadap MCF7 Breast Cancer Cell Line secara in vitro. Akan tetapi, nilai LC50 fraksi 36K pada penelitian ini belum dapat ditentukan karena dengan konsentrasi paling tinggi yaitu 2500 μg/ml, fraksi 36K memiliki nilai presentase kematian sel sebesar 23,28% (tidak mencapai 50% (LC50). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa fraksi 33K, 35K dan 36K ekstrak metabolit S. hygroscopicus subsp. Hygroscopicus memiliki efek antimalaria terhadap Plasmodium berghei dan bersifat tidak toksik sebagai kandidat obat antimalaria potensial baru dalam uji in vitr

    Sensitivitas dan Spesifisitas Pewarnaan Giemsa dalam Mendeteksi Protozoa Usus pada Penderita HIV

    No full text
    Protozoa usus merupakan parasit yang dapat menyebabkan masalah kesehatan seperti diare, nyeri perut, mual, muntah bahkan sampai menyebabkan kematian jika tidak ditangani dengan baik. Peningkatan kejadian infeksi protozoa usus berhubungan dengan status imunitas seseorang yang rendah khususnya penderita HIV. Hal ini berkaitan dengan infeksi protozoa usus oportunistik seperti Cryptosporidium spp. dan Cyclospora spp. Identifikasi struktur protozoa usus memerlukan pemeriksaan mikroskopis feses melalui metode pewarnaan. Pewarnaan Trichrome menjadi sangat penting untuk diagnosa infeksi protozoa usus namun prosedur pewarnaan Trichrome cukup kompleks dan memakan waktu yang lama sehingga diperlukan metode pewarnaan yang mudah dilakukan, murah dan accessible. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji tingkat sensitivitas dan spesifisitas pewarnaan Giemsa dibandingkan dengan pewarnaan Trichrome dalam mendeteksi infeksi protozoa usus pada orang yang normal (asimtomatis) dan penderita HIV. Metode penelitian yang digunakan adalah obervasional analitik untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas pewarnaan Giemsa dibandingkan pewarnaan Trichrome dengan desain studi cross sectional. Pengambilan sampel diambil sesuai kriteria inklusi yaitu sukarelawan sehat, pasien HIV dalam terapi dan pasien HIV naif yang berobat ke RSUD dr. Saiful Anwar Malang dengan total keseluruhan sampel sebanyak 85. Data hasil deteksi protozoa usus diperoleh dari pemeriksaan secara mikroskopis metode pewarnaan Giemsa dan Trichrome. Uji sensitivitas dan spesifisitas pewarnaan Giemsa dilakukan menggunakan tabel 2x2 lalu dibandingkan dengan pewarnaan Trichrome (gold standard). Hasil pada penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan nilai sensitivitas dan spesifisitas antara pewarnaan Giemsa dengan pewarnaan Trichrome. Pada pewarnaan Giemsa memiliki sensitivitas 30,25% dan spesifisitas 64,28% jika dibandingkan dengan Trichrome. Selain itu didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara status HIV dengan kejadian infeksi protozoa usus yang ditunjukkan dengan odds ratio lebih dari 1 yaitu 1,35 pada pewarnaan Giemsa dan 3,12 pada pewarnaan Trichrome

    Perbandingan Prevalensi Coccidia Usus dengan Metode Direct Smear dan Sheather Sucrose Floatation (SSF) pada Penderita HIV dan Non-HIV

    No full text
    Coccidia usus merupakan jenis parasit yang paling umum ditemukan pada pasien imunokompromais yang biasanya dapat menyebabkan diare kronis yang berakibat fatal. Beberapa contoh Coccidia usus yang sering ditemukan pada manusia yaitu Cryptosporidium spp., Cystoisospora spp., dan Cyclospora spp. Saat ini penegakkan diagnosis laboratorium infeksi protozoa masih dilakukan melalui pemeriksaan mikroskopik konvensional dari feses penderita. Pemeriksaan mikroskopik konvensional yang dapat dilakukan yaitu metode direct smear dan metode konsentrasi. Metode konsentrasi sheather sucrose floatation (SSF) menghasilkan material yang lebih bersih dan umum digunakan untuk mendeteksi Cryptosporidium spp Penelitian ini bertujuan untuk mengukur prevalence ratio Coccidia usus pada penderita HIV dan non-HIV dengan metode pemeriksaan direct smear dan sheather sucrose floatation (SSF). Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Sampel dipilih sesuai dengan kriteria inklusi yaitu, sukarelawan sehat, pasien HIV dengan terapi, dan pasien HIV tanpa terapi dengan total sampel yang diperoleh sebanyak 85 sampel feses. Data hasil deteksi Coccidia usus yang diperoleh dihitung menggunakan prevalence ratio. Hasil prevalence ratio pada metode direct smear adalah 2,7. Sedangkan hasil prevalence ratio pada metode sheather sucrose floatation (SSF) adalah 0. Kesimpulan dari penelitian ini adalah prevalence ratio Coccidia usus lebih tinggi pada metode direct smear daripada metode sheather sucrose floatation (SSF)

