529 research outputs found
Komplikasi Kronik Aspirasi Benda Asing pada Saluran Napas Bawah
Aspirasi benda asing pada saluran napas bawah adalah kegawatdaruratan yang menyebabkan kematian. Terdapat lebih kurang 3000 kematian seetiap tahunnya akibat aspirasi benda asing di Amerika Serikat. Terdapat 14 kasus aspirasi benda asing di RSUP Persahabatan yang dilakukan tindakan bronkoskopi pada tahun 2000-2005. Penyebab tersering adalah aspirasi jarum pentul 36,7%, kacang 21,21% dan gigi palsu 9,09%. Komplikasi yang terjadi karena aspirasi benda asing diantaranya pneumonia, efusi pleura, ateletaksi, abses dan hemoptisis. Seorang laki-laki 16 tahun datang dengan keluhan utama batuk produktif disertai dengan darah sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Tidak ada keluhan respirasi lain dan keluhan sistemik. Riwayat tertelan paku mading 3 bulan yang lalu, tapi tidak pernah memeriksakan diri ke dokter. Tanda-tanda vital normal. Fremitus melemah dan suara ronki di paru kanan bawah. Rontgen toraks AP-Lateral menunjukkan gambaran ateletaksis di lobus medius dan inferior paru kanan, terdapat corpus alienum di hilus kanan. CT scan toraks menunjukkan gambaran ateletaksis dan cospus alienum. Pasien didagnosis dengan ateletaksis ec corpus alienum dengan diagnosis banding abses paru. Corpus alienum dikeluarkan dengan tindakan bronkoskopi serat lentur. Tampak gambaran bronkoskopi pada rontgen toraks post bronkoskopi. Pasien diterapi dengan antibiotic dan obat anti perdarahan. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa komplikasi kronik aspirasi benda asing pada saluran napas bawah diantraanya ateletaksis, abses paru dan bronkiektasi. Usia muda mempengaruhi prognosis baik, karena gejala sisa tidak ditemukan pada kasus ini
Pleuroskopi Sebagai Tindakan Diagnostik pada Paru
Pleuroscopy, also known as medical thoracoscopy, is a minimally invasive procedure that is used to examine and biopsy the pleural cavity as well as to perform therapeutic interventions. This procedure has a near-perfect diagnostic accuracy in malignant pleural effusions and tuberculosis. With a mortality rate of 0.1%, the complication rate is low (2% - 5%) and usually mild (subcutaneous emphysema, bleeding, infection). Objective : Increase knowledge of pleuroscopy as a diagnostic and therapeutic tool in lung disease. Method : This paper is based on a review of the literature on pleuroscopy. Conclusion : Pleuroscopy is a minimally invasive procedure that can be used to examine and biopsy the pleural cavity, as well as for therapeutic intervention. Complications are uncommon and usually minor. Sugestion : Other articles are required to increase knowledge about pleuroscopy in order to obtain more knowledge
BRONKOSKOPI SEBAGAI PROSEDUR DIAGNOSTIK DAN TERAPEUTIK PENYAKIT PARU
Abstract
Bronchoscopy is a medical procedure that provides tracheobronchial visualization by placing an optical instrument (bronchoscope) into the airways and is performed by a competent doctor. Bronchoscopy was invented by Gustav Killian in 1897 and since then the techniques have continued to develop. In 1966 Shigeto Ikeda introduced flexible bronchoscopy with fiber optic imaging technology. This is a revolution in the field of bronchoscopy. As cases of lung disease become more complex and the need for minimally invasive procedures, the contribution of bronchoscopy becomes increasingly important. This procedure has had significant developments in the last two decades. The latest bronchoscopy technology allows us to look outside the endobronchial tree to the mediastinum using endobronchial ultrasound (EBUS). Then the small nodules located in the periphery can also be traced for sampling using an electromagnetic navigation bronchoscopy (ENB). We can also manipulate the airway muscles to reduce asthma symptoms using bronchial thermoplasty. This paper is written to describe the basic principles of bronchoscopy and its clinical application in the diagnostic and therapeutic measures of pulmonary disease.