    Perbandingan Efektivitas Penyuluhan melalui Media Video Edukasi dan Poster terhadap Peningkatan Pengetahuan Remaja Putri tentang Upaya Pencegahan Kekurangan Energi Kronik (KEK) di SMKN 1 Sooko Mojokerto

    No full text
    Latar Belakang: Kekurangan Energi Kronik (KEK) adalah suatu kejadian malnutrisi atau tidak tercukupinya kebutuhan gizi seseorang. Penyebab KEK adalah kekurangan energi dan protein berkepanjangan. Dampak KEK adalah anemia, perkembangan organ kurang optimal, pertumbuhan fisik terhambat. Data World Health Organization (WHO) pada tahun 2016, prevalensi remaja yang memiliki status kurus sebanyak 48,2%, dan data remaja yang kekurangan nutrisi mencapai 45,7%. Sedangkan, menurut data Riset Kesehatan Dasar di (Riskesdas) di Indonesia pada 2018, sebesar 36,3% (kasus KEK pada remaja usia 15-19). Tujuan: Untuk mengetahui efektivitas antara media penyuluhan antara video dan poster terhadap peningkatan pengetahuan siswi SMKN 1 Sooko Mojokerto. Metode: Desain penelitian ini adalah quasy experimental dengan pretest-posttest control group design. Jumlah responden dalam penelitian ini 45 siswa, diantarnya 22 siswa kelompok video dan 23 siswa kelompok poster. Menggunakan teknik purposive sampling. Analisis data menggunakan uji Wilcoxon, Uji Mann-Whitney, dan Uji N-Gain. Hasil: Penelitian menyatakan dengan uji Wilcoxon bahwa penyuluhan menggunakan media video dan media poster menunjukan perbedaan signifikan antara hasil prettest dan posttest (p=0.001 ; p=0.000) . Uji Mann-Whitney menyatakan p value 0.002 berarti terdapat perbedaan tentang pengetahuan KEK yang ignifikan antara media video dan media poster. Rata-rata nilai N-Gain pada kelompok media poster yaitu 0.39 dan media video yaitu 0.22, menunjukan nilai poster lebih unggul. Kesimpulan: Penyuluhan edukasi gizi pada remaja putri menggunakan media poster terbukti lebih efektif meningkatkan pengetahuan remaja putri dibandingkan menggunakan media vide

    Pengaruh Pemberian Probiotik Lactobacillus Casei Dan Bifidobacterium Longum Terhadap Profil Lactobacillus Spp. Dan Bifidobacterium Spp. Intestinal Mencit C57bl/6 Yang Diinfeksi Plasmodium Berghei

    No full text
    Infeksi Plasmodium menyebabkan kondisi disbiosis yaitu kondisi terjadi ketidakseimbangan mikrobiota usus di dalam tubuh manusia yang menjadi penyebab keparahan penyakit malaria. Infeksi Plasmodium menyebabkan perubahan penurunan filum Firmicutes, Lactobacillaceae peningkatan Proteobacteria dan Verrucomicrobia, yang berhubungan dengan derajat parasitemia dan skor malaria serebral. Eritrosit yang tersekuestrasi kedalam pembuluh darah jaringan usus menyebabkan mastositosis usus selama infeksi, menyebabkan peningkatan histamin ileum dan plasma sehingga terjadi inflamasi dan kerusakan epitel usus yang dapat menyebabkan invasi bakteri patogen dan mengganggu keseimbangan mikrobiota usus. Pemberian probiotik Lactobacillus casei dapat meningkatkan diferensiasi Th1 dan mengurangi parasitemia melalui stimulasi sistem imun. Probiotik Bifidobacterium longum dapat mempengaruhi respon imun dan meregulasi sel T regulator serta terbukti dapat meningkatkan bakteri baik di usus. Pemberian probiotik spesies Lactobacillus dan Bifidobacterium dapat menurunkan beban parasitemia dan memperbaiki komposisi mikrobiota usus pada tikus dengan infeksi Plasmodium. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh probiotik L. casei dan B. longum terhadap mikrobiota usus Lactobacillus spp. dan Bifidobacterium spp. mencit galur C57BL/6 yang diinfeksi Plasmodium berghei. Terdapat 5 kelompok perlakuan yaitu kontrol negatif, kontrol positif, kelompok intervensi L. casei, kelompok intervensi B. longum dan kelompok intervensi kombinasi L. casei dan B longum. Intervensi probiotik diberikan sebanyak 109 CFU dalam 100 l / hari pada 5 hari sebelum infeksi hingga hari pembedahan. Pada Penelitian ini dilakukan pengukuran pada time point 1, 2 dan 3. Hasil analisis statistik bakteri Lactobacillus spp. menunjukkan pada time point kedua (p=0,003), uji statistik pos hoc pada kelompok negatif perlakuan kombinasi (p=0,040), kontrol positif dengan perlakuan kombinasi (p=0,009) dan perlakuan L. casei dengan perlakuan kombinasi (p=0,009). Analisis statistik jumlah bakteri Bifidobacterium spp. didapatkan bahwa hasil uji statistik Kruskall wallis didapatkan hasil pada TP 1, TP 2, TP 3 masing masing secara berurutan (p=1,000), (p=0,066), (p=0,206). Sedangkan pada uji pengaruh L. casei dan B. longum terhadap derajat parasitemia didapatkan hasil (p=0,264). Pemberian probiotik B. longum dapat menghambat peningkatan derajat parasitemia dan meningkatkan mikrobiota usus genus Lactobacillus spp. dan Bifidobacterium spp. sebelum dan sesudah infeksi

    Perbandingan Prevalensi Infeksi Protozoa Usus antara Penderita HIV dan Non-HIV menggunakan Metode Direct Smear dan Zinc Sulphate Flotation

    No full text
    Infeksi protozoa usus masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan di dunia, khususnya di negara berkembang dan beriklim tropis. Prosedur laboratorium berperan penting dalam menegakkan diagnosis infeksi protozoa. Direct smear merupakan prosedur pemeriksaan mikroskopis dengan mencampurkan feses dengan larutan saline dan iodine. Zinc sulphate flotation merupakan metode konsentrasi yang didasarkan pada perbedaan berat jenis dan sentrifugasi. Infeksi protozoa usus dapat menyerang individu imunokompeten maupun immunocompromised. Infeksi protozoa usus pada pejamu dengan gangguan sistem imun lebih banyak ditemukan daripada pejamu imunokompeten. Berkurangnya respons imun yang disebabkan oleh infeksi HIV menyebabkan penderita lebih rentan terhadap infeksi protozoa. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan prevalensi infeksi protozoa usus antara penderita HIV dan non-HIV menggunakan metode direct smear dan zinc sulphate flotation. Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Sampel pada penelitian ini menggunakan feses segar yang berasal dari kelompok HIV dan non-HIV. Selanjutnya, sampel feses dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis dengan menggunakan metode direct smear dan zinc sulphate flotation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalence ratio terhadap deteksi positif infeksi protozoa usus kelompok HIV dibandingkan kelompok non-HIV pada direct smear sebesar 1,55, sedangkan pada zinc sulphate flotation sebesar 1,35. Sensitivitas dan spesifisitas zinc sulphate flotation terhadap direct smear pada kelompok HIV dan non-HIV masing-masing adalah 36% dan 90%. Nilai PPV dan NPV metode zinc sulphate flotation sebesar 60% dan 77%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah probabilitas (risiko) infeksi protozoa usus pada kelompok kasus (HIV) lebih besar daripada kelompok kontrol (non-HIV) baik pada metode direct smear maupun zinc sulphate flotation

    Hubungan Lingkungan Kerja Dengan Perilaku Caring Perawat Di RSUD PROF DR. Margono Soekarjo Purwokerto