Keywords: Bronchoscopy, Diagnostic, Therapeuti
HUBUNGAN REMUNERASI DENGAN KINERJA DAN KEPUASAN KERJA STAF MEDIS DI RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
Perobahan pola pemberian jasa medis dari fee for service ke sistem remunerasi menimbulkan permasalahn dikalangan staf medis, sehingga dapat memberikan efek tidak baik untuk kinerja maupun kepuasan kerja staf di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara remunerasi dengan kinerja dan kepuasan staf medis di rumah sakit M. Djamil, Padang. Metode penelitian adalah deskriptif analitik dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif (mix methode). Teknik pengambilan sampel sistematik random sampling di dapatkan 72 staf medis dan 8 informan pada penelitian kualitatif diambil secara purposive sampling. Hasil analisis dengan menggunakan uji statistik didapatkan hubungan yang bermakna antara remunerasi dengan kinerja (p = 0,012 atau 0,05). Berdasarkan analisis kualitatif disimpulkan sebagian besar staf medis kurang memahami tentang remunerasi, pelaksanaannya belum transparan dan tidak ada kejelasan antara IKI dengan remunerasi, remunerasi berpengaruh meningkatkan kinerja dan berhubungan dengan kepuasan staf. Diperlukan peningkatan pemahaman staf tentang remunerasi dan teknologi informasi didalam penilaian kinerja staf
Pneumothoraks Spontan Bilateral: Komplikasi Inhalasi Metamfetamin
Metamfetamin adalah obat yang sering disalahgunakan karena efek stimulan dan euforia. Penggunaan inhalasi metamfetamin dapat menyebabkan kerusakan pada sistem pernapasan karena sebagian besar pengguna metamfetamin menghirup zat tersebut, sehingga paru secara langsung terpapar zat toksik. Pneumothoraks adalah akumulasi udara dalam rongga pleura, merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada penyalahgunaan methamfetamin. Mekanisme terjadinya pneumothoraks adalah adanya barotrauma dan peningkatan tekanan intraalveolar akibat inhalasi amphetamin. Mekanisme lain adalah akibat toksik dan mediator inflamasi dari zat yang diinhalasi. Kasus ini melaporkan pneumothoraks spontan akibat inhalasi metamfetamin, menekankan kewaspadaan tentang komplikasi pneumothoraks akibat penggunaan metamfetamin
Convención Interamericana sobre la Protección de los Derechos Humanos de las Personas Mayores
Recordando lo establecido en los Principios de las Naciones Unidas en favor de las Personas de Edad (1991); la Proclamación sobre el Envejecimiento (1992); la Declaración Política y el Plan de Acción Internacional de Madrid sobre el Envejecimiento (2002), así como los instrumentos regionales tales como la Estrategia Regional de implementación para América Latina y el Caribe del Plan de Acción Internacional de Madrid sobre el Envejecimiento (2003); la Declaración de Brasilia (2007), el Plan de Acción de la Organización Panamericana de la Salud sobre la salud de las personas mayores, incluido el envejecimiento activo y saludable (2009), la Declaración de Compromiso de Puerto España (2009) y la Carta de San José sobre los derechos de las personas mayores de América Latina y el Caribe (2012
PENGGUNAAN IV KATETER PADA PENATALAKSAAN EMFISEMA SUBKUTIS
AbstrakDilaporkan seorang wanita usia 24 tahun di rujuk ke RSUP DR. M Djamil Padang dengan keluhan utama sesak nafas sejak tiga hari sebelumnya. Sesak nafas disertai oleh pembengkakan pada leher, wajah dan dinding dada. Pada riwayat penyakit sebelumnya didapatkan ia telah menderita asma sejak masa anak-anak.Diagnosis ditegakkan sebagai emfisema subkutis akibat eksaserbasi asma berat. Penatalaksanaan terapi berupa pemasangan kateter abocath no.14F yang telah di modifikasi subkutan.Pasien di rawat selama empat hari, kemudian dibolehkan pulang.Kata kunci: emfisema – asma – IV kateterAbstractTwenty four years old female patient admitted to the hospital with symptom of dyspnea since three days before entered the hospital. Dyspnea was accompanied by swelling in the neck, face and chest wall. She had suffered of asthma since a child.Patient was diagnosed as subcutaneous emphysema due to severe excacerbation of asthma. The treatment was treated with the insertion of modified abocath no. 14F subcutaneously.The patient was hospitalized for 4 days and went home with recovery.Keywords : emphysema – asthma – IV catheterLAPORAN KASU
PENGGUNAAN IV KATETER PADA PENATALAKSAAN EMFISEMA SUBKUTIS
AbstrakDilaporkan seorang wanita usia 24 tahun di rujuk ke RSUP DR. M Djamil Padang dengan keluhan utama sesak nafas sejak tiga hari sebelumnya. Sesak nafas disertai oleh pembengkakan pada leher, wajah dan dinding dada. Pada riwayat penyakit sebelumnya didapatkan ia telah menderita asma sejak masa anak-anak.Diagnosis ditegakkan sebagai emfisema subkutis akibat eksaserbasi asma berat. Penatalaksanaan terapi berupa pemasangan kateter abocath no.14F yang telah di modifikasi subkutan.Pasien di rawat selama empat hari, kemudian dibolehkan pulang.Kata kunci: emfisema – asma – IV kateterAbstractTwenty four years old female patient admitted to the hospital with symptom of dyspnea since three days before entered the hospital. Dyspnea was accompanied by swelling in the neck, face and chest wall. She had suffered of asthma since a child.Patient was diagnosed as subcutaneous emphysema due to severe excacerbation of asthma. The treatment was treated with the insertion of modified abocath no. 14F subcutaneously.The patient was hospitalized for 4 days and went home with recovery.Keywords : emphysema – asthma – IV catheterLAPORAN KASUS</p
Should Kiribati continue to aim for 100% voluntary non-remunerated blood donation as recommended by the WHO?
Setting: Tungaru Central Hospital Blood Bank Laboratory, Nawerewere, Tarawa, Kiribati. Objective: To determine characteristics, deferrals and reasons for deferral amongst blood donors from 2011 to 2016. Design: A cross-sectional study using routinely collected data. Results: From January 2011 to March 2016, 8531 potential blood donors were registered. For each full year, the proportion of voluntary non-remunerated blood donors (VNRBD) was below 10%, although it increased to 13% in 2015. The overall proportion of blood donors deferred increased each year over the 5-year period, from 44% to 57%, with similar increases in deferrals in VNRBD and family replacement donors (FRD). Among all blood donors, a higher proportion of females than males (59% vs. 43%) and VNRBD than FRD (56% vs. 44%) were deferred (P < 0.001). Deferrals were due to 1) failing the medical questionnaire (53%), 2) having anaemia and/or high white cell count (26%), or 3) transfusion-transmissible infections (21%). More VNRBD were deferred due to failing the medical questionnaire, while more FRD were deferred due to anaemia and/or high white-cell count; the number of deferrals was similar for transfusion-transmissible infections. Conclusion: This 5-year study showed that the proportion of VNRBD is low and deferrals are higher for this group than for FRD. There is a strong case for encouraging both types of donor in the country
Conmemoración de los cincuenta años de la primera misión de observación electoral de la OEA : (Aprobada en la sesión celebrada el 17 de octubre de 2012)
El Consejo Permanente de la Organización de los Estados Americanos, recordando que el 4 de febrero de 1962 la Unión Panamericana envió por primera vez observadores a una elección en la República de Costa Rica y que ese mismo año, el 20 de diciembre, envió una Misión a la República Dominicana.
(Párrafo extraído del texto a modo de resumen)Instituto de Relaciones Internacionales (IRI
- …