    No full text
    Caring merupakan inti praktik dari keperawatan. Semakin baik perilaku perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan dalam bentuk caring kepada pasien maka semakin puas pasien terhadap pelayanan keperawatan tersebut. Sebagai salah satu aspek terpenting dalam mencapai kepuasan pasien, menjadikan perilaku caring sebagai salah satu indikator mutu pelayanan rumah sakit. Perilaku caring yang baik dapat mewujudkan mutu pelayanan yang baik pula. Dalam beberapa studi, perilaku caring sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor ini dapat dikelompokkan berdasarkan asal sumbernya, yaitu internal dan eksternal. Dibandingkan faktor internal, faktor eksternal yang dapat disebut juga faktor lingkungan kerja memiliki prosentase lebih besar dalam mempengaruhi persepsi perawat tentang kualitas perawatan dan perilaku caring. Faktor lingkungan kerja perawat dapat dikelompokkan dalam beberapa dimensi yang lebih spesifik. Dalam penelitian ini digunakan panduan Practice Environment Scale of the Nursing Work Index (PES-NWI) untuk mengkaji dimensi lingkungan praktik perawat karena dianggap relevan dan terbaru dari semua instrumen pengukuran lingkungan kerja. Masing – masing dimensi dalam lingkungan kerja memiliki proporsi tersendiri dalam mempengaruhi perilaku caring. Penciptaan dimensi lingkungan kerja yang baik dan menyenangkan dapat memenuhi kebutuhan personal perawat. Berdasarkan latar belakang tersebut diperlukan adanya penelitian yang dapat melihat dimensi lingkungan kerja apa saja yang berhubungan dengan perilaku caring perawat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan lingkungan kerja dengan perilaku caring perawat, untuk selanjutnya dapat menjadikan solusi dan pengembangan strategi bagi manajer keperawatan dan rumah sakit dalam meningkatkan perilaku caring perawat. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Sebanyak 180 responden perawat yang bekerja di ruang rawat inap dilibatkan dalam penelitian ini. Pengambilan data menggunakan instrumen kuisioner yang diisi langsung oleh responden perawat. Analisis univariat digunakan untuk melihat gambaran karakteristik responden yang dipresentasikan dalam bentuk tabel dan prosentase. Analisis bivariat menggunakan Chi Square, sedangkan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda. Hasil analisis Chi Square didapatkan terdapat hubungan antara partisipasi perawat dalam urusan rumah sakit dan perilaku caring dengan p=0,000 (p<0,05), fondasi keperawatan untuk kualitas perawatan dan perilaku caring p=0,03 (p<0,05), kemampuan perawat manajer, kepemimpinan dan dukungan perawat dan perilaku ix caring p=0,02 (p<0,05), ketersediaan ketenagaan dan sumber daya dan perilaku caring p=0,000 (p<0,05), hubungan kolegial perawat dan dokter dan perilaku caring p=0,001 (p<0,05). Dari hasil analisis multivariat didapatkan hasil bahwa pada variabel partisipasi perawat dalam urusan rumah sakit memiliki nilai p=0,000 (p<0,05), OR=81.496, variabel ketersediaan ketenagaan dan sumber daya memiliki nilai p=0,005 (p<0,05), OR=164.989, serta variabel hubungan kolegial perawat dan dokter memiliki nilai p=0,000 (p<0,05), OR=81.027. Nilai Negelkerke R Square yang didapatkan yaitu 0,641 memiliki arti bahwa lingkungan kerja merupakan faktor yang mempunyai hubungan 64,1% terhadap perilaku caring perawat. Hasil penelitian memberikan gambaran secara keseluruhan dimensi lingkungan kerja berhubungan dengan perilaku caring perawat. Sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa lingkungan kerja berpengaruh langsung dan signifikan terhadap kinerja perawat dimana hal ini terkait dengan keselamatan pasien yang pada akhirnya juga mengarah pada outcome pasien. Meskipun hasil penelitian didapatkan bahwa penilaian dengan lingkungan kerja dalam presentase yang baik, masih ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan untuk mempertahankan nilai baik lingkungan kerja yang berdampak pula pada perilaku caring perawat. Kesimpulan pada penelitian ini adalah adanya hubungan yang signifikan antara semua dimensi dalam lingkungan kerja dengan perilaku caring perawat, sedangkan dimensi paling dominan dalam lingkungan kerja dapat diurutkan dari yang paling dominan adalah dimensi 1 yaitu partisipasi perawat dalam urusan rumah sakit, dimensi 5 yaitu hubungan kolegial perawat dan dokter dan dimensi 4 yaitu ketersediaan ketenagaan dan sumber daya. Hasil ini diharapkan dapat menjadi pengembangan strategi bagi manajer keperawatan dan rumah sakit untuk mengkaji ulang kebutuhan dan peluang untuk promosi jabatan tenaga keperawatan, keberlanjutan program pendidikan perawat profesional, serta menghitung ulang jumlah SDM perawat yang cukup untuk melakukan pekerjaa

    Efektivitas Stroke Education Program (SEP) Berbasis Telerehabilitation Dengan Pendekatan Teori Self Care Orem Terhadap Activities of Daily Living (ADL) Dan Mobilisasi Pasien Pasca Stroke

    No full text
    Stroke merupakan penyakit gangguan saraf yang datang tiba-tiba dan dapat menyerang siapa saja tanpa memandang usia maupun status ekonomi, terjadi akibat terganggunya peredaran darah ke otak yang terjadi sekitar 24 jam atau lebih. Pasien pasca stroke akan mengalami kelemahan dan kesulitan dalam melakukan ADL dan mobilisasi sehingga memerlukan bantuan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari sehingga untuk mengantisipasi kejadian defisit self care pada pasien pasca stroke harus dilakukan rehabilitasi sedini mungkin. Pasien pasca stroke perlu mendapatkan telerehabilitation untuk meningkatkan mobilisasi dan kemampuan ADL, telerehabilitation dengan pendekatan teori self care Orem adalah metode untuk meningkatkan mobilitas dan aktivitas kehidupan sehari-hari pasien dan juga untuk merubah gaya hidup pasien lewat olahraga sehingga stroke berulang akan sangat diminimalisir. Metode penelitian ini adalah Quasi Experimental dengan pendekatan pre-post test design dan teknik purposive sampling. Subyek penelitian ini adalah pasien pasca stroke di poli Saraf dan di ruang Anggrek RSUD dr. R Koesma Tuban berjumlah 50 pasien yang dibagi 25 orang masuk dalam kelompok kontrol diberikan edukasi berbentuk leaflet di aplikasi Edures-SCO dan 25 orang masuk kelompok intervensi diberikan video animasi edukasi dan rehabilitasi. Dilakukan uji chi square dan uji normalitas dan analisa data menggunkan uji Mann Whitney karena data tidak normal. Data demografi responden usia mayoritas responden adalah >50 Tahun 33 (66%), jenis kelamin mayoritas responden adalah Laki-laki berjumlah 39 (78%), lama di rumah sakit mayoritas adalah < 7 Hari sebanyak 40 (80%), dan lama stroke mayoritas responden adalah < 6 Bulan sejumlah 44 (88%), dan rata-rata responden yang menderita stroke adalah terjadi stroke ke 1 sebanyak 40 (80%), Adapun homogenitas responden pada usia p value = 0,370, jenis kelamin p value = 0,088, lama di RS p value = 0,034, lama stroke p value = 0,667, dan terjadi stroke ke berapa p value = 1,000. Nilai median Activity Daily Living (ADL) pada saat pre test kelompok kontrol adalah 65 (45-90), sedangkan kelompok intervensi dengan nilai median 65 (45-90). Adapun analisis uji beda memberikan nilai p value 0,953. Artinya tidak ada perbedaan nilai pre test antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sehingga pada pre test data ADL kelompok kontrol dan intervensi menjadi homogen. Nilai median Activity Daily Living (ADL) pada saat post test kelompok kontrol adalah 70 (55-90), sedangkan pada kelompok intervensi dengan nilai median 85 (55-100). Hasil analisis uji beda memberikan nilai p value = 0,000. Artinya ada perbedaan nilai saat post test antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Nilai yang di dapat pada kelompok intervensi lebih besar secara signifikan dari kelompok kontrol. Nilai median mobilisasi pada saat pre test kelompok kontrol adalah 67 (36-100), sedangkan kelompok intervensi dengan nilai median 77 (36-107). Analisis uji beda menghasilkan nilai p value = 0,381, yang artinya tidak ada perbedaan nilai pre test antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sehingga datanya menjadi homogen. Nilai median mobilisasi pada saat post test kelompok kontrol adalah 67 (36-107), sedangkan nilai median pada kelompok intervensi adalah 64 (36-107). Analisis uji beda menghasilkan nilai value = 0,002, yang artinya ada perbedaan nilai saat post test antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Nilai yang di dapat antara kelompok intervensi lebih kecil sehingga lebih signifikan hasilnya dari kelompok kontrol. Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan adanya peningkatan yang signifikan pada skor ADL dan mobilisasi setelah diberikan telerehabilitation aplikasi Edures-SCO pada kelompok intervensi. Hal ini berarti pemberian aplikasi video edukasi dan rehabilitasi pasien pasca stroke efektif meningkatkan ADL dan mobilisasi pasien. Aplikasi Edures-SCO didesain dengan menggunakan teori self care Orem dengan 3 konsep yaitu wholly kompensatory system, partly kompensatory system, dan supportif educatif system, dengan disesuaikan untuk pasien pasca stroke sehingga mampu meningkatkan ADL dan mobilisasi secara baik. Langkah yang dilakukan agar intervensi efektif meningkatkan hasil post test adalah dengan melibatkan keluarga yang merawat pasien tersebut. Implikasi dalam bidang keperawatan adalah perawat dapat memonitor rehabilitasi pasien melalui jarak jauh dengan aplikasi Edures-SCO. Monitoring dapat dilakukan secara harian dengan aplikasi sehingga perawat tidak sesering mungkin bertatap muka dengan pasien. Implikasi klinis dalam penelitian ini adalah aplikasi Edures-SCO dapat diintegrasikan dalam program rehabilitasi di rumah sakit. Tenaga kesehatan dapat memberikan edukasi terlebih dahulu kepada pasien mengenai cara penggunaan aplikasi pada saat discharge planning

    Efektivitas Stroke Education Program (SEP) berbasis Telerehabilitation dengan pendekatan Teori Self Care Orem terhadap Activities of Daily Living (ADL) dan Mobilisasi pasien Pasca Stroke.

    No full text
    Stroke merupakan penyakit gangguan saraf yang datang tiba-tiba dan dapat menyerang siapa saja tanpa memandang usia maupun status ekonomi, terjadi akibat terganggunya peredaran darah ke otak yang terjadi sekitar 24 jam atau lebih. Pasien pasca stroke akan mengalami kelemahan dan kesulitan dalam melakukan ADL dan mobilisasi sehingga memerlukan bantuan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari sehingga untuk mengantisipasi kejadian defisit self care pada pasien pasca stroke harus dilakukan rehabilitasi sedini mungkin. Pasien pasca stroke perlu mendapatkan telerehabilitation untuk meningkatkan mobilisasi dan kemampuan ADL, telerehabilitation dengan pendekatan teori self care Orem adalah metode untuk meningkatkan mobilitas dan aktivitas kehidupan sehari-hari pasien dan juga untuk merubah gaya hidup pasien lewat olahraga sehingga stroke berulang akan sangat diminimalisir. Metode penelitian ini adalah Quasi Experimental dengan pendekatan pre-post test design dan teknik purposive sampling. Subyek penelitian ini adalah pasien pasca stroke di poli Saraf dan di ruang Anggrek RSUD dr. R Koesma Tuban berjumlah 50 pasien yang dibagi 25 orang masuk dalam kelompok kontrol diberikan edukasi berbentuk leaflet di aplikasi Edures-SCO dan 25 orang masuk kelompok intervensi diberikan video animasi edukasi dan rehabilitasi. Dilakukan uji chi square dan uji normalitas dan analisa data menggunkan uji Mann Whitney karena data tidak normal. Data demografi responden usia mayoritas responden adalah >50 Tahun 33 (66%), jenis kelamin mayoritas responden adalah Laki-laki berjumlah 39 (78%), lama di rumah sakit mayoritas adalah < 7 Hari sebanyak 40 (80%), dan lama stroke mayoritas responden adalah < 6 Bulan sejumlah 44 (88%), dan rata-rata responden yang menderita stroke adalah terjadi stroke ke 1 sebanyak 40 (80%), Adapun homogenitas responden pada usia p value = 0,370, jenis kelamin p value = 0,088, lama di RS p value = 0,034, lama stroke p value = 0,667, dan terjadi stroke ke berapa p value = 1,000. Nilai median Activity Daily Living (ADL) pada saat pre test kelompok kontrol adalah 65 (45-90), sedangkan kelompok intervensi dengan nilai median 65 (45-90). Adapun analisis uji beda memberikan nilai p value 0,953. Artinya tidak ada perbedaan nilai pre test antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sehingga pada pre test data ADL kelompok kontrol dan intervensi menjadi homogen. Nilai median Activity Daily Living (ADL) pada saat post test kelompok kontrol adalah 70 (55-90), sedangkan pada kelompok intervensi dengan nilai median 85 (55- 100). Hasil analisis uji beda memberikan nilai p value = 0,000. Artinya ada perbedaan nilai saat post test antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Nilai yang di dapat pada kelompok intervensi lebih besar secara signifikan dari kelompok kontrol. Nilai median mobilisasi pada saat pre test kelompok kontrol adalah 67 (36-100), sedangkan kelompok intervensi dengan nilai median 77 (36-107). Analisis uji beda menghasilkan nilai p value = 0,381, yang artinya tidak ada perbedaan nilai pre test antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sehingga datanya menjadi homogen. Nilai median mobilisasi pada saat post test kelompok kontrol adalah 67 (36-107), sedangkan nilai median pada kelompok intervensi adalah 64 (36-107). Analisis uji beda viii menghasilkan nilai value = 0,002, yang artinya ada perbedaan nilai saat post test antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Nilai yang di dapat antara kelompok intervensi lebih kecil sehingga lebih signifikan hasilnya dari kelompok kontrol. Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan adanya peningkatan yang signifikan pada skor ADL dan mobilisasi setelah diberikan telerehabilitation aplikasi Edures-SCO pada kelompok intervensi. Hal ini berarti pemberian aplikasi video edukasi dan rehabilitasi pasien pasca stroke efektif meningkatkan ADL dan mobilisasi pasien. Aplikasi Edures-SCO didesain dengan menggunakan teori self care Orem dengan 3 konsep yaitu wholly kompensatory system, partly kompensatory system, dan supportif educatif system, dengan disesuaikan untuk pasien pasca stroke sehingga mampu meningkatkan ADL dan mobilisasi secara baik. Langkah yang dilakukan agar intervensi efektif meningkatkan hasil post test adalah dengan melibatkan keluarga yang merawat pasien tersebut. Implikasi dalam bidang keperawatan adalah perawat dapat memonitor rehabilitasi pasien melalui jarak jauh dengan aplikasi Edures-SCO. Monitoring dapat dilakukan secara harian dengan aplikasi sehingga perawat tidak sesering mungkin bertatap muka dengan pasien. Implikasi klinis dalam penelitian ini adalah aplikasi Edures-SCO dapat diintegrasikan dalam program rehabilitasi di rumah sakit. Tenaga kesehatan dapat memberikan edukasi terlebih dahulu kepada pasien mengenai cara penggunaan aplikasi pada saat discharge plannin

    Uji Efektivitas dan Toksisitas Antimalaria Fraksi 12, 13, dan 14 Metabolit sekunder Streptomyces hygroscopicus subsp. Hygroscopicus secara in vitro

    No full text
    Malaria merupakan penyakit yang tersebar di berbagai negara tropis maupun sub-tropis, dengan perkiraan 1000 juta orang di dunia tinggal di daerah endemik malaria. Pada tahun 2020 terjadi peningkatan kasus malaria dibanding tahun sebelumnya yakni menjadi 241 juta kasus, dengan estimasi kematian sebanyak 627.000. Malaria disebabkan oleh gigitan nyamuk betina dari genus Anopheles yang mengandung parasit Plasmodium. Diagnosis dini dan terapi yang tepat dengan obat antimalaria yang efektif merupakan dua komponen kunci dalam mengontrol dan mengeliminasi malaria. Saat ini, pengobatan lini pertama yang direkomendasikan oleh WHO dan Kementrian Kesehatan RI untuk infeksi malaria adalah Artemisinin-based combination therapy (ACT). Namun, kemunculan dan penyebaran parasit yang resisten terhadap obat Artemisinin, telah menjadi masalah utama yang menghambat pengendalian malaria. Tingginya morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh malaria, belum adanya vaksin berlisensi, dan resistensi yang meluas terhadap Artemisinin, bersama dengan adanya kelompok yang rentan terhadap infeksi malaria berat terutama anak-anak dan wanita hamil, menunjukkan masalah yang nyata akan kebutuhan untuk menemukan obat antimalaria baru. Salah satu spesies dari kelas Actinomycetes, yakni Streptomyces hygroscopicus, dilaporkan sebagai mikroorganisme potensial dalam pengembangan agen terapi antimalaria baru pada semua stadium Plasmodium. Penelitian sebelumnya telah melaporkan potensi S. hygroscopicus sebagai antimalaria, baik secara in silico, in vitro, maupun in vivo. Profiling metabolit sekunder dari fermentasi S. hygroscopicus subsp. Hygroscopicus telah dilakukan pada penelitian sebelumnya dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT), yang menghasilkan berbagai spot. Spot tersebut menunjukkan bahwa pada fraksi tersebut terdapat senyawa aktif. Fraksi nomor 12, 13, dan 14 dilaporkan mengandung senyawa monoterpen, triterpen, dan steroid. Oleh karena itu, pada penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas fraksi 12, 13, dan 14 metabolit sekunder S. hygroscopicus subsp. Hygroscopicus terhadap Plasmodium berghei dan tingkat tokisitasnya sebagai agen antimalaria potensial yang baru. Pada uji efektivitas, digunakan tiga jenis fraksi yaitu fraksi 12, 13, dan 14 metabolit sekunder S. hygroscopicus subsp. Hygroscopicus pada kultur P. berghei. Kultur dibagi menjadi 7 kelompok, yang terdiri dari 5 kelompok perlakuan dan 2 kelompok kontrol, dalam 24-well plate. Kelompok perlakuan menggunaan konsentrasi 0,25; 1.25; 6.25; 31.25; 156.25 μg/ml. Kelompok kontrol positif diberikan paparan Artemisinin 0,01 mM, sedangkan kelompok kontrol negatif menggunakan DMSO 1%. Morfologi P. berghei pada siklus viii intraeritrositik diamati secara mikroskopik dengan membuat hapusan darah pada kaca objek kemudian diwarna dengan pewarnaan Giemsa. Pengamatan ini dilakukan setelah P. berghei terpapar fraksi S. hygroscopicus subsp. Hygroscopicus selama 48 jam, dengan perbesaran 1000x. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga fraksi dapat menyebabkan kerusakan morfologi pada P. berghei, berupa bentuk krisis (crisis form). Densitas eritrosit terinfeksi P. berghei setelah paparan fraksi 12, 13, dan 14 metabolit sekunder S. hygroscopicus subsp. Hygroscopicus menunjukkan hasil yang lebih rendah dibanding kontrol negatif. Persentase penghambatan rata-rata fraksi 12, 13, dan 14 metabolit sekunder S. hygroscopicus subsp. Hygroscopicus terhadap P. berghei semakin meningkat seiring dengan kenaikan konsentrasi fraksi. Dari ketiga fraksi, didapatkan hasil penghambatan pertumbuhan parasit terbaik pada fraksi 14, kemudian disusul oleh fraksi 13 dan fraksi 12. Fraksi 14 memiliki persentase penghambatan tertinggi pada konsentrasi 156,25 μg/ml sebesar 67,73%, fraksi 13 dapat menghambat P. berghei tertinggi pada konsentrasi 156.25mg/L sebesar 38,65%, sedangkan fraksi 12 dapat menghambat P. berghei tertinggi pada konsentrasi 31,25 μg/ml sebesar 31,09%. Kontrol positif berupa Artemisinin dapat menghambat pertumbuhan P. berghei sebesar 50,61%. Berdasarkan analisis probit, IC50 pada fraksi 14 didapatkan sebesar 10,26 μg/ml, sedangkan IC50 fraksi 12 dan 13 tidak ditentukan. Fraksi 14 sebagai fraksi terbaik pada uji efektivitas dilanjutkan untuk dilakukan pemeriksaan toksisitas, dengan tujuan untuk melihat derajat toksisitas fraksi tersebut terhadap sel. Uji toksisitas dilakukan dengan metode MTT assay menggunakan sel MCF-7 dengan konsentrasi 0,25; 2,5; 25; 250; 2500 μg/ml. Pada pengamatan morfologi menggunakan mikroskop inverted, semakin tinggi konsentrasi fraksi 14 yang diberikan, maka formazan yang terbentuk semakin berkurang. Nilai absorbansi toksisitas pada kelima konsentrasi fraksi 14 menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan kontrol negatif dan menyebabkan kematian sel MCF-7 kurang dari 50%. Kematian sel tertinggi terlihat pada konsentrasi 250 μg/ml sebesar 19,9%. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi 14 metabolit sekunder S. hygroscopicus subsp. Hygroscopicus tidak bersifat toksik pada sel manusia. Karena persentase kematian sel MCF-7 pada konsentrasi tertinggi fraksi 14 tidak mencapai 50%, maka LC50 tidak ditentukan dalam penelitian ini. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa fraksi 14 memiliki efektivitas antimalaria terbaik dibanding fraksi 12 dan 13, dengan IC50 sebesar 10,26 μg/ml. Fraksi 14 terbukti tidak bersifat toksik terhadap sel MCF-7
    corecore